Dua minggu berlalu, tapi amarah Adrian terhadap Hunter belum padam. Telepon dari Hunter siang itu membuat perasaan Adrian bercampur antara dendam dan keingintahuan. Di ujung telepon, Hunter mengajaknya bertemu di sebuah restoran privat. Adrian setuju, dengan harapan bisa mengakhiri semua ketegangan yang selama ini merundung pikirannya.Di restoran, Hunter sudah menunggu di sebuah meja di sudut ruangan ketika Adrian tiba. Wajah Hunter terlihat lebih santai daripada yang Adrian duga, meskipun pipi yang masih sedikit memar menjadi pengingat perkelahian terakhir mereka.Adrian duduk tanpa banyak bicara, hanya menatap Hunter dengan pandangan tajam.Hunter tersenyum tipis, mencoba bersikap ramah. “Bagaimana keadaanmu, Adrian? Sudah sembuh, atau masih ada rasa sakit?”Adrian memicingkan matanya, suaranya dingin. “Kau tidak perlu basa-basi. Jika kau punya sesuatu untuk dikatakan, langsung saja.”Hunter menghela napas, lalu mengeluarkan sebuah amplop dari saku kemejanya. Dia menyerahkannya kep
Jason menarik lengan Briella dengan kasar, menyeretnya keluar dari mansion Adrian. Briella melawan, menendang, memukul, dan menjerit keras-keras, tetapi suara protesnya terbungkam ketika Jason membekap mulutnya dengan tangan. Ketakutan dan kemarahan bercampur dalam diri Briella membuatnya nekat menggigit telapak tangan Jason sekuat tenaga.“Aghh!” Jason menjerit kesakitan, merenggut tangannya dari gigitan Briella. Darah mengalir dari luka itu, tetapi Jason tidak menunjukkan belas kasihan sedikitpun. Sebaliknya, kemarahan di matanya semakin menyala. “Dasar pengkhianat!” caci Jason, menampar Briella dengan keras, membuat wajahnya terlempar ke samping.Briella jatuh tersungkur di tanah, dari bibirnya mengalir darah, tubuhnya gemetar menahan rasa sakit dan ketakutan. Anak buah Felix turun dari mobil van yang terparkir tidak jauh, membantu Jason menyeret Briella yang tak berdaya ke dalam mobil. Briella terus memberontak, tetapi kekuatannya tidak sebanding dengan mereka.Jason mengangkat ta
Fernandez yang berusia dua tahun berjalan dengan langkah kecilnya menuju Rosalie, yang tengah melukis di taman belakang. Tangannya yang mungil memegang boneka kesayangannya. Dengan suara cadel, dia bertanya, “Grandma, ke mana Mommy?”Rosalie tersentak dari konsentrasinya. Dia menatap cucunya dengan lembut, menyadari bahwa sudah cukup lama Briella tidak terlihat. “Mommy... Mommy sedang pergi berbelanja, Sayang,” jawabnya belum menyadari apa yang terjadi.Fernandez menatap Rosalie dengan mata besar yang polos, menunggu jawaban lebih lanjut. Namun, Rosalie melihat ke sekeliling dan segera menyadari bahwa Briella seharusnya sudah pulang sekarang. Dia meraih ponselnya dan mencoba menghubungi Briella, tapi suara dering dari dalam membuatnya semakin cemas. Dengan cepat, Rosalie berlari ke dalam bangunan mansion, menemukan ponsel Briella tergeletak di meja.“Ya Tuhan, kenapa ponsel Briella di sini?” Dengan tangan gemetar, dia menekan nomor Hunter. Setelah beberapa dering, suara Hunter yang kh
Ponsel Adrian berdering lagi. Rupanya Felix Jorell menghubunginya. Tanpa menunggu lama, Adrian langsung menjawab panggilan tersebut. Kepanikan dan kekhawatiran telah menggrogotinya. Dia tak ingin hal buruk menimpa Briella.“Datang ke Pelabuhan Sungai Enns. Sendirian. Kalau ingin Briella selamat,” ucap Felix dingin, dari seberang sana. Adrian mengepalkan tangan, menahan amarah. “Aku akan datang. Jangan sentuh dia.”Setelah menutup telepon, Adrian mengeluarkan pistol Glock 19 kaliber 9mm dari laci lalu menyelipkan di pinggang. Hunter melihatnya dengan khawatir.“Adrian, kau mau ke mana dengan senjata itu?” tanya Hunter tajam.“Pelabuhan Enns. Aku harus pergi sendirian. Briella dalam bahaya.” Adrian bersikeras.“Aku akan menemanimu,” jawab Hunter khawatir.“Jangan ikut,” larang Adrian. Setelah mengenakan jaket, dia berpamitan pada Rosalie dan mengecup kepala Fernandez. “Hunter, kau harus di sini menjaga Rosalie dan Nandy. Aku percayakan mereka padamu.”Hunter tidak bisa melarang, karena
Adrian terbangun perlahan dari kegelapan yang menenggelamkannya. Kepalanya terasa berat, seperti ada beban besar yang menindih. Suara-suara samar mulai terdengar di telinganya—suara mesin, bisikan lembut, dan langkah kaki yang pelan. Dia mencoba membuka matanya, tapi kelopak matanya terasa begitu berat.Butuh beberapa saat sebelum pandangannya mulai jernih. Cahaya lembut memenuhi ruangan di sekelilingnya. Bau antiseptik menyengat hidungnya, dan bunyi detak mesin medis terdengar berirama di sampingnya. Dia ada di rumah sakit.“Adrian....”Suara lembut dan penuh kasih sayang itu menyusup ke telinganya, membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Dia menoleh pelan dan melihat wajah yang begitu akrab. Rosalie, duduk di samping ranjang, menatapnya dengan mata penuh kekhawatiran.“Mom?” suara Adrian serak, hampir seperti bisikan. “Apa yang terjadi? Kenapa aku di sini?”Rosalie menunduk sedikit, berusaha menahan air mata yang tampak menggenang di matanya. Tangannya yang lembut menggenggam tanga
Adrian duduk di kursi kulit hitam yang dingin di ruang kerjanya, tubuhnya membeku sejenak saat dia membuka pesan dari Felix. Video yang berdurasi beberapa menit memutar gambar Briella—berdarah-darah, tubuhnya tertutup kain yang basah, dan akhirnya, dia dibuang ke laut.Adrian merasa dunia seolah runtuh di sekelilingnya. Seluruh tubuhnya bergetar hebat, tangannya menggenggam ponsel hingga jemarinya memutih. Video itu berakhir dengan suara gemuruh gelombang yang menelan Briella, dan Adrian merasa setiap detik terakhir nyawanya ditelan laut yang sama.Dengan napas tersengal, Adrian mencoba berpegangan pada meja di depannya. “Tidak ... tidak mungkin,” gumamnya berulang kali, suaranya pecah dan tersekat dalam tenggorokan. Setiap kali dia mencoba mengedipkan mata, bayangan Briella yang penuh luka selalu muncul di depannya. Rasa sakit yang merobek hatinya begitu mendalam sehingga terasa seperti ada tangan tak terlihat yang meremas-remas jantungnya.Adrian menyambar laptopnya dengan tangan be
Tiga Tahun Kemudian … Hari ini seharusnya adalah Hari spesial bagi Fernandez Maven. Aula besar dihias dengan bendera kecil berwarna-warni, sementara karya seni dan proyek siswa dipajang di sepanjang dinding.Para siswa, berpakaian rapi dengan seragam sekolah, berdiri gugup tapi bersemangat di samping meja mereka, menunggu orang tua datang. Guru-guru yang ramah menyambut para keluarga dengan senyuman, sementara ruang kelas dipenuhi dengan canda riang dan obrolan antara anak-anak dan orang tua.Hari Kunjungan Orang Tua menjadi saat yang ditunggu para murid setiap tahun. Sebab pada hari spesial itu, mereka libur dari pelajaran yang membosankan, tapi melakukan hal lain yang menyenangkan. Para murid bisa menunjukkan bakatnya.Anak-anak membuat pertunjukkan drama hari ini. Di ruang kelas yang riuh rendah, anak-anak berlarian dengan kostum mereka, bersemangat menyambut Hari Kunjungan Orang Tua. Meja-meja dipenuhi dengan alat kosmetik dan aksesori.Seorang demi seorang, mereka didandani oleh
Adrian menatap layar tablet dengan tangan yang bergetar. Jantungnya berdegup kencang. Begitu layar menyala, video seorang wanita berlarian di pantai muncul. Mata Adrian membelalak terkejut. Ya, wanita cantik itu adalah Briella. Dia mengenakan bikini kuning, tertawa ceria sambil bermain dengan ombak. Adrian tidak dapat mengenali lokasi video tersebut, tapi yang pasti bukan di Eropa.“Setelah tiga tahun menghilang,” suara pembaca berita terdengar, “Briella muncul di publik hari ini, mengklaim bahwa dirinya tidak pernah diculik atau dibunuh. Felix Jorell tidak bersalah dalam kasus yang selama ini menuduhnya.”Adrian terpaku di tempatnya, napasnya tersendat. “Tidak mungkin,” gumamnya pelan. Matanya terpaku pada layar, seolah-olah waktu berhenti.Dalam video itu, Briella terlihat begitu bebas, seakan tidak pernah ada penderitaan yang dialaminya. Tidak ada tanda-tanda trauma, tidak ada rasa takut. Dia tampak bahagia, senyum lebar terpancar di wajahnya.“Bagaimana ini bisa terjadi?” suara Ad
Satu tahun kemudian …Sesampainya di rumah sakit, Adrian merasakan detak jantungnya semakin cepat. Langkah-langkahnya yang biasanya mantap kini terasa berat, seolah-olah setiap langkah membawa beban kekhawatiran yang tak terukur.Ruang bersalin berada di ujung koridor, tapi jarak yang harus ditempuhnya terasa seperti berpuluh-puluh mil. Cahaya lampu yang seharusnya menenangkan justru tampak suram di matanya. Dia tak bisa berpikir jernih—yang ada hanya ketakutan akan apa yang mungkin terjadi di balik pintu ruang bersalin itu.Saat akhirnya Adrian tiba di depan pintu, dia menemukan Rosalie sedang duduk di kursi tunggu. Wajah wanita paruh baya itu tampak pucat meski dia berusaha menyembunyikan kecemasannya. Rosalie yang melihat Adrian mendekat, dia berdiri dan mencoba tersenyum, tapi kegelisahan tetap terpancar di matanya.“Bagaimana keadaannya?” tanya Adrian dengan nada cemas, suaranya bergetar meski dia berusaha terdengar tegar.Rosalie mendekatinya, menyentuh lengannya dengan lembut.
Senyum seringai Adrian terbentang begitu saja setelah mendengar ucapan istrinya. Dia menarik Briella mendekat, tangan Adrian yang kuat meluncur ke bawah punggungnya. Mencengkeram bokong Briella yang membulat.Tanpa keraguan Adrian menekan batangnya yang keras ke arah kewanitaan si istri. Briella tersentak senang saat Adrian menggesek miliknya. Pria tampan itu menangkup pipi Briella, menghadiahkan ciuman lapar sehingga bibir mereka terkunci dalam ciuman yang penuh nafsu.Briella melepaskan ciuman itu, terengah-engah. “Adrian,” bisiknya, matanya berkilauan karena hasrat. “Kumohon segeralah masuk. Aku membutuhkanmu.”“Aku juga membutuhkanmu, Sayang,” jawab Adrian serak.Ciuman penuh gairah mereka semakin dalam, dan tangan mereka menjelajahi tubuh masing-masing. Membelai setiap inci. Adrian menangkup payudara penuh Briella, menggoda putingnya yang mengeras dengan ibu jari.Briella mengerang, melengkungkan punggung ke arah Adrian. Dia mengusap dada suaminya, turun ke perut Adrian yang liat
Briella tersenyum lembut, matanya berkaca-kaca. “Jangan khawatir, ini air mata bahagia. Kau ... kau sering kali kasar, terburu-buru. Tapi sekarang, setiap sentuhanmu penuh cinta, penuh perhatian. Kau benar-benar telah berubah, Adrian.”Ini bukan pertama kali bagi Briella disentuh Adrian sejak mereka kembali bersatu. Sentuhan Adrian sekarang penuh dengan kelembutan dan penuh cinta. Berbeda dengan dulu yang penuh nafsu seakan dirinya adalah budak seks.Mata Adrian melembut, dia menarik Briella lebih dekat, mengecup dahinya dengan lembut. “Aku menyesali banyak hal, Briella. Dulu aku terlalu dibutakan oleh amarah dan dendam, tapi sekarang aku hanya ingin kau merasakan betapa aku mencintaimu, betapa berartinya dirimu bagiku. Aku tidak akan pernah menyakitimu lagi.”Kata-kata Adrian yang tulus itu menusuk hati Briella, membuatnya tidak bisa menahan air mata yang mulai mengalir di pipinya. Ini adalah air mata kebahagiaan, air mata yang berasal dari perasaan mendalam bahwa cinta sejati mereka
Malam itu, suasana ruang makan terasa tegang. Adrian duduk di ujung meja, tatapannya kosong dan mulutnya terkunci rapat. Briella yang duduk di sebelahnya mencoba tersenyum, tapi ketegangan Adrian begitu nyata hingga seluruh ruangan terasa sunyi. Hunter, yang duduk di seberang meja, langsung membaca situasi.“Nandy, bagaimana kalau sabtu besok kita pergi ke peternakan?” Hunter menawarkan dengan nada riang, mencoba mencairkan suasana. “Paman akan mengajarimu cara berkuda, dan kita bisa memerah susu sapi langsung dari sapinya. Bagaimana?”Mata Fernandez langsung bersinar mendengar tawaran Hunter. “Benarkah, Paman? Aku mau! Aku mau!” serunya dengan antusias, tapi dia segera menoleh pada Briella. “Tapi Mommy ikut juga, kan?”Hunter terkekeh pelan, lalu menggelengkan kepalanya. “Kali ini hanya kita, sesama pria yang pergi, Nandy. Mommy akan menunggu di sini.”Fernandez mengerutkan kening, tampak tidak puas dengan jawaban itu. “Tapi aku mau Mommy ikut bersama kita, Paman.”Adrian tampak sema
“Mommy, aku suka sup ini. Rasanya creamy.” Fernandez tampak senang dengan kehadiran kembali ibunya. Bocah itu selalu menempel pada Briella, dan bersikap manja. Sejak pulang sekolah, dia meminta Briella menyuapinya, padahal anak itu sebelumnya terbiasa mandiri dan makan sendiri.“Apa kau mau tambah lagi supnya, Nandy?” tanya Briella lembut, seraya menatap putranya dengan penuh kasih sayang.“Tidak, Mommy. Aku sudah kenyang. Apakah Mommy bersedia membantuku mengerjakan pekerjaan rumahku?” pinta Fernadez.Briella mengangguk dan tersenyum. “Tentu, Sayang.”Malam ini, sikap manja Fernandez tidak juga berakhir. Sehabis makan malam, dia meminta Briella membantunya mengenakan piama. Di kamar mereka yang luas dan nyaman, Adrian duduk di tepi tempat tidur, menatap Briella yang sedang membantu Fernandez mengenakan piyama. Briella tersenyum lembut, matanya penuh kasih sayang saat putra kecil mereka, duduk di pangkuannya, sudah siap untuk tidur.“Nandy, ayo tidur, Sayang.”“Mommy mau ke mana?”“Mo
Adrian dan Briella tersenyum hangat melihat Fernandez berlari-lari di tamn, bersama dengan pengasuh. Pasangan itu duduk di kursi taman bersama dengan Rosalie dan Hunter. Tampak semua orang bahagia melihat Fernadez yang bermain dengan riang penuh kegembiraan.“Aku sudah lama sekali tidak melihat Fernandez sebahagia ini,” ungkap Hunter jujur.Menghilangnya Briella, selalu membuat Fernandez menjadi muram. Tidak jarang Fernandez menangis setiap kali merindukan Briella. Tiga tahun Briella menghilang, bukan waktu yang sebentar. Bukan hanya Fernandez yang murung sejak Briella menghilang, tapi Adrian, Hunter, dan juga Rosalie sangat terpukul. Apalagi yang mereka tahu adalah Briella dibunuh Felix dengan kejam. Hal tersebut menjadi pukulan berat di keluarga Maven.“Aku akan pastikan Nandy terus merasa bahagia, Hunter. Aku akan selalu di sisi putraku,” ucap Briella tulus, dan penuh kehangatan.Adrian membelai rambut Briella. “Ya, Sayang. Nandy akan selalu merasa bahagia. Kau sudah kembali. Kebah
Hunter memanfaatkan jaringannya di kepolisian untuk mengusut tuntas masalah penculikan ini. Saat tahu anak wali kota diculik, polisi segera bergerak cepat menyelidiki. Semua bukti sudah jelas, anak buah Felix Jorell adalah dalang di balik penculikan anak wali kota Vienna.Hunter, yang duduk di seberang meja, tersenyum puas. “Polisi sudah melaporkan pada walikota kalau anaknya diculik,” katanya sambil menyandarkan punggung ke kursi dengan riang, menunggu kabar selanjutnya.Adrian mengangguk. “Seorang wali kota tentu saja tidak akan membiarkan ini berlalu begitu saja. Felix sudah membuat langkah terburuk dalam hidupnya.”Hunter tertawa kecil, membayangkan akibat dari kekonyolan anak buah Felix. “Dia pikir dia bisa mengancam kita dengan menculik Fernandez, tapi lihat apa yang terjadi. Felix pasti sedang menggigit jarinya di penjara saat ini.”Hanya dalam waktu beberapa jam setelah polisi melaporkan penculikan putra sang walikota, dampaknya langsung terasa. Seorang wali kota tentu memilik
Briella duduk di ruang tamu yang megah, menikmati aroma manis pie apel yang baru saja dipotong. Ini adalah momen yang sangat langka dan berharga baginya. Setelah tiga tahun diculik dan ditawan oleh Felix, akhirnya dia bisa merasakan kebebasan. Dia kini dikelilingi oleh orang-orang yang mencintainya, Adrian, Fernandez, Hunter dan Rosalie.“Pie ini benar-benar enak, Mom. Aku tidak tahu kapan terakhir kali aku bisa duduk santai seperti ini, bersama keluarga,” ucap Briella sambil tersenyum, mengambil potongan pie apel kedua.Rosalie, yang duduk di seberang meja, tersenyum hangat. “Kau pantas mendapatkan kebahagiaan ini, Briella. Setelah semua yang kau lalui, aku harap hidupmu akan terus dipenuhi cinta dan kedamaian,” balasnya sambil menyesap teh dari cangkir porselen.Briella mengangguk pelan, menikmati setiap kata Rosalie. “Aku tidak tahu bagaimana aku bisa bertahan kalau bukan karena kalian semua. Tiga tahun bersama Felix … itu seperti mimpi buruk yang tak pernah berakhir.”“Kami semua
Ruangan interogasi terasa pengap dengan cahaya lampu terang yang menyilaukan langsung ke wajah Felix Jorell. Dua orang polisi duduk di depannya, satu dengan ekspresi datar, sementara yang lain mencatat setiap kata yang keluar dari mulutnya. Di sudut ruangan, alat pendeteksi kebohongan dengan sensor-sensornya terpasang di tubuh Felix, mengukur detak jantung dan tekanan darah setiap kali dia berbicara.“Kapan tepatnya Anda mengenal Briella Maven?” Polisi pertama mulai membuka percakapan dengan suara rendah namun tegas.Felix menghela napas panjang seolah sedang mengingat. “Aku pertama kali bertemu dia di acara jumpa fans film Blind Devotion. Dia sangat ramah, manis, dan kami mulai sering bertukar pesan setelah itu.”Polisi pertama itu menatap Felix tanpa berkedip. “Dan apa yang terjadi setelah itu?”Felix tersenyum tipis, matanya tampak mencoba meyakinkan. “Aku sering mengirimkan hadiah padanya. Bunga, cokelat, bahkan perhiasan yang mahal. Aku sering mengajak keluar ke restoran. Briella