Setelah diyakinkan oleh Rosalie, Briella membatalkan niatnya untuk pergi dari Vienna bersama Jason. Dia yakin Rosalie cukup cerdik menangani masalah ini. Briella tetap berada di mansion sampai malam tiba.Angin dingin masuk melalui jendela kediaman Keluarga Maven. Briella menutup jendela itu lalu duduk di sofa ruang tamu yang mewah. Jantungnya berdebar tak menentu. Di tangannya, sebuah ponsel yang telah berkali-kali dia pandangi. Dia menyesal dengan semua kata-katanya. Setelah dipikirkan ulang, rasanya terlalu kejam. Inilah akibatnya. Sejak tadi sore, Adrian belum juga pulang.Rosalie mendekat, wajahnya yang biasanya tenang kini tampak cemas. “Briella,” panggilnya lembut. “Apa kau sudah makan malam? Jangan sampai kau melewatkan makan hanya karena menunggu Adrian.”Briella tersenyum tipis, berusaha terlihat kuat. “Aku belum lapar, Mom. Tapi terima kasih sudah mengingatkan.”Rosalie duduk di sebelah Briella, tatapan matanya menyiratkan kegelisahan yang sama. “Adrian selalu pulang tepat
Briella menidurkan Fernandez di box kecilnya, memastikan selimut bayi itu menutupi tubuh gemuk balita berusia dua tahun itu dengan sempurna. Namun, kelelahan tidak mampu mengusir kegelisahan yang terus menghantuinya. Pikiran tentang Adrian yang belum juga pulang membuatnya tidak tenang. Hati kecilnya tahu ada sesuatu yang salah, dan perasaan itu semakin menguat.Dengan langkah pelan tapi pasti, Briella berjalan menyusuri lorong menuju kamar Hunter. Setibanya di sana, dia melihat Hunter berdiri di depan cermin, sudah rapi dengan pakaian semi-formal—kemeja abu-abu yang digulung hingga siku, celana panjang biru navy, dan sepatu kulit yang mengilap. Tampilan yang biasa dia kenakan saat pergi ke kelab malam.“Hunter, kau mau ke mana malam-malam begini?” Briella bertanya dengan nada khawatir, matanya memperhatikan setiap gerakan Hunter yang tampak terburu-buru.Hunter menoleh, sejenak terdiam sebelum menjawab, “Baru saja aku mendapat telepon dari manajer kelab langgananku. Dia bilang Adrian
Hunter memasuki mansion dengan langkah berat. Plester putih menempel di pipi kanannya, tanda perkelahian yang tak bisa dia sembunyikan. Briella, yang sedang bermain dengan Nandy di ruang tamu, segera menoleh saat mendengar suara pintu terbuka.“Hunter, akhirnya kau pulang! Apa yang terjadi?” Briella berdiri dengan cepat, menghampirinya. Tangan lembutnya dengan cepat meraba plester di pipi Hunter, wajahnya dipenuhi kekhawatiran. “Mana Adrian?”Hunter menarik napas dalam-dalam, matanya menyapu ruangan seolah mencari kata-kata yang tepat. “Adrian berada di rumah sakit. Kami berkelahi.”Briella terdiam. Dia sudah bisa menduga apa yang memicu perkelahian itu. Briella sadar seharusnya dia tidak meminta Hunter menjemput Adrian. Jika sudah seperti ini, pastinya dia merasa tidak enak pada Hunter yang menjadi korban.“Bagaimana keadaan Adrian?” tanya Briella cemas.Hunter memasang ekspresi yang lebih dramatis dari biasanya. “Aku menghajarnya cukup keras, Briella. Dia sempat pingsan. Mungkin ada
Dua minggu berlalu, tapi amarah Adrian terhadap Hunter belum padam. Telepon dari Hunter siang itu membuat perasaan Adrian bercampur antara dendam dan keingintahuan. Di ujung telepon, Hunter mengajaknya bertemu di sebuah restoran privat. Adrian setuju, dengan harapan bisa mengakhiri semua ketegangan yang selama ini merundung pikirannya.Di restoran, Hunter sudah menunggu di sebuah meja di sudut ruangan ketika Adrian tiba. Wajah Hunter terlihat lebih santai daripada yang Adrian duga, meskipun pipi yang masih sedikit memar menjadi pengingat perkelahian terakhir mereka.Adrian duduk tanpa banyak bicara, hanya menatap Hunter dengan pandangan tajam.Hunter tersenyum tipis, mencoba bersikap ramah. “Bagaimana keadaanmu, Adrian? Sudah sembuh, atau masih ada rasa sakit?”Adrian memicingkan matanya, suaranya dingin. “Kau tidak perlu basa-basi. Jika kau punya sesuatu untuk dikatakan, langsung saja.”Hunter menghela napas, lalu mengeluarkan sebuah amplop dari saku kemejanya. Dia menyerahkannya kep
Jason menarik lengan Briella dengan kasar, menyeretnya keluar dari mansion Adrian. Briella melawan, menendang, memukul, dan menjerit keras-keras, tetapi suara protesnya terbungkam ketika Jason membekap mulutnya dengan tangan. Ketakutan dan kemarahan bercampur dalam diri Briella membuatnya nekat menggigit telapak tangan Jason sekuat tenaga.“Aghh!” Jason menjerit kesakitan, merenggut tangannya dari gigitan Briella. Darah mengalir dari luka itu, tetapi Jason tidak menunjukkan belas kasihan sedikitpun. Sebaliknya, kemarahan di matanya semakin menyala. “Dasar pengkhianat!” caci Jason, menampar Briella dengan keras, membuat wajahnya terlempar ke samping.Briella jatuh tersungkur di tanah, dari bibirnya mengalir darah, tubuhnya gemetar menahan rasa sakit dan ketakutan. Anak buah Felix turun dari mobil van yang terparkir tidak jauh, membantu Jason menyeret Briella yang tak berdaya ke dalam mobil. Briella terus memberontak, tetapi kekuatannya tidak sebanding dengan mereka.Jason mengangkat ta
Fernandez yang berusia dua tahun berjalan dengan langkah kecilnya menuju Rosalie, yang tengah melukis di taman belakang. Tangannya yang mungil memegang boneka kesayangannya. Dengan suara cadel, dia bertanya, “Grandma, ke mana Mommy?”Rosalie tersentak dari konsentrasinya. Dia menatap cucunya dengan lembut, menyadari bahwa sudah cukup lama Briella tidak terlihat. “Mommy... Mommy sedang pergi berbelanja, Sayang,” jawabnya belum menyadari apa yang terjadi.Fernandez menatap Rosalie dengan mata besar yang polos, menunggu jawaban lebih lanjut. Namun, Rosalie melihat ke sekeliling dan segera menyadari bahwa Briella seharusnya sudah pulang sekarang. Dia meraih ponselnya dan mencoba menghubungi Briella, tapi suara dering dari dalam membuatnya semakin cemas. Dengan cepat, Rosalie berlari ke dalam bangunan mansion, menemukan ponsel Briella tergeletak di meja.“Ya Tuhan, kenapa ponsel Briella di sini?” Dengan tangan gemetar, dia menekan nomor Hunter. Setelah beberapa dering, suara Hunter yang kh
Ponsel Adrian berdering lagi. Rupanya Felix Jorell menghubunginya. Tanpa menunggu lama, Adrian langsung menjawab panggilan tersebut. Kepanikan dan kekhawatiran telah menggrogotinya. Dia tak ingin hal buruk menimpa Briella.“Datang ke Pelabuhan Sungai Enns. Sendirian. Kalau ingin Briella selamat,” ucap Felix dingin, dari seberang sana. Adrian mengepalkan tangan, menahan amarah. “Aku akan datang. Jangan sentuh dia.”Setelah menutup telepon, Adrian mengeluarkan pistol Glock 19 kaliber 9mm dari laci lalu menyelipkan di pinggang. Hunter melihatnya dengan khawatir.“Adrian, kau mau ke mana dengan senjata itu?” tanya Hunter tajam.“Pelabuhan Enns. Aku harus pergi sendirian. Briella dalam bahaya.” Adrian bersikeras.“Aku akan menemanimu,” jawab Hunter khawatir.“Jangan ikut,” larang Adrian. Setelah mengenakan jaket, dia berpamitan pada Rosalie dan mengecup kepala Fernandez. “Hunter, kau harus di sini menjaga Rosalie dan Nandy. Aku percayakan mereka padamu.”Hunter tidak bisa melarang, karena
Adrian terbangun perlahan dari kegelapan yang menenggelamkannya. Kepalanya terasa berat, seperti ada beban besar yang menindih. Suara-suara samar mulai terdengar di telinganya—suara mesin, bisikan lembut, dan langkah kaki yang pelan. Dia mencoba membuka matanya, tapi kelopak matanya terasa begitu berat.Butuh beberapa saat sebelum pandangannya mulai jernih. Cahaya lembut memenuhi ruangan di sekelilingnya. Bau antiseptik menyengat hidungnya, dan bunyi detak mesin medis terdengar berirama di sampingnya. Dia ada di rumah sakit.“Adrian....”Suara lembut dan penuh kasih sayang itu menyusup ke telinganya, membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Dia menoleh pelan dan melihat wajah yang begitu akrab. Rosalie, duduk di samping ranjang, menatapnya dengan mata penuh kekhawatiran.“Mom?” suara Adrian serak, hampir seperti bisikan. “Apa yang terjadi? Kenapa aku di sini?”Rosalie menunduk sedikit, berusaha menahan air mata yang tampak menggenang di matanya. Tangannya yang lembut menggenggam tanga