Briella meminta Signore Giuseppe untuk menunggu di sana bersama Nandy. Signore Giuseppe, yang sudah seperti ayah bagi Briella, duduk di kursi, tampak menikmati waktu bermain Fernandez.“Paman, tolong jaga Nandy sebentar. Aku mau menelepon Adrian dulu,” ucap Briella, sambil mengelus lembut kepala Nandy.“Tenang saja, Briella. Nandy sudah seperti cucuku sendiri,” jawab Signore Giuseppe dengan senyum penuh kasih, sambil menggoyang-goyangkan mainan mobil kecil di tangan Nandy.Briella keluar dari ruang tamu dan menuju kamar tidurnya. Dia mengambil ponselnya dari meja rias dan menekan nomor Adrian. Menunggu sambungan, dia merasa hatinya berdebar sedikit. Akhir-akhir ini, Adrian sering terjebak dalam pekerjaan yang menyita waktu.“Hallo, Adrian?” suara Briella terdengar cemas.“Ya, Briella,” suara Adrian di ujung telepon terdengar lelah tapi tetap hangat. “Jam berapa kau akan pulang?”“Tidak biasanya kau bertanya seperti ini. Padahal tadi sebelum berangkat kau sudah mengingatkanku pulang c
Briella melangkah masuk ke rumah dengan langkah berat. Hujan salju di luar turun yang menambah dingin di hatinya. Setelah pertemuan dengan Jason yang menuduh Adrian sebagai penyebab kebangkrutan mereka, Briella merasa penuh keraguan dan kesedihan.Di kamar mandi, Briella berdiri di bawah pancuran air hangat, berusaha membersihkan bukan hanya kotoran fisik tetapi juga kegundahan yang mengusik pikirannya. “Apakah Adrian benar-benar bertanggung jawab atas kebangkrutan Dad?”Setelah mandi, Briella mengenakan pakaian santai dan melangkah menuju ruang tamu. Di sana, Fernandez bermain dengan mainan barunya. Briella tersenyum lembut ketika melihat putranya yang lucu. Dia membungkuk dan mengangkat putranya dengan hati-hati. “Hai, sayang. Mommy pulang.”Fernandez berceloteh tidak jelas dan mulai merengut, tapi segera tersenyum ketika melihat ibunya. “Oh, kau sedang asik, ya?” Briella berkata sambil mengelus kepala Fernandez lembut. “Kau pasti lapar, atau mungkin hanya butuh perhatian Mommy.”Br
“Jadi mereka akan datang hari ini? Baiklah, pastikan kau mengirim pelayan yang bisa kerja.” Bertepatan dengan Jason menutup sambungan telepon dengan Briella, bel pintu rumahnya ditekan. Pria paru baya itu bergegas ke depan untuk membukanya.“Selamat pagi, apakah benar ini rumah Tuan Jason Moretti?” tanya pria muda berusia awal 20-an. Rambutnya sedikit berombak dan berwarna merah.“Kau pelayan yang dikirim Briella?” Jason mengamati perawakan pria muda itu, menelitinya dari ujung rambut hingga ujung kaki.“Benar, Tuan Jason. Nama saya Tom.” Pemuda itu mengulurkan tangan. “Dan ini Bibi Aileen,” ucap Tom memperkenalkan wanita berusia 50 tahunan dan berwajah sedikit murung yang membuntutinya di belakang.“Selamat pagi, Tuan.” Aileen memperkenalkan dirinya dengan raut takut-takut.“Kalian akan langsung bekerja hari ini. Aku ingin pelayan yang rajin dan sigap. Jika kalian bermalas-malasan, aku tak segan melaporkan pada putriku untuk memecat kalian dan mengganti dengan pelayan lain. Apa kalia
Tom dan Aileen diperbolehkan pulang pukul enam sore. Mereka berdua tidak segera pulang ke rumah masing-masing, tapi menjumpai Briella terlebih dahulu di mansion. Tentunya mereka harus melaporkan pada bos mereka tentang apa yang mereka dengar.“Terima kasih banyak sudah datang, Tom, Bibi Aileen,” ucap Briella lembut, dan berusaha untuk setenang mungkin. “Aku sudah menerima rekaman percakapan ayahku dengan rekannya. Ini benar-benar sangat membantu. Kalian layak mendapatkan bonus yang besar.”Tom dan Bibi Aileen merasa lega saat Briella menyerahkan amplop tebal berisi uang sebagai bonus kerja keras mereka. Namun, senyuman Briella tidak bisa menutupi kerisauan dan kegelisahan yang menggrogoti dirinya.“Terima kasih, Nyonya Briella,” kata Bibi Aileen sambil menerima amplop itu. “Kami hanya berharap informasi ini bisa membantu Tuan Adrian.”“Pasti akan membantu. Aku akan memastikan bahwa informasi ini sampai ke tangan yang tepat. Jika ada yang ingin kalian tambahkan, silakan beri tahu aku,”
Adrian berdiri mematung di depan pintu, menatap kosong ke arah ruang tamu. Cahaya matahari senja yang masuk melalui jendela besar membanjiri ruangan dengan kehangatan, tetapi tubuhnya terasa dingin. Pandangannya terpaku pada Briella yang tengah berpelukan erat dengan Hunter. Jantungnya terasa dihantam ribuan pukulan. Ada gemuruh amarah yang tak tertahan di dadanya, tetapi lebih dari itu, rasa cemburu yang tajam menusuk relung hatinya.Briella menoleh dan melihat Adrian. Seketika tubuhnya kaku. Namun, bukannya merenggangkan pelukannya, Briella justru membalas tatapan Adrian dengan dingin. Dia tahu apa yang dilihat Adrian, dan dia dengan cepat menyusun skenario dalam otaknya untuk membuat semua rencananya menjadi lebih mudah.Adrian melangkah mendekat, setiap langkahnya berat seolah terbelenggu oleh rasa sakit yang luar biasa. “Briella ... Hunter ...” suaranya terdengar serak, penuh rasa perih yang tak bisa disembunyikan. “Apa yang sedang kalian lakukan?”Briella menatap Adrian dengan m
Hunter menatap Briella dengan mata penuh kecemasan. Dia bisa merasakan getaran di tangan Briella yang digenggamnya erat-erat. Ruangan yang sebelumnya dipenuhi ketegangan kini terasa sunyi, seakan semua suara di dunia telah menghilang.“Aku tahu Adrian sangat marah dan terluka,” bisik Hunter, suaranya penuh perasaan. “Aku akan bicara dengannya nanti. Aku harus menjelaskan semuanya, Briella.”Briella menatap Hunter dengan tatapan yang tidak bisa ditebak. Ada sebersit kesedihan di matanya, tetapi lebih dari itu, ada sesuatu yang lebih gelap—sebuah niat yang disengaja, terencana.“Tidak,” jawab Briella pelan, suaranya nyaris bergetar. “Biarkan dia dengan kemarahannya. Biarkan dia merasakan sakit itu. Aku sengaja melakukan ini, Hunter.”Hunter terkejut. “Apa maksudmu?”“Aku ingin hatinya hancur, Hunter,” kata Briella sambil menarik napas panjang, berusaha menahan tangis yang mendesak di tenggorokannya. “Aku ingin dia terluka begitu dalam sehingga dia tidak akan pernah mencariku lagi. Aku t
Setelah diyakinkan oleh Rosalie, Briella membatalkan niatnya untuk pergi dari Vienna bersama Jason. Dia yakin Rosalie cukup cerdik menangani masalah ini. Briella tetap berada di mansion sampai malam tiba.Angin dingin masuk melalui jendela kediaman Keluarga Maven. Briella menutup jendela itu lalu duduk di sofa ruang tamu yang mewah. Jantungnya berdebar tak menentu. Di tangannya, sebuah ponsel yang telah berkali-kali dia pandangi. Dia menyesal dengan semua kata-katanya. Setelah dipikirkan ulang, rasanya terlalu kejam. Inilah akibatnya. Sejak tadi sore, Adrian belum juga pulang.Rosalie mendekat, wajahnya yang biasanya tenang kini tampak cemas. “Briella,” panggilnya lembut. “Apa kau sudah makan malam? Jangan sampai kau melewatkan makan hanya karena menunggu Adrian.”Briella tersenyum tipis, berusaha terlihat kuat. “Aku belum lapar, Mom. Tapi terima kasih sudah mengingatkan.”Rosalie duduk di sebelah Briella, tatapan matanya menyiratkan kegelisahan yang sama. “Adrian selalu pulang tepat
Briella menidurkan Fernandez di box kecilnya, memastikan selimut bayi itu menutupi tubuh gemuk balita berusia dua tahun itu dengan sempurna. Namun, kelelahan tidak mampu mengusir kegelisahan yang terus menghantuinya. Pikiran tentang Adrian yang belum juga pulang membuatnya tidak tenang. Hati kecilnya tahu ada sesuatu yang salah, dan perasaan itu semakin menguat.Dengan langkah pelan tapi pasti, Briella berjalan menyusuri lorong menuju kamar Hunter. Setibanya di sana, dia melihat Hunter berdiri di depan cermin, sudah rapi dengan pakaian semi-formal—kemeja abu-abu yang digulung hingga siku, celana panjang biru navy, dan sepatu kulit yang mengilap. Tampilan yang biasa dia kenakan saat pergi ke kelab malam.“Hunter, kau mau ke mana malam-malam begini?” Briella bertanya dengan nada khawatir, matanya memperhatikan setiap gerakan Hunter yang tampak terburu-buru.Hunter menoleh, sejenak terdiam sebelum menjawab, “Baru saja aku mendapat telepon dari manajer kelab langgananku. Dia bilang Adrian