"Maaf, aku tidak bermaksud untuk membentakmu." Lucian menatap Leanna yang terlihat terkejut. Namun, pria itu tidak mengurungkan niatnya awalnya. Dia dengan cepat melangkah mendekat ke arah koper itu.
Leanna mengikuti Lucian, menahan saat pria itu meraih resleting koper. "Paman, aku tidak ingin kau melihatnya. Ini bukan sesuatu yang pantas untuk paman lihat,” ucap Leanna menghalangi Lucian. Lucian menatap Leanna dengan intensitas,memberinya peringatan untuk tidak menganggunya. Wanita yang masih cantik walaupun tertutup lebam itu, menarik tangannya dengan ragu. Ekspresi wajahnya semakin pucat, pandangannya fokus untuk melihat seperti apa ekspresi yang akan dibuat oleh Lucian. "Apa ini? Bagaimana bisa benda seperti ini ada di dalam tasmu? Apa ini pantas untuk berada di sini?!" ucap Lucian dengan marah. Mata kecokeletan yang tajam milik Lucian beralih ke arah seorang pelayan yang sebelumnya membawa koper itu, "Panggil Kepala Pelayan sekarang juga!" Pelayan itu dengan takut melangkah masuk kembali ke dalam untuk memanggil kepala pelayan. Lucian mengalihkan pandangan ke arah Leanna yang saat ini tidak berani menatap Lucian dari Lucian. Leanna berbicara dengan nada rendah, "Paman, kau sudah melihatnya. Bukankah aku memalukan? Aku hanya memiliki barang-barang seperti itu dan semua orang menjadikanku bahan tertawaan saat pergi wisata." Lucian menarik tubuh Leanna ke dalam pelukannya. "Aku janji tidak akan ada yang akan menghina atau merendahkanmu lagi. Aku juga akan memberikanmu segala hal yang lebih baik dari yang kau terima " Lucian melepaskan pelukannya saat melihat Kepala Pelayan datang. "Kau tunggu di mobil sebentar, aku akan mengurus masalah ini." Leanna mengangkat wajahnya, memandang Lucian dengan ragu, tetapi saat melihat ekspresi tegas dari pamannya itu, Leanna hanya bisa berjalan ke arah mobil. Sebelum itu dia berhenti dan menoleh ke belakang. Wanita cantik itu menatap tanpa berkedip saat melihat Lucian melayangkan tinju pada seorang lelaki dewasa yang tidak lain adalah Kepala Pelayan. Sudut bibirnya terukir senyum, lalu dia dengan cepat masuk ke mobil.***
Kepala Pelayan yang diserang tiba-tiba itu menunjukkan keluhan, "Tuan Muda Gu, kenapa Anda menyerang saya secara tiba-tiba seperti ini?" "Kepala Pelayan, aku memintamu untuk mengemas barang milik Leanna, tetapi apa yang kau masukkan ke dalamnya? Pakaian kotor seperti ini?" "Ini adalah pakaian yang biasa digunakan oleh Nona Muda." "Kau masih berani memanggil Nona Muda, tapi kau tidak memperlakukannya selayaknya majikan? Dalam sekali pandang sudah jelas bahwa semua pakaian ini berkualitas rendah. Bahkan warnanya saja sudah luntur, kakakku tidak mungkin seburuk itu sampai tidak membelikan pakaian yang layak untuk putrinya sendiri!" Lucian menarik kerah Kepala Pelayan. "Tuan Muda Gu, Anda tidak mengerti, sejak penyakit kejiwaan Nyonya Lucy kambuh, Nyonya memang keras pada Nona Muda dan tidak pernah membelikan pakaian mahal untuk--" "Jangan banyak alasan! Pakaian lusuh ini seharusnya masih bagus, tapi kalian mencuci dengan sembarangan dan pakaian-pakaian lain juga sengaja di rusak. Kau masih ingin menyalahkan kejiwaan kakakku sebagai penyebabnya!" Lucian kembali melayangkan pukulannya. "Mulai sekarang, kau dan semua pelayan dipecat!" Kepala Pelayan justru menunjukkan senyuman mengejek. "Tuan Muda Gu, apa hakmu memecat kami? Tidak ada yang dapat mengusir kami selain Nyonya Lucy dan Nyonya Besar." "Aku akan bicarakan ini pada tetua. Lihat saja, setelah semua terungkap, kau tidak akan bisa lagi membuat alasan!" Lucian menjauhkan tubuhnya, dia memberikan peringatan untuk terakhir kalinya hari ini. Lucian melangkah meninggalkan kedua orang itu, tanpa menyadari seorang pelayan berbisik ke arah Dia melangkah menuju ke mobil lalu segera masuk ke dalam. "Kita pergi dari sini sekarang juga!" ucap Lucian pada supirnya. Lucian mengalihkan pandangan ke arah Leanna. Melihat gadis muda ini hanya diam sepanjang waktu membuatnya ragu untuk bertanya. Leanna menyadari lirikan Lucian. "Apa paman ingin bertanya bagaimana aku diperlakukan di rumah?" Tanya Leanna menebak apa yang ingin dibicarakan oleh Lucian. "Bagaimana kau tahu?" Lucian mengerutkan kening. "Itu terlihat jelas dalam situasi seperti ini, tetapi, apa paman akan percaya dengan apa yang aku katakan? Semua orang bahkan tidak mempercayaimu. Mereka hanya berpikir bahwa aku mencoba untuk mencemarkan nama baik orang lain. Kakek bahkan berkata begitu." Leanna hanya menunjukkan ekspresi datar. "Kakek? Apa maksudmu papaku?" Leanna mengangguk. "Leanna, aku berbeda dengan Papaku. Aku akan selalu percaya dengan perkataanmu. Jadi, ceritakan padaku apa yang ingin kau katakan pada orang lain," ucap Lucian mencoba untuk membuka hati Leanna. Dia tidak bisa membayangkan seberapa menderitanya gadis mungil yang dulu ceria berakhir seperti ini tanpa ada orang yang dapat membantunya. "Dan juga, papaku tidak sepenuhnya tidak mempercayaimu, buktinya dia mengirimiku untuk membawamu." Leanna membuka bibirnya hendak mengatakan sesuatu, tetapi suara panggilan telepon di ponsel Lucian menghentikannya. "Tunggu sebentar. Aku harus menjawab telepon." Lucian mengambil ponselnya. "Hallo, Papa tenang saja, saat ini Leanna sudah aman bersamaku dan aku akan tinggal bersamanya mulai sekarang." "Tidak! Kalian tidak bisa tinggal bersama. Bawa saja Leanna ke kediaman. Biarkan ibumu yang merawatnya!" Lucian melirik kearah Leanna yang menatapnya dengan matanya yang sedu. "Papa, apa Papa tidak mempercayai aku bisa merawatnya dengan baik? Lagipula kondisi mental Leanna saat ini juga masih belum sepenuhnya stabil." "Apa aku bisa percaya padamu saat melihat kebiasaan buruk mu itu dan juga kau hanya akan membuat orang lain salah paham. Kau hanya akan memberikan dampak buruk bagi Leanna." Lucian merenung sejenak. Leanna tiba-tiba saja menyandarkan kepala di bahu Lucian, tangannya melingkar di lengan pria itu. "Paman, ada apa?" Lucian menggelengkan kepalanya. Dia Kembali melanjutkan pembicaraan di telepon. "Papa, aku akan merubah kebiasaanku selama Leanna ada di kediamanku dan bertindak hati-hati, jadi biarkan aku merawatnya. " "Terserah kau saja. Namun, pastikan untuk menjamin bahwa kau tidak akan tergoda oleh keponakanmu." Lucian justru tertawa kecil. "Papa, aku tidak akan mungkin menyentuh keponakanku. Dia seperti seorang bayi yang aku besarkan." "Baguslah, jaga janjimu itu!" Panggilan berakhir. Leanna tidak terlalu mendengar apa yang mereka bicarakan di telepon, tetapi kalimat terakhir yang diucapkan oleh Lucian membuat sesuatu yang memberontak di dalam hatinya menimbulkan rasa sakit. Dia tidak menyukai pandangan menjadi bayi. "Paman, aku bukan bayi lagi, tapi aku telah menjadi dewasa." Lucian terkejut dengan perkataan tiba-tiba yang terlontar dari bibir Leanna. "Ya, aku tahu itu. Namun, kau akan tetap menjadi gadis kecil kesayanganku!" "Aku tidak mau hanya menjadi gadis kecil! Paman Lucian, kau tidak bisa menganggap pengantinmu seperti itu!" "Pengantin?" Lucian mengerutkan kening. "Paman, apa kau lupa janji yang kita buat saat aku masih kecil? Kau juga membuat janji hari ini. Apa Paman akan melanggarnya?" Leanna semakin mendekatkan wajahnya ke wajah Lucian. Lucian menelan ludah melihat wajah cantik dari jarak dekat, pandangannya tanpa sadar terarah pada bibir merah yang hampir menyentuh bibirnya hanya dalam sekali gerakan.Lucian mendorong keponakannya sebelum sesuatu yang lebih buruk terjadi. "Leanna, kau menganggap dirimu sudah dewasa, bukan?" Wajah Leanna yang awalnya suram berubah cerah. "Ya. Paman. Apa kau sudah melihatku sebagai gadis dewasa? Jadi, ayo kita--" "Jika kau adalah gadis dewasa maka kau harus tahu batasannya! Leanna, kau adalah keponakanku, tidak mungkin bagi kita untuk bersama!" "Tapi, kita tidak punya hubungan darah!" "Ya, tapi itu semua tidak mengubah kenyataan bahwa kau tetaplah bagian dari keluarga Gu. Leanna, jika keinginanmu untuk menikah denganku hanya karena ingin tinggal bersamaku dan mendapatkan perlindungan seperti saat kau masih kecil, selama aku jadi pamanmu kita bisa melakukannya. Kau mengerti sekarang?" Lucian memberikan penekanan yang tegas. Leanna tidak mengatakan apapun untuk menanggapinya dan memilih kembali ke tempat duduk. Pandangannya menatap ke arah luar kaca mengubur dalam keramaian jalanan yang sibuk. . Lucian merasa bersalah padanya, tetapi dia tida
Wajah tampan Lucian hanya menujukkan ekspresi datar, matanya begitu tajam menatap wanita yang berusaha mempermalukannya itu. "Apa yang ingin kau beritahu pada keponakanku? Kau ingin mengarang cerita seperti kau melakukannya pada para pria yang menjadi targetmu?" "Lucian, kali ini aku serius bahwa aku--" ucapan wanita itu tiba-tiba terpotong karena sebuah suara. "Aku benar-benar hamil anakmu, Tuan Liam. Aku sungguh-sungguh. Jika perlu kita lakukan tes!" Suara rekaman yang sama persis seperti wanita itu terdengar dari speaker ponsel milik Lucian. "Bagaiman kau bisa...." Wanita itu tidak bisa menahan keterkejutannya. Seringai terukir di bibir Lucian. " Kau pasti tidak menyangka aku mendapatkan rekaman saat kau mengatakan hal yang sama pada Tuan Muda lain untuk menipunya agar mendapatkan uangnya?" "Lucian, kau salah paham. Kali ini, aku benar-benar...." "Cukup! Aku bukanlah orang yang bisa kau tipu dengan mudah. Lebih baik kau pergi atau aku bisa saja menanggung hukuman." Wan
Seorang wanita yang menggenakan jubah tidur memeluk tubuh Lucian dari belakang. "Sayang, kenapa kau akan pergi? Kita bahkan baru saja mulai." Lucian menepis tangan itu dengan kasar bahkan mendorong wanita itu menjauh. "Aku sedang tidak memiliki mood untuk melanjutkannya." "Kenapa? Apa kau memiliki wanita baru? Siapa wanita yang dapat memuaskanmu lebih dari--" Lucian dengan marah mencengkeram dagu wanita itu. "Diamlah! Apa aku perlu membungkam mulutmu dan membuatmu tidak bisa bicara lagi untuk selamanya?" Wanita itu menatap dengan takut. Lucian melepaskan wanitanya itu dan melemparkan uang. "Mulai seterusnya, aku tidak akan melakukannya denganmu. Jangan muncul lagi di hadapanku!" "Maafkan aku, Tuan Muda. Aku salah." Wanita itu berlutut dan memegang kaki Lucian. Namun, Lucian justru menendangnya. "Jangan merengek! Aku benci wanita melakukan itu." Lucian meninggalkan wanita itu begitu saja. Pria tampan dengan perawakan tinggi melangkahkan kaki masuk ke mobil, melaju ke sebuah
Leanna menunggu apa yang akan terjadi. Jantungnya berdebar dengan kencang, tangannya mengenggam kain sprei dengan erat. Matanya terpejam dengan sudut mata yang sedikit bergetar. Dia sangat gugup dan takut, tapi ini adalah cara untuk menjadi milik Lucian.Beberapa detik berlalu, Leanna mengerutkan keningnya karena tidak merasakan apapun. Leanna perlahan membuka menatap ke arah Lucian. "Paman, kenapa paman tidak….?" Lucian menarik tubuhnya menjauhkan diri dari Leanna. "Tidurlah. Aku tidak akan melakukan hal yang seperti ini lagi." "Tidak! Paman, aku ingin kau melanjutkannya?" Leanna meraih tangan Lucian dengan erat sebelum pria itu pergi. "Kau ketakutan. Aku menyadari jika kau hanya melakukan tindakan kekanakan, tetapi bukan ini yang kau inginkan, bukan? Lain kali jangan lakukan lagi." Lucian melepaskan tangan itu dengan lembut. "Paman, aku tidak takut. Sungguh, kau bisa--" "Jangan katakan itu Leanna. Kau adalah keponakanku yang berharga. Aku ingin menghancurkanmu!" Lucian
Jika itu wanita lain, Lucian akan menariknya, mencium seluruh tubuhnya yang indah. Namun, ini keponakannya. Paman macam apa yang akan menodai tubuh keponakannya sendiri? Dia harus tetap tenang. Lucian menatap keponakannya dengan ekspresi datar untuk menyembunyikan hasrat yang bergejolak. Dia melepaskan kancing kemeja dengan tenang. Leanna tiba-tiba saja memeluk Lucian yang membuat pria itu terkejut. "Ini memalukan." ucap Leanna. Lucian melepaskan pelukan Leanna dengan paksa. "Sekarang kau merasa malu setelah memintaku melepaskan pakaianmu? Leanna, kau sudah tahu bahwa kau adalah wanita sekarang, kan? Jangan lagi memintaku melakukannya." "Tapi, Paman. Aku sungguh kesulitan. Meskipun ini memalukan, tetapi aku hanya bisa bergantung pada Paman. Aku tidak bisa membasuh tubuhku sendirian. Lagipula, Paman juga pernah membasuh tubuhku ketika aku demam. Jadi, aku akan berpikir hal yang sama." "Itu tidak sama, Leanna!" Lucian menekan nada suaranya. Lucian memandang lurus ke arah Leanna.
"Jangan beritahu Pamanku, aku ingin memberikan kejutan padanya," ucap Leanna pada resepsionis yang telah memberitahunya lokasi ruangan Lucian. "Tapi, Nona, bisakah Anda menunggu sebentar? Tuan sedang sibuk," ucap Resepsionis itu dengan gugup. "Tidak apa-apa. Aku tidak akan menganggu." "Tapi--" Leanna menyadari keanehan. "Kenapa? Apa ada sesuatu yang terjadi dan Paman coba sembunyikan dariku?" "Tidak, Nona. Hanya saja--" "Kalau begitu tidak masalah jika aku langsung datang, kan?" Leanna langsung melangkah menuju ke dalam Lift. Dia memandang pintu lift dengan resah. Feelingnya mengatakan ada sesuatu yang sebenarnya tidak diinginkan olehnya. Ketika Leanna tiba di depan ruangan, seorang wanita keluar, bibir di lipstiknya berantakan begitu juga dengan rambutnya. Tangannya mengepal dengan erat. Dia tidak ingin memikirkan hal yang akan menyakiti hatinya. Wanita itu tersenyum pada Leanna, tetapi tatapan matanya menunjukkan perasan jengkel. "Apa kau keponakan CEO Gu? Kau seharusn
Lucian menahan lengan Leanna. "Apa yang kau bicarakan? Kau bukan penghalang bagiku. Aku hanya ingin yang terbaik untukmu. Leanna, aku tahu kau ingin bersamaku, tetapi kau juga harus memiliki sesuatu untuk menunjang masa depanmu." "Bukankah ada Paman yang dapat menunjang masa depanku? Atau suatu saat paman akan meninggalkanku sendirian?" Lucian menghela nafas. "Kita tidak tahu bagaimana takdir akan berjalan, kan? Saat ini mungkin aku masih bisa melindungimu, tetapi aku memiliki usia yang lebih tua darimu. Suatu saat aku akan pergi dan--" Leanna langsung memeluk Lucian. "Tolong jangan. Aku tidak akan sanggup tanpa Paman. Aku tidak ingin Paman pergi meninggalkanku. Aku akan menyusul Paman kemanapun itu." Lucian memeluk Leanna. "Kenapa kau begitu keras kepala. Baiklah, aku bisa memberimu pekerjaan yang kau inginkan. Datanglah ketika kau menginginkannya. Kau akan membantuku mengatur dokumen.” Lucian melepaskan pelukannya, mengusap lembut pipi Leanna. “Jangan sedih lagi, aku juga tidak a
"Aku tidak ingat memilih pakaian seperti ini." Lucian memperhatikan penampilan Leanna. Dress tanpa lengan warna gelap yang tipis dan terlalu rendah dibagian lehernya, dan panjang gaun yang lebih pendek mengekspos kaki putih Leanna yang jenjang. Lucian menelan ludah. "Pakaian ini, kau hanya boleh gunakan saat tidur." Leanna mengangguk dengan polos. "Ya, paman." "Ganti pakaianmu. Aku akan menunggu di luar. " Baru beberapa langkah Lucian keluar, Leanna kembali keluar masih dengan pakaian tadi. "Kenapa kau belum menggantinya?" "Paman, aku tidak bisa melepaskan resleting. Sepertinya tersangkut. Bisakah Paman membantuku?" ucap Leanna dengan semu merah. Lucian dengan ragu masuk ke ruang ganti. "Berbaliklah!" Leanna berbalik dan menatap cermin di depannya. Lucian agar tetap tenang, sementara tangan-tangannya bergerak dengan cepat menarik resleting itu. Dia segera mengalihkan setelah membantunya dan berjalan keluar dari ruang ganti, mencoba untuk menyembunyikan keinginan yang tida
Leanna hanya tersenyum, tetapi justru membuatnya terlihat semakin menyedihkan. “Tidak, lupakan saja. Aku tahu jika hal itu tidak akan terjadi.” Leanna semakin mempererat genggaman tangannya pada Lucian. Matanya perlahan mulai terpejam. Lucian memiringkan tubuhnya, dia menatap lebih dekat pada seorang gadis muda yang mulai tertidur. “Leanna, apa yang sebenarnya sedang kau pikirkan?” Lucian menghela nafas, dia tidak tahu seberapa banyak luka yang disembunyikan oleh gadis yang terlihat rapuh ini. Lucian teringat tentang pembicaraan mereka tadi, dia merasa sedikit senang karena Leanna mau terbuka sedikit tetang masa kecilnya. Lucian mulai mengerti, dia seharusnya menjadi lebih lembut dan perhatian padanya mungkin sedikit demi sedikit, Lucian bisa lebih mengenal Leanna lebih dalam dan dapat mengerti tentangnya. Lucian memandang Leanna, dia tiba-tiba memikirkan sesuatu. *** Leanna perlahan membuka matanya, dengan setengah kesadaran dia dapat mendengar suara lembut yang berbicara p
“Bagaimana dia bisa hilang? Aku memintamu untuk menjaganya, kan? Saat ini dia sedang sakit, bagaimana jika sesuatu yang buruk terjadi padanya? Apa kau akan bertanggung jawab?!” Lucian tidak bisa menahan amarah dan perasaan khawatir yang menyelimutinya. “Maafkan saya, Tuan. “ “Apa gunanya minta maaf? Temukan dia secepatnya!” ucap Lucian memberikan perintah “Ya, Tuan. Saat ini saya sedang mencarinya di sekitar lingkungan apartemen.” Lucian mengakhiri panggilan. Dia memijat kepalanya yang mendadak sakit. Lucian teringat dengan perdebatan dengan Leanna beberapa jam lalu saat gadis itu hendak pergi meninggalkan rumah. “Seharusnya aku tidak memaksanya. Ini semua saran bodoh dari wanita itu!” Lucian menyesalinya. Nada dering khusus berbunyi dari ponselnya. Tanpa melihat nama yang tertera di layarnya, Lucian sudah tahu siapa yang menelepon. “Hallo, jika ini tentang pekerjaan, kau bisa hubungi aku nanti—“ “Tunggu, Tuan Lucian! Anda harus kembali ke kantor sekarang juga. Jika tid
"Kau siapa?" Leanna yang baru saja terbangun memandang ke arah seseorang yang membawa mangkuk. "Di mana paman Lucian?" "Maaf saya lupa memperkenalkan diri. Saya Rina, pengurus rumah yang baru. Nona, silahkan makan bubur ini!" Wanita bernama Rara itu memberikan semangkuk bubur padanya. Leanna tidak langsung menerima mangkuk itu. "Kau belum menjawab pertanyaanku. Di mana paman?" "Tuan Lucian berada di kantornya. Tuan juga memberi pesan jika tuan tidak akan pulang malam ini dan meminta saya tinggal untuk merawat Nona." Rara memberikan jawaban. Leanna membalikkan tubuhnya, tidur dengan memunggungi pelayan baru itu. "Aku tidak ingin makan jika tidak ada paman." "Nona, Anda sedang sakit sekarang, tidak apa-apa jika Anda hanya makan satu suap, jika anda tidak makan, bagaimana anda bisa minum obat dan cepat pulih? Anda sudah lama menahan lapar bukan?" Leanna tidak mengatakan apapun. "Nona, ini hari pertama saya bekerja. Jika Tuan menemukan saya tidak bisa merawat Nona dengan
Lucian menghentikan langkahnya. Dia menoleh ke arah wanita itu. "Apa yang ingin kau katakan?" "Lucian, keponakanmu itu....bisakah kau melepaskannya sendirian di lingkungan baru yang jauh dari negara ini? Itu yang harus kau lakukan jika ingin membuatnya punya keinginan untuk kembali normal," ucap wanita itu dengan ragu. "Omong kosong macam apa yang kau katakan? Tidakkah kau melihat bagaimana dia membutuhkanku dan kau menyarankan aku untuk meninggalkannya? Sebagai seorang psikiater, kau seharusnya lebih tahu seberapa rapuh mentalnya." Lucian menolak ide itu. "Dan juga apa maksudnya dengan kembali normal? Apa kau mengatakan jika keponakanku tidak normal?" Lucian biasanya tidak banyak bicara, tetapi berbeda jika itu berkaitan dengan keponakan kesayangannya. Wanita itu menghela nafas. "Aku tahu, tapi setelah aku mengingat sikap keponakanmu itu dan membandingkan dengan kasus lain, dia tidak ada keinginan untuk melepas traumanya agar mendapatkan perhatian. Tuan Lucian, jika kau tida
Leanna memejamkan matanya, tangannya memegang kepalanya. “Paman, aku merasa pusing.” Lucian melingkarkan lengannya di bahu Leanna, menangkap tubuh ramping yang hamper jatuh, matanya menatap dengan khawatir. “Apa kau masih bisa berdiri? Aku akan membawamu ke rumah sakit.” Leanna menggeleng. “Aku hanya terlalu lelah, bisakah kita pulang sekarang?” Lucian menggendong tubuh Leanna. Pria yang sebelumnya berdebat dengan Leanna, mencoba menghalangi langkah Lucian. “Apa kau sungguh akan pergi begitu saja? Kau sungguh tidak penasaran rahasia…” Lucian memotong ucapan pria itu. Matanya tajam memberikan peringatan. “Minggir! Aku berharap kau tidak muncul di hadapan Leanna lagi!” Lucian melangkah melewatinya. *** Di dalam mobil, Leanna menyandarkan kepalanya di kursi mobil tanpa mengatakan apapun. Keheningan yang cukup lama membuat Lucian meliriknya diam-diam. “Apa kau masih merasa pusing? Aku akan memanggil dokter—“ “Aku sudah merasa lebih baik. Paman, jangan membahas dokter atau ru
Lucian membiarkan Leanna berteriak ataupun menukulnya. Dia tidak terpengaruh dan tetep menggendongnya masuk ke dalam. "Paman, aku tidak gila! Aku tidak ingin masuk ke sana. Aku tidak mau!" Leanna menangis seperti anak kecil. "Leanna, aku tahu kau tidak gila. Namun, kita harus tetap bertemu dengannya." "Tidak! Aku takut! Mereka tidak akan melepaskanku. Aku tidak mau!" Nada suara Leanna semakin rendah, tatapan matanya kosong. "Aku tidak ingin merasakan rasa sakit, sangat menyakitkankan." "Leanna, tidak ada yang akan menyakitimu. Tolong tenanglah!" Leanna menanggapi dengan suara gemetar "Dia juga mengatakan itu, tapi akhirnya aku kesakitan. Orang-orang itu akan...." Ada jeda sejenak, Leanna menatap Lucian dengan tatapan mata yang rumit. "Paman, apa kau juga akan melakukan hal yang sama. Aku janji tidak akan jadi anak nakal. Jangan bawa aku!" tangisan Leanna semakin keras. Wajahnya juga semakin pucat. Beberapa orang memperhatikan mereka, tetapi tidak terlalu peduli. Lucian m
Lucian mundur selangkah, menghindari Ariana dengan ekspresi jijik. "Ariana, kau benar-benar tidak punya rasa malu," ucapnya dingin. Ariana tersenyum, "CEO Gu, tidak perlu berpura-pura. Kau menyukai setiap aku melayanimu, kan? Jika kau masih mempekerjakanku, aku akan melayanimu lebih dari ini." Ariana semakin mendekat. Lucian dengan cepat menghindar. Dia mengambil ponselnya. "Kalian masuk ke ruanganku!" Ariana menarik dasi Lucian dan berusaha untuk membuka kancing kemejanya. Dia justru menemukan tanda merah di lehernya. "Jadi, inikah alasanmu membuangku karena sudah ada yang baru? Apa dia lebih baik dariku? Tuan Lucian, aku begitu mencintaimu," Lucian mendorong wanita yang bertingkah gila itu. Tidak lama, 3 orang pria datang. Lucian langsung memberikan perintah. "Ambil wanita ini, dia akan melayani kalian bertiga. Kalian pasti akan puas dengannya." Ariana mulai panik saat melihat 3 pria dengan wajah tidak terlalu tampan. "Apa? Tuan Lucian, Anda tidak akan setega itu pada s
"Kau telah melewati batas. Aku tidak dapat memberikanmu kemurahan hati lagi." Ariana gemetar, mencoba untuk membujuk, "CEO Gu, aku berjanji tidak akan melakukan ini lagi. Jika kau mau, aku akan berlutut di kaki keponakan Anda." Leanna memeluk Lucian dengan erat, Menguburkan wajahnya dalam pelukan pria tampan yang memiliki aroma nyaman ini. Tubuh Leanna gemetar. "Paman, aku tidak ingin dia mendekat. Aku takut dipukuli lagi." Lucian merangkul Leanna dengan lebih erat. "Tidak akan ada yang bisa menyakitimu selama aku di sini." Lucian mencium rambut Leanna dengan lembut. Pria itu beralih ke arah Ariana. "Kembali ke kantor. Aku akan memberikan hukuman yang sesuai untukmu." "CEO Gu, saya--" "Apa kau masih ingin melawanku?" ucap Lucian. Ariana menatap Leanna tajam. Dia mengambil tasnya dan langsung pergi begitu saja. "Leanna, ayo kita pulang. Kau tidak perlu bekerja di restoran ini lagi." Lucian menatap tajam ke arah Supervisor yang hendak mengatakan sesuatu. "Cari saja
Lucian tiba-tiba menangkap tangan Leanna dan menepisnya dengan kasar. “Leanna, kau...." Lucian akhirnya menatap mata Leanna. Kata yang sebelumnya keluar dari bibirnya tidak lagi dia teruskan. "Paman?" Lucian dengan terburu-buru meninggalkan ruang makan tanpa mengatakan apapun. Leanna melihat jas yang tergantung di kursi. Dia menggunakan cara ini untuk mengejar Lucian. "Paman, kau melupakan jasmu. " Leanna berlari dengan cepat. Lucian menghentikan langkahnya. Menunggu sampai Leanna berdiri di dekatnya. Bukannya mengulurkan jas itu, Leanna justru berdiri terlalu dekat. "Leanna?" "Paman, aku akan memakaikan jasmu." Posisi tangan Leanna seperti sedang memeluk Lucian. Pria tampan itu mengambil alih jasnya dan mendorong Leanna dengan pelan. "Aku bisa melakukannya sendiri." Lucian membalikkan tubuhnya. Sebelumnya salah satu kakinya melangkah, pria itu berbicara sesuatu dengan nada dingin dan tegas. "Leanna, kau adalah keponakanku!" Leanna mengerutkan keningnya. Dia masih