"Paman, menikahlah denganku!"
Gadis kecil berusia 10 tahun bersuara keras, , mata bulat bersinar menatap serius pada seorang pria, "Kita pasti akan menjadi sepasang pengantin yang sempurna." Senyum manis bahagia terukir di bibir mungilnya. Pria tampan berusia 20 tahun itu terdiam sejenak, senyum simpul terukir dibibirnya yang tebal.. "Leanna, kau sudah mengatakan ini puluhan kali padaku. Apa kau begitu menyukaiku?" Pandangannya terarah pada gadis kecil yang baru sajamengatakan ha yang tidak masuk akal. "Aku sangat menyukai paman Lucian. Ayo kita menikah sekarang juga dan aku akan tinggal bersama dengan paman selamanya," jawab gadis kecil yang bernama Leanna. Tangan mungil itu menarik tangan besar dan kekar milik pria yang dia panggil paman Lucian. “Leanna, dengarkan aku! Aku tidak bisa menikah denganmu!” tegas Lucian. "Apa itu artinya aku ditolak?" Ekspresi bahagia yang awalnya cerah menjadi muram. Semburat senyum lembut dalam sekejab lenyap digatikan dengan kekecewaan. “Apa paman tidak menyukaiku?” Air mata perlahan mengalir membasahi pipinya. Lucian mengusap rambut Leanna dengan lembut. “ Leanna, jangan menangis. Kau masih terlalu kecil untuk memikirkan tentang pernikahan. Suatu hari, kau akan menemukan pasangan lain yang lebih baik.” Leanna mengenggam lengan Lucian dengan lebih erat. “Aku tidak mau yang lain, aku hanya ingin bersama paman Lucian. Paman, tolong bawa aku bersamamu. Aku tidak ingin kau meninggalkanku sendirian.” "Leanna!" Seorang Wanita memanggilnya dengan tegas. Rengekan gadis itu langsung berhenti. Gadis itu langsung bersembunyi di balik punggung Lucian saat seorang wanita dewasa menghampirinya. Wanita itu adalah Nyonya Lucy- Mama Leanna. Tangan Leanna ditarik paksa, mendekat pada Nyonya Lucy. "Maafkan anak ini telah banyak menganggumu." "Tidak apa-apa, kak, Leanna tidak mengangguku.” “Bukankah kau harus pergi sekarang? Jika tidak kau mungkin akan tertinggal pesawat.” “Baiklah. Aku akan pergi. Leanna, aku akan datang menemuimu lagi.” Lucian melangah menjauh dari pandangan Leanna. Leanna menatap satu-satunya cahaya harapannya yang semakin lama semakin buram. “Paman Lucian!” Teriaknya dengan putus asa. Tubuhnya bergerak hendak mengejar Lucian, tetapi tangannya ditarik paksa masuk ke dalam rumah. Nyonya Lucy menatap Leanna dengan ekspresi wajah yang membuat Leanna tidak berani untuk melawan. Apakah tidak ada harapan baginya untuk terlepas dari kehidupan yang menakutkan ini? *** 12 tahun kemudian, Seorang gadis muda duduk dilantai dengan wajah tertunduk. Tubuh kurus seorang gadis berusia 22 tahun gemetar. Kondisi gadis itu membuat siapapun yang melihat akan merasa miris. Kulit putih dipenuhi dengan lebam berwarna biru keunguan. Gadis yang tidak lain aalah Leanna dewasa, merasakan seseorang yang mengamatinya, tetapi dia terlalu takut untuk melihat mereka. Kepalanya tertunduk. "Apa yang akan terjadi padaku setelah ini? Hal apa yang akan mereka lakukan." gumahnya dengan suara yang begitu pelan. Pikiran Leanna dipenuhi dengan hal-hal negatif yang membuatnya semakin takut. Leanna menutup telinganya, tidak ingin mendengar apapun pembicaraan Namun, dia tidak bisa sepenuhnya menghalangi suara seorang pria yang terdengar akrab, tapi nada bicaranya yang tinggi tidak mungkin itu milik pria yang selama ini ditunggu olehnya. "Apa dia benar-benar sampai sejauh itu, bahkan ingin membunuh anaknya sendiri?" Suara seorang pria dengan nada tinggi. "Ya. Anda tahu kondisi Nyonya Lucy, kan? Dia memilki depresi yang parah dan semakin buruk setelah Tuan Roy meninggal.” Leanna mengenali suara itu sebagai suara kepala pelayan. "Lalu, apa yang kalian lakukan selama ini? Kalian telah berada di rumah ini selama bertahun-tahun dan mengetahui jika seorang gadis kecil telah dianiaya, tetapi kalian hanya diam melihatnya menderita?!" Siapa sebenarnya pria itu? Kenapa dia teengar seperti berada di pihak Leanna? Apa pria itu adalah Paman Luciannya? Leanna ingin mengangkat wajahnya, tapi dia terlalu takut jika pria itu bukanlah dia. "Maafkan kami, Tuan Muda. Anda tahu bahwa kami--" "Cukup! Aku tidak ingin mendengar pembelaan. Kemasi barang Leanna, dia akan berada dalam perawatanku sampai Kak Sisi selesai dengan pemulihannya. Tinggalkan aku sendiri bersama Leanna!" Suara langkah kaki terdengar memecah keheningan. Seorang pria melangkah mendekat dan berdiri di depan Leanna. Leanna Han merasakan sentuhan di atas kepalanya. Secara refleks, tubuhnya bergerak menarik diri menjauh. "Jangan takut! Apa kau tidak mengenaliku? Kita pernah bertemu sebelumnya." Suara pria yang sebelumnya menggunakan nada tinggi, berubah menjadi begitu lembut dan menenangkan. Suaranya seperti seorang pria yang selama ini tersimpan dalam ingatan kenangan indah alam hidupnya. Leanna yang awalnya menenggelamkan wajahnya disela-sela kaki, mulai mengangkat wajahnya. Mata yang menatap kosong itu menatap pria di depannya-Lucian Gu. Meskipun penampilan pria ini terlihat berubah, fitur wajahnya semakin dewasa dan tampan. Namun, mata yang menatapnya dengan kelembutan yang masih sama. Ada banyak hal yang ingin Leanna katakan, sayangnya tidak ada satupun kata yang keluar dari bibirnya. Lucian kembali bicara, "Apa kau telah melupakanku? “ Espresinya menunjukkan kekecewaaan. Lucian mencoba membuat Leanna mengingatnya. “Saat kecil kau selalu berada di sekitarku dan berteriak ingin menikah denganku." "Paman Lucian?" Leanna memanggilnya dengan ragu, tetapi tubuhnya sudah bergerak untuk memeluknya, merasa kehangatan yang selama ini dirindukannya. Leanna memeluk Lucian dengan begitu erat dan menangis dengan putus asa. Pelukannya dibalas dengan erat juga. Jari-jarinya menepuk pelan punggungnya. "Maaf, aku baru menemuimu sekarang." Leanna tidak mengatakan apapun, dia hanya bisa menangis. "Paman, jangan tinggalkan aku lagi. Hanya paman satu-satunya yang aku miliki." "Aku tidak akan meninggalkanmu, aku janji. Mulai sekarang kau akan tinggal denganku dan berada dalam perawatanku." Lucian hendak melepas pelukannya, tetapi cengkeraman tangannya begitu erat dan sulit untuk dilepaskan. "Paman, kita akan bersama selamanya, kan?" ucap Leanna meminta kepastian. "Tentu, saja. Jangan khawatirkan tentang itu." "Paman berjanji tidak akan ada yang memisahkan kita, kan?" Gadis kecil yang telah tumbuh dewasa itu melepaskan pelukannya dan mengulurkan kelingking. "Janji, kan?" Lucian tanpa ragu mengulurkan jari kelingkingnya. Mereka membuat janji satu sama lain. "Aku janji akan selalu bersamamu." Senyum cerah terukir menggantikan kesedihan yang ditunjukkan Leanna. "Paman, aku tidak akan pernah melepaskanmu." Leanna mengatakan dengan nada yang terdengar posesif. Lucian hanya tersenyum. Leanna tahu jika Lucian tidak menanggapi ucapannya dengan seius, tetapi Leanna masih bertekat mengubah cara pandang Lucian padanya. Bagaimanapun, mereka tidak memiliki hubungan darah, masih ada peluang bagi Leanna untuk mendapatkan pria ini. Leanna kembali memeluk Lucian kali ini lebih erat dari biasa. Lucian melepaskan pelukannya dengan tidak nyaman. "Leanna, ayo berdiri! Pelayan itu pasti sudah selesai menyiapkan pakaianmu." Lucian mengulurkan tangannya. "Ayo!" Leanna menyambut uluran tangan itu. Dia mengenggam erat tangan itu. Lucian membawa Leanna masuk ke dalam mobilnya. Saat Lucian tidak naik, Leanna menjadi cemas. "Paman, kau mau ke mana? Apa paman berbohong dan ingin meninggalkanku?" teriaknya dengan putus asa. "Aku hanya ingin mengecek barang-barangmu. Tunggu di sini sebentar!" Leanna masih tidak melepaskannya. Tatapan mata gadis itu bergetar menyembunyikan kesedihan yang mendalam. "Paman, aku tidak ingin membawa apapun dari rumah ini. Bisakah kita tidak membawanya?" Lucian mengerutkan keningnya, menatap dengan curiga. Lucian melepaskan tangan Leanna . Pria itu mendekat kea rap pelayan yang mengemas pakaian Leanna. "Apa semua barangnya sudah siap?" tanya Lucian pada seorang pelayan yang ditugaskan. "Ya, Tuan Muda Gu." "Buka kopernya sebentar, aku harus memeriksa sesuatu." Pelayan itu mengerutkan keningnya dan menunjukkan wajah pucat, tapi dia tidak bisa berbuat apapun dan hanya melakukan perintah. Leanna tiba-tiba datang merebut tas itu lalu mendorong koper itu menjauh. Lucian menjadi semakin curiga. "Leanna, kenapa kau melakukan ini?""Maaf, aku tidak bermaksud untuk membentakmu." Lucian menatap Leanna yang terlihat terkejut. Namun, pria itu tidak mengurungkan niatnya awalnya. Dia dengan cepat melangkah mendekat ke arah koper itu. Leanna mengikuti Lucian, menahan saat pria itu meraih resleting koper. "Paman, aku tidak ingin kau melihatnya. Ini bukan sesuatu yang pantas untuk paman lihat,” ucap Leanna menghalangi Lucian. Lucian menatap Leanna dengan intensitas,memberinya peringatan untuk tidak menganggunya. Wanita yang masih cantik walaupun tertutup lebam itu, menarik tangannya dengan ragu. Ekspresi wajahnya semakin pucat, pandangannya fokus untuk melihat seperti apa ekspresi yang akan dibuat oleh Lucian. "Apa ini? Bagaimana bisa benda seperti ini ada di dalam tasmu? Apa ini pantas untuk berada di sini?!" ucap Lucian dengan marah. Mata kecokeletan yang tajam milik Lucian beralih ke arah seorang pelayan yang sebelumnya membawa koper itu, "Panggil Kepala Pelayan sekarang juga!" Pelayan itu dengan takut me
Lucian mendorong keponakannya sebelum sesuatu yang lebih buruk terjadi. "Leanna, kau menganggap dirimu sudah dewasa, bukan?" Wajah Leanna yang awalnya suram berubah cerah. "Ya. Paman. Apa kau sudah melihatku sebagai gadis dewasa? Jadi, ayo kita--" "Jika kau adalah gadis dewasa maka kau harus tahu batasannya! Leanna, kau adalah keponakanku, tidak mungkin bagi kita untuk bersama!" "Tapi, kita tidak punya hubungan darah!" "Ya, tapi itu semua tidak mengubah kenyataan bahwa kau tetaplah bagian dari keluarga Gu. Leanna, jika keinginanmu untuk menikah denganku hanya karena ingin tinggal bersamaku dan mendapatkan perlindungan seperti saat kau masih kecil, selama aku jadi pamanmu kita bisa melakukannya. Kau mengerti sekarang?" Lucian memberikan penekanan yang tegas. Leanna tidak mengatakan apapun untuk menanggapinya dan memilih kembali ke tempat duduk. Pandangannya menatap ke arah luar kaca mengubur dalam keramaian jalanan yang sibuk. . Lucian merasa bersalah padanya, tetapi dia tida
Wajah tampan Lucian hanya menujukkan ekspresi datar, matanya begitu tajam menatap wanita yang berusaha mempermalukannya itu. "Apa yang ingin kau beritahu pada keponakanku? Kau ingin mengarang cerita seperti kau melakukannya pada para pria yang menjadi targetmu?" "Lucian, kali ini aku serius bahwa aku--" ucapan wanita itu tiba-tiba terpotong karena sebuah suara. "Aku benar-benar hamil anakmu, Tuan Liam. Aku sungguh-sungguh. Jika perlu kita lakukan tes!" Suara rekaman yang sama persis seperti wanita itu terdengar dari speaker ponsel milik Lucian. "Bagaiman kau bisa...." Wanita itu tidak bisa menahan keterkejutannya. Seringai terukir di bibir Lucian. " Kau pasti tidak menyangka aku mendapatkan rekaman saat kau mengatakan hal yang sama pada Tuan Muda lain untuk menipunya agar mendapatkan uangnya?" "Lucian, kau salah paham. Kali ini, aku benar-benar...." "Cukup! Aku bukanlah orang yang bisa kau tipu dengan mudah. Lebih baik kau pergi atau aku bisa saja menanggung hukuman." Wan
Seorang wanita yang menggenakan jubah tidur memeluk tubuh Lucian dari belakang. "Sayang, kenapa kau akan pergi? Kita bahkan baru saja mulai." Lucian menepis tangan itu dengan kasar bahkan mendorong wanita itu menjauh. "Aku sedang tidak memiliki mood untuk melanjutkannya." "Kenapa? Apa kau memiliki wanita baru? Siapa wanita yang dapat memuaskanmu lebih dari--" Lucian dengan marah mencengkeram dagu wanita itu. "Diamlah! Apa aku perlu membungkam mulutmu dan membuatmu tidak bisa bicara lagi untuk selamanya?" Wanita itu menatap dengan takut. Lucian melepaskan wanitanya itu dan melemparkan uang. "Mulai seterusnya, aku tidak akan melakukannya denganmu. Jangan muncul lagi di hadapanku!" "Maafkan aku, Tuan Muda. Aku salah." Wanita itu berlutut dan memegang kaki Lucian. Namun, Lucian justru menendangnya. "Jangan merengek! Aku benci wanita melakukan itu." Lucian meninggalkan wanita itu begitu saja. Pria tampan dengan perawakan tinggi melangkahkan kaki masuk ke mobil, melaju ke sebuah
Leanna menunggu apa yang akan terjadi. Jantungnya berdebar dengan kencang, tangannya mengenggam kain sprei dengan erat. Matanya terpejam dengan sudut mata yang sedikit bergetar. Dia sangat gugup dan takut, tapi ini adalah cara untuk menjadi milik Lucian.Beberapa detik berlalu, Leanna mengerutkan keningnya karena tidak merasakan apapun. Leanna perlahan membuka menatap ke arah Lucian. "Paman, kenapa paman tidak….?" Lucian menarik tubuhnya menjauhkan diri dari Leanna. "Tidurlah. Aku tidak akan melakukan hal yang seperti ini lagi." "Tidak! Paman, aku ingin kau melanjutkannya?" Leanna meraih tangan Lucian dengan erat sebelum pria itu pergi. "Kau ketakutan. Aku menyadari jika kau hanya melakukan tindakan kekanakan, tetapi bukan ini yang kau inginkan, bukan? Lain kali jangan lakukan lagi." Lucian melepaskan tangan itu dengan lembut. "Paman, aku tidak takut. Sungguh, kau bisa--" "Jangan katakan itu Leanna. Kau adalah keponakanku yang berharga. Aku ingin menghancurkanmu!" Lucian
Jika itu wanita lain, Lucian akan menariknya, mencium seluruh tubuhnya yang indah. Namun, ini keponakannya. Paman macam apa yang akan menodai tubuh keponakannya sendiri? Dia harus tetap tenang. Lucian menatap keponakannya dengan ekspresi datar untuk menyembunyikan hasrat yang bergejolak. Dia melepaskan kancing kemeja dengan tenang. Leanna tiba-tiba saja memeluk Lucian yang membuat pria itu terkejut. "Ini memalukan." ucap Leanna. Lucian melepaskan pelukan Leanna dengan paksa. "Sekarang kau merasa malu setelah memintaku melepaskan pakaianmu? Leanna, kau sudah tahu bahwa kau adalah wanita sekarang, kan? Jangan lagi memintaku melakukannya." "Tapi, Paman. Aku sungguh kesulitan. Meskipun ini memalukan, tetapi aku hanya bisa bergantung pada Paman. Aku tidak bisa membasuh tubuhku sendirian. Lagipula, Paman juga pernah membasuh tubuhku ketika aku demam. Jadi, aku akan berpikir hal yang sama." "Itu tidak sama, Leanna!" Lucian menekan nada suaranya. Lucian memandang lurus ke arah Leanna.
"Jangan beritahu Pamanku, aku ingin memberikan kejutan padanya," ucap Leanna pada resepsionis yang telah memberitahunya lokasi ruangan Lucian. "Tapi, Nona, bisakah Anda menunggu sebentar? Tuan sedang sibuk," ucap Resepsionis itu dengan gugup. "Tidak apa-apa. Aku tidak akan menganggu." "Tapi--" Leanna menyadari keanehan. "Kenapa? Apa ada sesuatu yang terjadi dan Paman coba sembunyikan dariku?" "Tidak, Nona. Hanya saja--" "Kalau begitu tidak masalah jika aku langsung datang, kan?" Leanna langsung melangkah menuju ke dalam Lift. Dia memandang pintu lift dengan resah. Feelingnya mengatakan ada sesuatu yang sebenarnya tidak diinginkan olehnya. Ketika Leanna tiba di depan ruangan, seorang wanita keluar, bibir di lipstiknya berantakan begitu juga dengan rambutnya. Tangannya mengepal dengan erat. Dia tidak ingin memikirkan hal yang akan menyakiti hatinya. Wanita itu tersenyum pada Leanna, tetapi tatapan matanya menunjukkan perasan jengkel. "Apa kau keponakan CEO Gu? Kau seharusn
Lucian menahan lengan Leanna. "Apa yang kau bicarakan? Kau bukan penghalang bagiku. Aku hanya ingin yang terbaik untukmu. Leanna, aku tahu kau ingin bersamaku, tetapi kau juga harus memiliki sesuatu untuk menunjang masa depanmu." "Bukankah ada Paman yang dapat menunjang masa depanku? Atau suatu saat paman akan meninggalkanku sendirian?" Lucian menghela nafas. "Kita tidak tahu bagaimana takdir akan berjalan, kan? Saat ini mungkin aku masih bisa melindungimu, tetapi aku memiliki usia yang lebih tua darimu. Suatu saat aku akan pergi dan--" Leanna langsung memeluk Lucian. "Tolong jangan. Aku tidak akan sanggup tanpa Paman. Aku tidak ingin Paman pergi meninggalkanku. Aku akan menyusul Paman kemanapun itu." Lucian memeluk Leanna. "Kenapa kau begitu keras kepala. Baiklah, aku bisa memberimu pekerjaan yang kau inginkan. Datanglah ketika kau menginginkannya. Kau akan membantuku mengatur dokumen.” Lucian melepaskan pelukannya, mengusap lembut pipi Leanna. “Jangan sedih lagi, aku juga tidak a
Leanna hanya tersenyum, tetapi justru membuatnya terlihat semakin menyedihkan. “Tidak, lupakan saja. Aku tahu jika hal itu tidak akan terjadi.” Leanna semakin mempererat genggaman tangannya pada Lucian. Matanya perlahan mulai terpejam. Lucian memiringkan tubuhnya, dia menatap lebih dekat pada seorang gadis muda yang mulai tertidur. “Leanna, apa yang sebenarnya sedang kau pikirkan?” Lucian menghela nafas, dia tidak tahu seberapa banyak luka yang disembunyikan oleh gadis yang terlihat rapuh ini. Lucian teringat tentang pembicaraan mereka tadi, dia merasa sedikit senang karena Leanna mau terbuka sedikit tetang masa kecilnya. Lucian mulai mengerti, dia seharusnya menjadi lebih lembut dan perhatian padanya mungkin sedikit demi sedikit, Lucian bisa lebih mengenal Leanna lebih dalam dan dapat mengerti tentangnya. Lucian memandang Leanna, dia tiba-tiba memikirkan sesuatu. *** Leanna perlahan membuka matanya, dengan setengah kesadaran dia dapat mendengar suara lembut yang berbicara p
“Bagaimana dia bisa hilang? Aku memintamu untuk menjaganya, kan? Saat ini dia sedang sakit, bagaimana jika sesuatu yang buruk terjadi padanya? Apa kau akan bertanggung jawab?!” Lucian tidak bisa menahan amarah dan perasaan khawatir yang menyelimutinya. “Maafkan saya, Tuan. “ “Apa gunanya minta maaf? Temukan dia secepatnya!” ucap Lucian memberikan perintah “Ya, Tuan. Saat ini saya sedang mencarinya di sekitar lingkungan apartemen.” Lucian mengakhiri panggilan. Dia memijat kepalanya yang mendadak sakit. Lucian teringat dengan perdebatan dengan Leanna beberapa jam lalu saat gadis itu hendak pergi meninggalkan rumah. “Seharusnya aku tidak memaksanya. Ini semua saran bodoh dari wanita itu!” Lucian menyesalinya. Nada dering khusus berbunyi dari ponselnya. Tanpa melihat nama yang tertera di layarnya, Lucian sudah tahu siapa yang menelepon. “Hallo, jika ini tentang pekerjaan, kau bisa hubungi aku nanti—“ “Tunggu, Tuan Lucian! Anda harus kembali ke kantor sekarang juga. Jika tid
"Kau siapa?" Leanna yang baru saja terbangun memandang ke arah seseorang yang membawa mangkuk. "Di mana paman Lucian?" "Maaf saya lupa memperkenalkan diri. Saya Rina, pengurus rumah yang baru. Nona, silahkan makan bubur ini!" Wanita bernama Rara itu memberikan semangkuk bubur padanya. Leanna tidak langsung menerima mangkuk itu. "Kau belum menjawab pertanyaanku. Di mana paman?" "Tuan Lucian berada di kantornya. Tuan juga memberi pesan jika tuan tidak akan pulang malam ini dan meminta saya tinggal untuk merawat Nona." Rara memberikan jawaban. Leanna membalikkan tubuhnya, tidur dengan memunggungi pelayan baru itu. "Aku tidak ingin makan jika tidak ada paman." "Nona, Anda sedang sakit sekarang, tidak apa-apa jika Anda hanya makan satu suap, jika anda tidak makan, bagaimana anda bisa minum obat dan cepat pulih? Anda sudah lama menahan lapar bukan?" Leanna tidak mengatakan apapun. "Nona, ini hari pertama saya bekerja. Jika Tuan menemukan saya tidak bisa merawat Nona dengan
Lucian menghentikan langkahnya. Dia menoleh ke arah wanita itu. "Apa yang ingin kau katakan?" "Lucian, keponakanmu itu....bisakah kau melepaskannya sendirian di lingkungan baru yang jauh dari negara ini? Itu yang harus kau lakukan jika ingin membuatnya punya keinginan untuk kembali normal," ucap wanita itu dengan ragu. "Omong kosong macam apa yang kau katakan? Tidakkah kau melihat bagaimana dia membutuhkanku dan kau menyarankan aku untuk meninggalkannya? Sebagai seorang psikiater, kau seharusnya lebih tahu seberapa rapuh mentalnya." Lucian menolak ide itu. "Dan juga apa maksudnya dengan kembali normal? Apa kau mengatakan jika keponakanku tidak normal?" Lucian biasanya tidak banyak bicara, tetapi berbeda jika itu berkaitan dengan keponakan kesayangannya. Wanita itu menghela nafas. "Aku tahu, tapi setelah aku mengingat sikap keponakanmu itu dan membandingkan dengan kasus lain, dia tidak ada keinginan untuk melepas traumanya agar mendapatkan perhatian. Tuan Lucian, jika kau tida
Leanna memejamkan matanya, tangannya memegang kepalanya. “Paman, aku merasa pusing.” Lucian melingkarkan lengannya di bahu Leanna, menangkap tubuh ramping yang hamper jatuh, matanya menatap dengan khawatir. “Apa kau masih bisa berdiri? Aku akan membawamu ke rumah sakit.” Leanna menggeleng. “Aku hanya terlalu lelah, bisakah kita pulang sekarang?” Lucian menggendong tubuh Leanna. Pria yang sebelumnya berdebat dengan Leanna, mencoba menghalangi langkah Lucian. “Apa kau sungguh akan pergi begitu saja? Kau sungguh tidak penasaran rahasia…” Lucian memotong ucapan pria itu. Matanya tajam memberikan peringatan. “Minggir! Aku berharap kau tidak muncul di hadapan Leanna lagi!” Lucian melangkah melewatinya. *** Di dalam mobil, Leanna menyandarkan kepalanya di kursi mobil tanpa mengatakan apapun. Keheningan yang cukup lama membuat Lucian meliriknya diam-diam. “Apa kau masih merasa pusing? Aku akan memanggil dokter—“ “Aku sudah merasa lebih baik. Paman, jangan membahas dokter atau ru
Lucian membiarkan Leanna berteriak ataupun menukulnya. Dia tidak terpengaruh dan tetep menggendongnya masuk ke dalam. "Paman, aku tidak gila! Aku tidak ingin masuk ke sana. Aku tidak mau!" Leanna menangis seperti anak kecil. "Leanna, aku tahu kau tidak gila. Namun, kita harus tetap bertemu dengannya." "Tidak! Aku takut! Mereka tidak akan melepaskanku. Aku tidak mau!" Nada suara Leanna semakin rendah, tatapan matanya kosong. "Aku tidak ingin merasakan rasa sakit, sangat menyakitkankan." "Leanna, tidak ada yang akan menyakitimu. Tolong tenanglah!" Leanna menanggapi dengan suara gemetar "Dia juga mengatakan itu, tapi akhirnya aku kesakitan. Orang-orang itu akan...." Ada jeda sejenak, Leanna menatap Lucian dengan tatapan mata yang rumit. "Paman, apa kau juga akan melakukan hal yang sama. Aku janji tidak akan jadi anak nakal. Jangan bawa aku!" tangisan Leanna semakin keras. Wajahnya juga semakin pucat. Beberapa orang memperhatikan mereka, tetapi tidak terlalu peduli. Lucian m
Lucian mundur selangkah, menghindari Ariana dengan ekspresi jijik. "Ariana, kau benar-benar tidak punya rasa malu," ucapnya dingin. Ariana tersenyum, "CEO Gu, tidak perlu berpura-pura. Kau menyukai setiap aku melayanimu, kan? Jika kau masih mempekerjakanku, aku akan melayanimu lebih dari ini." Ariana semakin mendekat. Lucian dengan cepat menghindar. Dia mengambil ponselnya. "Kalian masuk ke ruanganku!" Ariana menarik dasi Lucian dan berusaha untuk membuka kancing kemejanya. Dia justru menemukan tanda merah di lehernya. "Jadi, inikah alasanmu membuangku karena sudah ada yang baru? Apa dia lebih baik dariku? Tuan Lucian, aku begitu mencintaimu," Lucian mendorong wanita yang bertingkah gila itu. Tidak lama, 3 orang pria datang. Lucian langsung memberikan perintah. "Ambil wanita ini, dia akan melayani kalian bertiga. Kalian pasti akan puas dengannya." Ariana mulai panik saat melihat 3 pria dengan wajah tidak terlalu tampan. "Apa? Tuan Lucian, Anda tidak akan setega itu pada s
"Kau telah melewati batas. Aku tidak dapat memberikanmu kemurahan hati lagi." Ariana gemetar, mencoba untuk membujuk, "CEO Gu, aku berjanji tidak akan melakukan ini lagi. Jika kau mau, aku akan berlutut di kaki keponakan Anda." Leanna memeluk Lucian dengan erat, Menguburkan wajahnya dalam pelukan pria tampan yang memiliki aroma nyaman ini. Tubuh Leanna gemetar. "Paman, aku tidak ingin dia mendekat. Aku takut dipukuli lagi." Lucian merangkul Leanna dengan lebih erat. "Tidak akan ada yang bisa menyakitimu selama aku di sini." Lucian mencium rambut Leanna dengan lembut. Pria itu beralih ke arah Ariana. "Kembali ke kantor. Aku akan memberikan hukuman yang sesuai untukmu." "CEO Gu, saya--" "Apa kau masih ingin melawanku?" ucap Lucian. Ariana menatap Leanna tajam. Dia mengambil tasnya dan langsung pergi begitu saja. "Leanna, ayo kita pulang. Kau tidak perlu bekerja di restoran ini lagi." Lucian menatap tajam ke arah Supervisor yang hendak mengatakan sesuatu. "Cari saja
Lucian tiba-tiba menangkap tangan Leanna dan menepisnya dengan kasar. “Leanna, kau...." Lucian akhirnya menatap mata Leanna. Kata yang sebelumnya keluar dari bibirnya tidak lagi dia teruskan. "Paman?" Lucian dengan terburu-buru meninggalkan ruang makan tanpa mengatakan apapun. Leanna melihat jas yang tergantung di kursi. Dia menggunakan cara ini untuk mengejar Lucian. "Paman, kau melupakan jasmu. " Leanna berlari dengan cepat. Lucian menghentikan langkahnya. Menunggu sampai Leanna berdiri di dekatnya. Bukannya mengulurkan jas itu, Leanna justru berdiri terlalu dekat. "Leanna?" "Paman, aku akan memakaikan jasmu." Posisi tangan Leanna seperti sedang memeluk Lucian. Pria tampan itu mengambil alih jasnya dan mendorong Leanna dengan pelan. "Aku bisa melakukannya sendiri." Lucian membalikkan tubuhnya. Sebelumnya salah satu kakinya melangkah, pria itu berbicara sesuatu dengan nada dingin dan tegas. "Leanna, kau adalah keponakanku!" Leanna mengerutkan keningnya. Dia masih