“Tante, ini makam siapa?” tanya Alana bingung.“Kamu tidak tau?” Tanty heran, kaget dan bingung.“Tidak.” Alana menggelengkan kepala.Tiba-tiba dia merasa asing setelah Tanty menghentikan langkah mereka tepat di depan dua makam yang tidak pernah dia kunjungi, apalagi sampai mengenal siapa yang terbaring di bawah batu nisan itu. Ini pertama kalinya Alana pergi ke kota ini karena selama ini Leo tidak pernah membawanya berlibur ke kota ini. Padahal, beberapa kota yang memiliki tempat liburan indah sudah mereka datangi. Tapi, kota ini, Leo tidak pernah memasukkan dalam pembicaraan mereka dan sepertinya Leo tidak akan membawanya berkunjung ke tempat itu.“Kamu benar-benar belum pernah datang ke sini, Alana?” Sekali lagi Tanty seperti ingin meyakinkan Alana atas jawabannya juga meyakinkan dirinya sendiri bila telinganya sedang tidak sedang bermasalah.“Tidak pernah, Tante. Aku tidak pernah pergi ke sini. Bahkan ke kota ini saja, aku belum pernah,” jawab Alana lagi sembari mengedarkan panda
"Ini rumah siapa?" "Apa kamu juga tidak mengingatnya?"Setelah mengunjungi makam yang Tanty katakan sebagai makam kedua orangtuanya, Tanty membawa Alana ke sebuah rumah besar yang letaknya di tengah kota. Rumah itu dikelilingi dengan dinding pagar yang tinggi sehingga orang dari luar tidak bisa melihat ke dalam. Namun, masih bisa melihat dari celah-celah besi pada pintu pagar.Alana kembali terdiam. Matanya memperhatikan rumah besar yang tampak sunyi dan senyap. Rumah itu tampak sepi, tapi terlihat bersih terawat."Ini rumah yang pernah kalian tinggali saat kedua orangtuamu masih hidup. Apa kamu tidak mengingatnya juga?" Meski Alana terdiam dan sepertinya tidak mengenali rumah itu lagi. Namun, dalam kepalanya berpikir sangat keras untuk mengingat rumah yang memiliki banyak kenangan bersama kedua orangtuanya, saat mereka masih hidup.Melihat Alana tidak memberinya respon, Tanty pun menajamkan mata penuh selidik. Dalam kepala dan pikirannya terbesit sebuah tanya, apakah Alana pernah m
"Tidak ada bukti, bukan?" cibir pria itu menertawakan Alana. "Sebaiknya kalian pergi saja dan jangan pernah mengaku-aku sebagai keluarga atau putri dari pemilik rumah! Atau aku akan hubungi polisi karena kalian mencoba melakukan penipuan." Tanty semakin terlihat gelisah dan ketakutan mendengar gertakkan dari pria itu."Alana, sebaiknya kita pergi saja," ucap Tanty mengajak Alana pergi. "Jangan sampai mereka melaporkan kita pada polisi." Tanty semakin cemas dan ketakutan.Alana masih bertahan. Sekali lagi sorot matanya menatap lekat Tanty. Namun, dia tidak sedang memikirkan ketakutan dan kecemasan Tanty. Dia juga tidak sedang memikirkan perkataan dan ajakan wanita itu. Alana sedang mencari cara agar bisa mendapatkan ijin memasuki rumah itu."Nona, sebaiknya kamu pulang saja dan jangan mau diperalat oleh wanita licik itu! Kamu masih sangat muda, jangan ikut-ikutan serakah seperti mereka!" ucap pria itu memandang sinis dan tajam pada Tanty."Hei! Jaga mulutmu!" Tanty tersinggung dan mar
"Alana, kamu yakin akan pergi ke sana lagi?" Kalila tampak khawatir saat pagi hari, Alana kembali mengatakan akan pergi ke rumah itu lagi."Ya. Aku harus bisa mendapatkan ijin masuk ke dalam rumah itu, Kalila. Aku sangat merindukan rumah itu," jawab Alana sembari sibuk merapikan diri sendiri."Alana, tunggu!"Kalila menyentuh lengan Alana, lalu membawanya saling berhadapan dengannya. Sejak semalam, dia merasa ada yang tidak dimengerti. Bahkan karena memikirkan hal ini, matanya tidak bisa terpejam hingga larut malam."Alana, bukankah saat di makam orangtuamu, kamu mengatakan kalau kamu tidak bisa mengingat sebagian besar masa lalumu? Lalu, rumah itu?" Kalila mengernyitkan mata menatap curiga.Alana terpaku sejenak. Kedua bola matanya bergerak memperhatikan manik mata bening milik Kalila. Beberapa detik kemudian dia pun tersenyum tipis melihat sahabatnya menunjukkan wajah bingung."Masalah makam itu, aku memang tidak mengetahuinya. Yang aku tau, makam kedua ora
"Alana, cukup! Jangan minum lagi!" Kalila merebut gelas berisi bir dari tangan Alana."Berikan padaku, Kalila! Aku masih mau minum lagi." Alana kembali merebut gelas itu dari tangan Kalila.Karena tidak ingin menjadi pusat perhatian pengunjung bar lainnya, Kalila terpaksa mengembalikan gelas itu pada Alana. Padahal kesadaran Alana mulai goyah, tapi dia tidak bisa membujuk sahabatnya itu agar menghentikan minumnya dan pulang.Alana merasa stres dan kacau setelah kembali dari rumah masa lalunya dan bertemu dengan Tanty. Wanita itu banyak bicara tentang masa lalu Alana. Alana ingin tidak mempercayai saat Tanty membicarakan hal buruk tentang Leo dan wanita itu mengatakan Leo adalah orang yang mereka curigai ada di balik kecelakaan orangtuanya. Karena, apa yang selama ini dilakukan Leo padanya, tidak mencerminkan kalau Leo adalah orang memiliki niat jahat.Namun, saat mengingat kembali rumah masa lalunya yang sama sekali tidak mengalami perubahan, juga mengingat tentang keberadaan makam ke
"Bear!" Kalila sangat terkejut, tiba-tiba Alana melepaskan diri darinya. Dengan langkah sempyongan dan terhuyung, Alana mendekati pria itu, lalu mengalungkan kedua tangan pada tengkuknya. "Bear, aku mencintaimu," racau Alana menatap sayu wajah pria itu."Alana!" Kalila terkejut, Alana mengira pria itu adalah Leo."Lepaskan aku, Kalila!" Kalila tidak membiarkan Alana melakukan itu, dia pun segera menarik tangannya dan berusaha menjauhkan dari pria itu. Namun, Alana malah menepis tangannya dan kembali merangkul pria itu."Alana, dia bukan Leo!" seru Kalila kembali berusaha melepaskan Alana."Dia suamiku, Kalila!" racau Alana sembari melihat Kalila. Tangannya juga memberi peringatan pada sahabatnya itu agar tidak mengusiknya."Alana?" Kalila tersentak."Dia memilihku, Nona." Tiba-tiba pria itu merengkuh pundak Alana dan menarik ke dalam rangkulannya. Matanya menatap lekat Kalila, bibirnya pun tersenyum penuh arti menunjukkan bila dia pemenangnya."Lepaskan dia!" seru Kalila membalas
“Aku menginginkanmu, Om,” lirih Alana kembali menguasi bibir Leo, seakan tidak ingin pria itu pergi.“Tapi, Alana, aku tidak ingin menyakitimu. Kamu sedang mabuk,” ucap Leo setelah beberapa saat penyatuan cinta mereka berlangsung.Leo masih terus berusaha menguasai diri, menahan gelombang hasrat yang kian memuncak karena Alana sama sekali tidak memberinya kesempatan untuk bernapas lega lebih lama. Setiap kali berusaha melepaskan diri, Alana semakin memburu.Alana tersenyum kecut mendengar Leo mengatakan dirinya sedang mabuk. Kuncian tangannya pada leher Leo semakin erat. Matanya yang sayu terlihat berbinar memancarkan cahaya cinta dan kebahagiaan. Senyum manisnya mengembang lebar dan lepas.“Aku tidak mabuk, Om. Aku sadar penuh.” Alana melebarkan mata seakan ingin membuktikan pada Leo bahwa dirinya sedang tidak mabuk. Jemarinya yang lentik pun mulai mengabsen setiap inci wajah Leo dengan sentuhan sangat lembut dan terakhir berlabuh di bibir Leo, sehingga membuat darah semakin berdesi
"Kamu yakin meminta aku kembali?" "Ya. Katakan juga pada Asti untuk mengatur ulang dan mengosongkan agenda kerjaku untuk satu minggu ke depan!""Tapi, Leo?""Jangan kahwatir! Aku sudah mempersiapkan diri."Leo meminta agar Damian tidak mengkhawatirkannya saat dia meminta sahabatnya itu meninggalkannya dan membawa Kalila kembali. Sedangkan dia dan Alana akan tinggal di kota itu untuk beberapa hari ke depan sesuai dengan keinginan Alana.Meski Alana mengatakan hanya ingin berdua bersamanya dan memintanya menggagap liburan kali ini merupakan liburan bulan madu untuk pernikahan mereka, namun Leo memiliki sedikit firasat yang lain dari keinginan Alana. Meski begitu, Leo tidak membantah atau menolak."Bear!" panggil Alana dan untungnya obrolannya dengan Damian melalui telepon selular telah selesai.Leo menoleh dan melihat ke arah Alana. Matanya membuka lebar dengan tatapan terpatri dan terpesona ketika melihat istrinya baru keluar dari kamar mandi dan hanya mengenakan handuk putih, sedangk