“Aku menginginkanmu, Om,” lirih Alana kembali menguasi bibir Leo, seakan tidak ingin pria itu pergi.“Tapi, Alana, aku tidak ingin menyakitimu. Kamu sedang mabuk,” ucap Leo setelah beberapa saat penyatuan cinta mereka berlangsung.Leo masih terus berusaha menguasai diri, menahan gelombang hasrat yang kian memuncak karena Alana sama sekali tidak memberinya kesempatan untuk bernapas lega lebih lama. Setiap kali berusaha melepaskan diri, Alana semakin memburu.Alana tersenyum kecut mendengar Leo mengatakan dirinya sedang mabuk. Kuncian tangannya pada leher Leo semakin erat. Matanya yang sayu terlihat berbinar memancarkan cahaya cinta dan kebahagiaan. Senyum manisnya mengembang lebar dan lepas.“Aku tidak mabuk, Om. Aku sadar penuh.” Alana melebarkan mata seakan ingin membuktikan pada Leo bahwa dirinya sedang tidak mabuk. Jemarinya yang lentik pun mulai mengabsen setiap inci wajah Leo dengan sentuhan sangat lembut dan terakhir berlabuh di bibir Leo, sehingga membuat darah semakin berdesi
"Kamu yakin meminta aku kembali?" "Ya. Katakan juga pada Asti untuk mengatur ulang dan mengosongkan agenda kerjaku untuk satu minggu ke depan!""Tapi, Leo?""Jangan kahwatir! Aku sudah mempersiapkan diri."Leo meminta agar Damian tidak mengkhawatirkannya saat dia meminta sahabatnya itu meninggalkannya dan membawa Kalila kembali. Sedangkan dia dan Alana akan tinggal di kota itu untuk beberapa hari ke depan sesuai dengan keinginan Alana.Meski Alana mengatakan hanya ingin berdua bersamanya dan memintanya menggagap liburan kali ini merupakan liburan bulan madu untuk pernikahan mereka, namun Leo memiliki sedikit firasat yang lain dari keinginan Alana. Meski begitu, Leo tidak membantah atau menolak."Bear!" panggil Alana dan untungnya obrolannya dengan Damian melalui telepon selular telah selesai.Leo menoleh dan melihat ke arah Alana. Matanya membuka lebar dengan tatapan terpatri dan terpesona ketika melihat istrinya baru keluar dari kamar mandi dan hanya mengenakan handuk putih, sedangk
"Ke mana lagi kita akan pergi?" tanya Leo setelah mereka berada di dalam mobil.Alana masih tidak menanggapi pertanyaan Leo. Sikapnya masih dingin, tatapannya pun masih ke arah makam kedua orangtuanya. Ada rasa bimbang bercampur kecewa dalam sorot mata dan wajahnya setelah beberapa saat membawa Leo ke makam orangtuanya, tetapi tidak mendapatkan jawaban atas pertanyaan hatinya."Apa yang kamu rasakan?" tanya Alana dengan nada dingin, namun terkesan ada penekanan di dalam suaranya. Leo menoleh dan melihatnya, sedangkan Alana masih bergeming dengan arah pandang yang tidak berubah sama sekali. Ternyata, tatapan Leo tidak mempengaruhi sikapnya."Apa yang ingin kamu dengar?" Kali ini Leo menanggapi dengan serius sesuai dengan apa yang ingin Alana dengar dan ketahui darinya. "Hari ini aku akan mengatakan apa yang ingin kamu dengar. Katakan saja!" sambungnya masih lekat menatap Alana.Alana menoleh, namun sorot matanya tidak berubah sama sekali. Meskipun tatapannya beradu dengan tatapan Leo,
"Kamu takut kami merebut suamimu?" Tiba-tiba salah satu dari dua wanita itu membalas seruan Alana dengan nada tinggi dan wajah marah juga."Siapa yang takut? Aku tidak takut," balas Alana sembari berdiri menghampiri dua wanita itu."Sayang, sudah! Jangan diladeni!" Leo berusaha menahan dan meminta Alana menghentikan amarahnya dan tidak meladeni dua wanita itu karena perdebatan mereka menyita perhatian sebagian besar pengunjung restauran."Lepaskan, Bear! Biar aku kasih pelajaran mereka agar tidak mengganggu suami orang lagi," seru Alana pada Leo dengan mata menyalak."Sssst!" Leo mendekap tubuh Alana dan memintanya kembali duduk. "Malu dilihat orang," lirihnya sembari mengedarkan mata ke semua orang. Dengan sorot mata, Leo meminta maaf pada mereka.Namun, Alana memberontak dan meminta Leo melepaskan dirinya. Karena dia tau, perasaan dan mood Alana saat ini sedang tidak baik-baik saja, akhirnya Leo melepaskan Alana dan membiarkan istrinya melakukan apa yang ingin dia lakukan. Urusan m
"Tapi, Tuan, bagaimana kalau mereka mencelakai nona Alana?" Marco semakin tampak khawatir.Leo kembali tersenyum menanggapi pertanyaan Marco, lalu menurunkan kaki dan membungkuk meraih cangkir teh yang disediakan untuknya. Terdengar suara seruputan yang dengan sengaja dilakukan oleh Leo untuk merilekskan pikiran Marco dan juga pikirannya."Mereka tidak akan mencelakai Alana selama belum mendapatkan apa yang mereka inginkan. Lagi pula, kita belum mendapatkan bukti tentang keterlibatan mereka dalam tragedi kecelakaan itu," ucap Leo, kembali menyeruput teh hangat dalam cangkirnya.Marco terdiam dengan patuh menunggu apa pun yang akan diperintahkan Leo padanya."Marco!" panggil Leo, kembali menegakkan punggung sembari meletakkan cangkir di atas meja.Kali ini Leo memberi wajah dan tatapan serius, seperti ada yang ingin dia katakan pada Marco. Sebelum melanjutkan ucapannya, Leo mengedarkan pandang, memastikan bahwa di dalam ruangan itu tidak ada orang lain selain mereka berdua, termasuk me
"Maaf, Om, tolong lepaskan!" Alana meminta Leo melepaskan pelukannya."Sayang?" Leo sedikit tersentak.Bukan permintaan hanya Alana yang membuatnya kaget, tapi nada bicara dan juga sikap dingin Alana yang membuatnya tercengang. Alana mengatakan dengan dingin dan kaku seperti mereka tidak pernah memiliki hubungan dekat. Bukan itu saja, dengan kasar istrinya itu pun menepis tangannya dan sedikit memberi dorongan pada tubuhnya sehingga kakinya terpaksa mundur satu langkah.Leo terdiam membeku untuk beberapa saat. Namun, semua itu sama sekali tidak memperngaruhi sikap Alana padanya. Bahkan istrinya itu memberi sikap acuh tak acuh padanya dan terus menyibukkan diri memilih pakaian, lalu mengenakannya. "Alana, mau ke mana malam-malam begini?" tanya Leo saat melihat Alana menggenakan pakaian rapi dan mulai merias wajahnya."Aku mau ke luar bertemu teman," jawah Alana masih dengan sikap acuh dan acuh."Tapi aku sudah masak untukmu, Sayang." Alana menghentikan sapuan tangannya pada wajah, l
"Menurut kami, siapa pelakunya?" Tanty mempertegas pertanyaan Alana tentang siapa pelaku pembunuh kedua orangtua Alana dengan kedok kecelakaan kereta api."Alana, kami tidak akan mengatakan siapa pelakunya. Kami takut kamu tidak percaya pada kami. Tapi sebaliknya, kami takut kamu berpikir kalau kami hanya mengada-ada dan memberi cerita palsu," imbuh Carlos melengkapi perkataan istrinya.Alana terdiam memikirkan perkataan mereka. Dia tetap bersikap tenang, meski sebenarnya dalam dirinya telah bergejolak ombak besar yang terus bergulung hingga mengacaukan hati dan pikirannya."Katakan saja! Aku siap mendengarnya, meski itu akan sangat menyakitkan bagiku," minta Alana dengan suara bulat, tegas dan lugas.Tanty dan Carlos saling bertukar pandang. Keduanya menunjukkan keraguan atas permintaan Alana. Namun, sesaat kemudian Tanty kembali melihat Alana dan memberikan wajah bersimpati."Alana, kami tidak tega mengatakannya," ucap Tanty sembari bersungut-sungut."Katakan saja, Tante! Siapa pel
"Alana!"Alana menghentikan langkahnya tepat di atas anak tangga ketiga karena mendengar namanya dipanggil dalam remang cahaya. Meski belum melihat wajahnya, tapi itu adalah suara Leo.Alana membeku menunggu hingga suara langkah berhenti tepat di belakangnya. "Alana, kamu baru pulang?" Suara Leo terdengar lembut di telinganya, namun entah mengapa suara itu membuatnya merasa sangat kesal, bahkan mampu membuat darahnya bergejolak. Mungkin karena dia merasa kecewa dan marah atas apa yang telah didengarnya tentang Leo. Terlebih lagi, Leo pernah mengakui beberapa hal yang membuat perasaannya semakin rumit. Alana sempat berpikir, apakah Leo benar-benar telah melakukan sesuatu yang salah atau apakah ada sesuatu yang disembunyikan darinya yang tidak ingin diketahui olehnya untuk saat ini? Semua pertanyaan ini menyebabkan pikirannya menjadi kacau dan membuatnya sulit untuk memproses segala informasi tentang Leo dengan benar. "Kamu belum tidur, Om?" Tanpa melihat wajah Leo, Alana bertanya