"Tapi, Tuan, bagaimana kalau mereka mencelakai nona Alana?" Marco semakin tampak khawatir.Leo kembali tersenyum menanggapi pertanyaan Marco, lalu menurunkan kaki dan membungkuk meraih cangkir teh yang disediakan untuknya. Terdengar suara seruputan yang dengan sengaja dilakukan oleh Leo untuk merilekskan pikiran Marco dan juga pikirannya."Mereka tidak akan mencelakai Alana selama belum mendapatkan apa yang mereka inginkan. Lagi pula, kita belum mendapatkan bukti tentang keterlibatan mereka dalam tragedi kecelakaan itu," ucap Leo, kembali menyeruput teh hangat dalam cangkirnya.Marco terdiam dengan patuh menunggu apa pun yang akan diperintahkan Leo padanya."Marco!" panggil Leo, kembali menegakkan punggung sembari meletakkan cangkir di atas meja.Kali ini Leo memberi wajah dan tatapan serius, seperti ada yang ingin dia katakan pada Marco. Sebelum melanjutkan ucapannya, Leo mengedarkan pandang, memastikan bahwa di dalam ruangan itu tidak ada orang lain selain mereka berdua, termasuk me
"Maaf, Om, tolong lepaskan!" Alana meminta Leo melepaskan pelukannya."Sayang?" Leo sedikit tersentak.Bukan permintaan hanya Alana yang membuatnya kaget, tapi nada bicara dan juga sikap dingin Alana yang membuatnya tercengang. Alana mengatakan dengan dingin dan kaku seperti mereka tidak pernah memiliki hubungan dekat. Bukan itu saja, dengan kasar istrinya itu pun menepis tangannya dan sedikit memberi dorongan pada tubuhnya sehingga kakinya terpaksa mundur satu langkah.Leo terdiam membeku untuk beberapa saat. Namun, semua itu sama sekali tidak memperngaruhi sikap Alana padanya. Bahkan istrinya itu memberi sikap acuh tak acuh padanya dan terus menyibukkan diri memilih pakaian, lalu mengenakannya. "Alana, mau ke mana malam-malam begini?" tanya Leo saat melihat Alana menggenakan pakaian rapi dan mulai merias wajahnya."Aku mau ke luar bertemu teman," jawah Alana masih dengan sikap acuh dan acuh."Tapi aku sudah masak untukmu, Sayang." Alana menghentikan sapuan tangannya pada wajah, l
"Menurut kami, siapa pelakunya?" Tanty mempertegas pertanyaan Alana tentang siapa pelaku pembunuh kedua orangtua Alana dengan kedok kecelakaan kereta api."Alana, kami tidak akan mengatakan siapa pelakunya. Kami takut kamu tidak percaya pada kami. Tapi sebaliknya, kami takut kamu berpikir kalau kami hanya mengada-ada dan memberi cerita palsu," imbuh Carlos melengkapi perkataan istrinya.Alana terdiam memikirkan perkataan mereka. Dia tetap bersikap tenang, meski sebenarnya dalam dirinya telah bergejolak ombak besar yang terus bergulung hingga mengacaukan hati dan pikirannya."Katakan saja! Aku siap mendengarnya, meski itu akan sangat menyakitkan bagiku," minta Alana dengan suara bulat, tegas dan lugas.Tanty dan Carlos saling bertukar pandang. Keduanya menunjukkan keraguan atas permintaan Alana. Namun, sesaat kemudian Tanty kembali melihat Alana dan memberikan wajah bersimpati."Alana, kami tidak tega mengatakannya," ucap Tanty sembari bersungut-sungut."Katakan saja, Tante! Siapa pel
"Alana!"Alana menghentikan langkahnya tepat di atas anak tangga ketiga karena mendengar namanya dipanggil dalam remang cahaya. Meski belum melihat wajahnya, tapi itu adalah suara Leo.Alana membeku menunggu hingga suara langkah berhenti tepat di belakangnya. "Alana, kamu baru pulang?" Suara Leo terdengar lembut di telinganya, namun entah mengapa suara itu membuatnya merasa sangat kesal, bahkan mampu membuat darahnya bergejolak. Mungkin karena dia merasa kecewa dan marah atas apa yang telah didengarnya tentang Leo. Terlebih lagi, Leo pernah mengakui beberapa hal yang membuat perasaannya semakin rumit. Alana sempat berpikir, apakah Leo benar-benar telah melakukan sesuatu yang salah atau apakah ada sesuatu yang disembunyikan darinya yang tidak ingin diketahui olehnya untuk saat ini? Semua pertanyaan ini menyebabkan pikirannya menjadi kacau dan membuatnya sulit untuk memproses segala informasi tentang Leo dengan benar. "Kamu belum tidur, Om?" Tanpa melihat wajah Leo, Alana bertanya
"Ini ruang kerjamu," ucap Leo menunjukan sebuah ruangan yang akan digunakan Alana untuk bekerja.Alana langsung berjalan masuk dan mengedarkan pandang ke seluruh sudut ruang, termasuk meja dengan kursi merah yang tampak anggun. Bibirnya pun tersenyum membayangkan dirinya duduk di sana, pasti akan terlihat lebih anggun dan elegan."Ruanganku di samping. Kalau ada apa-apa, kamu bisa menghubungi aku atau Mika," ucap Leo.Mika adalah direktur perusahaan. Dia yang mewakili dan menjalankan perusahaan selama Leo menyembunyikan identitas di belakang namanya. Mika jelas memegang kendali penting di perusahaan dan bisa dikatakan sebagai tangan kanan lainnya dari seorang Leo selain Damian dan Asti.Alana masih terdiam. Akhir-akhir ini, dia memang banyak diam. Berbicara pada Leo bila ada hal penting saja, kalau tidak, maka dia tidak akan berbicara. Bahkan, saat mereka bertemu, Alana lebih banyak menghindar. Apalagi saat ini mereka telah pisah rumah dan itu semua adalah keinginan Alana.Sikap Alana
"Lain kali aku tidak ingin mendengar kamu ikut campur urusan pribadiku!" larang Alana pada Arga.Arga tersenyum kecut mencibir larangan Alana."Bukankah lebih bagus kalau kamu cerai saja dari dia? Dia sudah membunuh orangtuamu, Alana. Apa kamu masih mau hidup bersama pria seperti itu?" kata Arga masih dengan seringai.Alana terdiam dengan mengarahkan ekor mata pada Arga dengan tatapan tajam menghunus. Katakata pria itu sangat menyakitkan hati. Meski sangat kecewa dan sakit karen Leo adalah orang yang menyebabkan orangtuanya meningal, tapi nyatanya sampai sekarang dalam kepalanya tidak ada pemikiran untuk melakukan perceraian."Aku belum memikirkannya," ucap Alana."Alana?"Alana mengangkat tangan, menghentikan perkataan Arga. "Pergilah! Ini hari pertama aku kerja. Aku harus mempelajari perusahaan dengan cepat," perintah Alana mengusir Arga."Aku akan membantumu," ucap Arga menawarkan bantuan."Tidak perlu!" tolak Alana."Alana, bukankah mulai hari ini aku adalah asistenmu?""Ya, tapi
"Tolong antar saja makanan ini ke ruang kerja tuan Leo!" minta Alana pada pria pengirim makanan yang biasa mengirim makanan dari Leo."Tapi, Nona. Makanan ini dikirim khusus untuk Anda," ucap pria itu."Aku tau. Tapi hari ini, tolong kirim saja ke ruang kerja tuan Leo!""Nona-" Pria itu tampak ragu.Bukan apa-apa. Bisa saja dia mengirim ke ruang kerja Leo. Masalahnya, dia takut Leo marah padanya.Salah satu sudut bibir Alana tertarik ketika melihat gerakan asal pria itu. Dia tau, ada keraguan yang dirasakan pria pengirim makanan atas permintaannya."Jangan khawatir! Nanti aku akan jelaskan pada tuan Leo," ucap Alana sembari tersenyum tipis. Alana berusaha menepis keraguan pria itu.Pria itu mengangkat wajah, menatap Alana lekat. Sorot matanya sedang mencari kebenaran dan jaminan atas perkataan Alana. Dan akhirnya, setelah Alana kembali menyakinkannya, pria itu setuju, lalu mengantar makanan itu ke ruang kerja Alana.Namun, saat berada di depan pintu ruang kerja Leo, pria itu kembali m
"Alana, mau ke mana?"Arga mempercepat langkahnya mengejar Alana saat melihat istri Leo itu jalan keluar dari ruang kerja. "Alana," sapanya setelah sampai di samping Alana. "Apa ada perkejaan luar?" tanyanya.Arga heran dan penasaran karena tidak seperti biasa Alana keluar ruangan di jam menjelang istirahat. Biasanya dia tetap tinggal di ruang kerja sembari menunggunya datang untuk menghabiskan makanan yang selalu dikirim seseorang, tapi Alana tidak mau memakannya. Makanya, saat melihat Alana berjalan meninggalkan ruangan di jam istirahat, Arga merasa heran dan berpikir ada pekerjaan luar."Tidak," jawab Alana.Arga mengernyitkan mata, meminta penjelasan. Namun, dibalas senyum tipis oleh Alana."Aku tau, kamu mencariku jam segini, pasti ingin makan gratis, bukan?" tebaknya.Cepat-cepat Arga menganggukkan kepala. "Mulai hari ini, tidak ada lagi makanan gratis," ucap Alana."Kenapa? Apa seseorang itu sudah menyerah?" Arga menjadi penasaran. Dia bukan tidak tau dari mana asal makanan