"Lain kali aku tidak ingin mendengar kamu ikut campur urusan pribadiku!" larang Alana pada Arga.Arga tersenyum kecut mencibir larangan Alana."Bukankah lebih bagus kalau kamu cerai saja dari dia? Dia sudah membunuh orangtuamu, Alana. Apa kamu masih mau hidup bersama pria seperti itu?" kata Arga masih dengan seringai.Alana terdiam dengan mengarahkan ekor mata pada Arga dengan tatapan tajam menghunus. Katakata pria itu sangat menyakitkan hati. Meski sangat kecewa dan sakit karen Leo adalah orang yang menyebabkan orangtuanya meningal, tapi nyatanya sampai sekarang dalam kepalanya tidak ada pemikiran untuk melakukan perceraian."Aku belum memikirkannya," ucap Alana."Alana?"Alana mengangkat tangan, menghentikan perkataan Arga. "Pergilah! Ini hari pertama aku kerja. Aku harus mempelajari perusahaan dengan cepat," perintah Alana mengusir Arga."Aku akan membantumu," ucap Arga menawarkan bantuan."Tidak perlu!" tolak Alana."Alana, bukankah mulai hari ini aku adalah asistenmu?""Ya, tapi
"Tolong antar saja makanan ini ke ruang kerja tuan Leo!" minta Alana pada pria pengirim makanan yang biasa mengirim makanan dari Leo."Tapi, Nona. Makanan ini dikirim khusus untuk Anda," ucap pria itu."Aku tau. Tapi hari ini, tolong kirim saja ke ruang kerja tuan Leo!""Nona-" Pria itu tampak ragu.Bukan apa-apa. Bisa saja dia mengirim ke ruang kerja Leo. Masalahnya, dia takut Leo marah padanya.Salah satu sudut bibir Alana tertarik ketika melihat gerakan asal pria itu. Dia tau, ada keraguan yang dirasakan pria pengirim makanan atas permintaannya."Jangan khawatir! Nanti aku akan jelaskan pada tuan Leo," ucap Alana sembari tersenyum tipis. Alana berusaha menepis keraguan pria itu.Pria itu mengangkat wajah, menatap Alana lekat. Sorot matanya sedang mencari kebenaran dan jaminan atas perkataan Alana. Dan akhirnya, setelah Alana kembali menyakinkannya, pria itu setuju, lalu mengantar makanan itu ke ruang kerja Alana.Namun, saat berada di depan pintu ruang kerja Leo, pria itu kembali m
"Alana, mau ke mana?"Arga mempercepat langkahnya mengejar Alana saat melihat istri Leo itu jalan keluar dari ruang kerja. "Alana," sapanya setelah sampai di samping Alana. "Apa ada perkejaan luar?" tanyanya.Arga heran dan penasaran karena tidak seperti biasa Alana keluar ruangan di jam menjelang istirahat. Biasanya dia tetap tinggal di ruang kerja sembari menunggunya datang untuk menghabiskan makanan yang selalu dikirim seseorang, tapi Alana tidak mau memakannya. Makanya, saat melihat Alana berjalan meninggalkan ruangan di jam istirahat, Arga merasa heran dan berpikir ada pekerjaan luar."Tidak," jawab Alana.Arga mengernyitkan mata, meminta penjelasan. Namun, dibalas senyum tipis oleh Alana."Aku tau, kamu mencariku jam segini, pasti ingin makan gratis, bukan?" tebaknya.Cepat-cepat Arga menganggukkan kepala. "Mulai hari ini, tidak ada lagi makanan gratis," ucap Alana."Kenapa? Apa seseorang itu sudah menyerah?" Arga menjadi penasaran. Dia bukan tidak tau dari mana asal makanan
"Om, Tante?" Alana terkejut melihat kedatangan Tanty dan Carlos ke ruang kerjanya."Alana, apa kami menggangggu waktu kerjamu?" tanya Tanty basa-basi sembari berjalan mendekat."Oh, tidak, Tante. Kebetulan sebentar lagi waktunya istirahat," jawab Alana sembari mengembangkan senyum."Wah, Alana, ruang kerjamu enak juga, ya? Sejuk dan terasa nyaman," puji Carlos.Carlos berjalan perlahan-lahan sambil memperhatikan setiap detail di ruang kerja Alana. Dengan seksama, ia menjelajahi setiap inci ruangan tersebut, mulai dari warna dinding hingga lemari berkas yang tertata rapi. Tidak ada patung-patung kecil atau miniatur yang luput dari perhatian tangan dan mata Carlos yang tak henti-hentinya memandang kagum.Sementara itu, bibirnya tidak henti-hentinya melontarkan kata-kata pujian meski terkadang hanya terdengar lirih dan hanya bisa didengarkan oleh dirinya sendiri. Carlos sungguh terkesima dengan semua benda yang ada di ruang kerja Alana, tak terkecuali beberapa minia
"Ada apa?" "Ssstt!" Leo meletakkan jari telunjuknya di depan bibir meminta Damian diam dan berbalik badan.Damian terkejut. Saat mereka berjalan beriringan, tiba-tiba, Leo mencengkeram lengannya, menahan langkah mereka, lalu menariknya mundur dengan paksa. Bahkan membawanya bersembunyi di balik banner. Bukan hanya itu saja, Leo juga memaksa Damian menghadap ke arah dinding kaca dan melarangnya bergerak.Karena hal ini, Damian pun refleks menahan napas. Karena dia pikir, Leo melakukan hal ini bukan tanpa alasan. Meski awalnya kesal karena Leo telah membuatnya kaget, tapi Damian dengan cepat menyadari sesuatu pasti telah terjadi."Jangan menoleh ke belakang!" bisik Leo dengan suara sangat lirih saat Damian hendak menoleh ke belakang karena tidak bisa menahan rasa penasarannya. Bahkan, leher Leo sendiri tampak kaku seperti robot.Meski telah mendapat larangan dan perintah Leo, ternyata rasa penasaran yang kuat membuat Damian mencuri start dan diam-diam melanggar peringatan. Ekor matanya
"Artinya, mereka tau, kamu anak panti yang biaya sekolahnya ditanggung oleh orangtua Alana," ucap Damian.Leo terdiam sejenak memikirkan perkataan Damian."Mereka juga pasti tau kalau orangtua Alana telah menganggapmu sebagai anak angkat. Mungkin juga ada alasan lain yang tidak kamu ketahui, tetapi mereka ketahui sehingga mereka marah dan merasa kamu adalah penghalang bagi mereka, selain Alana," sambung Damian mendebak.Lagi, perkataan dan analisa Damian membuat Leo berpikir keras dengan segala kemungkinan yang tidak dia ketahui, kenapa pembunuh orangtua Alana menjadikan dirinya sebagai kambing hitam. Meski telah berusaha mengingat, nyatanya sampai saat ini Leo belum bisa menemukan jawaban selain alasan keserakahan dari pelaku.Sampai hari berganti, belum ada bukti lain yang bisa mereka dapatkan untuk mengungkap kebenaran. Meski telah mengantongi beberapa bukti, Leo dan Damian masih membutuhkan bukti lain yang lebih kuat untuk mengungkap siapa pelaku sebenarnya. Sampai saat ini mereka
“Katakan! Apa rencanamu sebenarnya?” tegas Leo mempertanyakan tujuan Carlos memaksa Alana menyetujui dia masuk dalam perusahaan. Carlos tidak segera menjawab pertanyaan Leo, melainkan melangkahkan kaki mendekat, lalu berdiri di depan Leo dengan kedua tangan menyangga beban tubuhnya di atas meja kerja Leo. Tubuh pria itu sedikit bungkuk ke arah Leo. Sedangkan sorot mata tajam melekat. Dalam caranya melihat, pria itu menunjukkan api pertempuran secara terang-terangan pada Leo.“Menurutmu?” desis Carlos dengan suara lirih, namun terkesan menantang.Leo kembali menyandarkan punggungnya sembari sedikit memberi gerakan pada kursi kebesarannya. Dia menanggapi pertanyaan Carlos dengan senyum penuh cibir dan wajah menyeringai menertawakan kesombongan Carlos. Meski geram, Leo tetap bersikap tenang menghadapi pria itu. Dia tidak ingin terpancing, hingga merusak semua rencananya.“Menurutku, kamu terlalu berani,” jawab Leo masih dengan senyum remehnya.Bukannya marah atau tersinggung dengan perka
“Pa?” Arga terkejut, tiba-tiba, Carlos mendekat dan langsung memberinya tamparan keras.“Dasar tidak punya otak!” marah Carlos dengan suara lantang. Sekali lagi Carlos memberi tamparan pada wajah Arga yang telah merah dengan cap lima jarinya.“Maaf, Pa.”Arga tidak berdaya, tidak bisa melawan juga. Hanya bisa mendekap pipi merahnya yang terasa sangat sakit dan panas. Bahkan, dari sudut bibirnya merembes darah segar. Dengan satu tangan, Arga mengusap dan menyeka darah itu. Hatinya terasa getir mendapatkan tamparan keras dari papa tirinya, meski semua karena kesalahannya.“Maaf? Otakmu di mana, ha? Kamu pikir dengan kata maaf, bisa menyelesaikan semuanya?” bentak Carlos semakin marah. “Bagaimana kalau perbuatan bejatmu dilihat orang lain? Bagaimana kalau Alana melihatmu? Bagaimana kalau Leo juga tau apa yang kamu perbuat ini? Hah? Apa kamu sudah memikirkan semuanya?” berang Carlos, suara dan nada bicaranya semakin tinggi.Rasa marah yang sudah tertumpuk dan membuncah dalam dirinya karena