Wanita itu menunjukkan sederet giginya yang berwarna putih, dengan tatapan yang tidak lepas dari pria yang ada di hadapannya. "Siapa yang menghindar Damar, bukankah sedari dulu kita memang tidak dekat?" Terdengar kejam tapi Kania masih sakit akan ucapan Damar waktu itu. Mendengar pernyataan Kania, raut wajah Damar berubah, apa kedekatan mereka akhir-akhir ini hanya sebuah kedekatan biasa saja? dan dirinya telah salah sangka? "Jadi begitu, maaf Kania aku telah salah mengira." Pria itu segera bangkit dan pamit meninggalkan ruangan Kania. Usai Damar keluar, raut wajah yang sedikit angkuh menjadi memberengut, sekian detik kemudian dia meletakkan kepalanya di meja, jelas terlihat apabila Kania tidak baik-baik saja. "Damar, kenapa kamu nggak peka!" Di sisi lain Damar juga tidak baik-baik saja. Inilah yang disebut kalah sebelum berperang, biasanya dia selalu menyarankan Arga untuk mengungkapkan langsung perasaannya namun kini dia merasa malu apalagi setelah Kania terlihat hanya m
"Kenapa? aku tidak memakai parfum Sayang! apa kamu mual lagi?" Dengan kening mengkerut Arga menatap Lalita yang sudah memasang wajah kesal. "Iya kamu nggak pakai parfum tapi barusan ada yang meluk kan? kurang ya pelukan dari aku hingga gatal cari pelukan wanita lain." Lalita nerocos berusaha mengeluarkan isi hatinya. Deg Pria itu yang ketahuan habis berpelukan dengan Kania segera memucat, siapa sangka Lalita melihat adegannya tadi. "Sayang maafkan aku, tapi kamu salah paham." Arga berusaha memegang tangan Lalita. Dengan cepat Lalita melepas tangan Arga, dan kemudian dia justru menangis. "Kamu paham nggak sih Mas, selama ini aku berusaha menahan rasa cemburu aku, dan menanamkan dalam diriku jika kalian hanya berteman tapi kamu tuh keterlaluan, janji akan menghargai perasaanku tapi apa? masih berduaan kan dengan Kania!!" Emosi ibu hamil muda mencuat, air matanya keluar semakin deras membuat Arga merasa bersalah padahal cerita yang sebenarnya tidak seperti itu. "Tadi Kania a
"Kenapa harus bersama aku Damar, kan banyak petinggi kantor yang lain atau kamu bisa bersama Arga ataupun Lalita." Kania mengungkapkan keengganannya. Meskipun dia merasa enggannamun tatapannya begitu nanar sungguh hal yang sangat kontras. Menurut Kania, Pria di depannya sulit ditebak, padahal dia sudah cukup tenang saat ini tapi tiba-tiba Damar datang membubarkan ketenangannya. "Kamu yang paham Kania." Dengan pelan Damar mengucapkan alasannya. Kania tertawa mendengar alasan Damar, di perusahaan ini banyak yang bisa bila hanya ikut dinas luar saja. "Sudahlah Damar ajak yang lain saja." Pria itu menatap Kania, dia masih ragu untuk keluar seolah ada yang berbisik agar tetap di ruangan Sang manager. "Aku tidak mau Kania." Ujarnya kemudian. "Apa sih Damar mau kamu!" Wanita itu mulai tidak tahan dengan sikap Damar yang makin kesini makin membuatnya bingung. Sejurus kemudian Damar berdiri, "Aku mau kamu." Keduanya saling tatap dan selepas itu Damar keluar ruangan Kania dengan
Suara bariton Arga membuat Kania terkejut dia sungguh malu tertangkap basah memeluk Damar. Kekhawatiran akan keadaan sang pria membuat Kania tidak berpikir kalau Arga juga datang untuk menjenguk. Perlahan Kania menoleh, dia meringis menatap sang sahabat. "Kamu disini Arga." Cicitnya kemudian. "Kamu pikir mendengarnya kecelakaan aku tidak khawatir!" Sahut Arga yang kemudian menyandarkan pantatnya di bed pasien dengan tangan terlipat di antara perut dan dada. Mata CEO itu menatap sahabatnya, seolah dia meminta penjelasan dengan apa yang baru saja dia lihat "Iya juga kamu kan atasannya." Kata Kania sambil terkekeh."Sudahlah." Arga mencoba untuk tidak bertanya. Kemudian, dia berdiri. Karena sudah ada Kania maka dia akan kembali ke kantor lagipula dia juga tidak ingin mengganggu kebersamaan bawahannya itu. "Ya sudah aku kembali ke kantor dulu, sepulang dari kantor aku akan kesini lagi bersama LalitaLalita," ujarnya. Sebelum pergi Arga menatap Damar sejenak kemudian berjalan menuj
Kekesalannya justru membuat wanita itu menangis, dia benar-benar bingung dengan Damar yang tidak peka dan terus bertanya. Bahasa tubuhnya sudah jelas, tapi mengapa sang pria seolah tidak paham? "Lama-lama aku lelah Damar! kamu bodoh apa hanya pura-pura bodoh, sehingga tidak melihat bahasa tubuhku?" Kania meluapkan isi hatinya, bahkan anak kecil saja bisa tau bahasa tubuhnya. "Maafkan aku." Hanya kata maaf yang keluar dari mulut Damar sementara Kania mengharapkan ucapan lebih. Tapi.... Wanita itu mencoba menenangkan diri mengingat Damar dalam keadaan sakit. "Baiklah maaf diterima." Ujung bibir pria itu tertarik sempurna, dia cukup yakin apabila Kania menyimpan rasa untuknya. Tak ingin Damar semakin sakit, wanita itu kembali memintanya istirahat, dia ingin keluar sebenar untuk membeli minuman maupun makanan untuk Sang pria. "Tetaplah disini menemani aku Kania." Pinta Damar. "Aku cuma beli makanan dan minuman sebentar nggak lama kok," bujuk Kania. Meski hatinya dibuat
Mata wanita itu terbelalak sempurna, dengan senyum bahagia dia menatap Damar. "Apa Damar, kamu bilang apa?" Sekali lagi dia ingin mendengar pernyataan cinta Damar. "Aku mencintaimu." Dan sekali lagi dia mengucapkan kata cintanya. "Ulangi lagi Damar." Pintanya. "Aku mencintaimu, aku mencintaimu Kania." Sampai dua kali dia mengucapkan kata cintanya.Dengan mata yang berkaca Kania segera memeluk Damar, dia amat sangat bahagia karena akhirnya pria pujaannya mengungkapkan perasaannya. Namun sesaat kemudian pria itu melepas pelukannya, "Tunggu, bagaimana dengan kamu Kania. Apa kamu juga memiliki perasaan yang sama?" Kania mengangguk, "Bodoh kenapa masih bertanya, jelas lah aku memiliki perasaan yang sama jika tidak untuk apa aku disini." Kata Kania. Kemudian wanita itu kembali memeluk Damar dan dia juga membalas ungkapan perasaan kekasih barunya itu. "I Love you Damar."Saat bersamaan pintu terbuka, Rangga yang ponselnya tertinggal harus kembali lagi dan dia lah satu-satunya saksi
Wajah Kania memucat, apa dia katakan saja yang sebenarnya? atau disembunyikan saja hubungan mereka? Entahlah.... Wanita itu tetap bergeming hingga ucapan sang Papa mengejutkan dirinya. "Sebenarnya Papa ingin menjodohkan kamu dengan Pak Rangga." Deg Jantung Kania yang awalnya baik-baik saja kini berpacu dengan cepat, sehingga matanya turut membuka sempurna. "Apa!? dijodohkan dengan Rangga? CEO siputra Group itu?" Suara Kania sedikit meninggi mengiringi keterkejutannya. "Iya, dia hampir mirip dengan Arga. Lagipula kemarin Papa juga sudah bicara dengan papanya." Jelas sang Papa. Jika dilihat dari ekspresi dan raut wajah jelas Papa Kania lebih setuju apabila sang anak bersama Rangga daripada dengan Damar. Tapi Kania menolak keinginan sang Papa, dia baru saja jadian dengan Damar jadi bagaimana mungkin dia bersedia dijodohkan dengan Rangga. "Kania tidak bisa Pa." Tuturnya kemudian. Jawaban Kania membuat papanya kecewa, "Apa penolakan kamu ini karena Damar?" Papa Kania sud
Pagi itu Kania sibuk berkutat di dapur, dia sengaja menyiapkan makanan untuk kekasih tercintanya yang kini berada di rumah sakit. Kotak bekal makanan siap di meja makan tentu hal ini mengundang pertanyaan sang Papa. "Bekal makanan ini untuk siapa?" Kania tersenyum menatap sang papa. "Untuk Damar Pa, sebelum ke kantor Kania mau jenguk dia terlebih dahulu." Pria paruh baya itu agak kesal mendengar jawaban sang anak. "Apa kamu yakin dengan Damar Kania?" Sang papa juga menatap balik sang anak. Seraut wajah nanar mencuat, dia mencintai Damar tentu dirinya yakin bersama pria itu. "Seratus persen Pa, Kania mencintainya." Sebagai orang tua tentu sang papa menginginkan yang terbaik untuk sang anak tapi apabila sang anak menolak, sang Papa pun tidak bisa apa-apa selain mendoakan. "Meskipun begitu Papa harap kamu bisa berpikir kembali Kania, Rangga jauh lebih baik dari Damar." Ujar sang Papa yang kemudian pergi meninggalkan makanan yang baru dimakan sedikit. "Pa, maafkan Kania.
Lili sangat ketakutan, sebelum keluarga Winata melaporkannya ke pihak berwajib wanita itu ingin mencari cara agar bisa pergi dari rumah mewah itu. Meski perutnya masih belum sepenuhnya sembuh, Lili sudah mengendap-ngendap berusah keluar dari rumah. Usahanya berhasil, dia kini telah keluar dari rumah Arga. Wanita itu berjalan di heningnya malam, ingin sekali berhenti dan istirahat namun dia takut jika orang-orang keluarga Winata menemukannya. Karena kelelahan hampir saja dia tertabrak oleh mobil. Segera pengemudi itu keluar. "Kamu tidak apa-apa?" tanyanya. Pria itu nampak menatap Lili, melihat tubuh serta wajah Lili yang lumayan membuat pria itu tersenyum. "Tidak apa-apa." Sahut Lili. "Kamu mau kemana malam-malam begini?" Pria itu kembali bertanya. Lili menggeleng, dia sendiri tidak tau mau kemana. "Bagaimana jika kamu ikut denganku." Pria itu menawarkan jasa kepada Lili. Dengan segera Lili mengiyakan tawaran pria itu. Di dalam mobil, Lili menceritakan kesiala
Damar dan Kania begitu menikmati bulan madu mereka, meski belum bisa unboxing tapi Damar sudah sangat bahagia. "Aku beruntung karena Tuhan telah menciptakan bidadari cantik untukku." Gombalan Damar membuat Kania melambung. Pipi wanita itu juga memerah. "Ih kamu tuh bisa aja Mas." Tangan Kania mencubit kecil perut Damar. "Aduh kok ducubit sih Sayang." Damar pura-pura kesakitan. Kania memeluk suaminya tersebut. Begitulah Damar ketimbang Arga, Damar jauh lebih dewasa. Pria itu selalu memiliki cara untuk membuat Kania ke awan. Selama di Korea, Damar dan Kania tidak banyak keluar mengingat di negara tersebut tengah turun salju. Banyak alat transportasi yang berhenti operasi karena sering terjadi badai. Namun Damar dan Kania cukup senang terlebih Damar karena bisa setiap hari bersama sang Papa. ###### Di rumah sakit, Lili bersiap untuk pulang. Keadaannya sudah cukup baik, luka operasi juga tidak ada masalah jadi pihak rumah sakit sudah mengijinkannya pulang. Wanita itu memiki
Lalita sangat shock mendengar bayi Lili meninggal, dia memeluk Arga dengan erat bahkan wanita itu menangis. Arga pun menenangkan istrinya, "Sudah jangan menangis ini semua sudah takdir Lili dan bayinya." Tak berselang lama suster membawa Lili keluar, wanita jahat itu terlihat sedih. "Lili." Lalita menatap Lili. Tapi Lili justru membuang mukanya, terlihat sekali kebencian di wajah wanita itu. "Mohon maaf, pasien dirawat di ruang kelas berapa?" Tanya suster. "Ruang VVIP." Seketika Lalita menyahut. Suster mengangguk lalu meminta suster lainnya untuk segera menyiapkan ruang VVIP. Arga dan Lalita ikut ke ruang VVIP rencananya Lalita akan menemani Lili. Disaat seperti Lili pasti memerlukan seorang teman, pikirnya. "Lili kamu yang sabar." Dengan lembut Lalita memberikan supportnya kepada Lili. Namun bukannya berterima kasih Lili justru berteriak dan meminta Lalita pergi. "Tidak udah sok baik, aku tahu kamu lah yang membunuh anakku!" Wanita itu histeris. Arga segera meme
Dua hari setelah menikah, Damar dan Kania terbang ke negara gingseng. Selain bulan madu Damar juga ingin mengunjungi sang papa. Kerinduan yang masih belum terpuaskan memutuskan dia dan Kania memilih negara gingseng menjadi tujuan bulan madu mereka. "Sayang kita hanya dapat cuti sepuluh hari jadi bulan madu kita hanya seminggu saja." Ujar David saat dia dan Kania mengemas barang. "Iya Mas, " sahut Kania. "Tapi ngomong-ngomong, gimana banjirnya? apa sudah surut?" Pria itu berharap jika istrinya sudah bisa diunboxing ketika di negara gingseng nanti. "Belum surut Mas." Jawab Kania sambil tertawa. Seketika Damar melemas, dia sudah tidak sabar merasakan nikmatnya malam pertama. "Ya sudah." Hanya dua kata pasrah yang mampu Damar ucapkan. ##### Menjelang siang, Lalita sudah berkutat di dapur untuk membuat bubur. Bubur ini rencananya akan diberikan ke Kakek karena pria tua itu sedang tidak enak badan. Lili yang baru turun nampak heran melihat Lalita menyajikan bubur.
Di sebuah kamar hotel yang mewah, pasangan pengantin baru tidur dengan saling peluk.Kelelahan karena pesta semalam membuat keduanya masih memejamkan mata meski matahari sudah merangkak naik.Suara dering ponsel membangunkan Damar dan Kania yang masih ingin lebih lama di alam mimpinya."Siapa sih Mas, subuh-subuh telpon." Gerutu Kania tanpa mau melepaskan pelukannya."Entah Sayang." Damar bangun lalu mengambil kacamatanya. Segera dia menerima panggilan telpon yang ternyata dari sang papa. Papanya bilang jika kini sudah berada di Bandara, dia harus segera kembali ke negaranya karena banyak pekerjaan. Semenjak Mama serta adik Damar meninggal dalam tragedi sebuah kecelakaan, Papa Damar memutuskan tinggal diluar negeri. Selain ada tawaran kerja yang lebih menjanjikan alasan Papa Damar tinggal diluar negeri untuk melupakan almarhumah istrinya.Usai menerima telpon, Damar mengambil minum. Ada rasa bersalah karena tidak mengantar papanya ke Bandara."Ada apa Mas?" tanya Kania. "Papa suda
Sebelum acara selesai Arga pamit pulang karena Lalita sudah terlihat kelelahan. Sebenarnya Damar dan Kania masih menginginkan Arga untuk mengikuti acara sampai selesai. "Aku juga ingin tapi Lalita sudah kelelahan." Ujar Arga. Damar tak bisa melarang Arga karena memang perut Lalita sudah besar jadi wajar jika gampang lelah. "Baik Pak. Terima kasih atas hadiahnya." Pria itu merangkul tubuh atasannya. Begitu pula dengan Kania. "Hati-hati Lalita." Kania nampak mengkhawatirkan Lalita. Kini mereka berada di mobil, Lili nampak memberengut karena dia masih ingin di pesta Damar. Sesampainya di rumah, Arga menggendong Lalita karena istrinya mengeluh punggungnya kencang. Lili yang melihat itu tampak mengepalkan tangan, dia menggerutu menganggap jika Lalita terlalu manja. Kakek yang kebetulan keluar kamar mendengar gerutuan Lili. "Ada apa Lili? kenapa kamu menggerutu membicarakan Lalita." Tanya pria tua itu. Wanita jahat itu tersenyum licik, dia bisa menghasut kakek untu
"Baiklah Kek." Arga dan Lalita menyahut barengan. Sementara itu Lili tersenyum puas karena berhasil ikut. "Ya sudah kalau Arga dan Lalita ingin aku ikut." Ujarnya lalu dia pamit ganti pakaian. Raut muka Arga dan Lalita benar-benar berubah, sedangkan Kakek menasehati mereka agar bisa menerima Lili. "Ingat pesan Kakek ya Arga, Lalita." Lalu beliau juga pamit turun ke bawah lagi. "Kakek ada-ada saja." gerutu Arga kesal. "Ya sudah lah Mas," Lalita berusaha menghibur suaminya. Tak selang lama, Lili keluar, Arga dan Lalita bangkit lalu mereka turun ke bawah. Di mobil Arga dan Lalita duduk di bangku depan sedangkan Lili diminta duduk di bangku belakang. "Arga Lalita, aku tidak bisa duduk di belakang." Wanita itu berucap pelan. Arga yang sadari tadi kesal kini semakin kesal setelah mendengar ucapan Lili. "Apa kamu mau menyetir?" tanyanya menahan amarah. "Bukan begitu Arga, bisakah aku duduk di depan dan Lalita duduk di belakang?" Permintaan Lili membuat Arga menge
Siang itu Lalita keluar kamar untuk bersantai sejenak di taman, kepura-puraannya cukup melelahkan serta membosankan sehingga membuat wanita hamil itu sangat pusing. Baru saja dia memetik bunga mawar, terlihat Lili berjalan ke arahnya. "Apa yang ingin wanita jahat ini lakukan." Gumam Lalita. Raut wajahnya seketika berubah, tapi buru-buru Lalita mengubahnya kembali ke settingan senang. "Eh Lili," Dengan tersenyum dia menyapa Lili. "Hai Lalita." Balas Lili. "Kamu tampak bugar sekali." Lili berbasa-basi dengan berucap demikian. Lalita menatap Lili, 'Jelas bugar, baru saja disiram.' Batinnya yang masih menunjukkan sederet gigi putihnya. Lili turut memetik bunga mawar, dia ingin meniru apa yang Lalita lakukan. Saat bersamaan, Lalita menerima panggilan telpon dari Arga. Pria itu meminta Lalita untuk memikirkan hadiah apa yang cocok untuk Damar dan Kania. "Astaga Mas, bisa-bisanya aku lupa kalau mereka akan menikah." Wanita itu baru ingat. "Nanti aku pikirkan ha
Di dalam kamarnya Lili menangis, setelah kelelahan harus jalan dari depan Kompleks ke rumah, kini Arga kembali mempermainkannya dengan drama kopi. "Apa kurangnya aku Arga! Kenapa kamu tidak menghargai apa yang telah aku lakukan untukmu!" Wanita itu berteriak sambil membuang bantalnya. Tidak ada yang salah dengan apa yang dilakukan tapi ambisinya lah yang salah. Hanya demi hasrat terlarang, dia tega mencelakai sepupunya. Seandainya Lili sadar akan keadaannya serta tahu diri jika dia hanya menumpang mungkin mereka bisa berteman baik dan menjadi keluarga yang baik pula. Keesokan harinya wanita itu terlihat tak bersemangat, selain kurang tidur Lili juga kelelahan sehingga membuat tubuhnya lemah. Ketika Lili keluar kamar dia sudah melihat Arga duduk di sofa sambil meminum kopi. Dia mengira itu adalah kopi buatannya semalam tapi yang tanpa Lili tahu kopi itu baru saja dibuat oleh Lalita. "Pagi Arga," sapa Lili dengan senyum mengembangnya. "Kemarin aku masuk kamar, niatk