Suara bariton Arga membuat Kania terkejut dia sungguh malu tertangkap basah memeluk Damar. Kekhawatiran akan keadaan sang pria membuat Kania tidak berpikir kalau Arga juga datang untuk menjenguk. Perlahan Kania menoleh, dia meringis menatap sang sahabat. "Kamu disini Arga." Cicitnya kemudian. "Kamu pikir mendengarnya kecelakaan aku tidak khawatir!" Sahut Arga yang kemudian menyandarkan pantatnya di bed pasien dengan tangan terlipat di antara perut dan dada. Mata CEO itu menatap sahabatnya, seolah dia meminta penjelasan dengan apa yang baru saja dia lihat "Iya juga kamu kan atasannya." Kata Kania sambil terkekeh."Sudahlah." Arga mencoba untuk tidak bertanya. Kemudian, dia berdiri. Karena sudah ada Kania maka dia akan kembali ke kantor lagipula dia juga tidak ingin mengganggu kebersamaan bawahannya itu. "Ya sudah aku kembali ke kantor dulu, sepulang dari kantor aku akan kesini lagi bersama LalitaLalita," ujarnya. Sebelum pergi Arga menatap Damar sejenak kemudian berjalan menuj
Kekesalannya justru membuat wanita itu menangis, dia benar-benar bingung dengan Damar yang tidak peka dan terus bertanya. Bahasa tubuhnya sudah jelas, tapi mengapa sang pria seolah tidak paham? "Lama-lama aku lelah Damar! kamu bodoh apa hanya pura-pura bodoh, sehingga tidak melihat bahasa tubuhku?" Kania meluapkan isi hatinya, bahkan anak kecil saja bisa tau bahasa tubuhnya. "Maafkan aku." Hanya kata maaf yang keluar dari mulut Damar sementara Kania mengharapkan ucapan lebih. Tapi.... Wanita itu mencoba menenangkan diri mengingat Damar dalam keadaan sakit. "Baiklah maaf diterima." Ujung bibir pria itu tertarik sempurna, dia cukup yakin apabila Kania menyimpan rasa untuknya. Tak ingin Damar semakin sakit, wanita itu kembali memintanya istirahat, dia ingin keluar sebenar untuk membeli minuman maupun makanan untuk Sang pria. "Tetaplah disini menemani aku Kania." Pinta Damar. "Aku cuma beli makanan dan minuman sebentar nggak lama kok," bujuk Kania. Meski hatinya dibuat
Mata wanita itu terbelalak sempurna, dengan senyum bahagia dia menatap Damar. "Apa Damar, kamu bilang apa?" Sekali lagi dia ingin mendengar pernyataan cinta Damar. "Aku mencintaimu." Dan sekali lagi dia mengucapkan kata cintanya. "Ulangi lagi Damar." Pintanya. "Aku mencintaimu, aku mencintaimu Kania." Sampai dua kali dia mengucapkan kata cintanya.Dengan mata yang berkaca Kania segera memeluk Damar, dia amat sangat bahagia karena akhirnya pria pujaannya mengungkapkan perasaannya. Namun sesaat kemudian pria itu melepas pelukannya, "Tunggu, bagaimana dengan kamu Kania. Apa kamu juga memiliki perasaan yang sama?" Kania mengangguk, "Bodoh kenapa masih bertanya, jelas lah aku memiliki perasaan yang sama jika tidak untuk apa aku disini." Kata Kania. Kemudian wanita itu kembali memeluk Damar dan dia juga membalas ungkapan perasaan kekasih barunya itu. "I Love you Damar."Saat bersamaan pintu terbuka, Rangga yang ponselnya tertinggal harus kembali lagi dan dia lah satu-satunya saksi
Wajah Kania memucat, apa dia katakan saja yang sebenarnya? atau disembunyikan saja hubungan mereka? Entahlah.... Wanita itu tetap bergeming hingga ucapan sang Papa mengejutkan dirinya. "Sebenarnya Papa ingin menjodohkan kamu dengan Pak Rangga." Deg Jantung Kania yang awalnya baik-baik saja kini berpacu dengan cepat, sehingga matanya turut membuka sempurna. "Apa!? dijodohkan dengan Rangga? CEO siputra Group itu?" Suara Kania sedikit meninggi mengiringi keterkejutannya. "Iya, dia hampir mirip dengan Arga. Lagipula kemarin Papa juga sudah bicara dengan papanya." Jelas sang Papa. Jika dilihat dari ekspresi dan raut wajah jelas Papa Kania lebih setuju apabila sang anak bersama Rangga daripada dengan Damar. Tapi Kania menolak keinginan sang Papa, dia baru saja jadian dengan Damar jadi bagaimana mungkin dia bersedia dijodohkan dengan Rangga. "Kania tidak bisa Pa." Tuturnya kemudian. Jawaban Kania membuat papanya kecewa, "Apa penolakan kamu ini karena Damar?" Papa Kania sud
Pagi itu Kania sibuk berkutat di dapur, dia sengaja menyiapkan makanan untuk kekasih tercintanya yang kini berada di rumah sakit. Kotak bekal makanan siap di meja makan tentu hal ini mengundang pertanyaan sang Papa. "Bekal makanan ini untuk siapa?" Kania tersenyum menatap sang papa. "Untuk Damar Pa, sebelum ke kantor Kania mau jenguk dia terlebih dahulu." Pria paruh baya itu agak kesal mendengar jawaban sang anak. "Apa kamu yakin dengan Damar Kania?" Sang papa juga menatap balik sang anak. Seraut wajah nanar mencuat, dia mencintai Damar tentu dirinya yakin bersama pria itu. "Seratus persen Pa, Kania mencintainya." Sebagai orang tua tentu sang papa menginginkan yang terbaik untuk sang anak tapi apabila sang anak menolak, sang Papa pun tidak bisa apa-apa selain mendoakan. "Meskipun begitu Papa harap kamu bisa berpikir kembali Kania, Rangga jauh lebih baik dari Damar." Ujar sang Papa yang kemudian pergi meninggalkan makanan yang baru dimakan sedikit. "Pa, maafkan Kania.
Sepanjang perjalanan Lalita terus saja tertawa melihat ekspresi sang suami, baru begini saja sudah bingung setengah mata lantas bagaimana apabila dirinya melahirkan nantinya? "Mas Mas, malu sama dokternya." Lalita menggelengkan kepala. Arga masa bodoh, memangnya malu kenapa toh mereka juga sudah menikah. Kini mereka fokus dengan pandangan mereka masing-masing hingga suara Lalita terdengar. "Mas aku masuk kerja ya, bosan aku di rumah. Lagipula kan hanya kontraksi biasa." Dengan tatapan memohon Lalita meminta Arga mengijinkannya bekerja. Tatapan maut pria itu lempar, sudah terlihat apabila dia tidak setuju dengan keinginan sang istri. "Aku tidak mau ambil resiko, di rumah saja istirahat!" Ucapannya bak harga mati yang tidak bisa dibantah sehingga Lalita diam menunduk, menurut apa yang suaminya ucapkan. Usai mengantar Lalita pulang, Arga bergegas berangkat karena dirinya sudah sangat telat. Pekerjaan hari ini sangat banyak, ketidakhadiran sekertaris maupun asistennya membuat
Kata-kata marah hilang sudah, bahkan rasa kesal yang sedari tadi bergejolak di dada tak tau kemana. Kini hanya ada rasa nikmat yang terus sang pria berikan. Kecupan lembut berubah menjadi pautan panas yang membuat keduanya hanyut dalam nafsu. Kania meremas tangannya yang berkeringat, aktivitas mereka cukup membuat suhu tubuh naik drastis meski ada AC mobil yang terus menyala. Mata Kania terpejam, dia begitu menikmati setiap kecupan, bahkan lidahnya turut bermain beriringan dengan lidah sang kekasih. Nafas terus memburu seiring aktivitas mereka sehingga selang berikutnya Damar mengakhiri pautannya. Keduanya saling diam, sambil mengatur nafas masing-masing. "Kamu kenapa nggak bilang-bilang?" Protes Kania malu-malu sambil mengusap sisa saliva di bibirnya. "Kalau bilang belum tentu kamu mau," sahut Damar dengan malu-malu pula. "Pasti mau lah Damar." Spontan Kania keceplosan. Wanita itu memukul kecil kepalanya, menyipitkan mata merutuki kebodohannya. 'Apa yang aku kata
Tak kunjung mendapatkan balasan, Direktur keuangan itu memutuskan kembali ke ruangannya. Pria paruh baya itu berpikir mungkin Sang anak ikut dinas luar CEO. Di ruangannya setelah usai makan siang, Kania dan Damar kembali bekerja. Damar yang terbiasa kerja cepat dan fokus nampak tak menghiraukan Kania yang justru tak fokus, kedua netra Sang kekasih terus saja menatap Damar. "Dia sungguh tampan." Manager itu berbicara dalam hati sambil terus menatap atasannya. Tau apabila sang kekasih terus menatapnya, Damar pun berkomentar. "Pekerjaan tidak akan mungkin selesia apabila kamu terus menatap aku Kania." Terlihat Kania tersentak kaget, sejurus kemudian dia mulai membuka laptop miliknya. Melihat Kania, bibir Damar tertarik. Sungguh menggemaskan sekali kekasihnya. "Jika tidak di kantor pasti sudah aku cium dirimu." Keduanya kini fokus dengan pekerjaan masing-masing hingga tak jam pulang telah datang. Damar yang masih ada urusan bersama Arga meminta Kania untuk pulang terlebih
Siang itu Lalita keluar kamar untuk bersantai sejenak di taman, kepura-puraannya cukup melelahkan serta membosankan sehingga siang itu dia ingin bersantai sejenak. Baru saja dia memetik bunga mawar, terlihat Lili berjalan ke arahnya. "Apa yang ingin wanita jahat ini lakukan." Gumam Lalita. Raut wajahnya seketika berubah, tapi buru-buru Lalita mengubahnya kembali ke settingan senang. "Eh Lili," Dengan tersenyum dia menyapa Lili. "Hai Lalita." Balas Lili. "Kamu tampak bugar sekali." Lili berbasa-basi dengan berucap demikian. Lalita menatap Lili, 'Jelas bugar, baru saja disiram.' Batinnya yang masih menunjukkan sederet gigi putihnya. Lili turut memetik bunga mawar, dia ingin meniru apa yang Lalita lakukan. Saat bersamaan, Lalita menerima panggilan telpon dari Arga. Pria itu meminta Lalita untuk memikirkan hadiah apa yang cocok untuk Damar dan Kania. "Astaga Mas, bisa-bisanya aku lupa kalau mereka akan menikah." Wanita itu baru ingat. "Nanti aku pikirkan hadiahnya
Di dalam kamarnya Lili menangis, setelah kelelahan harus jalan dari depan Kompleks ke rumah, kini Arga kembali mempermainkannya dengan drama kopi. "Apa kurangnya aku Arga! Kenapa kamu tidak menghargai apa yang telah aku lakukan untukmu!" Wanita itu berteriak sambil membuang bantalnya.Tidak ada yang salah dengan apa yang dilakukan tapi ambisinya lah yang salah. Hanya demi hasrat terlarang, dia tega mencelakai sepupunya. Seandainya Lili sadar akan keadaannya serta tahu diri jika dia hanya menumpang mungkin mereka bisa berteman baik dan menjadi keluarga yang baik pula. Keesokan harinya wanita itu terlihat tak bersemangat, selain kurang tidur Lili juga kelelahan sehingga membuat tubuhnya lemah Ketika Lili keluar kamar dia sudah melihat Arga duduk di sofa sambil meminum kopi. Dia mengira itu adalah kopi buatannya semalam tapi yang tanpa Lili tahu kopi itu baru saja dibuat oleh Lalita. "Pagi Arga," sapa Lili dengan senyum mengembangnya."Kemarin aku masuk kamar, niatku menunggumu di
Malam semakin larut Arga dan wanita memutuskan untuk pulang.Sesampainya di rumah, Lalita meminta Arga masuk terlebih dahulu memastikan keberadaan Lili. "Ah merepotkan sekali!" Gerutu pria itu. Sebenarnya Arga sudah muak kucing-kucingan seperti ini tapi dia tidak memiliki pilihan lain selain melakoni aktingnya sebelum kebusukan Lili terbongkar. "Ayolah Mas." Lalita memelas. "Baik Sayang," lalu keluar dari mobil. Pria itu berjalan menuju kamarnya, untung saja Lalita memintanya masuk terlebih dahulu jika tidak pasti akan kepergok Lili yang kini duduk di sofa."Apa yang kamu lakukan?" tanya Arga menatap Lili dengan tajam."Perut aku sakit Arga karena tadi aku berjalan dari depan Kompleks sampai ke rumah," Dia memasang raut wajah sesedih mungkin untuk menarik simpati Arga. Dari awal Arga yang sudah memperkirakan semuanya hanya bisa terdiam sambil menahan tawa dalam hati. 'Wanita bodoh' batinnya dengan menatap Lili. "Kenapa kamu tidak menghubungi sopir untuk menjemput?" Seolah tak t
Pulang dari kerja Arga langsung masuk ke dalam kamar tapi sesaat kemudian dia keluar dengan marah-marah."Terus saja tidur, nggak usah mempedulikan aku!" Suara keras Arga membuat Lili yang duduk tak jauh dari tempatnya segera bangkit dan mendekat. Kemarahan Arga menjadi kesempatan Lili untuk mendekati sepupunya itu."Ada apa Arga? kenapa marah-marah." Suaranya dibuat selembut mungkin agar Arga terpesona. "Aku heran sama Lalita! kerjaannya tidur terus, apa dia tidak memikirkan aku yang baru pulang!" jawab Arga yang masih menunjukkan raut marahnya. Lili menyunggingkan senyuman licik dia berhasil membuat Arga memiliki asumsi buruk kepada Lalita."Entahlah Arga aku terkadang juga heran bahkan aku sudah menasehatinya untuk tidak tidur di saat kamu pulang. Tapi kelihatannya istri kamu suka sekali dengan tidur." Lili terlihat memprovokasi, menjelekkan Lalita di depan Arga. "Aku juga hamil tapi tidak seperti Lalita yang malas." Ucapnya kemudian."Iya dia sangat pemalas bahkan tidak peduli
Lili dan Arga turun bersama, dan sesampainya di ruang makan Arga nampak mengerutkan alis ketika melihat hidangan yang tersaji di meja makan."Makanan apa yang kamu masak untuk aku?" Raut wajah Arga terlihat tak suka melihat makanan yang Lili masak."Sup ayam dan telur." Wanita itu nampak was-was melihat raut wajah Arga."Aku sedang tidak ingin makan sup buatkan makanan lainnya," ujarnya kemudian yang membuat Lili melongo menatapnya.Hari sudah malam tapi Arga malah memintanya untuk memasak kembali."Tapi Arga, sup ini baru saja aku masak. Sangat enak kok." dia membujuk Arga agar mau memakan sup buatannya.Tapi Arga tetap bersikeras dia tidak ingin makan sup malam ini. "Lalu kamu mau makan apa?" tanya Lili."Buatkan aku nasi goreng seafood, acar mentimun sama wortel dan telur setengah matang." Meskipun permintaannya sudah banyak tapi pria itu masih berpikir seolah ada yang ingin dia tambahkan lagi. "Oh ya jangan lupa sosis dan kerupuknya." Cicitnya kemudian.Lili kembali menatapnya,
Sesampainya di rumah Arga mengambil sampel minuman sisa di gelas Lalita. Pria itu segera memanggil dokter pribadinya untuk memeriksa kandungan apa yang ada di dalam minuman itu. "Besok akan saya kirim hasilnya Pak." Kata Dokter. "Aku hanya memberi kamu waktu satu jam." Agaknya pria itu tidak mau menunggu lebih lama lagi. "Tapi Pak...." Kilatan tatapan menyeramkan segera Dokter dapat sehingga pria paruh baya itu tak memiliki pilihan lain selain mengikuti kemauan pasiennya itu. "Baik Pak, dalam waktu satu jam hasilnya akan saya kirim." Lalu Dokter itu pamit. Arga menunggu hasil pemeriksaan dengan cemas, dia takut apabila ada zat berbahaya yang dikonsumsi sang istri. Sudah lebih dari satu jam namun laporan masih belum dia terima sehingga pria itu menghubungi dokter pribadinya kembali. "Cept kirim hasilnya!" Teriak Arga dalam sambungan telponnya. "Maafkan saya Pak, ada sedikit kendala. Sepuluh menit lagi akan saya kirim." Sahut Dokter itu. Merasa kesal, Arga meletakkan pon
Wajah memberengut Kania perlahan memudar bahkan kini senyuman tersungging di bibirnya, "Benarkah Mas?" Dia bertanya sambil menatap Damar.Pria itu mengangguk dengan tersenyum pula dia lega karena calon istrinya sudah tidak cemberut lagi iya. "Iya Sayang." Tangan Damar mengelus pucuk kepala kania.Wanita itu pun memeluk calon suaminya sembari berkata. "Maafkan aku Mas yang telah salah paham.""Iya Sayang tidak apa-apa." kemudian dia mengeratkan pelukan mereka."Lain kali tanya dulu jangan langsung mengambil keputusan sendiri seperti ini." Ujar Damar kemudian."Iya Mas Maafkan Aku." Kata Maaf kembali terucap.Hari ini Damar mendapatkan bonus dari Arga, bonus yang cukup besar sehingga bisa memberikan kalung Kania.Rencananya dia akan membeli kalung itu ketika mereka menikah nanti Namun karena ada masalah seperti ini akhirnya Damar pun memutuskan untuk membeli kalung itu hari ini.Di sisi lain Lalita dan Lili telah mengobrol bersama di ruang keluarga. Lili terus menatap Lalita yang asik m
Di ruangan CEO Damar turut menyambut kedatangan Bu Indah. Dia dan Arga sama sekali tidak menyangka kalau Bu Indah datang sendiri untuk berterima kasih bahkan dengan penuh terima kasih memakai kalung pemberiannya kemarin."Saya sangat berterima kasih Pak Arga atas hadiah yang sangat mewah ini." CEO wanita itu bergantian menatap Arga dan juga Damar secara bergantian."Jangan sungkan Bu Indah Itu hadiah yang tidak seberapa." Sahut Arga.Keduanya mengobrol dan saling berterima kasih sambil membahas planning kerjasama mereka kedepannya.Tak terasa waktu cepat berlalu sudah waktunya bagi Bu Indah untuk pamit.Selepas kepergian wanita nomor satu itu Damar juga pamit kembali ke ruangannya.Ketika jam makan siang datang Damar datang ke ruangan calon istrinya, pria itu ingin mengajak Kani untuk makan siang. "Ajak saja wanita kamu jangan mengajakku!" Kania merespon ajakan Damar dengan ketus. Kerutan-kerutan di dahi Damar mulai terlihat. Ada apa? dia merasa heran dengan ucapan sang wanita yang a
Sepanjang hari Kania gusar karena Damar tak kunjung memberikan hadiah kalungnya. Apalagi ketika jam makan siang Damar justru keluar sendiri tanpa mengajaknya. Kania yang tidak bisa menahan rasa hatinya pergi menemui sang atasan untuk bertanya langsung urusan Damar keluar kantor. "Arga, apa Damar ada meeting dengan klien?" Segera Kania mengeluarkan pertanyaan saat dia memasuki ruangan CEO. Arga yang masih sibuk menatap Kania sesaat lalu dia menggeleng. "Tidak ada meeting?" Sekali lagi Kania memastikan. "Tidak Kania, jika kamu ingin tahu dimana dia sekarang kenapa tidak menelponnya saja!" Merasa terganggu akan pertanyaan Kania, Arga pun sedikit kesal. Wanita itu mengangguk, kemudian dia pamit kembali ke ruang kerjanya. "Apa aku telpon saja ya." Sepanjang lorong menuju ruangannya Kania bergumam. Dia masih ragu antara menelpon Damar atau tidak. Hingga akhirnya Kania memencet kontak Damar. Panggilan tersambung tapi calon suaminya tak kunjung menerima panggilannya. "Dima