“Seenaknya saja bilang aku rindu, siapa juga yang merindukanorang sepertinya!” Gerutu Lalita sambil meletakkan ponselnya.Menggoda Lalita sekarang agaknya jadi hobi baru Arga. Takingin terus mendapatkan pertanyaan dari Arga, wanita itu segera memutussambungan teleponnya.Tapi…. Wanita itu diam sejenak. Berpikir dengan keras,bukankah apa yang barusan dia lakukan adalah bentuk rasa rindu???“Tidak mungkin aku merindukannya! Tidak akan pernah!”tekadnya lagi sebelum kembali menyibukkan diri dengan pekerjaan lain yang diaada-adakan.Tidak lama, Arga datang bersama Damar, juga Rangga dan satupria lainnya.Lalita mengerutkan kening ketika dia berdiri dan menyambutkedatangan empat pria itu, dan yang dia dapati adalah sikap dingin Arga.Sungguh, berbeda sekali sikap sang suami dengan tadi yangmenggoda di telepon. Lalita tidak mengerti, apakah ini bentuk usaha untukmelindungi status pernikahan mereka yang tidak boleh diketahui oleh Rangga danpria satunya lagi?Sementara Arga bersikap
“Maaf Pak.” Baru sadar akan sikapnya, Lalita bergegas melepas pelukan Arga. Wanita itu kembali menunduk, takut. Helaan terdengar dari hadapan wanita itu. “Sudahlah, tidak apa-apa.” Seandainya bukan Lalita mungkin Arga bisa marah besar, bahkan dia akan melepas dan membuang pakaian yang dia kenakan. “Sebaiknya Pak Arga mandi, dan berikan bajunya pada saya,” pinta Lalita. “Saya akan mencucinya dengan bersih.” Tidak ingin beradu pendapat lagi, Arga pun bergegas melakukan yang Lalita pinta. Interaksi mereka yang semula tidak enak, kini berangsur kembali normal. Perasaan kecewa dan sakit hati Lalita pun berangsur menghilang, meski dia masih was-was Arga mengulangi kesalahan yang sama. Hingga tengah malam menjelang, di mana Lalita telah tertidur pulas di sofa… Arga yang masih terjaga berdecak kesal saat ponsel milik sang istri terus berbunyi. “Kebiasaan, kenapa tidak menggunakan mode diam saat tidur.” Pria itu turun dari tempat tidurnya kemudian mengambil ponsel sang istri. Saat dia
“Anda sudah mau berangkat Pak?” Keesokan harinya, ketika Lalita membuka matanya terlihat Arga sudah bersiap. Pria yang harus mengurusi proyeknya itu terlihat sangat sibuk. Arga baru baru pulang dini hari, dan kini pagi sekali sudah harus berangkat. Dia mengangguk dengan wajah yang terlihat sangat payah. “Hari ini kemungkinan aku tidak datang ke kantor.” Mendengar kalimat terakhir sang suami, seketika Lalita melemas. Ditinggal separuh hari saja dirinya sudah gusar, apalagi ini seharian? Namun, tentu saja Lalita tidak menyatakan kegusarannya itu. Alih-alih protes pada kesibukan Arga, dia mengangguk. “Baik, Pak.” Setelahnya, Arga bergegas. Tinggallah Lalita yang tidak bersemangat, tetapi harus tetap pergi ke kantor hari ini. Sebelum dia berangkat, Lalita melihat sekilas buku-buku pemberian Arga. Dia mengambil buku-buku itu dan membawanya ke kantor. “Buat bacaan di kantor,” gumam Lalita lalu keluar. Menggunakan taksi online karena sopir pribadinya tengah sakit, Lalita pun pergi
Lalita lantas tertawa mendengar pertanyaan sahabatnya itu. "Ngaco, mana mungkin Mario!” Tawa wanita itu terdengar begitu lepas dan renyah. “Dia CEO sedangkan aku hanya Upik Abu.”Melihat hal itu, Mario jadi tersenyum. “Begitu? Kalian terlihat sangat akrab. Aku kira, kamu menyukainya,” ulang pria itu.“Tidak mungkin,” sanggah Lalita lagi. “Pun kalau aku suka pada CEO-CEO itu, sudah pasti aku akan patah hati duluan, Mario.”Lalita tertawa. Kali ini, terdengar lebih dibuat-buat. Sebab, dia mulai merasakan… mungkin sebentar lagi dia akan merasakan patah hati.Bukan karena Rangga, tapi karena CEO dingin yang sudah menjeratnya dalam pernikahan. Lalita sendiri masih belum berani menyimpulkan, akan tetapi… dia mulai khawatir bibit cinta mulai bersemi di hatinya.Absennya Arga di kantor membuat pekerjaan Lalita jadi lebih ringan. Dia bahkan bisa pulang teng go, di luar kebiasaannya ketika ada sang atasan.Seharian ini, alih-alih bekerja Lalita justru terlihat lebih sering membaca. Bahkan hingg
Bab 36."Ti-tidak Pak," tolak Lalita cepat."Terserah." Arga menarik selimutnya dia yang sudah mengantuk tidak mau berdrama lagiDia kemudian memaksa diri untuk terlelap di atas sofa. Akan tetapi, seberapa kuat pun dia coba mengusir rasa takut, mimpi buruk itu lebih kuat menghantuinya.Hingga dia pun memutuskan pindah ke tempat tidur sang suami. “Untuk malam ini saja, saya janji, Pak.” Usai berkata langsung demikian, Lalita memejamkan mata.Dia sudah mengantuk dan sangat lelah.Setelah wanita itu terlelap, Arga mendekatkan diri. Dia menatap wajah lelah istrinya, “Tidurlah. Aku akan menjagamu dari mimpi buruk,” ucap Arga diiringi senyum, sebelum turut memejamkan mata di samping sang istri.Pagi harinya, Lalita sudah sibuk di dapur. Terima kasih untuk Arga yang telah membuat tidurnya nyenyak! Mimpi buruk itu tidak kembali datang saat dia tahu ada pria itu di ranjang yang sama dengannya.Sesuai janji, hari ini Lalita ada janji makan siang bersama Rangga di rooftop. Dua bekal makan siang
“Brengsek kamu Rangga!” Amarah yang sudah di ubun-ubun tidak dapat ditahan. Tangan Arga akhirnya tergerak menarik kerah baju Rangga, menjauhkan Lalita dari sahabatnya. Setelah itu dia mendorong tubuh Rangga dengan kuat sehingga pria yang tidak waspada itu terhuyung ke belakang dan terjungkal. “Pak Rangga.” Teriak Lalita ketika Rangga terjatuh. Tatapan Arga kembali menajam setelah melihat dua kotak makanan, senyumnya begitu sinis. Rasa perih kembali menghujam dadanya, setelah sadar bila kotak makanan yang istrinya siapkan tadi pagi bukanlah untuknya. Kini tatapan tajam Arga mengarah ke Lalita. Dia segera menarik tangan wanita itu dengan kuat dan membawanya pergi dari rooftop. “Sakit Pak!” Pekik Lalita Rangga yang mendengar Lalita kesakitan menunjukkan ekspresi khawatir, ingin menolong tapi tertahan mengingat dirinya bukan siapa-siapa. Sejenak Rangga terdiam. Awalnya Rangga heran dengan sikap Arga. Namun kini dia paham kenapa sahabatnya bersikap demikian. “Tak kusangka, kamu me
“Saya bilang cukup Pak.” Wanita itu terisak.Dengan linangan air mata, Lalita menatap sang suami. “Saya bukan wanita seperti itu.” Lalu dia pun bangkit dari tempat duduknya, Lalita berusaha menghapus air matanya yang seolah tak ingin berhenti. Dengan tatapan kosong, wanita itu berjalan menuju meja kerjanya. Tidak ingin menangis meski hatinya begitu sakit karena perkataan Arga, Lalita memilih untuk menenggelamkan diri di pekerjaannya.Sementara Arga yang masih dikuasai amarah memutuskan untuk pergi keluar kantor.Sepulang dari kantor, Lalita memilih pulang ke rumah ibunya, untuk menenangkan diri sejenak di sana.“Ibu.” Ketika sang ibunda membukakan pintu, wanita itu segera memeluk ibunya.Mata wanita paruh baya itu memutar mencari keberadaan menantunya. “Arga mana?” Lalita pun melepas pelukannya, dengan senyuman yang dipaksakan wanita itu menatap sang ibunda. “Mas Arga sibuk, ibu.” “Arga sudah tau belum kalau kamu ke sini?” Dengan tatapan lembut beliau bertanya.Lalita kembali ters
Seorang wanita cantik dengan penampilan elegan tersenyum menatap Arga, sedangkan pria itu yang mendengar namanya disebut pun menoleh. “Kania.” Bibir tipisnya menyebut nama wanita itu. “Akhirnya aku kembali Arga,” ujarnya senang. Arga berdiri, mengajak Kania untuk duduk di sofa. Kania adalah teman kuliah Arga, dia pergi keluar negeri untuk melanjutkan studinya. Selain teman, Kania juga anak dari salah satu petinggi perusahaan di bidang keuangan atau biasa disebut direktur keuangan. Sementara mereka mengobrol di sofa, Lalita di mejanya tampak kesal. Sakit hati akan ucapan Arga kemarin belum hilang kini ditambah lagi suaminya ngobrol akrab dengan seorang wanita. “Siapa dia? Apa dia mantan kekasih Pak Arga?” Lalita bermonolog sendiri menerka-nerka siapa wanita itu. Pikiran wanita itu terus melayang, membuat dirinya tidak fokus bekerja. Laporan yang biasanya cepat diselesaikan kini terbengkalai, bahkan yang dipegang hanya satu berkas saja sedari tadi. “Kenapa aku kesal melihat mere