"Bang, kali ini satu kali saja ya," ucapku pelan saat Bang Fardan menuntaskan hasratnya.
"Aku cape, ngurus Dede seharian, kalau harus bergadang rasanya ngga kuat!" Aku mencoba memberi pengertian pada suamiku itu.
"Kamu gimana si, Mel! Empat puluh hari loh aku nahan semua ini. Terus kamu bilang hanya sekali saja!" Dia mengeleng kepala, seolah tak terima atas apa yang tadi aku sampaikan.
"Tapi, Bang ...."
"Ngga ada tapi-tapian! Mandi dulu sana, yang wangi, biar Abang makin semangat!" ucapnya.
Aku tak lagi membantah, rasanya berdebat pun percuma. Bang Fardan selalu meminta di layani dalam semalam minimal tiga kali. Mana setiap habis begitu harus mandi dulu lagi! Bayangkan saja, setiap malam bisa mandi sampai empat kali.
"Pokoknya sehabis itu kamu mandi dan kita begitu lagi mandi lagi! Aku ngga selera kalau begituan belum mandi dulu!"
Itulah kata-kata yang di ucapkan Bang Fardan kala itu, saat pengantin baru, hal seperti itu masih aku sanggupi tapi sekarang?
Aku punya bayi, yang sering ngga nyenyak tidurnya, terlebih jika semalam harus bolak balik mandi. Rasanya tubuhku tak se-fit saat sebelum melahirkan.
"Kenapa masih nglamun! Sana buruan mandi!" bentaknya mengangetkanku. Bergegas aku menuruni ranjang. Sebelum kekamar mandi aku menengok Zia yang tengah tertidur pulas.
Ah, imutnya ...
Aku bergumam, memandangi bayi yang baru genap berusia 40 hari. Saat akan menjauh, tiba-tiba Zia mengeliat dan tak lama kemudian menangis. Tentu aku langsung mengangkatnya dan memberikan asi.
"Loh! Loh! Kok masih disitu, malah menyusui lagi!" Kembali Bang Fardan berucap.
"Zia terbangun, Bang. Aku susui dulu sebentar," jawabku pelan, tentu agar Zia tak kaget.
"Terserah kamu! Yang penting buruan mandi, aku mau lagi, pokoknya malam ini harus lima ronde!" bang Fardan berucap sambil menjauh.
Ada titik bening yang menetes dari kedua mataku, bukan aku tak ikhlas memenuhi kebutuhan batinnya, tapi ... Rasanya saat ini belum sanggup untuk memenuhi hasratnya yang menurutku berlebih.
Dengan lemas aku menuju kamar mandi, sudah pukul 11 malam. Kusiram air dingin, rasa dingin langsung menyeruak di sekujur tubuh. Mengigil.
Jarum jam menunjukan pukul setengah satu dini hari.
"Sana mandi lagi!" Bang Fardan kembali menyuruhku mandi. Rasanya aku tak kuat kalau harus mandi lagi saat ini. Badanku seperti masuk angin. Mungkin karena efek habis bersalin.
"Ngga usah mandi ya, Bang. Dingin, kalau mau lagi ya ayok! Tapi jangan suruh aku mandi lagi. Dinginn ..." Aku berucap sambil menarik selimut.
"Tidak! Harus mandi dulu!" Bang Fardan menarik selimut hingga membuat tubuhku yang belum terbalut pakaian lengkap mengigil.
Aku tak bisa membantah, kuraih handuk dan bergegas pergi kekamar mandi. Rasa pusing menyergap hingga mual. Aku muntah-muntah. Ini pasti karena masuk angin. Dulu juga pernah begini, tapi tak separah ini.
Setelah di rasa cukup mengeluarkan isi perut, aku bergegas menguyur tubuhku, tapi baru satu guyuran, tiba-tiba mataku berkunang-kunang dan setelahnya ....
Semua gelap.
Aku tersadar saat mendengar suara tangis bayi. Itu pasti suara Zia. Segera aku bergegas bangun ternyata sudah ada di tempat tidur.
"Makanya kalau ngelayani suami yang ikhlas! Jadi ngga kaya gini." Dengus Bang Fardan. Pasti ia kesal karena aku pingsan tadi.
"Pokoknya besok jangan sampai seperti ini lagi, Mengerti!" Aku hanya tertunduk, ada genangan yang akan tumpah di ufuk mata.
"Sudah, sekarang susuin Zia! Nangis terus tuh!" Segera aku beranjak. Mendekat pada Zia yang tengah menangis sampai merah.
Tiba-tiba timbul rasa ingin membekap bayi mungil itu. Gara-gara dia, aku jadi kena marah Bang Fardan dan gara-gara dia juga badanku mudah lelah.
Benarkah aku beruntung? Karena Kelin--temanku-- kucurhati tentang hasrat suamiku ini, tapi dia malah bilang itu bagus? Atau sebenarnya malapetaka? Entahlah!
Ku ayun-ayun Zia, badanku rasanya sakit semua. Kenapa tubuh ini seolah masih belum bisa fit seperti dulu.Zia tak jua mau menyusu. Aku makin di buat gemas. Makin lama aku makin merasa lelah. Kalau tak ada dia, aku tak akan seperti ini!"Susuin buruan! Nangis terus itu!" Bentakan Bang Fardan membuat hati ini makin dongkol. Kalau Zia mau nyusu pasti sudah aku susuin dari tadi.Kuraih popok milik Zia yang tergeletak disisi ranjang. Kukuel menjadi bentuk bulat dan bersiap untuk menyimpan mulut bayi mungil itu."Diam!" Segera aku melempar popok tadi. Aku masih waras. Aku tak mungkin menyakiti anakku."Kamu kenapa?" tanya Bang Fardan mendekat. Ia sudah mencuci muka."Aku capek, Bang! Aku capek ngurus bayi ngurus nafsu kamu! Aku capek, aku mau pulang kerumah ibu saja!" Kusingkapkan unek-unek dihati. Selama menikah dengan Bang Fardan dua setengah tahun, memang baru beberapa bulan aku punya rumah sendiri. Itu berkat tabungan yang kita kumpulkan selama menumpang di rumah orang tuaku. Kurangnya
Masih terdengar nyaring panggilan Ibu mertua. Aku masih sibuk menyusui Zia. Tak lama pintu di buka dengan keras."Kamu itu keterlaluan, Mel! Hampir saja rumah ini kebakaran karena ulahmu! Kenapa masak malah di tinggal?" Ibu memberondong perkataan yang kurasa tak penting. Pikiranku mulai terasa embuh."Aku kan kekamar karena Zia nangis. Hatinya Ibu yang lanjutkan masak bukan ongkang-ongkang kaki!" jawabku tanpa menatap Ibu."Kamu ini berani sama Ibu?!" Aku langsung menatapnya, "semalam apa yang dikatakan Bang Fardan, Bu? Ibu kesini untuk bantu-bantu aku karena Bang Fardan ngga mau keluarin uang buat bayar pembantu. Jadi Ibu yang di suruh buat bantu, bukan cuma baca koran sambil ngemil! Lagian, setiap gajian Lebih dari separuh di kasih ke Ibu kan?" Ibu telihat sangat murka, tapi aku tak peduli. Toh yang aku katakan memang benar semuanya."Kamu itu! Berani sekali menyuruh Ibu jadi pembantu. Awas kamu aku adukan pada Fardan!" Ibu keluar dengan menghentakkan kaki, aku hanya mengeleng pel
"Bang!" Aku masih bisa memanggil Bang Fardan walau pelan. Rasanya nafasku mulai sesak dan darah tak kunjung berhenti."Bagaimana ini, Mel! Abang ... Abang!" Dia justru masih kebingungan, berputar putar saja di kamar. Aku makin lemas."Panggil Ibu!" Akhirnya dia punya inisiatif, tapi ini tengah malam pasti ibu sudah tidur."Bu ... Bu ...!" Teriak Bang Fardan di pintu. "Ada apa, Dan!" Kudengar suara Ibu. Mataku makin berkabut. Sudah tak jelas melihat keberadaan orang."Apa! Darah!" Hanya suara Ibu yang jelas kudengar, "dia pendarahan, Dan. Ayo bawa kerumah sakit. Ibu ngga kuat lama-lama lihat darah!"Aku sudah tergolek lemah, bahkan saat Bang Fardan membopongku di bantu Ibu. "Bawa dasternya saja, nanti kita pakaikan di jalan. Biar selimut sementara untuk menutupi tubuhnya." Suara Ibu masih kudengar, tapi bayangannya pun sudah tak tampak. Apa aku pingsan? Tapi aku masih bisa mendengar percakapan mereka.Bahkan aku masih berasa saat di pakaikan baju. Aku ingat Zia, dimana dia? Apa merek
"Begini, Dok. Suami saya itu ...." Aku menjeda, malu untuk menyebutkan."Lanjutkan, jangan merasa sungkan," ucap Dokter yang kutahu bernama Maria. Terlihat dari papan nama di baju putihnya."Jadi suamiku itu kalau semalam meminta itu ... Lebih dari tiga kali, Dok." Akhirnya terucap juga. Susah payah aku mengeluarkan kata-kata itu.Terlihat raut wajah kaget namun kemudian wajah Dokter Maria datar."Sebenarnya sebelum memiliki anak, saya tidak terlalu keberatan. Saya masih mampu mengimbanginya. Tapi ... Setelah melahirkan, rasanya badanku ngga sanggup, terlebih suamiku maunya sebelum melakukan ritual itu harus mandi dulu." Aku membuang pandangan, malu sekali sebenarnya, tapi aku ingin mencari sebuah solusi.Terlihat Dokter Maria berfikir sejenak, "sepertinya suami Mbak maniak s*x, dalam istilah lain hipersex. Itu sebuah kelainan yang bisa di alami seseorang. Banyak kasus yang seperti ini. Memang benar, orang yang memiliki kelainan ini cenderung mempunyai sikap aneh. Bahkan saya pernah d
"Ma, kalau aku pulang kerumah Mama bagaimana?" Akhirnya apa yang tercengkal di tenggorokan keluar juga. Kulirik Bang Fardan dengan ekor mata. Dia nampak kesal."Loh kenapa? Kamu kangen sama Mama. Dasar kamu itu! Sudah punya suami, sudah punya anak bahkan sudah punya rumah. Masih saja minta di kelonin mamanya!" ucap Mama. Memang selama ini Mama memandang Bang Fardan merupakan suami idaman. Disamping tangung jawab dia juga perhatian kata mama. Mama tak pernah tahu tentang urusan ranjang yang tengah membuatku sampai tergolek."Duh, kamu bagaimana si, Mel. Kan dirumah juga ada Ibu. Kenapa malah minta pulang!" Kali ini Ibu mertua bersuara. Dia memang selalu bisa mencari muka."Biar, Bu. Gantian saya yang mong-mong cucu dulu. Besok gantian lagi, ngga papa kan, Dan?" tanya Mama pada Bang Fardan yang membuat dia tersentak. Mungkin dia kaget karena entah tengah melamun apa."Bo-boleh, Bu. Tapi jangan lama-lama nanti aku kangen sama Zia. Seminggu saja ya, Mel!" ucap Bang Fardan. Aku mengangguk
"Apa keluhannya, Mbak?" tanya dokter Maria sambil mengeluarkan stetoskop."A-anu, Dok. Sebenarnya tadi saya bohongan. Saya cuma kesal, sakit begini masih saja kena marah. Kan saya tertekan, Dok!" ujarku yang seketika membuat Dokter Maria mengkerutkan kening. Ia menempelkan stetoskop pada dadaku."Maaf ya, Dok. Saya jadi ngeprank anda!" ucapku jujur.Dia tersenyum, menurunkan stetoskop dari telingga. Suster tadi juga masih ada di sini. Mungkin dia sedikit dongkol."Kalau alasannya seperti itu, saya tak apa-apa. Biar saya bantu untuk menjelaskan pada mereka jika kondisi Mbak tak boleh stres. Biar mereka tak semena-mena memperlakukan Anda.""Terima kasih, Dok. Maaf ya, Sus." "Iya, Mbak. Saya memaklumi. Saya juga tadi sempat dengar jika Ibu mertua Anda sedang menjelek-jelekan anda. Jadi saya tahu kalau anda memang butuh inisiatif untuk menghindarinya." Tuh kan benar, ibu mertua memang begitu. Dia itu sebenarnya tak menyukaiku. Entah aku punya salah apa padanya."Ya sudah, istirahatlah.
"Ini?" Bang Fardan memegang kartu nama yang di beri Dokter Maria. Aku harus tenang."Kenapa, Bang?" tanyaku, kubuat sesantai mungkin."Ini ngapain kamu simpan kartu nama Psikiater?""Oh, itu. Kemarin Dokter Maria yang ngasih, dia bilang temannya prakter dan memberikan aku kartu nama itu. Siapa tahu butuh konseling katanya." Aku menjawab dengan sedikit di bumbui kebohongan. Belum saatnya aku cerita. Aku akan pelan-pelan membujuknya nanti. Mencari jalan keluar untuk masalahnya."Tapi ....""Bang, sekarang itu, psikiater bukan cuma untuk konsultasi orang gila. Cakupannya luas, kita punya masalah hutang, masalah keluarga atau masalah dengan orang lain. Kita bisa konseling ke psikiater. Biar hati dan pikiran kita lebih legowo dan kita di jauhi dari rasa stres berlebih." Aku mencoba menjelaskan. Bang Fardan terlihat hanya bergeming."Ayo! Kalian sudah siap?" tiba-tiba Ibu mertua datang dengan mengendong Zia."Udah, Bu. Ayo, Mel. Pamit sama Mama!" Aku melangkah dengan enggan. Sebenarnya masi
Botol susu mengenai kepala Ibu Mertua."Mel!" Bang Fardan mengagetkanku."Astaghfirullah!" Kenapa aku halusinansi. Seolah ada yang membisikan untuk melakukan kejahatan, untuk melukai orang yang membuat aku merasa tektekan."Kenapa? Kok bengong begitu?" tanya Bang Fardan kembali, "kata Ibu kamu bertengkar lagi?!"Ya kan, dia ngadu lagi!"Sebaiknya Ibu suruh pulang saja, Bang! Ada Ibu aku makin tertekan. Bukan makin membantu meringankan dia kerjaannya nyindir mulu!" ucapku terus terang. Aku ingin Ibu Mertua pulang saja. Aku makin merasa jika dia menanmbah beban mental ku.Bang Fardan terdiam, pasti dia bingung untuk menyuruh Ibunya kembali pulang. Aku makin kesal, kuangkat Zia dan membawanya keluar.Aku keluar keteras. Terlihat didepan Ibu Mertua tengah berbelanja sayuran di tukang sayur yang keliling. Entah kenapa rasanya mereka memperhatikan aku. Masa bodoh! Aku mendekat ketempat di mana tukang sayur berhenti. Tepatnya di depan pintu gerbang rumahku."Bang, Mau apelnya satu!" Aku menu
"Zia, Ma. Zia ...." Amel meraung. Ia tak sanggup saat tadi mendengar jerit tangis pilu anaknya. Lira menelfon Amel dengan menunjukan jika sekarang Zia tengah di siksa karena ulah ayahnya.Lira tak terima di permainkan. Ia mengancam akan membuang Zia kejurang jika Fardan tak mau membayar ganti rugi, atau menikahinya."Amel, yang kuat. Kamu jangan seperti ini!" tentu Riana bingung. Ia sangat takut jika Amel kambali kambuh seperti dulu."Wiwin, Hera!" Riana memanggil orang yang ada di rumah.Bergegas mereka datang dan memapah Amel masuk kedalam rumah."Ambilkan air minum!" ujar Riana. Hera segera beranjak. Ia mengambil satu gelas air mineral."Minum dulu, Mel!" Riana menegakkan badan Amel."Ma, Zia, Ma! Dia di bawa Lira dan berujar akan di bunuh. Bahkan dia juga telah menyiksa Zia hingga dia menangis pilu. Amel ngga kuat!" Setelah mengatakan itu Amel tak sadarkan diri. Telinganya masih berdering suara jerit tangis Zia.Sementara itu, Sanusi kehilangan jejak penculik, dan kehilangan arah
"Mel!" Fardan masuk keruangan. Terlihat Amel dan dokter Maria tengah menggotong Lira yang pingsan."Kok sampai pingsan?" tanya Fardan heran. Sedangkan Amel dan Dokter Maria serius."Maaf ya, Dok. Sudah merepotkanmu!" Amel merasa tak enak. "Sebenarnya ini sudah menyalahi prosedur. Tapi, saya niatkan untuk menolong. Insya Allah tak apa-apa." Dokter Maria tersenyum."Terima kasih banyak, Dok." Fardan tersenyum. Mereka menunggu sampai Lira tersadar."Lira!" ucap Fardan saat Lira tengah memijit keningnya. Mengingat apa yang terjadi pada dirinya sampai berapa disana."Kamu sudah sadar?" Fardan memegang tangan Lira. Seketika Lira teringat akan apa yang membuatnya pingsan."Jangan sentuh aku!" "Loh, kenapa? Amel sudah ikhlas aku menikah denganmu. Kita akan menikah secepatnya ya!" Fardan lebih mendekat pada Lira.Lira menepis tangan Fardan. Ia ketakutan. Bayangan dirinya di siksa oleh Fardan membuat ia bergidik ngeri. Jangan sampai aku jadi pelampiasan nafsu brutalnya. Pantas Amel sampai gil
Iryani merasakan dadanya sakit. Sudah dua hari ini ia hanya bisa duduk di tempat tidur. Sedangkan Fardan sibuk mengintai keberadaan Roy. Belum ada kabar dari Wiwin tentang permintaan Wiwin yang ingin bertemu dengan Roy.Hari beranjak sore, Farah yang sudah beberapa Minggu mengurung diri dirumah, tentu merasa jenuh. Ia berniat untuk sekedar jalan-jalan didepan rumah. Perutnya yang buncit ia tutupi dengan dress panjang dan longgar.Tanpa Farah sadari, ia tengah di intai oleh seseorang dari kejauhan. Dengan mata elangnya ia mengamati setiap gerak laangkah Farah.Tiba saatnya Farah menyebrang, sebuah mobil menghantam tubuhnya hingga tersungkur. Ia terkulai di jalan raya hingga tak sadarkan diri."Tolong! Tolong ...." Teriak beberapa orang yang tengah ada di depan taman. Segera orang berkerumun. Darah segar mengalir dari jidatnya dan kakinya juga terlihat darah mengalir. Segera Farah dibawa kerumah sakit.Fardan yang masih di kantor, dapat telfon dari tetangga. Sedangkan Iryani, dadanya m
Iryani terduduk lemas, ia tengah mengatur nafasnya agar normal kembali. Jantungnya berpacu dengan keras membuat sakit di dada sebelah kiri.Ia tengah bimbang, di hadapankan pada dua pilihan yang sulit. Bagai nemu buah simalakama. Maju kena mundur apa lagi?Fardan duduk dengan menyenderkan tangannya pada dengkul. Ia kesal karena ulah ibunya, ia harus menanggung malu dan sekarang harus rugi."Ini semua salah Ibu!" Fardan mengusap wajahnya kasar. "Dari masalah Amel, sekarang masalah Lira! Semua karna Ibu!" Fardan berdiri, meninggalkan Ibunya yang masih terus memegangi jantungnya. Ia sudah muak dengan semua ulah yang dilakukannya.Masalah Farah yang belum menemui titik terang saja membuat beban mental tersendiri. Kali ini harus ditambah ulah Lira yang nyatanya berhati iblis. Tentu membuat Iryani makin kesulitan untuk dapat bernafas dengan lega. Wanita yang seharusnya hidup damai di hari tuanya justru makin membuat ia tertekan.~~~Fardan menemui Wiwin. Ia ingin tahu pasti di mana rumah R
Roy memapah Wiwin menuju mobil, ia sedikit kesusahan. Saat tengah memapah menuju mobil. Fardan menabrak lengan Wiwin karena tak fokus. Fokusnya kedepan pada orang yang tengah duduk di kafe."Maaf!" Fardan memegang pundak Wiwin. Rambut Wiwin yang tergerai menutupi wajahnya hingga Fardan tak mengenali. Namun, ia tersentak dengan baju yang di gunakan."Amel!" Ia menyebut nama Amel. Membuat Roy seketika menoleh. Mata Roy dan Fardan beradu. Fardan sadar dengan orang yang ia cari. Dia sekarang ada di hadapannya."Kamu!" Fardan langsung menarik tangan Roy, hingga Roy melepaskan Wiwin."Aduh!" Wiwin mengaduh saat jidatnya membentur lantai.Tentu Fardan menoleh, kesempatan itu di gunakan Roy untuk melarikan diri. Fardan ingin mengejar Roy, tapi ia tak tega melihat wanita yang jatuh terjerembab tadi."Kamu ngga papa, Mbak?" Fardan mengangkat bahu Wiwin yang setengah sadar. "Wiwin!" Fardan kaget, saat rambut Wiwin tersibak dan mendapati jika ternyata adik iparnya yang ikut jadi korban Roy.Seg
"Silahkan masuk, Pak!" Fardan mencium tangan mertuanya."Silahkan duduk, tak perlu segan." Kembali Fardan berucap karena melihat Sanusi yang tengah mengamati rumah."Tentu, buat apa segan di rumah anak sendiri!" Sanusi menjawab dengan melirik Iryani yang berdiri tak jauh dari Fardan."Bagaimanapun, rumah ini milik Amel juga. Masih ada haknya. Kamu tak lupa kan, Dan. Dengan uang siapa rumah ini akhirnya lunas kebeli?" Sanusi sengaja menekankan kata di akhir. Ia ingin Ibu Fardan tahu diri."Ten-tentu, Pak. Saya juga tak pernah mengaku jika ini rumahku. Ini rumah Zia. Rumah anakku." Fardan akhirnya berucap demikian. Ia malu dengan apa yang baru saja di sindiran oleh Sanusi."Bagus memang harus begitu, jangan main ambil. Kalau kamu memang butuh mobilmu! Ambil siang dengan baik-baik. Jangan jadi pencuri!" Sanusi langsung menuju pokok permasalahan. Iryani salah tingkah, ia kemudian memilih untuk meninggalkan tempat itu."Bu! Mau kemana? Tak usah buatkan saya minuman!" ujar Sanusi. Ia tahu
"Apa benar yang di katakan Dokter Maria tentang Fardan, Mel?" tanya Riana saat mereka sudah berjalan pulang. Amel mengangguk. Amel sebenarnya senang melihat Fardan mau untuk konseling tapi mengingat Iryani yang Keukeh akan menikahkan suaminya untuk wanita lain, Amel memilih menjauh. Tak ingin untuk berdamai, ia takut hatinya kembali hancur."Kenapa kamu tak cerita sama Mama untuk masalah ini, Nak?" Riana sedih."Ini masalah yang sangan intim. Mana mungkin aku cerita, Ma.""Kamu itu! Selalu bisa menjaga apa yang harus di jaga. Tapi, seharusnya masalah seperti ini kamu juga bisa lebih terbuka sama mama!"Amel menghela nafas. Mana mungkin dia membuka hal tentang tentang urusan ranjang."Sudah ya, Ma. Sekarang Mama sudah tahu. Jaga agar sampai Papa tahu!" cicit Amel.Riana terdiam, dia sebenarnya sudah berencana untuk cerita sama Sanusi tapi kalau sudah begini?"Iya, Mel. Kamu tenang saja." Obrolan berakhir karena tepat sudah sampai didepan rumah. Setelah turun taxi kembali melaju."Kamu
Fardan sudah terlelap dalam mimpi, bahkan tak mendengar sama sekali saat notifikasi HPberbunyi beberapa kali. Dari Imron, seorang yang sudah Fardan suruh untuk mengabari dirinya ketika yang di sebut Ketua datang. Tentu tidak gratis. Semua ada imbalannya dan itu yang di janjikan oleh Fardan.Hingga subuh menjelang, saat matahari mulai merambah dari ufuk timur. Baru Fardan tersadar dalam mimpinya."Sudah pagi!" Fardan mengeliat. Ia meraih HPnya yang tengah ia changer."Ketua datang!" Fardan langsung duduk dari terbaring. Ia langsung menepuk jidatnya. Merasa menyesal karena terlelap tidur. Fardan langsung menelfon nomor yang semalam mengirim pesan. Namun sudah tak aktif. Ia kesal karena telah lalai mendapat kabar atas orang yang tengah ia cari selama ini.~~~"Roy!" Panggil Wiwin saat tengah Roy akan naik keatas."Eh, Win. Gimana udah sehat?" tanya Roy dengan tersenyum."Alhamdulilah, bisa kamu lihat sekarang!" Wiwin tersenyum, "makasih ya, sudah datang kerumah."Wiwin tersipu, dalam ha
"Kamu kenal, Win?" tanya Sanusi. Wiwin tak mendengar ia langsung turun dan menemui laki-laki yang kemarin sempat adu otot itu."Hai, Win! Maaf, aku datang kesini karena nomor kamu susah di hubungi. Aku kesini hanya ingin minta maaf atas kejadian kemarin." Roy berkata pada Wiwin yang sudah berdiri tegak didepannya."Untuk apa? Aku merasa tidak ada hal apapun yang perlu di bahas!" Wiwin berprinsip."Siapa, Win. Teman kamu ya?" tanya Riana dengan tersenyum kepada Roy.Wiwin diam."Iya, Tante. Kami satu Universitas. Hanya beda jurusan saja." Roy berkata dengan sopan."Oh ... Ajakin masuk dong, Win. Kasian pasti sudah menunggu lama!" ujar Riana.Wiwin tak mendengarkan, "maafmu sudah aku terima. Pulanglah!" Wiwin berlalu meninggalkan Roy."Win!" Riana memanggil. Namun, tak diindahkan."Maaf ya, Nak. Wiwin kondisinya sedang tak baik. Jadi harap maklum. Dia baru saja pulang dari RS." Riana berusaha membuat Roy tak tersingung dengan sikap Wiwin."Iya, Tan. Terimakasih, maaf sekali lagi. Oh ya,