"Bang!" Aku masih bisa memanggil Bang Fardan walau pelan. Rasanya nafasku mulai sesak dan darah tak kunjung berhenti.
"Bagaimana ini, Mel! Abang ... Abang!" Dia justru masih kebingungan, berputar putar saja di kamar. Aku makin lemas.
"Panggil Ibu!" Akhirnya dia punya inisiatif, tapi ini tengah malam pasti ibu sudah tidur.
"Bu ... Bu ...!" Teriak Bang Fardan di pintu.
"Ada apa, Dan!" Kudengar suara Ibu. Mataku makin berkabut. Sudah tak jelas melihat keberadaan orang.
"Apa! Darah!" Hanya suara Ibu yang jelas kudengar, "dia pendarahan, Dan. Ayo bawa kerumah sakit. Ibu ngga kuat lama-lama lihat darah!"
Aku sudah tergolek lemah, bahkan saat Bang Fardan membopongku di bantu Ibu.
"Bawa dasternya saja, nanti kita pakaikan di jalan. Biar selimut sementara untuk menutupi tubuhnya." Suara Ibu masih kudengar, tapi bayangannya pun sudah tak tampak. Apa aku pingsan? Tapi aku masih bisa mendengar percakapan mereka.
Bahkan aku masih berasa saat di pakaikan baju. Aku ingat Zia, dimana dia? Apa mereka meninggalkan di rumah sendiri.
"Zia ... Zia!" Aku masih bisa memangil namanya.
"Zia disini, Mel. Kamu yang kuat!" Ibu berujar, membuat aku sedikit tenang.
"Apa yang terjadi, Dan. Kenapa Amel sampai seperti ini?" dalam perjalanan Ibu menanyakan.
"A-anu, Bu. Ya ... Biasalah, sedang ...." Bang Fardan tak melanjutkan kata-katanya.
Suara nyaring roda brangkar terdengar. Aku pasti tengah menaikinya, membawa keruang IGD.
"Jangan tidur ya, Mbak. Usahakan tetap sadar!" ucapan seseorang yang hanya terlihat seperti blurr.
Aku hanya mengangguk, untuk memastikan bahwa aku masih sadar.
"Ibu dan Bapak tunggu sini saja!" Suara seorang perempuan. Kemudian kudengar langkah kaki panjang.
"Kenapa ini?" Suara berat laki-laki terdengar. Apa dia dokter?
"Pendarahan, Dok. Tapi Alhamdulillah masih sadar."
"Cek tekanan darah dan HB-nya, pastikan tidak sampai terlambat!"
"Baik, Dok."
Hanya percakapan mereka yang kudengar, entah seperti apa orang-orang yang tengah menolongku. Aku pasrah saja, ketika jarum suntik banyak menusuk tubuhku disana-sini.
Bahkan hidungku di masukan alat untuk memperlancar oksigen, aku sudah mulai sesak nafas.
"Beruntung Dia tidak sampai hilang kesadaran. Bakal fatal bila datang dengan kondisi sudah tak sadar." Kembali aku mendengar percakapan. Tak lama aku merasa kepala pusing dan ngantuk. Aku terlelap.
Kubuka mata berlahan, rasanya masih sedikit pening tapi badan terasa ringan.
"Sudah sadar, Mbak?" tanya seorang suster yang kali ini kulihat dengan jelas. Suasana di jendela terlihat sudah terang.
"Sudah, Sus." Aku ingin duduk, namun segera di larang.
"Jangan dulu, Mbak. Takut pendarahan belum berhenti. Mbak beruntung datang masih dalam kondisi sadar hingga masih tertolong."
Aku diam, sebenarnya jika aku tak tertolong, mungkin justru lebih baik. Aku sangat merasa tersiksa atas nafsu s*x suamiku. Ingin sekali mengakhiri, tapi masih banyak yang harus kupikirkan terlebih Zia masih terlalu kecil.
Seorang dokter masuk, kali ini perempuan, tidak seperti semalam yang kudengar suara laki-laki.
"Saya periksa ya, Mbak!" Dokter berkata, aku hanya mengangguk.
"Apa sebab Mbak sampai pendarahan? Makan sesuatu atau melakukan sesuatu?" tanya sang dokter.
Aku bingung untuk menjawab, apa perlu aku jawab jika semalam di garap tiga kali?
"Mbak!"
"Eh, Anu, Bu. Eee, anu, a-anu, Bu!" Aku tergagap.
"Mbak dan suami melakukan?"
Aku mengangguk, kemudian Dokter melihat map.
"Baru empat puluh satu hari, harusnya jangan di paksa dulu. Karena memang semua orang berbeda-beda masa nifasnya. Ada yang sampai 2 bulan dan mungkin Mbak salah satunya." Aku hanya mengangguk. Malu.
"Sebaiknya tolak secara halus jika suami minta. Lain kali jangan di paksa dulu kalau Mbak merasa belum siap. Saya justru takut Mbak sampai kenapa-kenapa!"
Aku tertunduk. Dokter tak tahu posisiku saat ini. Memiliki lelaki yang hiper dan selalu memaksa.
"Ya sudah, kalau hari ini darah sudah Tek keluar dan Mbak sudah segeran, mungkin besok bisa pulang."
"Iya, Dok. Terimakasih."
"Iya, cepat sehat, biar cepat ketemu bayinya. Kasian pasti di rumah sedang mencari Ibunya." Dokter tersenyum ramah. Dia lemah lembut dan penuh pengertian. Apa aku harus bertanya padanya tentang hal ini. Pasti dia tahu banyak, aku ingin menemukan solusi untuk rumah tanggaku ini.
"Dok!" Panggilku saat dia akan pergi.
Aku menatap dua suster yang mengikuti Dokter. Kuharap ia mengerti apa yang aku inginkan.
"Ada apa, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?" Dokter kembali mendekat. Aku kembali menatap dua suster yang seperti belum tahu keinginanku.
"Ada yang ingin saya bicarakan, Dok. Tapi ...." Aku mengantung kata-kata.
"Kalian keluar dulu. Tinggalkan kami!" Akhirnya Dokter mengerti dan menyuruh mereka pergi.
Apakah ini jalan yang benar? Bagaimana kalau Bang Fardan? Ah! Tak ada salahnya aku bercerita untuk menemukan tujuan.
"Begini, Dok ...."
===®®®®===
"Begini, Dok. Suami saya itu ...." Aku menjeda, malu untuk menyebutkan."Lanjutkan, jangan merasa sungkan," ucap Dokter yang kutahu bernama Maria. Terlihat dari papan nama di baju putihnya."Jadi suamiku itu kalau semalam meminta itu ... Lebih dari tiga kali, Dok." Akhirnya terucap juga. Susah payah aku mengeluarkan kata-kata itu.Terlihat raut wajah kaget namun kemudian wajah Dokter Maria datar."Sebenarnya sebelum memiliki anak, saya tidak terlalu keberatan. Saya masih mampu mengimbanginya. Tapi ... Setelah melahirkan, rasanya badanku ngga sanggup, terlebih suamiku maunya sebelum melakukan ritual itu harus mandi dulu." Aku membuang pandangan, malu sekali sebenarnya, tapi aku ingin mencari sebuah solusi.Terlihat Dokter Maria berfikir sejenak, "sepertinya suami Mbak maniak s*x, dalam istilah lain hipersex. Itu sebuah kelainan yang bisa di alami seseorang. Banyak kasus yang seperti ini. Memang benar, orang yang memiliki kelainan ini cenderung mempunyai sikap aneh. Bahkan saya pernah d
"Ma, kalau aku pulang kerumah Mama bagaimana?" Akhirnya apa yang tercengkal di tenggorokan keluar juga. Kulirik Bang Fardan dengan ekor mata. Dia nampak kesal."Loh kenapa? Kamu kangen sama Mama. Dasar kamu itu! Sudah punya suami, sudah punya anak bahkan sudah punya rumah. Masih saja minta di kelonin mamanya!" ucap Mama. Memang selama ini Mama memandang Bang Fardan merupakan suami idaman. Disamping tangung jawab dia juga perhatian kata mama. Mama tak pernah tahu tentang urusan ranjang yang tengah membuatku sampai tergolek."Duh, kamu bagaimana si, Mel. Kan dirumah juga ada Ibu. Kenapa malah minta pulang!" Kali ini Ibu mertua bersuara. Dia memang selalu bisa mencari muka."Biar, Bu. Gantian saya yang mong-mong cucu dulu. Besok gantian lagi, ngga papa kan, Dan?" tanya Mama pada Bang Fardan yang membuat dia tersentak. Mungkin dia kaget karena entah tengah melamun apa."Bo-boleh, Bu. Tapi jangan lama-lama nanti aku kangen sama Zia. Seminggu saja ya, Mel!" ucap Bang Fardan. Aku mengangguk
"Apa keluhannya, Mbak?" tanya dokter Maria sambil mengeluarkan stetoskop."A-anu, Dok. Sebenarnya tadi saya bohongan. Saya cuma kesal, sakit begini masih saja kena marah. Kan saya tertekan, Dok!" ujarku yang seketika membuat Dokter Maria mengkerutkan kening. Ia menempelkan stetoskop pada dadaku."Maaf ya, Dok. Saya jadi ngeprank anda!" ucapku jujur.Dia tersenyum, menurunkan stetoskop dari telingga. Suster tadi juga masih ada di sini. Mungkin dia sedikit dongkol."Kalau alasannya seperti itu, saya tak apa-apa. Biar saya bantu untuk menjelaskan pada mereka jika kondisi Mbak tak boleh stres. Biar mereka tak semena-mena memperlakukan Anda.""Terima kasih, Dok. Maaf ya, Sus." "Iya, Mbak. Saya memaklumi. Saya juga tadi sempat dengar jika Ibu mertua Anda sedang menjelek-jelekan anda. Jadi saya tahu kalau anda memang butuh inisiatif untuk menghindarinya." Tuh kan benar, ibu mertua memang begitu. Dia itu sebenarnya tak menyukaiku. Entah aku punya salah apa padanya."Ya sudah, istirahatlah.
"Ini?" Bang Fardan memegang kartu nama yang di beri Dokter Maria. Aku harus tenang."Kenapa, Bang?" tanyaku, kubuat sesantai mungkin."Ini ngapain kamu simpan kartu nama Psikiater?""Oh, itu. Kemarin Dokter Maria yang ngasih, dia bilang temannya prakter dan memberikan aku kartu nama itu. Siapa tahu butuh konseling katanya." Aku menjawab dengan sedikit di bumbui kebohongan. Belum saatnya aku cerita. Aku akan pelan-pelan membujuknya nanti. Mencari jalan keluar untuk masalahnya."Tapi ....""Bang, sekarang itu, psikiater bukan cuma untuk konsultasi orang gila. Cakupannya luas, kita punya masalah hutang, masalah keluarga atau masalah dengan orang lain. Kita bisa konseling ke psikiater. Biar hati dan pikiran kita lebih legowo dan kita di jauhi dari rasa stres berlebih." Aku mencoba menjelaskan. Bang Fardan terlihat hanya bergeming."Ayo! Kalian sudah siap?" tiba-tiba Ibu mertua datang dengan mengendong Zia."Udah, Bu. Ayo, Mel. Pamit sama Mama!" Aku melangkah dengan enggan. Sebenarnya masi
Botol susu mengenai kepala Ibu Mertua."Mel!" Bang Fardan mengagetkanku."Astaghfirullah!" Kenapa aku halusinansi. Seolah ada yang membisikan untuk melakukan kejahatan, untuk melukai orang yang membuat aku merasa tektekan."Kenapa? Kok bengong begitu?" tanya Bang Fardan kembali, "kata Ibu kamu bertengkar lagi?!"Ya kan, dia ngadu lagi!"Sebaiknya Ibu suruh pulang saja, Bang! Ada Ibu aku makin tertekan. Bukan makin membantu meringankan dia kerjaannya nyindir mulu!" ucapku terus terang. Aku ingin Ibu Mertua pulang saja. Aku makin merasa jika dia menanmbah beban mental ku.Bang Fardan terdiam, pasti dia bingung untuk menyuruh Ibunya kembali pulang. Aku makin kesal, kuangkat Zia dan membawanya keluar.Aku keluar keteras. Terlihat didepan Ibu Mertua tengah berbelanja sayuran di tukang sayur yang keliling. Entah kenapa rasanya mereka memperhatikan aku. Masa bodoh! Aku mendekat ketempat di mana tukang sayur berhenti. Tepatnya di depan pintu gerbang rumahku."Bang, Mau apelnya satu!" Aku menu
PoV Fardan"Ibu ... Ibu!" Aku berusaha mengejar Ibu yang kelaur dari kamarku. Dia sepertinya marah dan kesal karena mengira aku membela Amel. Nyatanya bukan begitu?Aku hanya tak mau mereka terus saja ribut. Kenapa sih, tak saling mengalah, menerima semua kelebihan dan kekurangan masing-masing! Ibu keras kepala, apa lagi Amel! Dia wanita yang tak mudah di salahkan.Lebih membuat aku segan, Ibu mengungkit tentang perjodohanmu dulu dengan anak temannya. Dia Janda beranak dua yang di tinggal mati suaminya yang kaya raya. Mungkin sebab itulah Ibu terus memojokanku untuk menikah dengan Lira--Janda itu.Aku yang telah menaruh hati pada Amel hanya menuruti saja. Bukan mau, tapi lebih pada tak ingin mengecewakan ibu. Nyatanya memang Allah takdirkan aku berjodoh dengan Amel. Sekuat apapun ada saja jalannya."Bu, tolong maafkan Fardan. Bukan begitu! Aku tak bermaksud untuk membuat Ibu tersingung!" Aku memohon padanya. Ibu yang langsung mengemasi barang-barang kuhentikan.Bukan aku tak mengizink
Kepalaku sakit, rasanya pening sekali setelah tadi kutarik rambutku kencang. Aku ... Aku! Aku seperti orang gila. Apa benar aku sudah gila.Aku keluar dari kamar mandi dalam keadaan apa adanya. Bang Fardan menegur. Aku diam saja. Mungkin diam adalah jalan satu-satunya untuk terhindar dari keributan.Aku mulai hanyut dalam halusinasi, sering berfikir jika aku ingin melukai diri sendiri bahkan saat Zia rewel, ada dorongan juga untuk membanting atau mencekiknya. Beruntung aku segera sadar. Itu pasti setan yang selalu menggangguku. Astaghfirullah ... Astaghfirullah!Hanya kata itu yang bisa aku ucapkan saat bisikan bisikan itu kian menjadi mengangguku. Malam, siang bahkan pagi.Hari ini Bang Fardan pamit pergi keluar kota, aku senang. Setidaknya aku aman dari pertanyaan yang akhir-akhir ini membuat aku mengigau ketakutan. Aku takut, jika Bang Fardan menuntut kembali haknya dengan bringas seperti waktu itu. Aku masih trauma.Keberangkatan Bang Fardan aku antar hanya sampai dengan pintu ka
"Iya, ini Ibu Iryani bohong! Katanya Amel hanya malas-malasan. Nyatanya kita lihat sendiri, dia bahkan sampai gendong anaknya sambil bekerja begitu!" Seorang tetangga berkata, aku hanya tersenyum mengejek. Sekarang dia malu dengan ulahnya sendiri."Sebenarnya yang malas itu Ibu! Sudah tak mau mengendong cucunya ngga mau mengerjakan juga. Anaknya dan Ibunya cuma bisa makan dan tidur saja!" Kembali aku membalas suara. Biar saja dia malu! Salah siapa?Dia belum tahu lawannya. Amel tak akan tinggal diam ketika di tindas!Beberapa orang mengangguk, mereka setuju dengan ucapanku."Huh! Dasar mertua dzolim, udah begitu masih ngehibah dan memutar balik fakta!""Dasar Ibu mertua tak sayang menantu! Mel, kalau kamu sibuk, boleh titipkan Zia padaku. Aku mau kok di titipin bayi cantikmu. Secara aku ngga punya anak kecil, kangen anak-anak di masa dulu!""Iya, Mel. Kalau butuh bantuan, kabari kami!""Ayok kita pulang! Jangan lagi dengarkan Ibu Iryani bergosip berita hoax!"Mereka semua pergi mening
"Zia, Ma. Zia ...." Amel meraung. Ia tak sanggup saat tadi mendengar jerit tangis pilu anaknya. Lira menelfon Amel dengan menunjukan jika sekarang Zia tengah di siksa karena ulah ayahnya.Lira tak terima di permainkan. Ia mengancam akan membuang Zia kejurang jika Fardan tak mau membayar ganti rugi, atau menikahinya."Amel, yang kuat. Kamu jangan seperti ini!" tentu Riana bingung. Ia sangat takut jika Amel kambali kambuh seperti dulu."Wiwin, Hera!" Riana memanggil orang yang ada di rumah.Bergegas mereka datang dan memapah Amel masuk kedalam rumah."Ambilkan air minum!" ujar Riana. Hera segera beranjak. Ia mengambil satu gelas air mineral."Minum dulu, Mel!" Riana menegakkan badan Amel."Ma, Zia, Ma! Dia di bawa Lira dan berujar akan di bunuh. Bahkan dia juga telah menyiksa Zia hingga dia menangis pilu. Amel ngga kuat!" Setelah mengatakan itu Amel tak sadarkan diri. Telinganya masih berdering suara jerit tangis Zia.Sementara itu, Sanusi kehilangan jejak penculik, dan kehilangan arah
"Mel!" Fardan masuk keruangan. Terlihat Amel dan dokter Maria tengah menggotong Lira yang pingsan."Kok sampai pingsan?" tanya Fardan heran. Sedangkan Amel dan Dokter Maria serius."Maaf ya, Dok. Sudah merepotkanmu!" Amel merasa tak enak. "Sebenarnya ini sudah menyalahi prosedur. Tapi, saya niatkan untuk menolong. Insya Allah tak apa-apa." Dokter Maria tersenyum."Terima kasih banyak, Dok." Fardan tersenyum. Mereka menunggu sampai Lira tersadar."Lira!" ucap Fardan saat Lira tengah memijit keningnya. Mengingat apa yang terjadi pada dirinya sampai berapa disana."Kamu sudah sadar?" Fardan memegang tangan Lira. Seketika Lira teringat akan apa yang membuatnya pingsan."Jangan sentuh aku!" "Loh, kenapa? Amel sudah ikhlas aku menikah denganmu. Kita akan menikah secepatnya ya!" Fardan lebih mendekat pada Lira.Lira menepis tangan Fardan. Ia ketakutan. Bayangan dirinya di siksa oleh Fardan membuat ia bergidik ngeri. Jangan sampai aku jadi pelampiasan nafsu brutalnya. Pantas Amel sampai gil
Iryani merasakan dadanya sakit. Sudah dua hari ini ia hanya bisa duduk di tempat tidur. Sedangkan Fardan sibuk mengintai keberadaan Roy. Belum ada kabar dari Wiwin tentang permintaan Wiwin yang ingin bertemu dengan Roy.Hari beranjak sore, Farah yang sudah beberapa Minggu mengurung diri dirumah, tentu merasa jenuh. Ia berniat untuk sekedar jalan-jalan didepan rumah. Perutnya yang buncit ia tutupi dengan dress panjang dan longgar.Tanpa Farah sadari, ia tengah di intai oleh seseorang dari kejauhan. Dengan mata elangnya ia mengamati setiap gerak laangkah Farah.Tiba saatnya Farah menyebrang, sebuah mobil menghantam tubuhnya hingga tersungkur. Ia terkulai di jalan raya hingga tak sadarkan diri."Tolong! Tolong ...." Teriak beberapa orang yang tengah ada di depan taman. Segera orang berkerumun. Darah segar mengalir dari jidatnya dan kakinya juga terlihat darah mengalir. Segera Farah dibawa kerumah sakit.Fardan yang masih di kantor, dapat telfon dari tetangga. Sedangkan Iryani, dadanya m
Iryani terduduk lemas, ia tengah mengatur nafasnya agar normal kembali. Jantungnya berpacu dengan keras membuat sakit di dada sebelah kiri.Ia tengah bimbang, di hadapankan pada dua pilihan yang sulit. Bagai nemu buah simalakama. Maju kena mundur apa lagi?Fardan duduk dengan menyenderkan tangannya pada dengkul. Ia kesal karena ulah ibunya, ia harus menanggung malu dan sekarang harus rugi."Ini semua salah Ibu!" Fardan mengusap wajahnya kasar. "Dari masalah Amel, sekarang masalah Lira! Semua karna Ibu!" Fardan berdiri, meninggalkan Ibunya yang masih terus memegangi jantungnya. Ia sudah muak dengan semua ulah yang dilakukannya.Masalah Farah yang belum menemui titik terang saja membuat beban mental tersendiri. Kali ini harus ditambah ulah Lira yang nyatanya berhati iblis. Tentu membuat Iryani makin kesulitan untuk dapat bernafas dengan lega. Wanita yang seharusnya hidup damai di hari tuanya justru makin membuat ia tertekan.~~~Fardan menemui Wiwin. Ia ingin tahu pasti di mana rumah R
Roy memapah Wiwin menuju mobil, ia sedikit kesusahan. Saat tengah memapah menuju mobil. Fardan menabrak lengan Wiwin karena tak fokus. Fokusnya kedepan pada orang yang tengah duduk di kafe."Maaf!" Fardan memegang pundak Wiwin. Rambut Wiwin yang tergerai menutupi wajahnya hingga Fardan tak mengenali. Namun, ia tersentak dengan baju yang di gunakan."Amel!" Ia menyebut nama Amel. Membuat Roy seketika menoleh. Mata Roy dan Fardan beradu. Fardan sadar dengan orang yang ia cari. Dia sekarang ada di hadapannya."Kamu!" Fardan langsung menarik tangan Roy, hingga Roy melepaskan Wiwin."Aduh!" Wiwin mengaduh saat jidatnya membentur lantai.Tentu Fardan menoleh, kesempatan itu di gunakan Roy untuk melarikan diri. Fardan ingin mengejar Roy, tapi ia tak tega melihat wanita yang jatuh terjerembab tadi."Kamu ngga papa, Mbak?" Fardan mengangkat bahu Wiwin yang setengah sadar. "Wiwin!" Fardan kaget, saat rambut Wiwin tersibak dan mendapati jika ternyata adik iparnya yang ikut jadi korban Roy.Seg
"Silahkan masuk, Pak!" Fardan mencium tangan mertuanya."Silahkan duduk, tak perlu segan." Kembali Fardan berucap karena melihat Sanusi yang tengah mengamati rumah."Tentu, buat apa segan di rumah anak sendiri!" Sanusi menjawab dengan melirik Iryani yang berdiri tak jauh dari Fardan."Bagaimanapun, rumah ini milik Amel juga. Masih ada haknya. Kamu tak lupa kan, Dan. Dengan uang siapa rumah ini akhirnya lunas kebeli?" Sanusi sengaja menekankan kata di akhir. Ia ingin Ibu Fardan tahu diri."Ten-tentu, Pak. Saya juga tak pernah mengaku jika ini rumahku. Ini rumah Zia. Rumah anakku." Fardan akhirnya berucap demikian. Ia malu dengan apa yang baru saja di sindiran oleh Sanusi."Bagus memang harus begitu, jangan main ambil. Kalau kamu memang butuh mobilmu! Ambil siang dengan baik-baik. Jangan jadi pencuri!" Sanusi langsung menuju pokok permasalahan. Iryani salah tingkah, ia kemudian memilih untuk meninggalkan tempat itu."Bu! Mau kemana? Tak usah buatkan saya minuman!" ujar Sanusi. Ia tahu
"Apa benar yang di katakan Dokter Maria tentang Fardan, Mel?" tanya Riana saat mereka sudah berjalan pulang. Amel mengangguk. Amel sebenarnya senang melihat Fardan mau untuk konseling tapi mengingat Iryani yang Keukeh akan menikahkan suaminya untuk wanita lain, Amel memilih menjauh. Tak ingin untuk berdamai, ia takut hatinya kembali hancur."Kenapa kamu tak cerita sama Mama untuk masalah ini, Nak?" Riana sedih."Ini masalah yang sangan intim. Mana mungkin aku cerita, Ma.""Kamu itu! Selalu bisa menjaga apa yang harus di jaga. Tapi, seharusnya masalah seperti ini kamu juga bisa lebih terbuka sama mama!"Amel menghela nafas. Mana mungkin dia membuka hal tentang tentang urusan ranjang."Sudah ya, Ma. Sekarang Mama sudah tahu. Jaga agar sampai Papa tahu!" cicit Amel.Riana terdiam, dia sebenarnya sudah berencana untuk cerita sama Sanusi tapi kalau sudah begini?"Iya, Mel. Kamu tenang saja." Obrolan berakhir karena tepat sudah sampai didepan rumah. Setelah turun taxi kembali melaju."Kamu
Fardan sudah terlelap dalam mimpi, bahkan tak mendengar sama sekali saat notifikasi HPberbunyi beberapa kali. Dari Imron, seorang yang sudah Fardan suruh untuk mengabari dirinya ketika yang di sebut Ketua datang. Tentu tidak gratis. Semua ada imbalannya dan itu yang di janjikan oleh Fardan.Hingga subuh menjelang, saat matahari mulai merambah dari ufuk timur. Baru Fardan tersadar dalam mimpinya."Sudah pagi!" Fardan mengeliat. Ia meraih HPnya yang tengah ia changer."Ketua datang!" Fardan langsung duduk dari terbaring. Ia langsung menepuk jidatnya. Merasa menyesal karena terlelap tidur. Fardan langsung menelfon nomor yang semalam mengirim pesan. Namun sudah tak aktif. Ia kesal karena telah lalai mendapat kabar atas orang yang tengah ia cari selama ini.~~~"Roy!" Panggil Wiwin saat tengah Roy akan naik keatas."Eh, Win. Gimana udah sehat?" tanya Roy dengan tersenyum."Alhamdulilah, bisa kamu lihat sekarang!" Wiwin tersenyum, "makasih ya, sudah datang kerumah."Wiwin tersipu, dalam ha
"Kamu kenal, Win?" tanya Sanusi. Wiwin tak mendengar ia langsung turun dan menemui laki-laki yang kemarin sempat adu otot itu."Hai, Win! Maaf, aku datang kesini karena nomor kamu susah di hubungi. Aku kesini hanya ingin minta maaf atas kejadian kemarin." Roy berkata pada Wiwin yang sudah berdiri tegak didepannya."Untuk apa? Aku merasa tidak ada hal apapun yang perlu di bahas!" Wiwin berprinsip."Siapa, Win. Teman kamu ya?" tanya Riana dengan tersenyum kepada Roy.Wiwin diam."Iya, Tante. Kami satu Universitas. Hanya beda jurusan saja." Roy berkata dengan sopan."Oh ... Ajakin masuk dong, Win. Kasian pasti sudah menunggu lama!" ujar Riana.Wiwin tak mendengarkan, "maafmu sudah aku terima. Pulanglah!" Wiwin berlalu meninggalkan Roy."Win!" Riana memanggil. Namun, tak diindahkan."Maaf ya, Nak. Wiwin kondisinya sedang tak baik. Jadi harap maklum. Dia baru saja pulang dari RS." Riana berusaha membuat Roy tak tersingung dengan sikap Wiwin."Iya, Tan. Terimakasih, maaf sekali lagi. Oh ya,