Kepalaku sakit, rasanya pening sekali setelah tadi kutarik rambutku kencang. Aku ... Aku! Aku seperti orang gila. Apa benar aku sudah gila.Aku keluar dari kamar mandi dalam keadaan apa adanya. Bang Fardan menegur. Aku diam saja. Mungkin diam adalah jalan satu-satunya untuk terhindar dari keributan.Aku mulai hanyut dalam halusinasi, sering berfikir jika aku ingin melukai diri sendiri bahkan saat Zia rewel, ada dorongan juga untuk membanting atau mencekiknya. Beruntung aku segera sadar. Itu pasti setan yang selalu menggangguku. Astaghfirullah ... Astaghfirullah!Hanya kata itu yang bisa aku ucapkan saat bisikan bisikan itu kian menjadi mengangguku. Malam, siang bahkan pagi.Hari ini Bang Fardan pamit pergi keluar kota, aku senang. Setidaknya aku aman dari pertanyaan yang akhir-akhir ini membuat aku mengigau ketakutan. Aku takut, jika Bang Fardan menuntut kembali haknya dengan bringas seperti waktu itu. Aku masih trauma.Keberangkatan Bang Fardan aku antar hanya sampai dengan pintu ka
"Iya, ini Ibu Iryani bohong! Katanya Amel hanya malas-malasan. Nyatanya kita lihat sendiri, dia bahkan sampai gendong anaknya sambil bekerja begitu!" Seorang tetangga berkata, aku hanya tersenyum mengejek. Sekarang dia malu dengan ulahnya sendiri."Sebenarnya yang malas itu Ibu! Sudah tak mau mengendong cucunya ngga mau mengerjakan juga. Anaknya dan Ibunya cuma bisa makan dan tidur saja!" Kembali aku membalas suara. Biar saja dia malu! Salah siapa?Dia belum tahu lawannya. Amel tak akan tinggal diam ketika di tindas!Beberapa orang mengangguk, mereka setuju dengan ucapanku."Huh! Dasar mertua dzolim, udah begitu masih ngehibah dan memutar balik fakta!""Dasar Ibu mertua tak sayang menantu! Mel, kalau kamu sibuk, boleh titipkan Zia padaku. Aku mau kok di titipin bayi cantikmu. Secara aku ngga punya anak kecil, kangen anak-anak di masa dulu!""Iya, Mel. Kalau butuh bantuan, kabari kami!""Ayok kita pulang! Jangan lagi dengarkan Ibu Iryani bergosip berita hoax!"Mereka semua pergi mening
"Bang!" Panggilku ketika masuk kekamar. Bang Fardan tengah mengendong Zia."Ada apa, Mel?" tanyanya melihat aku yang masuk dengan tergoboh."Jawab jujur, Bang! Apa sebenarnya Abang sudah belikan aku perhiasan namun di berikan pada Ibu dan Farah?" Selidikku.Bang Fardan terlihat kelimpungan. Dia bahkan bibirnya akan mengucap namun belum juga keluar suara."Jawab, Bang? Jujur sama aku!" hardiku."I-iya, Mel. Ta-tapi tadi di minta mereka. Kamu jangan marah ya! Besok kita beli yang baru." Tanpa membalas perkataan Bang Fardan, aku melangkah keluar.Segera aku hampiri Ibu yang tengah berlenggak-lenggok."Kembalikan semua itu, Bu! Semua ini untukku, Bang Fardan yang sengaja membelikannya karena dia sudah janji saat berangkat!" Segera aku mengambil kotak perhiasan. Kalung dan gelang yang tengah sudah di pakai aku copot paksa."Apa-apaan?" tanya Farah yang melihat aksiku."Fardan! Tolong Ibu!" Ibu berteriak karena tak dapat melawan kebringasanku."Lepas, Mbak!" Farah membantu Ibu yang bersikuk
"Bang!" Panggilku lagi."Sudahlah, kalau memang tak mau tak usah kasih sesuatu yang tak masuk akal!" Bang Fardan beranjak keluar. Aku kaget dengan jawaban Bang Fardan yang seolah jika aku menolaknya bukan karena tak memiliki alasan, tapi karena memang tak mau melayani.Aku termenung sendiri. Apa mungkin tadi aku salah? Apa ucapanku begitu menyingung harga dirinya?Sudahlah, aku lelah dengan semua keadaan ini. Ibu Mertua dan ipar di tambah Bang Fardan juga.Kepalaku berdenyut, rasanya sakit sekali. Duh ... Mana ngga punya obat sama sekali lagi, sedangkan Bang Fardan justru keluar.Aku mencari obat di laci, berharap menemukan sekedar parasetamol. Hanya untuk meredakan sakit kepala yang menggangu ini.Ah! Tak ada satu pun. Aku harus cari di kotak P3K. Segera aku beranjak saat kupastikan jika Zia tengah terlelap.Kucari di laci, beruntung ada. Aku memang selalu menyimpan Paracetamol dan obat-obatan yang penting untuk sekedar pertolongan pertama, seperti oralit dan obat diare."Sudahlah, i
PoV Riana (Ibu Amel)Kringg ...."Ah, Amel. Baru saja aku kepikiran, dia udah nelfon saja." ujarku, "Pak! Ini Amel telfon. Tumben dia.""Angkat, Bu. Siapa tahu penting." Suamiku langsung duduk di sebelahku. Kami sudah mau tidur. Ini sudah pukul sepuluh malam.Kugeser tombol dial berwarna hijau, "Hallo, Sayang!""Ma! Tolong Aku!" Seketika aku beranjak. Suaraa Amel begitu pilu. Ada apa ini?"Ka-kamu kenapa, Mel!" tanyaku langsung. Suamiku ikut berdiri melihat tingkahku yang langsung beranjak dari duduk."Ada apa, Bu?" tanya suami.Aku meletakan jari telunjuk kemulut. Agar Bapak diam dulu."Jemput aku, Bu. Aku pengen pulang saja!" Dari sebrang sana terdengar suara pilu anakku. Kenapa dia?"Kenapa, Sayang. Ada apa? Cerita sama Mama." Aku makin panik. Jangan-jangan Amel tersandung masalah atau hanya masalah rumah tangga biasa?"Tolong, Ma ... Kalau Mama ngga mau jemput aku. Mending aku bunuh diri saja!" Deg! Kenapa? Kenapa Amel anakku senekad ini mengucapkan kata-kata itu."Iya, Sayang.
PoV 3"Pak, Aku khawatir terjadi apa-apa pada Amel." Riana panik."Sudahlah, Bu. Do'akan saja. Lebih baik kita coba dekati. Bujuk dia agar emosinya stabil!" Sanusi--Bapak Amel-- memberi solusi. Riana mengangguk.Mereka mendekat pada Amel yang masih terus saja mengamuk. Tapi, sepertinya Amel tahu kedatangan orang tuanya. Dia berhenti dan menatap dengan Ibu."Ma ...." Amel langsung memeluk Ibunya dengan erat. Riana mengelus pucuk kepala Amel."Tenang, Sayang. Mama akan hukum orang yang telah membuat kamu menjadi seperti ini!" Riana berucap pada anaknya penuh penekanan. Ia benar-benar sakit hati, melihat putrinya yang sekarang ini.Baginya Amel anak yang baik, manja tapi cukup mandiri. Dia gadis yang tegar dan tak pernah mengeluh.Tak terasa air mata Riana menetes. Ia menyesal tak bisa tahu semuanya dari awal. Dia pikir putrinya bahagia bersanding dengan Fardan yang dia anggap sempurna.Riana melirik suaminya, Sanusi juga tengah mengusap matanya yang basah."Sayang, kamu yang kuat ya. Se
"Fardan?" Iryani mencari sosok anaknya. Ia tak menemukan Fardan di meja makan."Kemana dia? Bahkan makannya saja belum selesai." Iryani mengumel. Lira hanya terlihat terus mengamati rumah saja."Ya sudah kita makan dulu! Mungkin sedang kekamar mandi." Iryani akhirnya merasa segan pada Lira. Mereka akhirnya duduk dan mulai menikmati makanan. Namun sampai makanan habis Fardan tak kunjung keluar."Ya sudah, Bu. Ini sudah malam. Saya pulang dulu!" ujar Lira dengan melihat jam tangannya."Nanti dulu. Tunggu Fardan keluar. Mungkin dia ketiduran!" Iryani beranjak. Ia mengetuk pintu kamar Fardan. Namun tak ada sautan.Pintu di buka. Iryani kaget karena ternyata Fardan tak ada dikamarnya. Ia pergi kedapur dan menemukan pintu dapur terbuka. Itu artinya Fardan keluar lewat pintu belakang. Memang rumah mereka belakangnya hanya hamparan kebun sampai menuju jalan. Tak ada dinding yang membuat rumah mereka mati tak berpintu.Dengan berat hati, Iryani mengijikan Lira untuk pulang menggunakan taxi on
Pagi sekali Fardan pergi kerumah Amel. Tentunya dengan membawa Zia. Dia sengaja tak ingin khawatir Amel dan mertuanya. Pasti mereka sangat cemas. Pikirnya.Tiba di depan rumah ternyata Riana dan Sanusi juga sudah bersiap untuk pergi kerumah Fardan."Ibu, Bapak." Fardan turun dengan mengendong Zia. Fardan mengulurkan tangan untuk menyalami takzim mertuanya. Namun, ternyata baik Riana ataupun Sanusi tak mau menyambut uluran tangannya.Riana justru segera merebut Zia dari gendongan Fardan."Ibumu keterlaluan! Membawa Zia tanpa izin!" cetus Riana."Maaf, Bu. Kupastikan kejadian ini tak akan terulang lagi!" Fardan meyakinkan.Tak berapa lama, Amel keluar. Ia sudah sedikit sembuh tapi masih belum juga terlalu normal. Masih sering berhalu dan kadang masih suka histeris."Loh, Bang Fardan!" Amel berkata, sambil langsung mencium punggung tangan Fardan. Layaknya seperti biasa ia lakukan saat Fardan pulang kerja."Iya, Mel. Aku ...."Belum sampai bilang kalau Fardan mengantar Zia. Amel langsung
"Zia, Ma. Zia ...." Amel meraung. Ia tak sanggup saat tadi mendengar jerit tangis pilu anaknya. Lira menelfon Amel dengan menunjukan jika sekarang Zia tengah di siksa karena ulah ayahnya.Lira tak terima di permainkan. Ia mengancam akan membuang Zia kejurang jika Fardan tak mau membayar ganti rugi, atau menikahinya."Amel, yang kuat. Kamu jangan seperti ini!" tentu Riana bingung. Ia sangat takut jika Amel kambali kambuh seperti dulu."Wiwin, Hera!" Riana memanggil orang yang ada di rumah.Bergegas mereka datang dan memapah Amel masuk kedalam rumah."Ambilkan air minum!" ujar Riana. Hera segera beranjak. Ia mengambil satu gelas air mineral."Minum dulu, Mel!" Riana menegakkan badan Amel."Ma, Zia, Ma! Dia di bawa Lira dan berujar akan di bunuh. Bahkan dia juga telah menyiksa Zia hingga dia menangis pilu. Amel ngga kuat!" Setelah mengatakan itu Amel tak sadarkan diri. Telinganya masih berdering suara jerit tangis Zia.Sementara itu, Sanusi kehilangan jejak penculik, dan kehilangan arah
"Mel!" Fardan masuk keruangan. Terlihat Amel dan dokter Maria tengah menggotong Lira yang pingsan."Kok sampai pingsan?" tanya Fardan heran. Sedangkan Amel dan Dokter Maria serius."Maaf ya, Dok. Sudah merepotkanmu!" Amel merasa tak enak. "Sebenarnya ini sudah menyalahi prosedur. Tapi, saya niatkan untuk menolong. Insya Allah tak apa-apa." Dokter Maria tersenyum."Terima kasih banyak, Dok." Fardan tersenyum. Mereka menunggu sampai Lira tersadar."Lira!" ucap Fardan saat Lira tengah memijit keningnya. Mengingat apa yang terjadi pada dirinya sampai berapa disana."Kamu sudah sadar?" Fardan memegang tangan Lira. Seketika Lira teringat akan apa yang membuatnya pingsan."Jangan sentuh aku!" "Loh, kenapa? Amel sudah ikhlas aku menikah denganmu. Kita akan menikah secepatnya ya!" Fardan lebih mendekat pada Lira.Lira menepis tangan Fardan. Ia ketakutan. Bayangan dirinya di siksa oleh Fardan membuat ia bergidik ngeri. Jangan sampai aku jadi pelampiasan nafsu brutalnya. Pantas Amel sampai gil
Iryani merasakan dadanya sakit. Sudah dua hari ini ia hanya bisa duduk di tempat tidur. Sedangkan Fardan sibuk mengintai keberadaan Roy. Belum ada kabar dari Wiwin tentang permintaan Wiwin yang ingin bertemu dengan Roy.Hari beranjak sore, Farah yang sudah beberapa Minggu mengurung diri dirumah, tentu merasa jenuh. Ia berniat untuk sekedar jalan-jalan didepan rumah. Perutnya yang buncit ia tutupi dengan dress panjang dan longgar.Tanpa Farah sadari, ia tengah di intai oleh seseorang dari kejauhan. Dengan mata elangnya ia mengamati setiap gerak laangkah Farah.Tiba saatnya Farah menyebrang, sebuah mobil menghantam tubuhnya hingga tersungkur. Ia terkulai di jalan raya hingga tak sadarkan diri."Tolong! Tolong ...." Teriak beberapa orang yang tengah ada di depan taman. Segera orang berkerumun. Darah segar mengalir dari jidatnya dan kakinya juga terlihat darah mengalir. Segera Farah dibawa kerumah sakit.Fardan yang masih di kantor, dapat telfon dari tetangga. Sedangkan Iryani, dadanya m
Iryani terduduk lemas, ia tengah mengatur nafasnya agar normal kembali. Jantungnya berpacu dengan keras membuat sakit di dada sebelah kiri.Ia tengah bimbang, di hadapankan pada dua pilihan yang sulit. Bagai nemu buah simalakama. Maju kena mundur apa lagi?Fardan duduk dengan menyenderkan tangannya pada dengkul. Ia kesal karena ulah ibunya, ia harus menanggung malu dan sekarang harus rugi."Ini semua salah Ibu!" Fardan mengusap wajahnya kasar. "Dari masalah Amel, sekarang masalah Lira! Semua karna Ibu!" Fardan berdiri, meninggalkan Ibunya yang masih terus memegangi jantungnya. Ia sudah muak dengan semua ulah yang dilakukannya.Masalah Farah yang belum menemui titik terang saja membuat beban mental tersendiri. Kali ini harus ditambah ulah Lira yang nyatanya berhati iblis. Tentu membuat Iryani makin kesulitan untuk dapat bernafas dengan lega. Wanita yang seharusnya hidup damai di hari tuanya justru makin membuat ia tertekan.~~~Fardan menemui Wiwin. Ia ingin tahu pasti di mana rumah R
Roy memapah Wiwin menuju mobil, ia sedikit kesusahan. Saat tengah memapah menuju mobil. Fardan menabrak lengan Wiwin karena tak fokus. Fokusnya kedepan pada orang yang tengah duduk di kafe."Maaf!" Fardan memegang pundak Wiwin. Rambut Wiwin yang tergerai menutupi wajahnya hingga Fardan tak mengenali. Namun, ia tersentak dengan baju yang di gunakan."Amel!" Ia menyebut nama Amel. Membuat Roy seketika menoleh. Mata Roy dan Fardan beradu. Fardan sadar dengan orang yang ia cari. Dia sekarang ada di hadapannya."Kamu!" Fardan langsung menarik tangan Roy, hingga Roy melepaskan Wiwin."Aduh!" Wiwin mengaduh saat jidatnya membentur lantai.Tentu Fardan menoleh, kesempatan itu di gunakan Roy untuk melarikan diri. Fardan ingin mengejar Roy, tapi ia tak tega melihat wanita yang jatuh terjerembab tadi."Kamu ngga papa, Mbak?" Fardan mengangkat bahu Wiwin yang setengah sadar. "Wiwin!" Fardan kaget, saat rambut Wiwin tersibak dan mendapati jika ternyata adik iparnya yang ikut jadi korban Roy.Seg
"Silahkan masuk, Pak!" Fardan mencium tangan mertuanya."Silahkan duduk, tak perlu segan." Kembali Fardan berucap karena melihat Sanusi yang tengah mengamati rumah."Tentu, buat apa segan di rumah anak sendiri!" Sanusi menjawab dengan melirik Iryani yang berdiri tak jauh dari Fardan."Bagaimanapun, rumah ini milik Amel juga. Masih ada haknya. Kamu tak lupa kan, Dan. Dengan uang siapa rumah ini akhirnya lunas kebeli?" Sanusi sengaja menekankan kata di akhir. Ia ingin Ibu Fardan tahu diri."Ten-tentu, Pak. Saya juga tak pernah mengaku jika ini rumahku. Ini rumah Zia. Rumah anakku." Fardan akhirnya berucap demikian. Ia malu dengan apa yang baru saja di sindiran oleh Sanusi."Bagus memang harus begitu, jangan main ambil. Kalau kamu memang butuh mobilmu! Ambil siang dengan baik-baik. Jangan jadi pencuri!" Sanusi langsung menuju pokok permasalahan. Iryani salah tingkah, ia kemudian memilih untuk meninggalkan tempat itu."Bu! Mau kemana? Tak usah buatkan saya minuman!" ujar Sanusi. Ia tahu
"Apa benar yang di katakan Dokter Maria tentang Fardan, Mel?" tanya Riana saat mereka sudah berjalan pulang. Amel mengangguk. Amel sebenarnya senang melihat Fardan mau untuk konseling tapi mengingat Iryani yang Keukeh akan menikahkan suaminya untuk wanita lain, Amel memilih menjauh. Tak ingin untuk berdamai, ia takut hatinya kembali hancur."Kenapa kamu tak cerita sama Mama untuk masalah ini, Nak?" Riana sedih."Ini masalah yang sangan intim. Mana mungkin aku cerita, Ma.""Kamu itu! Selalu bisa menjaga apa yang harus di jaga. Tapi, seharusnya masalah seperti ini kamu juga bisa lebih terbuka sama mama!"Amel menghela nafas. Mana mungkin dia membuka hal tentang tentang urusan ranjang."Sudah ya, Ma. Sekarang Mama sudah tahu. Jaga agar sampai Papa tahu!" cicit Amel.Riana terdiam, dia sebenarnya sudah berencana untuk cerita sama Sanusi tapi kalau sudah begini?"Iya, Mel. Kamu tenang saja." Obrolan berakhir karena tepat sudah sampai didepan rumah. Setelah turun taxi kembali melaju."Kamu
Fardan sudah terlelap dalam mimpi, bahkan tak mendengar sama sekali saat notifikasi HPberbunyi beberapa kali. Dari Imron, seorang yang sudah Fardan suruh untuk mengabari dirinya ketika yang di sebut Ketua datang. Tentu tidak gratis. Semua ada imbalannya dan itu yang di janjikan oleh Fardan.Hingga subuh menjelang, saat matahari mulai merambah dari ufuk timur. Baru Fardan tersadar dalam mimpinya."Sudah pagi!" Fardan mengeliat. Ia meraih HPnya yang tengah ia changer."Ketua datang!" Fardan langsung duduk dari terbaring. Ia langsung menepuk jidatnya. Merasa menyesal karena terlelap tidur. Fardan langsung menelfon nomor yang semalam mengirim pesan. Namun sudah tak aktif. Ia kesal karena telah lalai mendapat kabar atas orang yang tengah ia cari selama ini.~~~"Roy!" Panggil Wiwin saat tengah Roy akan naik keatas."Eh, Win. Gimana udah sehat?" tanya Roy dengan tersenyum."Alhamdulilah, bisa kamu lihat sekarang!" Wiwin tersenyum, "makasih ya, sudah datang kerumah."Wiwin tersipu, dalam ha
"Kamu kenal, Win?" tanya Sanusi. Wiwin tak mendengar ia langsung turun dan menemui laki-laki yang kemarin sempat adu otot itu."Hai, Win! Maaf, aku datang kesini karena nomor kamu susah di hubungi. Aku kesini hanya ingin minta maaf atas kejadian kemarin." Roy berkata pada Wiwin yang sudah berdiri tegak didepannya."Untuk apa? Aku merasa tidak ada hal apapun yang perlu di bahas!" Wiwin berprinsip."Siapa, Win. Teman kamu ya?" tanya Riana dengan tersenyum kepada Roy.Wiwin diam."Iya, Tante. Kami satu Universitas. Hanya beda jurusan saja." Roy berkata dengan sopan."Oh ... Ajakin masuk dong, Win. Kasian pasti sudah menunggu lama!" ujar Riana.Wiwin tak mendengarkan, "maafmu sudah aku terima. Pulanglah!" Wiwin berlalu meninggalkan Roy."Win!" Riana memanggil. Namun, tak diindahkan."Maaf ya, Nak. Wiwin kondisinya sedang tak baik. Jadi harap maklum. Dia baru saja pulang dari RS." Riana berusaha membuat Roy tak tersingung dengan sikap Wiwin."Iya, Tan. Terimakasih, maaf sekali lagi. Oh ya,