Share

Rekonsiliasi

Author: Auphi
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Kulihat ada pergolakan di mata Joyce.

Dan aku tak kaget. Pasalnya sosok ayah yang selama ini dia banggakan ternyata cuma seorang pembunuh, kebenaran pahit yang sudah pasti menggoreskan luka di hati anak manapun.

"Aunty tahu ini berat, tapi setiap orang layak diberi kesempatan, Nak." Ucapku sambil berjongkok hingga wajah kami sejajar.

"Baiklah Aunty. Tapi aku tak bisa janji bisa... memaafkan daddy."

Kutatap wajah putri tiriku lekat-lekat. Keseriusan di matanya sanggup membuat manusia dewasa macam aku pun jadi salah tingkah. Betapa kuat auranya.

Kuharap kelak ketika dia dewasa bisa ketemu pria yang tidak terintimidasi dengan auranya.

"Baiklah, asalkan kamu mau bicara dengan daddy."

Setelah mendapat persetujuan Joyce, kami berjalan beriringan ke mobil yang sejak tadi sudah stand by dengan mesin menyala.

Nampaknya Hartono paham aku sedang bicara serius dengan Joyce, makanya dia sabar menunggu.

"So lo
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Haru

    Setelah permintaan singkat yang menyerupai perintah itu, kedua bocah mulai mengikutiku masuk ke dalam rumah dengan langkah terseok, mungkin lantaran lelah dan sedih. "Jie, Aunty mau bawa kita kemana, coba?""Mana kutahu.""Harusnya Jiejie tahu, kan yang paling besar.""Nonsense. Apa hubungannya coba?"" ... "Seraya berjalan kudengar kedua bocah itu mulai berdebat lagi, perdebatan yang dipicu hal sepele seperti biasa. Aku cuma diam sambil mendengarkan. Kalau perdebatan mereka masih dalam batas wajar, biasanya kubiarkan saja. Anak-anak perlu belajar untuk mengatasi konflik mereka sendiri. Lagipula kelak bila sudah dewasa, pertengkaran kecil ini akan jadi salah satu kenangan manis yang mengundang tawa. "Baik anak-anak, sekarang waktunya untuk.... Kejutannn!" Seruku dramatis sambil menunjuk dinding di sisi kananku. Kedua bocah berhenti dari perdebatan mereka dan menatap dinding yang tadinya k

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Sekarat

    Mampus! Aku makin galau sekarang. Kadang-kadang aku heran dengan kemampuan cenayang Hartono. Dia selalu bisa menebak apa yang kupikirkan dan apa yang hendak kulakukan. Kemampuannya ini jadi bikin firasat jelek timbul dalam pikirannku. Jangan-jangan Hartono sudah meretas semua alat komunikasiku. Dan itu sangat menakutkan! "Aarrggghh!" Seruku frustasi. Disebabkan rasa kesal dan lelah, kumatikan ponsel lalu kulempar sembarangan di atas ranjang. Sesudahnnya kubaringkan tubuh begitu say tanpa repot-repot mengganti pakaian atau ritual perawatan wajah yang kerap kulakukan. Kucoba memejamkan mata namun kantuk tak kunjung datang. Otakku masih terpikir dengan pesan Sally tadi. Rasa-rasanya aku sudah jadi anak durhaka. "Persetan." Gumamku lagi. Besok aku bisa kesana setelah mengantar anak-anak. Semoga saja ibuku tak sedang bersandiwara. Kalau tidak, siap-siaplah uang bulanannya kupotong. Untuk sekarang, i

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Bapak

    Kutatap wajah Sally lamat-lamat sebelum berucap tenang. "Tak bisa. Mamakku mesti cepat diobati. Makin cepat siap masalah ini makin bagus, biar tahu berapa banyak lagi uang yang mesti kucari untuk berobat mamak."Shania yang tadinya sempat marah, sekarang jadi salah tingkah. "Ma... maaf Kak, aku tak tahu itu maksudmu." Ucapnya gugup. Kubiarkan saja. Dari dulu adikku ini memang agak gegabah."Kalau gitu aku pergi dulu biar kalian bebas bicara." Shania berucap lagi sambil mengemasi bawaanya yang berupa plastik kresek berisi nasi bungkus dan air mineral. Sepertinya untuk bapak kami. "Baik." Sahutku singkat lalu menoleh pada Sally. "Jadi gimana?" Kataku mendesak. "Nggak bisa kita di tempat lain bicara? Udah mau gila aku karena tak bisa merokok.""Sally, kalau tak kau bilang sekarang, bayar sendiri nanti kerugiannya, ya." Ucapku kesalDemi mendengar namanya disebut tanpa embel-embel Kak -- yang mana belum pernah kulakukan s

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Pengemudi Gila

    "Okay, akhirnya kita di sini." Kataku pada diri sendiri. Dengan sigap aku turun dari mobil dan mengenakan masker medis yang selalu tersedia di tas ku. "Ada keperluan apa, Bu?" Seorang sipir dengan seragam biru yang khas, menyapaku ramah. Tak banyak bicara kujabat tangan sipir muda itu sambil memperkenalkan diri. "Kenalkan Pak, nama saya Shanty. Urusan kemari cuma mau bertemu teman lama, Roy namanya."Mulanya laki-laki bertubuh tegap itu agak kaget, namun begitu sadar tanganku berisi sesuatu, dia pun tersenyum maklum. Bahkan senyumnya kini makin lebar hingga menyerupai seringai. "Tunggu sebentar ya Bu. Ini lagi waktunya makan siang." Ucapnya lalu buru-buru mengarahkanku ke ruang tunggu. "Pasti Pak Roy senang dapat kunjungan, selama ini tak ada yang mengunjungi dia." Petugas muda itu kembali menambahkan sebelum buru-buru pergi. Mendengar situasi mantan suamiku yang memprihatinkan, timbul rasa miris sekaligus getir.Du

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Waspada

    Perempuan sinting yang tak punya adab tadi ternyata Cecilia. Kurasa dia tak ingin mencelakai, menakut-nakuti iya. Namun tampil dengan muka pucat ketakutan di depannya bukanlah hal menyenangkan. Di saat aku ingin hidup baik tanpa dendam, kenapa orang di sekelilingku seperti tak setuju?"Arrggghhh." Aku berseru frustasi hingga mobil yang sudah antri di belakang karena aku tak kunjung bergerak, jadi membunyikan klaksonnya. "Iya, sabar!" Seruku geram seraya memajukan mobil hingga ke depan lobby. Kedua bocah -- dibantu satpam yang bertugas -- langsung masuk ke mobil. Begitu Joan dan Joyce di dalam mobil langsung kusetel musik Western yang yang lagi hits agar kedua anak itu sibuk bernyanyi. Aku benar-benar sedang tak mood untuk bicara. ***"Dek, situasiku tak sebagus yang kau kira. Untuk pengobatan Mamak, kaulah yang banyak gerak, aku sediakan dana aja." Kataku membujuk Shania yang tengah sibuk menyusun pakaian ibu kami ke koper. Sudah seminggu sejak diagnosa kanker ibu, dan dokter me

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Are you happy without me?

    "Halo Kak, lama tak bersua. Apa kabarnya?"Suara di seberang sana menyapa ramah begitu panggilan tersambung. "Halo Velly, masih ingat aku ternyata.""Masihlah, Kak. Ada apa ya?"Meski suara Velly terdengar ramah, namun nafasnya yang ngos-ngosan sangat mengganggu di telinga. Kuharap lelahnya ini disebabkan senam lantai bukan senam ranjang. "Kamu lagi sibuk ya? Nanti aja ku... ""Nggak, Kak. Langsung aja, soalnya jadwal Velly padat kali." Sahutnya dengan nada sepelan mungkin, nyaris seperti bisikan.Sekarang aku yakin kalau dia tak sendirian di apartemennya. Entah laki-laki mana lagi yang jatuh dalam perangkap Velly si rubah licik. "Aku mau kamu cari informasi tentang laki-laki yang data pribadinya kukirim sebentar lagi. Lebih cepat, lebih bagus."Ada keheningan di ujung sana sampai kupikir Velly tak mendengarku bicara. Anggapanku ternyata keliru, karena pada detik berikutnya kudengar suara Velly berbisik lagi. "Boleh, tapi minggu depan ya Kak. Minggu ini masih padat kali jadwalku."

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Segalanya Lebih Baik

    Entah aku harus menangis atau tertawa mendengar kalimatnya yang bermakna ambigu ini.Menikmati waktu macam apa yang dimaksudnya? Hilir mudik lantaran harus mengurus ibu yang sakit atau aku tertangkap basah waktu bicara dengan Vincent di cafetaria kemarin? Atau keduanya?Entah yang manapun jawabnya, aku sudah mati langkah. Jadi, kuputuskan memakai strategi baru. Alih-alih berpura-pura polos, aku langsung mengaku."Maaf, tapi ibuku sakit." Kataku merayu dengan wajah tertunduk, persis anak kecil yang tertangkap basah mencuri uang ibunya."Lalu? Apa hubungannya denganmu?"Sontak aku menengadah, menatap wajahnya yang terpahat sempurna, berharap ada raut bercanda di sana. Namun Hartono nampak serius, tak ada sedikitpun humor di wajah itu. "Bagaimana mungkin kamu sanggup mengucapkan kata-kata macam itu? Demi Tuhan, yang sakit ini Ibuku lho, perempuan yang melahirkan aku."Kini giliran Hartono yang menatapku lekat-lekat, mungki

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Survey

    Setelah pembicaraanku dengan Hartono kemarin, aku memutuskan untuk sesegera mungkin pergi ke daycare rekomendasi Steven. "Kita ketemu di depan rumah sakit aja." Kata Shania padaku lewat panggilan telepon kami pagi tadi. Akhirnya kuiyakan saja permintaan itu meski sebenarnya aku lebih suka bertemu di kompleks tempat daycare itu berlokasi. Hanya dengan memakai jins dan kemeja putih, kusambar tas cangklong maroon yang tergantung di sisi ranjang. Setelahnya, aku pun pergi menemui Shania yang ternyata sudah menunggu dengan ekspresi manyun di depan gerbang masuk. "Kok lama kali, Kak?" Tanyanya begitu duduk di sampingku. "Ini udah kuusahakan lho secepatnya."Shania menatap wajahku dari ujung rambut hingga kaki lalu menatap dirinya, nyaris dengan gesture yang sama. Walaupun bajuku cuma jins dan kemeja, tapi rambutku dicatok rapi, wajahku tak bercela dengan polesan make-up tipis. Sedangkan adikku cuma pakai setelan katun yang biasa dipakai ibu-ibu rumahan dengan rambut diikat seadanya dan

Latest chapter

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Epilog

    Atas desakan Hartono, hari ini kami pergi ke rumah Shania untuk mengunjungi bapak-mamak serta Alex. Agar orangtuaku tak terkejut, status Hartono kami rahasiakan hingga yang mereka tahu, suamiku cuma karyawan kantoran. Setelah basa-basi sejenak, kutinggalkan Hartono meladeni kedua bapak dan mamak, sementara aku sendiri pergi menemui Alex di kamarnya. 'Tenanglah Shan, anakmu tak akan membencimu. Ujarku berulang-ulang di sepanjang jalan menuju kamar Alex. Rasa takut dan gugup yang melandaku tak terkatakan lagi. Kalau bukan karena didorong keinginan yang kuat, maulah rasanya aku kabur detik ini juga. Begitu daun pintu itu kubuka, tampaklah anak kecil yang wajahnya amat mirip denganku itu sedang menggambar sesuatu di bukunya. "Hai Alex..." Sapaku memulai percakapan. Bocah laki-laki berambut lurus itu menatapku datar, lalu duduk dari posisi telungkupnya. Sikapnya yang dewasa dan teratur, bikin aku makin gugup.

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Sebuah Pengakuan

    "Maksud Ibu?"Sambil menyendok sesuap bubur ke mulutku, Sumiati berkata lagi. "Kudengar, mereka mesti berenang malam-malam biar nggak terpantau anak buah penjahat itu. Lolos dari air, harus melewati ladang ranjau. Anak buah Hartono saja sampai mati tiga orang."Entah Hartono yang menyuruh ibunya bercerita demi merebut simpatiku, namun fakta bahwa dia bisa saja kehilangan nyawa waktu itu, bikin jantungku ketar-ketir. "Apa dia terluka waktu itu, Bu?""Kalau itu aku kurang tahu. Tapi sesudah kita di mansion, ada dokter bolak-balik masuk ke kamar utama selama tiga hari."Pantas muka Hartono pucat waktu itu. Kurasa ada bagian tubuhnya yang tertembus peluru musuh. Kemungkinan ini bikin ulu hatiku jadi ngilu. Suami yang sudah tega mengumpankan kami pada musuhnya, ternyata hampir meregang nyawa juga waktu menyelamatkan kami. "Shanty, cepat pulih ya Nak. Joan dan Joyce sudah rindu." Ujar Sumiati seraya membereskan peralatan ma

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Sakit

    Untuk sesaat kami semua terpaku, terlalu bingung mencerna situasi yang kami hadapi. Hingga pada suatu saat, mataku yang sejak tadi terpusat pada Hartono menyaksikan keanehan. Laki-laki kejam yang selalu memandang angkuh pada dunia itu, tiba-tiba tampak gugup seperti orang ketakutan. Tak cukup sampai disitu, dia pun terduduk lemah dengan kedua tangan menutupi kepala. "Jangan... tolong jangan sakiti aku..." Lolongnya seperti hewan sekarat. Aku berusaha menggapainya, berusaha berteriak agar dia sadar. Namun tenagaku seolah lenyap dari tubuh. Mulutku megap-megap mencari udara yang semakin sukar masuk, namun sia-sia saja. Tak ada yang bisa kulakukan. Edbert yang terkulai tadi, mulai bergerak. Seolah menghabiskan semua sisa tenaga ditubuhnya, secepat kilat dia menyambar pisau yang terletak di sisi tubuh Hartono. Aku menutup mata pasrah. Sebentar lagi jiwaku dan Hartono akan bertemu lagi. Pada saat itu terjadi aku akan memakai lak

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Umpan

    Jane tersenyum miring lalu menarasikan bagaimana anak buah Hartono memata-matai Alex hingga dirinya tak berani bertindak gegabah lantaran takut operasi bisnisnya jadi ketahuan.Pula, wanita culas ini bercerita anak buah Hartono sibuk mengawasi ibuku waktu dioperasi di Singapura kemarin makanya mereka tak berani berbuat yang tidak-tidak. "Hahaha, he is doing so much for you and you know nothing. Such a stupid fellow." Pungkasnya seraya menatapku geli. Berbeda dengan Jane yang menganggap konyol tindakan Hartono, aku malah terdiam pilu. Selama ini tak terhitung berapa banyak aku meratapi nasib, menyesali diri, bahkan mengutuki Hartono karena kupikir dia tak pernah peduli padaku.Aku selalu merasa sendirian di dunia yang luas ini. Nyatanya, apa yang dilakukan Hartono di belakang layar menampar semua keyakinan yang kubangun selama ini. Dia melakukan lebih banyak dari yang bisa kubuat untuk keselamatan orang-orang yang kukasihi. "N

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Rahasia Gelap

    "Seems like you put too much drugs in that incense.""Hmph, she's just a weakling."Dua suara saling sahut antara pria dan wanita samar-samar memasuki ruang dengarku. Kucoba membuka mata, namun seperti ada yang menghalangi, tubuhku juga seperti tertimpa beban yang amat berat hingga susah sekali digerakkan. Sepertinya aku mengalami ketindihan yang dalam dunia medis dikenal sebagai sleep paralysis. Suatu kondisi dimana kesadaran otak tidak sinkron dengan tubuh. "Let's wake her up." Suara si wanita kembali terdengar. Sepertinya dia benci betul padaku. "Let her be. Why bother yourself with an unconscious lady.""Hmph, I bet you have fallen for her.""Stop spewing nonsense."" ... "Ketika dua manusia ini sibuk berdebat, aku memaksa diri untuk segera sadar dengan memusatkan pikiran pada hal umum yang terbiasa kulakukan. Mamak kami bilang, ketindihan ini disebabkan ada setan yang menimpa badan wa

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Labirin

    Perlahan kukucek mata yang tengah mengantuk berat. Dibangunkan waktu hampir memasuki dunia mimpi, rasanya sangat menyebalkan.Sepertinya Joyce paham perasaanku. Disikutnya Joan yang sedang tersenyum lebar mengamatiku menahan kantuk."Dasar nggak bisa baca situasi." Geramnya lirih. "Sudah, sudah, Aunty nggak ngantuk lagi. Ayo kita makan." Leraiku sebelum perang dunia terjadi lagi. Beriringan kami berjalan ke depan rumah. Ternyata mereka berdua sudah menyiapkan makanan di rumah pohon yang cabangnya menjorok ke arah pantai. Edbert yang suka menyendiri, segera mengambil piring dan meletakkan labu, ubi, dan setengah ekor ikan di atasnya. Setelah itu dia bergegas pergi ke rumah pohon yang satunya. Melihat Hartono bersikap biasa saja, aku pun tak meminta Edbert makan bersama. "Aku mau ikan yang paling besar." Ujar Joan sambil meletakkan potongan ubi dan labu ke piringnya.Tentu saja Hartono tak peduli. Dengan gera

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Palau

    Mengikuti permintaan Hartono yang lebih mirip perintah, aku dan anak-anak akhirnya pasrah dibawa entah kemana. Setelah lelah berkendara sekian lama, mataku pun terpejam. Tak tahu berapa lama lelap dalam buai kantuk, ketika suara bariton yang khas terdengar di telingaku. "Bangun, kita sudah sampai." Suara datar Hartono membangunkanku dari tidur lelap.Masih setengah sadar, kuamati sekeliling sambil mengucek-ucek mata. Ternyata kami ada di bandara yang kelewat sederhana untuk ukuran ibu kota negara."Di mana kita?" Tanyaku tanpa minat."Negara kecil di Oceania, Palau.""Apa? Palau?"Ketidaktahuanku membuat Hartono melengos gusar lalu membangunkan Joan dan Joyce yang masih nyenyak seberang kami.Hartono selalu mendorongku agar punya wawasan luas tapi apa salahku kalau tak pernah dengar soal negara kecil ini? Kurasa banyak yang tak tahu ada negara bernama Palau di muka bumi. Bahkan dalam pelajaran ilmu sosial yang kugeluti sejak SD sampai SMA pun tak pernah nama ini singgah di telingaku.

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Pelarian

    Besoknya, aku masih meringkuk ketakutan di bawah selimut waktu sebuah pesan masuk dari Shania mengganggu hidupku. [Kak, cepat cek media sosial berita lokal]Sejujurnya aku sedang malas melakukan apapun, kejadian semalam masih menghantui pikiranku seperti mimpi buruk. Aku bahkan tak tahu bagaimana caranya bisa sampai di kamarku semalam. Namun rasa penasaran akan pesan Shania memaksaku membuka media sosial berita terkini di daerah kami. [Gempar! Sindikat perdagangan anak berkedok penitipan akhirnya diringkus polisi]Bukan berita yang terlalu ' wah' mengingat maraknya kejahatan akhir-akhir ini. Yang bikin nafasku nyaris berhenti adalah kenyataan daycare ini tempat aku menitipkan Alex dan kedua keponakanku kemarin. Apa jadinya kalau mereka bertiga jadi korban dari sindikat juga? Cepat-cepat kuhubungi Shania demi memastikan keadaan anak-anak. "Maaf Dek, sumpah aku tak tahu kalau daycare-nya bermasalah." Ujarku penuh peny

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Sepanjang Lengan

    Suara kakek Lim menarik kami semua ke alam nyata. Hartono langsung melepaskan cekalannya pada tanganku lalu mengikuti langkah beliau ke dalam. "Istirahat saja di atas kalau sudah capek." Bisiknya di telingaku sesaat sebelum beranjak. Sementara itu Ming Lan langsung membimbing bibi Yue masuk ke dalam untuk mengikuti pembicaraan rahasia lainnya. Tinggallah aku sendiri mengamati segala yang terjadi di sini. "Geser badannya sedikit." Nanny memberi perintah pada Juni yang nampak cekatan membantunya mengangkat tubuh Lin Hua yang sudah kaku ke atas matras tipis yang mereka sulap jadi tandu darurat. "Bu, ayo masuk, tak usah duduk di sini." Samar-samar kudengar suara Nanny mengajak waktu mereka melewatiku. Namun aku terlalu mati rasa untuk merespon. Mataku malah tertuju pada mayat Jaya yang tergeletak menyedihkan di atas lantai yang dingin.Sebuah kehidupan sudah lenyap begitu saja. Baru beberapa menit tadi paman Jaya tertawa-tawa sa

DMCA.com Protection Status