"Okay, akhirnya kita di sini." Kataku pada diri sendiri.
Dengan sigap aku turun dari mobil dan mengenakan masker medis yang selalu tersedia di tas ku."Ada keperluan apa, Bu?" Seorang sipir dengan seragam biru yang khas, menyapaku ramah.Tak banyak bicara kujabat tangan sipir muda itu sambil memperkenalkan diri. "Kenalkan Pak, nama saya Shanty. Urusan kemari cuma mau bertemu teman lama, Roy namanya."Mulanya laki-laki bertubuh tegap itu agak kaget, namun begitu sadar tanganku berisi sesuatu, dia pun tersenyum maklum. Bahkan senyumnya kini makin lebar hingga menyerupai seringai."Tunggu sebentar ya Bu. Ini lagi waktunya makan siang." Ucapnya lalu buru-buru mengarahkanku ke ruang tunggu. "Pasti Pak Roy senang dapat kunjungan, selama ini tak ada yang mengunjungi dia." Petugas muda itu kembali menambahkan sebelum buru-buru pergi.Mendengar situasi mantan suamiku yang memprihatinkan, timbul rasa miris sekaligus getir.DuPerempuan sinting yang tak punya adab tadi ternyata Cecilia. Kurasa dia tak ingin mencelakai, menakut-nakuti iya. Namun tampil dengan muka pucat ketakutan di depannya bukanlah hal menyenangkan. Di saat aku ingin hidup baik tanpa dendam, kenapa orang di sekelilingku seperti tak setuju?"Arrggghhh." Aku berseru frustasi hingga mobil yang sudah antri di belakang karena aku tak kunjung bergerak, jadi membunyikan klaksonnya. "Iya, sabar!" Seruku geram seraya memajukan mobil hingga ke depan lobby. Kedua bocah -- dibantu satpam yang bertugas -- langsung masuk ke mobil. Begitu Joan dan Joyce di dalam mobil langsung kusetel musik Western yang yang lagi hits agar kedua anak itu sibuk bernyanyi. Aku benar-benar sedang tak mood untuk bicara. ***"Dek, situasiku tak sebagus yang kau kira. Untuk pengobatan Mamak, kaulah yang banyak gerak, aku sediakan dana aja." Kataku membujuk Shania yang tengah sibuk menyusun pakaian ibu kami ke koper. Sudah seminggu sejak diagnosa kanker ibu, dan dokter me
"Halo Kak, lama tak bersua. Apa kabarnya?"Suara di seberang sana menyapa ramah begitu panggilan tersambung. "Halo Velly, masih ingat aku ternyata.""Masihlah, Kak. Ada apa ya?"Meski suara Velly terdengar ramah, namun nafasnya yang ngos-ngosan sangat mengganggu di telinga. Kuharap lelahnya ini disebabkan senam lantai bukan senam ranjang. "Kamu lagi sibuk ya? Nanti aja ku... ""Nggak, Kak. Langsung aja, soalnya jadwal Velly padat kali." Sahutnya dengan nada sepelan mungkin, nyaris seperti bisikan.Sekarang aku yakin kalau dia tak sendirian di apartemennya. Entah laki-laki mana lagi yang jatuh dalam perangkap Velly si rubah licik. "Aku mau kamu cari informasi tentang laki-laki yang data pribadinya kukirim sebentar lagi. Lebih cepat, lebih bagus."Ada keheningan di ujung sana sampai kupikir Velly tak mendengarku bicara. Anggapanku ternyata keliru, karena pada detik berikutnya kudengar suara Velly berbisik lagi. "Boleh, tapi minggu depan ya Kak. Minggu ini masih padat kali jadwalku."
Entah aku harus menangis atau tertawa mendengar kalimatnya yang bermakna ambigu ini.Menikmati waktu macam apa yang dimaksudnya? Hilir mudik lantaran harus mengurus ibu yang sakit atau aku tertangkap basah waktu bicara dengan Vincent di cafetaria kemarin? Atau keduanya?Entah yang manapun jawabnya, aku sudah mati langkah. Jadi, kuputuskan memakai strategi baru. Alih-alih berpura-pura polos, aku langsung mengaku."Maaf, tapi ibuku sakit." Kataku merayu dengan wajah tertunduk, persis anak kecil yang tertangkap basah mencuri uang ibunya."Lalu? Apa hubungannya denganmu?"Sontak aku menengadah, menatap wajahnya yang terpahat sempurna, berharap ada raut bercanda di sana. Namun Hartono nampak serius, tak ada sedikitpun humor di wajah itu. "Bagaimana mungkin kamu sanggup mengucapkan kata-kata macam itu? Demi Tuhan, yang sakit ini Ibuku lho, perempuan yang melahirkan aku."Kini giliran Hartono yang menatapku lekat-lekat, mungki
Setelah pembicaraanku dengan Hartono kemarin, aku memutuskan untuk sesegera mungkin pergi ke daycare rekomendasi Steven. "Kita ketemu di depan rumah sakit aja." Kata Shania padaku lewat panggilan telepon kami pagi tadi. Akhirnya kuiyakan saja permintaan itu meski sebenarnya aku lebih suka bertemu di kompleks tempat daycare itu berlokasi. Hanya dengan memakai jins dan kemeja putih, kusambar tas cangklong maroon yang tergantung di sisi ranjang. Setelahnya, aku pun pergi menemui Shania yang ternyata sudah menunggu dengan ekspresi manyun di depan gerbang masuk. "Kok lama kali, Kak?" Tanyanya begitu duduk di sampingku. "Ini udah kuusahakan lho secepatnya."Shania menatap wajahku dari ujung rambut hingga kaki lalu menatap dirinya, nyaris dengan gesture yang sama. Walaupun bajuku cuma jins dan kemeja, tapi rambutku dicatok rapi, wajahku tak bercela dengan polesan make-up tipis. Sedangkan adikku cuma pakai setelan katun yang biasa dipakai ibu-ibu rumahan dengan rambut diikat seadanya dan
"Entah." Sahutku tak kalah heran.Di depan kami berbaring rapi para bocah dengan usia berbeda-beda. Ada yang posisinya tengkurap, telentang, bahkan menyamping. Sementara botol dot yang sudah kosong tergeletak begitu saja di sisi tubuh mereka. "Emang bisa tidur nggak dikeloni?" Bisik Shania pada pelayan yang membawa kami berkeliling. "Anak-anak di sini sudah biasa, Bu. Begitu dikasih makan dan minum susu, mereka akan cari posisi nyaman dan tidur." Jawabnya dengan senyum lebar. Kemudian pelayan itu mengarahkan tatapan pada bocah yang tidur cuma beralas kasur tipis itu. "Lagipula, anak-anak yang tidak bersama orang tua mereka, biasanya lebih mandiri, lebih tahu diri." Dia menambahkan dengan nada iba dalam suaranya. Kata-kata pelayan ini bikin aku jadi teringat buah hatiku, Alex. Dulu waktu belum cerai dari Roy, aku mengasuh Alex sampai usianya sekitar enam bulan. Walaupun putraku bukan bayi yang cengeng, tapi dia memang harus selalu tidu
Hampir saja aku lupa. Padahal acara banquet kali ini sangat spesial, yaitu perayaan ulang tahun nyonya Wijaya yang ke tujuh puluh sembilan. Selaku tetua yang masih memegang teguh tradisi leluhurnya, nyonya Wijaya, lebih senang merayakan ulang tahun yang ada angka sembilannya.Kata sembilan berhomonim dengan kata 'selamanya' dalam bahasa mandarin yang identik dengan harapan umur panjang. Padahal demi tampil maksimal di acara ini, sejak bulan lalu Marissa sudah sibuk mengajakku hunting pakaian. Tak hanya itu dia juga membantuku memilih jam tangan yang cantik sebagai hadiah. "Perempuan disiplin seperti nyonya Lim pasti suka diberi jam." Katanya waktu itu. Tapi entah kenapa setelah kupikirkan lagi, aku tak begitu suka dengan gagasannya. Jam terlalu kaku dan biasa saja. Sesuatu yang bisa dibeli dengan uang kapanpun kau mau. Padahal nyonya Wijaya sangat jarang merayakan ulang tahunnya. Berhubung kepalaku masih mumet, akhirnya kupu
"Mengapa?" tanyaku heran. Setahuku jam tangan adalah kado yang wajar diberi pada perayaan sukacita seseorang. Apalagi, seperti kata Marissa nyonya Wijaya pribadi disiplin, pastilah suka jam tangan cantik yang ditempah secara khusus. "Nanti ada saatnya kau paham sendiri."Sudah kuduga, si Hartono Lim tak bakal memberitahu jawabannya dengan mudah, tapi tetap saja rasanya kesal luar biasa. Tinggal bilang saja, apa susahnya?Situasi harmonis di antara kami berubah dalam sekejap, digantikan oleh kebekuan yang memuakkan. "Kau duduklah di sini, aku ada urusan." Seperti biasa, Hartono keburu ngibrit entah kemana. Tinggallah aku sendirian di meja bundar yang diameternya cukup besar itu. Kuamati sekeliling dalam diam dan nyatalah hampir keseluruhan tamu yang adalah golongan old money atau keluarga yang masih punya kekerabatan dengan nyonya Wijaya. Orang-orang seperti Amanda sudah pasti tak diundang. Untungnya, tidak seperti y
Ada keheningan sejenak sebelum kami sadar apa yang terjadi. Nenek Wijaya, entah disebabkan terlalu tua atau bersemangat dengan semua sandiwara barusan, ternyata tersedak buah longan yang ada dalam minuman segar yang sedang disantapnya. Orang-orang disekelilingnya, entah karena panik atau takut disalahkan, buru-buru menjauh hingga yang tersisa di sisi nenek Wijaya cuma Marissa dan nenek Waluyo.Sementara itu menantu beliau, nyonya muda Wijaya dengan panik berlari ke luar untuk mencari suaminya setelah menyuruh pelayan memanggil dokter. "Haish!" Serutuku frustasiEntah kenapa orang-orang ini sibuk melakukan hal yang tak perlu padahal dalam hitungan menit, nyonya Wijaya bisa jadi mayat.Didorong naluri praktisi kesehatan yang celaka, aku berlari ke arah nyonya Wijaya yang mukanya mulai membiru tanda kehabisan oksigen. "Tenang, Nai. Jangan takut." Bisikku di telinganya serayabmenempatkan diri di belakang tubuhnya.