Entah aku harus menangis atau tertawa mendengar kalimatnya yang bermakna ambigu ini.
Menikmati waktu macam apa yang dimaksudnya? Hilir mudik lantaran harus mengurus ibu yang sakit atau aku tertangkap basah waktu bicara dengan Vincent di cafetaria kemarin? Atau keduanya?Entah yang manapun jawabnya, aku sudah mati langkah. Jadi, kuputuskan memakai strategi baru. Alih-alih berpura-pura polos, aku langsung mengaku."Maaf, tapi ibuku sakit." Kataku merayu dengan wajah tertunduk, persis anak kecil yang tertangkap basah mencuri uang ibunya."Lalu? Apa hubungannya denganmu?"Sontak aku menengadah, menatap wajahnya yang terpahat sempurna, berharap ada raut bercanda di sana. Namun Hartono nampak serius, tak ada sedikitpun humor di wajah itu."Bagaimana mungkin kamu sanggup mengucapkan kata-kata macam itu? Demi Tuhan, yang sakit ini Ibuku lho, perempuan yang melahirkan aku."Kini giliran Hartono yang menatapku lekat-lekat, mungkiSetelah pembicaraanku dengan Hartono kemarin, aku memutuskan untuk sesegera mungkin pergi ke daycare rekomendasi Steven. "Kita ketemu di depan rumah sakit aja." Kata Shania padaku lewat panggilan telepon kami pagi tadi. Akhirnya kuiyakan saja permintaan itu meski sebenarnya aku lebih suka bertemu di kompleks tempat daycare itu berlokasi. Hanya dengan memakai jins dan kemeja putih, kusambar tas cangklong maroon yang tergantung di sisi ranjang. Setelahnya, aku pun pergi menemui Shania yang ternyata sudah menunggu dengan ekspresi manyun di depan gerbang masuk. "Kok lama kali, Kak?" Tanyanya begitu duduk di sampingku. "Ini udah kuusahakan lho secepatnya."Shania menatap wajahku dari ujung rambut hingga kaki lalu menatap dirinya, nyaris dengan gesture yang sama. Walaupun bajuku cuma jins dan kemeja, tapi rambutku dicatok rapi, wajahku tak bercela dengan polesan make-up tipis. Sedangkan adikku cuma pakai setelan katun yang biasa dipakai ibu-ibu rumahan dengan rambut diikat seadanya dan
"Entah." Sahutku tak kalah heran.Di depan kami berbaring rapi para bocah dengan usia berbeda-beda. Ada yang posisinya tengkurap, telentang, bahkan menyamping. Sementara botol dot yang sudah kosong tergeletak begitu saja di sisi tubuh mereka. "Emang bisa tidur nggak dikeloni?" Bisik Shania pada pelayan yang membawa kami berkeliling. "Anak-anak di sini sudah biasa, Bu. Begitu dikasih makan dan minum susu, mereka akan cari posisi nyaman dan tidur." Jawabnya dengan senyum lebar. Kemudian pelayan itu mengarahkan tatapan pada bocah yang tidur cuma beralas kasur tipis itu. "Lagipula, anak-anak yang tidak bersama orang tua mereka, biasanya lebih mandiri, lebih tahu diri." Dia menambahkan dengan nada iba dalam suaranya. Kata-kata pelayan ini bikin aku jadi teringat buah hatiku, Alex. Dulu waktu belum cerai dari Roy, aku mengasuh Alex sampai usianya sekitar enam bulan. Walaupun putraku bukan bayi yang cengeng, tapi dia memang harus selalu tidu
Hampir saja aku lupa. Padahal acara banquet kali ini sangat spesial, yaitu perayaan ulang tahun nyonya Wijaya yang ke tujuh puluh sembilan. Selaku tetua yang masih memegang teguh tradisi leluhurnya, nyonya Wijaya, lebih senang merayakan ulang tahun yang ada angka sembilannya.Kata sembilan berhomonim dengan kata 'selamanya' dalam bahasa mandarin yang identik dengan harapan umur panjang. Padahal demi tampil maksimal di acara ini, sejak bulan lalu Marissa sudah sibuk mengajakku hunting pakaian. Tak hanya itu dia juga membantuku memilih jam tangan yang cantik sebagai hadiah. "Perempuan disiplin seperti nyonya Lim pasti suka diberi jam." Katanya waktu itu. Tapi entah kenapa setelah kupikirkan lagi, aku tak begitu suka dengan gagasannya. Jam terlalu kaku dan biasa saja. Sesuatu yang bisa dibeli dengan uang kapanpun kau mau. Padahal nyonya Wijaya sangat jarang merayakan ulang tahunnya. Berhubung kepalaku masih mumet, akhirnya kupu
"Mengapa?" tanyaku heran. Setahuku jam tangan adalah kado yang wajar diberi pada perayaan sukacita seseorang. Apalagi, seperti kata Marissa nyonya Wijaya pribadi disiplin, pastilah suka jam tangan cantik yang ditempah secara khusus. "Nanti ada saatnya kau paham sendiri."Sudah kuduga, si Hartono Lim tak bakal memberitahu jawabannya dengan mudah, tapi tetap saja rasanya kesal luar biasa. Tinggal bilang saja, apa susahnya?Situasi harmonis di antara kami berubah dalam sekejap, digantikan oleh kebekuan yang memuakkan. "Kau duduklah di sini, aku ada urusan." Seperti biasa, Hartono keburu ngibrit entah kemana. Tinggallah aku sendirian di meja bundar yang diameternya cukup besar itu. Kuamati sekeliling dalam diam dan nyatalah hampir keseluruhan tamu yang adalah golongan old money atau keluarga yang masih punya kekerabatan dengan nyonya Wijaya. Orang-orang seperti Amanda sudah pasti tak diundang. Untungnya, tidak seperti y
Ada keheningan sejenak sebelum kami sadar apa yang terjadi. Nenek Wijaya, entah disebabkan terlalu tua atau bersemangat dengan semua sandiwara barusan, ternyata tersedak buah longan yang ada dalam minuman segar yang sedang disantapnya. Orang-orang disekelilingnya, entah karena panik atau takut disalahkan, buru-buru menjauh hingga yang tersisa di sisi nenek Wijaya cuma Marissa dan nenek Waluyo.Sementara itu menantu beliau, nyonya muda Wijaya dengan panik berlari ke luar untuk mencari suaminya setelah menyuruh pelayan memanggil dokter. "Haish!" Serutuku frustasiEntah kenapa orang-orang ini sibuk melakukan hal yang tak perlu padahal dalam hitungan menit, nyonya Wijaya bisa jadi mayat.Didorong naluri praktisi kesehatan yang celaka, aku berlari ke arah nyonya Wijaya yang mukanya mulai membiru tanda kehabisan oksigen. "Tenang, Nai. Jangan takut." Bisikku di telinganya serayabmenempatkan diri di belakang tubuhnya.
Entah kenapa waktu mendengar kicauan pemandu acara, jantungku berdegup tak karuan. Seperti ada hal besar yang bakal terjadi. Dan benarlah... Kudapan yang dimaksud itu tak lain tak bukan adalah bakpao berbentuk buah persik yang kubawa dalam kotak insulasi tadi. Bedanya, sekarang kedelapan bakpao itu ditempatkan dengan rapi di atas piring porselen putih yang cantik. "Ma, Anda beruntung ada yang menyiapkan hadiah sebagus ini untuk Anda. Terus terang, sebagai menantu saya jadi malu." Tutur nyonya Wijaya muda sambil meletakkan kudapan itu di depan mertuanya. Kembali bisik-bisik samar terdengar di sekeliling kami. Kalau bukan keluarga Wijaya yang menyiapkan kado spesial ini, lalu siapa? Kebingungan tak tersirat ini segera terjawab, manakala tuan Wijaya mengambil alih mikrofonnya. "Sebenarnya, kudapan ini disiapkan oleh nyonya muda Lim. Saya rasa applaus meriah layak diberikan pada wanita muda yang cerdas dan berani ini."
Besoknya, masih dengan perasaan senang lantaran kejadian goda-menggoda semalam, kuajak anak-anak berkemas agar kami tak kesiangan. "Aunty, ini weekend. Joan masih ngantuk." Sahut si bungsu bermalas-malasan di atas ranjangnya. "Kamu yakin masih kau tidur? Padahal Aunty ajak ke resort kemarin lho.""Ha, yang baksonya enak itu? Joan ikut."Tak menunggu lama, Joan segera bangkit, melipat selimutnya lalu memanggil Saidah untuk membantunya berkemas. Aku geleng-geleng kepala melihat cara berpikir si bungsu. Dari sekian banyak hal menarik yang bisa diingat dari resort kemarin, yang berkesan baginya hanya perkara makanan. Selesai dengan Joan, aku beranjak ke kamar Joyce. Tak berbeda jauh dengan adiknya, si sulung masih menutup rapat tubuhnya dengan selimut bulu yang nyaman."Aunty, for goodness sake, let me sleep more. Kita nggak masuk sekolah hari ini." Gerutunya waktu kubangunkan. "Tapi Aunty mau ajak kalian
Serempak kami semua menatapnya. "Mommy, lupa apa?" Putra sulungnya bertanya. "Lupa kalau lagi diet hehehe... "Serempak kami semua menyorakinya. Bertubuh ramping memang cita-cita Amanda yang belum kesampaian sampai detik ini, juga sumber kecemburuannya yang hakiki padaku dan Marissa. Dengan suasana santai dan hati riang kami pun menyelesaikan santap siang itu. Ada satu jam lebih kami duduk-duduk santai sambil menikmati aroma laut yang khas. Mungkin disebabkan oleh tiupan angin semilir, para bocah mulai mengantuk satu persatu. "Aunty, can we go back? Aku ngantuk." Joan mengawali hasrat ingin tidur ini sambil mengucek-ucek matanya. Dengan cepat satu persatu bocah yang lain pun mulai terserang kantuk hingga kami memutuskan membawa mereka tidur siang di cottage.Begitu kepala mereka menyentuh ranjang, anak-anak ini langsung lelap. Aku agak heran juga mengingat Joan dan Joyce bukan tipikal anak yang g
Atas desakan Hartono, hari ini kami pergi ke rumah Shania untuk mengunjungi bapak-mamak serta Alex. Agar orangtuaku tak terkejut, status Hartono kami rahasiakan hingga yang mereka tahu, suamiku cuma karyawan kantoran. Setelah basa-basi sejenak, kutinggalkan Hartono meladeni kedua bapak dan mamak, sementara aku sendiri pergi menemui Alex di kamarnya. 'Tenanglah Shan, anakmu tak akan membencimu. Ujarku berulang-ulang di sepanjang jalan menuju kamar Alex. Rasa takut dan gugup yang melandaku tak terkatakan lagi. Kalau bukan karena didorong keinginan yang kuat, maulah rasanya aku kabur detik ini juga. Begitu daun pintu itu kubuka, tampaklah anak kecil yang wajahnya amat mirip denganku itu sedang menggambar sesuatu di bukunya. "Hai Alex..." Sapaku memulai percakapan. Bocah laki-laki berambut lurus itu menatapku datar, lalu duduk dari posisi telungkupnya. Sikapnya yang dewasa dan teratur, bikin aku makin gugup.
"Maksud Ibu?"Sambil menyendok sesuap bubur ke mulutku, Sumiati berkata lagi. "Kudengar, mereka mesti berenang malam-malam biar nggak terpantau anak buah penjahat itu. Lolos dari air, harus melewati ladang ranjau. Anak buah Hartono saja sampai mati tiga orang."Entah Hartono yang menyuruh ibunya bercerita demi merebut simpatiku, namun fakta bahwa dia bisa saja kehilangan nyawa waktu itu, bikin jantungku ketar-ketir. "Apa dia terluka waktu itu, Bu?""Kalau itu aku kurang tahu. Tapi sesudah kita di mansion, ada dokter bolak-balik masuk ke kamar utama selama tiga hari."Pantas muka Hartono pucat waktu itu. Kurasa ada bagian tubuhnya yang tertembus peluru musuh. Kemungkinan ini bikin ulu hatiku jadi ngilu. Suami yang sudah tega mengumpankan kami pada musuhnya, ternyata hampir meregang nyawa juga waktu menyelamatkan kami. "Shanty, cepat pulih ya Nak. Joan dan Joyce sudah rindu." Ujar Sumiati seraya membereskan peralatan ma
Untuk sesaat kami semua terpaku, terlalu bingung mencerna situasi yang kami hadapi. Hingga pada suatu saat, mataku yang sejak tadi terpusat pada Hartono menyaksikan keanehan. Laki-laki kejam yang selalu memandang angkuh pada dunia itu, tiba-tiba tampak gugup seperti orang ketakutan. Tak cukup sampai disitu, dia pun terduduk lemah dengan kedua tangan menutupi kepala. "Jangan... tolong jangan sakiti aku..." Lolongnya seperti hewan sekarat. Aku berusaha menggapainya, berusaha berteriak agar dia sadar. Namun tenagaku seolah lenyap dari tubuh. Mulutku megap-megap mencari udara yang semakin sukar masuk, namun sia-sia saja. Tak ada yang bisa kulakukan. Edbert yang terkulai tadi, mulai bergerak. Seolah menghabiskan semua sisa tenaga ditubuhnya, secepat kilat dia menyambar pisau yang terletak di sisi tubuh Hartono. Aku menutup mata pasrah. Sebentar lagi jiwaku dan Hartono akan bertemu lagi. Pada saat itu terjadi aku akan memakai lak
Jane tersenyum miring lalu menarasikan bagaimana anak buah Hartono memata-matai Alex hingga dirinya tak berani bertindak gegabah lantaran takut operasi bisnisnya jadi ketahuan.Pula, wanita culas ini bercerita anak buah Hartono sibuk mengawasi ibuku waktu dioperasi di Singapura kemarin makanya mereka tak berani berbuat yang tidak-tidak. "Hahaha, he is doing so much for you and you know nothing. Such a stupid fellow." Pungkasnya seraya menatapku geli. Berbeda dengan Jane yang menganggap konyol tindakan Hartono, aku malah terdiam pilu. Selama ini tak terhitung berapa banyak aku meratapi nasib, menyesali diri, bahkan mengutuki Hartono karena kupikir dia tak pernah peduli padaku.Aku selalu merasa sendirian di dunia yang luas ini. Nyatanya, apa yang dilakukan Hartono di belakang layar menampar semua keyakinan yang kubangun selama ini. Dia melakukan lebih banyak dari yang bisa kubuat untuk keselamatan orang-orang yang kukasihi. "N
"Seems like you put too much drugs in that incense.""Hmph, she's just a weakling."Dua suara saling sahut antara pria dan wanita samar-samar memasuki ruang dengarku. Kucoba membuka mata, namun seperti ada yang menghalangi, tubuhku juga seperti tertimpa beban yang amat berat hingga susah sekali digerakkan. Sepertinya aku mengalami ketindihan yang dalam dunia medis dikenal sebagai sleep paralysis. Suatu kondisi dimana kesadaran otak tidak sinkron dengan tubuh. "Let's wake her up." Suara si wanita kembali terdengar. Sepertinya dia benci betul padaku. "Let her be. Why bother yourself with an unconscious lady.""Hmph, I bet you have fallen for her.""Stop spewing nonsense."" ... "Ketika dua manusia ini sibuk berdebat, aku memaksa diri untuk segera sadar dengan memusatkan pikiran pada hal umum yang terbiasa kulakukan. Mamak kami bilang, ketindihan ini disebabkan ada setan yang menimpa badan wa
Perlahan kukucek mata yang tengah mengantuk berat. Dibangunkan waktu hampir memasuki dunia mimpi, rasanya sangat menyebalkan.Sepertinya Joyce paham perasaanku. Disikutnya Joan yang sedang tersenyum lebar mengamatiku menahan kantuk."Dasar nggak bisa baca situasi." Geramnya lirih. "Sudah, sudah, Aunty nggak ngantuk lagi. Ayo kita makan." Leraiku sebelum perang dunia terjadi lagi. Beriringan kami berjalan ke depan rumah. Ternyata mereka berdua sudah menyiapkan makanan di rumah pohon yang cabangnya menjorok ke arah pantai. Edbert yang suka menyendiri, segera mengambil piring dan meletakkan labu, ubi, dan setengah ekor ikan di atasnya. Setelah itu dia bergegas pergi ke rumah pohon yang satunya. Melihat Hartono bersikap biasa saja, aku pun tak meminta Edbert makan bersama. "Aku mau ikan yang paling besar." Ujar Joan sambil meletakkan potongan ubi dan labu ke piringnya.Tentu saja Hartono tak peduli. Dengan gera
Mengikuti permintaan Hartono yang lebih mirip perintah, aku dan anak-anak akhirnya pasrah dibawa entah kemana. Setelah lelah berkendara sekian lama, mataku pun terpejam. Tak tahu berapa lama lelap dalam buai kantuk, ketika suara bariton yang khas terdengar di telingaku. "Bangun, kita sudah sampai." Suara datar Hartono membangunkanku dari tidur lelap.Masih setengah sadar, kuamati sekeliling sambil mengucek-ucek mata. Ternyata kami ada di bandara yang kelewat sederhana untuk ukuran ibu kota negara."Di mana kita?" Tanyaku tanpa minat."Negara kecil di Oceania, Palau.""Apa? Palau?"Ketidaktahuanku membuat Hartono melengos gusar lalu membangunkan Joan dan Joyce yang masih nyenyak seberang kami.Hartono selalu mendorongku agar punya wawasan luas tapi apa salahku kalau tak pernah dengar soal negara kecil ini? Kurasa banyak yang tak tahu ada negara bernama Palau di muka bumi. Bahkan dalam pelajaran ilmu sosial yang kugeluti sejak SD sampai SMA pun tak pernah nama ini singgah di telingaku.
Besoknya, aku masih meringkuk ketakutan di bawah selimut waktu sebuah pesan masuk dari Shania mengganggu hidupku. [Kak, cepat cek media sosial berita lokal]Sejujurnya aku sedang malas melakukan apapun, kejadian semalam masih menghantui pikiranku seperti mimpi buruk. Aku bahkan tak tahu bagaimana caranya bisa sampai di kamarku semalam. Namun rasa penasaran akan pesan Shania memaksaku membuka media sosial berita terkini di daerah kami. [Gempar! Sindikat perdagangan anak berkedok penitipan akhirnya diringkus polisi]Bukan berita yang terlalu ' wah' mengingat maraknya kejahatan akhir-akhir ini. Yang bikin nafasku nyaris berhenti adalah kenyataan daycare ini tempat aku menitipkan Alex dan kedua keponakanku kemarin. Apa jadinya kalau mereka bertiga jadi korban dari sindikat juga? Cepat-cepat kuhubungi Shania demi memastikan keadaan anak-anak. "Maaf Dek, sumpah aku tak tahu kalau daycare-nya bermasalah." Ujarku penuh peny
Suara kakek Lim menarik kami semua ke alam nyata. Hartono langsung melepaskan cekalannya pada tanganku lalu mengikuti langkah beliau ke dalam. "Istirahat saja di atas kalau sudah capek." Bisiknya di telingaku sesaat sebelum beranjak. Sementara itu Ming Lan langsung membimbing bibi Yue masuk ke dalam untuk mengikuti pembicaraan rahasia lainnya. Tinggallah aku sendiri mengamati segala yang terjadi di sini. "Geser badannya sedikit." Nanny memberi perintah pada Juni yang nampak cekatan membantunya mengangkat tubuh Lin Hua yang sudah kaku ke atas matras tipis yang mereka sulap jadi tandu darurat. "Bu, ayo masuk, tak usah duduk di sini." Samar-samar kudengar suara Nanny mengajak waktu mereka melewatiku. Namun aku terlalu mati rasa untuk merespon. Mataku malah tertuju pada mayat Jaya yang tergeletak menyedihkan di atas lantai yang dingin.Sebuah kehidupan sudah lenyap begitu saja. Baru beberapa menit tadi paman Jaya tertawa-tawa sa