Entah kenapa waktu mendengar kicauan pemandu acara, jantungku berdegup tak karuan. Seperti ada hal besar yang bakal terjadi.
Dan benarlah...Kudapan yang dimaksud itu tak lain tak bukan adalah bakpao berbentuk buah persik yang kubawa dalam kotak insulasi tadi. Bedanya, sekarang kedelapan bakpao itu ditempatkan dengan rapi di atas piring porselen putih yang cantik."Ma, Anda beruntung ada yang menyiapkan hadiah sebagus ini untuk Anda. Terus terang, sebagai menantu saya jadi malu." Tutur nyonya Wijaya muda sambil meletakkan kudapan itu di depan mertuanya.Kembali bisik-bisik samar terdengar di sekeliling kami.Kalau bukan keluarga Wijaya yang menyiapkan kado spesial ini, lalu siapa?Kebingungan tak tersirat ini segera terjawab, manakala tuan Wijaya mengambil alih mikrofonnya."Sebenarnya, kudapan ini disiapkan oleh nyonya muda Lim. Saya rasa applaus meriah layak diberikan pada wanita muda yang cerdas dan berani ini."Besoknya, masih dengan perasaan senang lantaran kejadian goda-menggoda semalam, kuajak anak-anak berkemas agar kami tak kesiangan. "Aunty, ini weekend. Joan masih ngantuk." Sahut si bungsu bermalas-malasan di atas ranjangnya. "Kamu yakin masih kau tidur? Padahal Aunty ajak ke resort kemarin lho.""Ha, yang baksonya enak itu? Joan ikut."Tak menunggu lama, Joan segera bangkit, melipat selimutnya lalu memanggil Saidah untuk membantunya berkemas. Aku geleng-geleng kepala melihat cara berpikir si bungsu. Dari sekian banyak hal menarik yang bisa diingat dari resort kemarin, yang berkesan baginya hanya perkara makanan. Selesai dengan Joan, aku beranjak ke kamar Joyce. Tak berbeda jauh dengan adiknya, si sulung masih menutup rapat tubuhnya dengan selimut bulu yang nyaman."Aunty, for goodness sake, let me sleep more. Kita nggak masuk sekolah hari ini." Gerutunya waktu kubangunkan. "Tapi Aunty mau ajak kalian
Serempak kami semua menatapnya. "Mommy, lupa apa?" Putra sulungnya bertanya. "Lupa kalau lagi diet hehehe... "Serempak kami semua menyorakinya. Bertubuh ramping memang cita-cita Amanda yang belum kesampaian sampai detik ini, juga sumber kecemburuannya yang hakiki padaku dan Marissa. Dengan suasana santai dan hati riang kami pun menyelesaikan santap siang itu. Ada satu jam lebih kami duduk-duduk santai sambil menikmati aroma laut yang khas. Mungkin disebabkan oleh tiupan angin semilir, para bocah mulai mengantuk satu persatu. "Aunty, can we go back? Aku ngantuk." Joan mengawali hasrat ingin tidur ini sambil mengucek-ucek matanya. Dengan cepat satu persatu bocah yang lain pun mulai terserang kantuk hingga kami memutuskan membawa mereka tidur siang di cottage.Begitu kepala mereka menyentuh ranjang, anak-anak ini langsung lelap. Aku agak heran juga mengingat Joan dan Joyce bukan tipikal anak yang g
Hartono membuka kaca matanya perlahan, menatapku sejenak, lalu bicara pada salah satu komplotan bandit tadi. "Bawa nyonya dan temannya keluar.""Baik, Tuan."Dua dari ketiga pria itu mendekati diriku dan Amanda. Namun sebelum dia sempat bicara, penyakit gilaku -- suka ikut campur -- mendadak kumat. "Tunggu! Aku perlu penjelasan atas semua ini." Kataku berang.Tanpa rasa takut kuhampiri Hartono yang sudah duduk di kursi utama, letaknya persis di seberang kursi kami. "Kamu harus jelaskan semuanya. Mengapa harus menyandera kami." Kataku tanpa ampun. Kilat kaget di mata Hartono dalam sekejap digantikan oleh rasa tertarik samar. "Apa kau ingin mengaturku sekarang? Kau yakin, hmm?"Begitu suaranya keluar barulah aku sadar petaka macam apa yang baru kuterabas. Sayangnya, tak ada lagi jalan untuk mundur, apalagi waktu mataku menatap Marissa sekilas, nampak cahaya matanya yang dipenuhi rasa putus asa. Belum lagi tubuhnya yang
Tak tahu berapa lama waktu berlalu sejak kejadian di resort itu, bisa jadi seminggu, sepuluh hari, dua minggu, atau bahkan sebulan, tak kuhitung lagi persisnya. Otakku yang selalu dibayangi rasa khawatir membuatku tak bersemangat melakukan apapun. Hanya makan lalu tidur, kemudian makan lagi, begitu seterusnya. Praktis aku hidup seperti zombie. Hingga siang ini... "Kamu kenapa, Shan?"Hartono yang biasanya cuek, mulai bertanya-tanya ada apa denganku. "Aku tak tahu. Aku hanya bosan hidup.""Kalau begitu, tetaplah hidup sampai kematian datang menjemputmu."Jawaban macam apa itu? Setelah melemparkan solusi yang bukan solusi itu, bunyi pintu yang berdebam jadi penutupnya. Sungguh sempurna. Aku kembali pada suasana stagnanku tadi. Tenang seperti air. Apa mungkin Marissa seperti aku juga? Dengar-dengar keluarga Marissa jadi mendepak suaminya dari rumah. Otomatis Marissa kini berstatus janda sekaligus single parent bagi anak tunggalnya. Tindakan ini sangat wajar mengingat betapa jahat s
"Apa persiapanku sudah cukup?" Tanyaku pada Hartono yang baru keluar dari semedi panjangnya di ruang kerja. Hari ini dia memang sengaja menyelesaikan semua pekerjaannya di rumah. "Memangnya persiapan apa?"Pertanyaannya, entah memang tak tahu atau pura-pura bingung, jelas cukup bikin aku senewen. "Apa lagi? Ya, tahun baru imleklah."Dia menaikkan alisnya yang tebal, seolah mau bilang aku sudah meributkan hal sepele. "Ya kayak biasa aja. Nanny sudah paham itu. Kau tak perlu repot-repot." Cetusnya lalu nyelonong begitu saja ke taman belakang rumah.Di sana, kedua bocah sudah menunggunya untuk berenang. Tak punya seseorang yang bisa mengasih saran dan komentar yang jujur, aku cuma bisa ngedumel sendiri. Sekali lagi kuperiksa daftar yang harus dilakukan pada saat perayaan Imlek. Dimulai dari menyediakan dua belas macam hidangan -- sesuai jumlah shio --, termasuklah di dalamnya mie panjang umur, kue lapis, permen manis, d
"Baiklah, ceritamu cukup menghibur. Kau dimaafkan."Aku menghembuskan nafas lega sementara Hartono langsung nyelonong begitu saja. Tak sopan memang. Meski masih kesal dengan tindakan Hartono di resort tempoh hari, aku belajar menerima keadaan. Bagaimanapun, kami masih hidup di bawah atap yang sama. Beres dengan segala keperluan imlek, aku bergegas melakukan self treatment agar tampil layak untuk acara malam nanti. Sekitar pukul enam sore, tiga buah mobil memasuki pekarangan rumah. Ditambah dengan empat buah mobil yang sudah ada sebelumnya, rumah kami sudah seperti showroom mini jadinya. "Selamat datang Yeye. Gong Xi."Diluar kebiasaannya, Hartono turut menyambut para tamu bersamaku dan kedua bocah. Kami sekeluarga tampak harmonis mengenakan Cheongsam dan changsan merah. "Gong Xi, Gong Xi kalian tampak hebat." Sahut pria yang masih terlihat muda di usianya yang menginjak delapan puluh tujuh tahun. Setelah menyapa Hartono, kake
Muka He Ming merah padam menahan marah dan malu. Kurasa kalau bukan karena saham dan pengaruh kakek Lim di perusahaan, sudah dibantahnya ucapan beliau sejak tadi. Melihat kemarahan He Ming yang tak punya perhitungan, jelas kakek Lim yang tenang tak akan mendukungnya jadi pewaris. Sementara itu, paman Jaya pun tak bisa berkutik terlebih saat kakek Lim sudah menyebut 'hal kotor' dalam kalimatnya. Sudah pasti ini mengacu pada skandal yang dibuatnya bersama Lin Hua. Walaupun keduanya secara resmi mengaku tak punya hubungan lagi, siapa yang tahu apa yang terjadi di belakang layar? "Maaf Shushu aku tak mengajar anakku dengan baik." Jaya berdiri dan dengan rendah hati minta maaf pada kakek Lim. Tindakannya ini membuat wajah kakek Lim yang mengetat tadi agak tenang sedikit. Setelah paman Jaya kembali duduk, kakek Lim melanjutkan perkataannya. "Soal posisi kepala keluarga, leluhur kita sudah jelas mengaturnya sebagai milik anak tertua. Persoa
Terus terang aku agak bingung cara menjawab pertanyaan dadakan ini. Kalau yang dimaksud berhubungan baik itu menyangkut pertemuan yang berujung perdebatan dan saling sindir, jelas aku punya hubungan baik dengan Rieny. Sangat baik malah. "Hubungan baik apa yang Meimei maksud?" Kataku mencoba mencari tahu makna tersembunyi dari kalimat Ming Lan. "Ya, hubungan baik. Soalnya sepupuku selalu bilang dia kagum dengan keberanianmu."Ini baru kejutan namanya. Bayangkan! Seorang Rieny yang kerap menyindirku dan dengan pongahnya meminta suamiku, bisa kagum padaku. Kalau ini bukan lelucon, tak tahu lagi aku apa namanya. "Sebenarnya... kami tak begitu sering bicara. Karena itu aku terkejut kalau Rieny sampai kagum padaku." Ujarku terus terang. Sikap blak-blakanku ini ternyata sangat lucu bagi Ming Lan hingga dia terkikik geli. "Kuakui, mulut Rieny memang menyebalkan setiap kali terbuka. Tapi percayalah padaku, dia manusia palin