*Happy Reading*"Mas Arkan, awas!" Arletta sontak berseru lantang. Saat tiba-tiba saja melihat Arkana hampir menabrak seorang pengendara yang menyalip kendaraan mereka. Arkana pun sontak menginjak rem kuat-kuat. Membuat mobil di belakang mereka memaki kasar karena terkejut dengan aksi Arkana. "Bangsat! Kalau gak bisa nyetir, gak usah sok ngebut!"Bukannya minta maaf dan segera menghindar. Arkana malah membalas pengemudi tadi tak kalah garang."Bacot! Lo tuh yang bangsat!" Seraya menunjukan jari tengahnya. Membuat si pengendara tadi semakin meradang.Astaga! Ada apa sebenarnya dengan pria itu.Tentu saja pengemudi tadi memaki lagi. Namun, baru saja Arkana hendak membalas lagi. Arletta pun segera menghentikan pria itu dan berinisiatif minta maaf duluan pada pengemudi tadi. Beruntung, pria itu tak memperpanjang masalah. Setelah Arletta menyerukan permohonan maaf dan menyatukan kedua tangannya di dada sebagai kode. Pria tadi hanya berdecih kesal, lalu melewati mereka begitu saja. Namun
*Happy Reading*Arletta berlari kecil ketika kembali dari toilet. Langit yang tadi terlihat cerah, tiba-tiba saja jadi gerimis ketika dia menyelesaikan urusannya di toilet tadi. Membuat Arletta terpaksa berlarian menghindari hujan di musim pancaroba ini. Benar-benar tidak bagus untuk kesehatan.Saat Arletta masuk mobil, dia melihat Arkana tengah memejamkan mata dengan ponsel di atas pangkuan. Pria itu sepertinya ketiduran saat main hp tadi. Huh, dasar ceroboh!Tadinya, Arletta ingin membangunkan pria itu. Namun, niatnya segera urung ketika melihat wajah Arkana yang terpejam dalam tidur pulasnya. Lelah yang membayang di wajah pria itu membuat Arletta tidak tega mengganggu tidurnya. Lebih dari itu, Arkana juga sepertinya kurang tidur beberapa hari ini. Lihat saja, kantung matanya sudah agak menghitam. Bahkan, jika diperhatikan lebih seksama lagi. Wajah pria ini juga nampak kurus dan kurang terawat. Dia pasti mengalami hari berat sejak mengikuti Arletta."Dasar pria bodoh!" Arletta mende
*Happy Reading*Rasanya Arletta sudah bosan sekali dalam perjalanan ini. Kerjanya dari tadi hanya tidur, bangun, ngemil, tidur lagi, bangun lagi, ngemil lagi, dan ... begitu saja terus. Tetapi, gak nyampe-nyampe. Kan, Arletta jadi pegel sendiri, ya?Mana, Arkana juga gak mau buka mulut tentang tujuan mereka. Arletta jadi semakin jenuh jadinya. Rasanya kek diajakin pdkt lamaaa banget, tapi gak di tembak-tembak. Nah, gimana coba itu rasanya?"Mas ... ini kita sebenernya mau ke mana, sih? Kok gak nyampe-nyampe, sih? Aku bosen tahu!" Arletta mulai mengeluh kesal. "Sabar. Bentar lagi nyampe, kok."'Halah, kentut! Hoax! Bulshit! Omdo! Penipu! Palsu! Bacotmu licik kek belut. Gak bisa dipegang!' Ingin sekali Arletta menjawab begitu. Tetapi, udah malas ngegas rasanya. Saking boringnya, gadis itu sampai malas ribut sekarang. Tumben sekali, kan?"Dari tiga jam lalu kamu udah bilang begitu loh, Mas. Tapi nyatanya? Sampai hari udah sore begini pun, kita belum sampe-sampe. Ini kamu mau bawa aku k
*Happy Reading*Arkana menarik tengkuk Arletta lebih mendekat demi memperdalam ciuman mereka. Melumat bibir ranum berwarna cerry itu dengan rakus dan penuh tuntutan. Membelai, mengulum, dan mencecap dengan penuh hasrat. Tak lupa memberikan gigitan-gigitan kecil agar bibir itu mau terbuka. Setelah terbuka, lidah Arkana pun dengan senang hati langsung menerobos dan membelit lidah Arletta dengan mesra. Meski keintiman ini bukan hal baru untuk seorang Arkana. Tetapi entah kenapa, melakukannya dengan Arletta terasa lebih luar biasa. Arkana merasa akan gila hanya dengan ciuman ini saja.Saat desah Arletta lolos. Hasrat lelaki Arkana pun meninggi. Ciumannya makin dalam dan sesuatu dalam diri Arkana pun mulai menuntut untuk di penuhi. Arkana mulai hilang kendali. Lalu ...."MAS ARKAAANNNN!!!""Anjrit!" Pria itu pun seketika terlonjak kaget, ketika suara lantang Arletta menembus pendengarannya. "Astaga, Sayang? Kamu ngapain, sih? Sampai berdenging loh, telinga aku?" omelnya kemudian. Arletta
*Happy Reading*Paska mendengar nama Sumito, Arletta jadi seperti orang linglung. Di saat semua orang tengah panik dan berusaha memberi pertolongan ada si Nenek yang jadi korban. Gadis itu hanya terus terdiam di tempatnya, dengan kedua tangan yang sudah mengepal kuat di kedua sisi tubuhnya. Sumito. Apakah itu adalah nama yang sama seperti dalam ingatan Arletta?"Gina, tolong ambil tas kerja ayah dan kotak P3K di rumah.""Baik, Yah.""Bun, cepat telepon ambulan.""Baik, Yah.""Wa, tolong tekan kuat-kuat di sini untuk menghambat pendarahan.""Baik, Yah."Mereka semua terlihat sibuk sekali. Berusaha memberikan pertolongan pertama pada si nenek yang kini napasnya sudah tersengal-sengal. Sementara si Kakek, kakinya menjadi bantalan untuk si nenek. Sesungguhnya, selain Arkana. Arletta tak mengenal orang-orang di sana. Jangankan wajah, nama mereka pun Arletta tak tahu. Hanya saja dari sebutan-sebutan yang terdengar. Sepertinya mereka adalah keluarga Arkana. Orang tua, adik dan ... mungkin k
Arletta 81*Happy Reading*"Mom?"Tidak ada jawaban. "Mom?"Masih tidak ada jawaban. "Mbak, Mommy di mana?" Malas berseru lagi mencari sang ibu. Arletta pun memilih bertanya pada seorang pekerja rumahnya. Dan dari sana, Arletta akhirnya tahu jika sang ibu sedang bersantai di teras belakang rumah. Huft ... pantas saja dari tadi gak nyahut."Mom?" Arletta kembali memanggil setelah menyusul dan melihat sosok sang ibu di tempat tadi."Ya? Hei, Princess. Sudah pulang?" Sambut Ibunya, seraya merentangkan tangan.Arletta pun masuk ke dalam pelukan sang ibu dengan senang hati. Kemudian mencium kedua pipi wanita cantik itu. "Bagaimana hari ini? Ada hal menarik apa di sekolah?" tanya ibunya kemudian. "Nothing. Tidak ada hal yang luar biasa di sana, kecuali Karmilla yang mengganti warna rambut lagi." Arletta menjawab malas, sambil mengambil duduk di samping ibunya."Oh, ya? Warna apa kali ini?" tanyanya antusias. Padahal, hal itu sebenarnya sudah sangat umum dilakukan Karmilla."Ombre, dark
*Happy Reading*"Mas, kamu, ya? Resek banget, sumpah! Kenapa sih, gak bilang dari awal kalau orang tua kita sahabatan? Maksud kamu apa? Mau ngerjain aku, ya?" Arletta langsung mencecar Arkana dengan nada tak terima. Pria itu yang tadi masih ikut tersenyum haru melihat pertemuan Bundanya dan Arletta. Seketika kebingungan dengan pertanyaan beruntun gadis itu."Heem ... pantas ya, kamu ngeyel banget selama ini. Sok-so'an bisa nerima aku apa adanya lagi. Ternyata? Emang kamu udah tahu dari awal siapa aku sebenarnya, kan?" Arletta lanjut memberikan tuduhan."Eh, kok? Gak gitu, Sayang. Mas juga baru tahu hal ini kok, barusan." Arkana membela diri."Bohong!" Namun, Arletta tak percaya sama sekali."Beneran, Sayang. Berani sumpah, Dah. Mas beneran gak tahu kalau orang tua kita sahabatan selama ini! Baru tadi. Serius! Itu pun dari cerita Bunda barusan." Arkana menegaskan."Aku gak percaya!"Waduh? Cilaka dua belas ini mah."Beneran, Sayang. Mas gak boong." Arkana pun panik. Sayangnya, Arlett
*Happy Reading*Ternyata, Arletta kalau sudah kecewa memang sadis. Tak perduli dalam keadaan genting dan ada nyawa yang sedang di ujung tanduk. Gadis itu tetap tak perduli. Dibujuk seperti apa pun, Arletta yang keras kepala tetap pada pendiriannya. Tidak mau dan tidak akan pernah mendonorkan darahnya setetes pun. Begitulah orang kalau sudah benar-benar kecewa. Hatinya seakan mati. Bunda Reen yang seorang psikiater saja sampai menghela napas berkali-kali saat membujuk Arletta. Beruntung masih ada Yudistira, ayahnya Arkana yang punya golongan darah 'O'. Hingga beliaulah yang akhirnya memberikan darahnya untuk si nenek. Kecewa, jelas di rasakan keluarga Arkana terhadap sikap keras kepala Arletta. Namun, di sisi lain gadis itu pun tidak bisa di salahkan seenaknya. Karena Arletta punya alasan sendiri kenapa sampai begitu membenci keluarga Sumito."Tidak masalah kalau setelah ini kalian semua jadi membenciku bahkan meninggalkanku. Bagiku, itu sudah jadi hal biasa. Yang penting, aku tidak