*Happy Reading*Mata Arkana baru saja hampir tertutup karena kantuk yang melanda, saat tiba-tiba saja Elkava menepuk bahunya lumayan keras sambil berseru. "Dokternya udah keluar, Kan!"Kantuk Arkana pun seketika lenyap. Pria itu segera bangkit dari tempatnya dan mengekori Elkava yang sudah lebih dulu menghampiri Dokter Karina yang baru keluar ruangan. "Bagaimana kondisi Arletta, Dok?" todong Elkava tanpa basa basi.Dokter Karina menatap Elkava dan Arkana bergantian. Lalu tersenyum menenangkan pada kedua pria itu. "Untuk seorang yang punya daya juang tinggi seperti Dokter Gina--eh, maksudku Dokter Arletta. Tentu saja luka yang semalam bukan sebuah masalah. Meski dia lumayan banyak kehilangan darah. Tapi sekarang, dia sudah melewati masa kritisnya.""Alhamdulilah ...." ucap Arkana dan Elkava kompak. "Nina?" Kemudian sebuah suara berat pun menginterupsi mereka. Pemiliknya adalah Arjuna, yang ternyata sudah kembali hadir di sana. Karina langsung tersenyum manis melihat kehadiran sua
*Happy Reading*Yang Arletta ingat adalah, kesadarannya menurun drastis saat memejamkan mata ketika Arkana banting stir ke kolong mobil kontainer. Setelahnya, seruan Arkana yang memanggil namanya dengan panik. Bayang wajah gusar Arkana dan tangisnya samar terbayang. Lalu, Arkana yang menyetir tapi sambil terus memegang tangannya erat dan sesekali mencium bagian punggungnya. Setelah itu blas tak ada ingatan lagi. Arletta tidak tahu Arkana membawanya ke mana, apa saja yang terjadi dan apa saja yang dia lakukan pria itu atau siapa pun yang menolongnya. Yang jelas, saat kesadarannya kembali, nyeri dan denyut pening yang pertama kali terasa. Arletta melenguh pelan. Kemudian sedikit demi sedikit mengumpulkan semua energi dan kesadarannya lagi, lalu membuka mata perlahan. Atap ruangan megah yang pertama kali menyambutnya. Arletta mengerjap lagi dan mulai meliarkan pandangannya pada sekeliling. Masih kemegahan yang Arletta temukan dan barang-barang malah lainnya. Arletta menurunkan lagi pa
*Happy Reading*"Kamu mengenalku?" tanya Frans kemudian. Tetapi tak menunjukan ekspresi berlebihan. Masih tetap datar dan ... dingin."Aku sebenarnya tidak mengenalmu. Tapi, aku pernah melihatmu sekali sekitar sepuluh tahun yang lalu."Frans menatap Arletta dengan intens. Seakan mengingat wajahnya dan mencoba menggali memory tentang gadis itu di masa lalu. Siapa tahu memang pernah bertemu. Tetapi sejauh apa pun Fran menggali, Frans benar-benar tak menemukan satu pun memory tersebut."Aku tidak ingat," ungkap Frans jujur."Tentu saja kau tak ingat. Karena waktu itu hanya aku yang melihatmu. Sementara kamu, fokus melawan rivalmu di arena tarung."Arena tarung?Lalu, Arletta pun menyebutkan sebuah nama tempat latihan muang thai. Dan nama tersebut sangat famillier di telinga Frans. "Aku juniormu di sana Frans.""Benarkah?""Ya! Kau boleh tanyakan pada guru tentang data-dataku." Arletta meyakinkan. "Tapi ... aku merasa tidak pernah melihatmu sebelumnya," ungkap Frans lagi masih penasaran
*Happy Reading*"Jadi, kamu satu perguruan ya, dengan Frans, anak buah Pak Arjuna itu?" tanya Arkana saat menemani Arletta makan malam. "Entah bisa dibilang begitu atau nggak. Soalnya, aku kan masuk setelah Frans keluar." Arletta menjawab seadanya. Di sela kunyahan makan malamnya.Arkana mengangguk angguk mengerti. Lalu, menyeka sudut bibir Arletta sejenak, yang terdapat sisa makanan. Setelah itu, kembali menyuapi istrinya dengan telaten.Sebenarnya, Arletta sudah bilang bahwa dia bisa makan sendiri. Tetapi, bukan Arkana namanya kalau tidak modus. Dengan berbagai alasan, dia pun melarang Arletta makan sendiri dan bersikukuh menyuapi gadis itu. "Biar kita kek suami istri beneran, Luv. Romantis juga kan, kalau saling suap-suapan kek gini?"Sakarepmu! Meski jengah, akhirnya Arletta pun mengalah saja. Toh, dia juga belum ada tenaga ekstra untuk mendebat suaminya. Jadi biarin aja udah. Kali-kali bikin reader senang gak ada salahnya, kan?"Tapi kamu hebat loh, Luv. Cuma sekali ketemu dan
*Happy Reading*"Hallo, Kan? Karmilla hilang! Lo bisa bantu gue nyari dia, gak?"Apa?!Arletta langsung bangun dan duduk dengan tegak, setelah mendengar kabar mengejutkan barusan dari Elkava. "Hilang? Hilang gimana maksud lo?" cecarnya kemudian. "Loh, kok ... elo, Le?" Elkava pun tak kalah terkejut kala mendengar suara Arletta yang menyahutinya. Pria itu memang belum diberitahu Arkana perihal Arletta yang sudah siuman. "Lo udah bangun? Kok, gak kasih tahu gue?""Gak usah alihin topik. Jelaskan! Apa maksud lo tadi? Karmilla hilang? Maksudnya?" Arletta makin mendesak Elkava. Hening tercipta. Elkava tak segera memberi jawaban. Mungkin pria itu saat ini tengah dilema. Antara memberitahu Arletta yang sebenarnya, atau menyembunyikannya demi kondisi Arletta yang masih belum fit. "Kav? Jangan diem aja. Jelasin! Karmilla kenapa?" Namun, bukan Arletta memang namanya jika akan patuh dan perduli akan kondisinya sendiri."Milla gak papa--""Kav!"Elkava yang sebenarnya ingin berbohong pun ke
*Happy Reading*Karmilla berusaha berlari secepat yang dia bisa. Meski tertatih dan terseok-seok dengan kaki telanjang yang sudah terluka, Karmilla terus berlari dan berusaha mencari tempat sembunyi yang aman. Di mana dia saat ini pun, Karmilla tidak tahu. Dia dari tadi terus berlari, berlari dan berlari demi menghindari orang-orang yang berniat menangkapnya. Sebenarnya, Karmilla juga bisa ilmu bela diri. Tetapi hanya sedikit. Hanya sekedar untuk membela diri dan membalas jika bertemu orang-orang semacam pria hidung belang. Namun, masalahnya adalah, saat ini yang dia hadapi bukan pria hidung belang yang bertangan nakal. Melainkan orang jahat yang pastinya punya ilmu bela diri lebih mumpuni. Jelas Karmilla tak akan bisa melawannya. Karenanya, dari pada mati konyol Karmilla pun memilih kabur dan menghindar saja. Dia bukan Arletta yang pasti bisa melawan orang-orang itu. Akan tetapi, harus ke mana dia pergi sekarang?Kondisi yang larut dan paska hujan membuat keadaan sekitarnya semaki
*Happy Reading*Beberapa jam sebelumnya. "Kenapa sih, kamu gak serahin aja semuanya sama Elkava dan anak buahnya. Mas yakin, dia pasti bisa menemukan Karmilla." Arkana masih mendebat Arletta diperjalanan menuju lokasi yang di share Elkava. "Kalau memang dia butuh bantuan. Mas bisa minta tolong ayah untuk mengirimkan orang buat bantu Elkava. Atau kalau perlu, kita juga bisa minta tolong Pak Arjuna untuk bantu mencari Karmilla. Mas yakin, Karmilla pasti akan segera ditemukan. Anak buah Pak Arjuna kan banyak. Kamu gak harus turun tangan sendiri begini jadinya," imbuhnya lagi. Masih tak bisa menerima keputusan Arletta. "Milla pasti sedang ketakutan sekali saat ini. Di matanya, anak buah Elkava, ayah Yudis, Pak Arjuna, bahkan Joshua tidak ada bedanya sama sekali. Dia tidak akan bisa membedakan mana kawan, mana lawan saat seperti ini. Karena memang, tampilan semua bawahan itu biasanya sama saja, kan?"Benar, juga! Arkana baru terpikirkan hal tersebut."Sebanyak apa pun orang kita mencari
*Happy Reading*"Tunggu di sana. Gue amanin sekitar dulu!" titah tegas Elkava. Setelah Arletta memberitahukannya tentang lokasinya dan Milla saat ini. "Okeh." Arletta hanya menyahut singkat sebelum memutuskan sambungan telepon.Arletta lalu melirik gadis yang saat ini sedang ditemani Kinan. Masih berusaha ditenangkan karena terus terlihat resah dan gusar. Arletta pun kembali merepih melihat kondisinya.Mata gadis itu sembab paska menangis hebat barusan. Pakaiannya lusuh, kaki telanjang yang berdarah, juga beberapa luka lecet di tangan dan kakinya yang biasa terawat. Rasa bersalah kembali menyeruak dalam hati Arletta."Bagaimana?" tanya seseorang tiba-tiba meminta atensi Arletta. "Sedang mengamankan tempat ini terlebih dahulu. Setelah itu baru menjemput kami." Arletta menjawab tanpa menoleh pada sang penanya. Karena sudah tahu siapa dia. Itu adalah Pak Chakra. "Kalau begitu, apa sekarang saya sudah boleh bertanya. Apa sebenarnya yang terjadi? Dan siapa orang-orang yang mengejar gadi
*Happy Reading*"Mas, bagaimana kondisi Arletta?" Satu jam berselang, Bunda dan Ayah sudah hadir di sana. Bersama Gina yang membawa serta koper yang memang sudah disediakan, persiapan kelahiran Arletta. "Masih di dalam, Yah. Sedang bersiap melakukan operasi." Arkana menjawab singkat. Raut khawatir masih tampak jelas di wajahnya. "Akhirnya operasi secar, ya?" tanya Bunda Reen lagi. "Gak ada pilihan lain, Bun. Usia kandungan Arletta belum sempurna dan bayi kami juga salah satunya ada yang terlilit pusar. Jadinya mau tak mau harus operasi."Sebenarnya, Dokter sudah berusaha memberi induksi pada Arletta agar pembukaannya cepat dan bisa lahiran normal. Hanya saja, karena posisi salah satu bayi sepertinya tak memungkinkan bertahan. Maka dari itu, akhirnya operasi secar pun mau tak mau menjadi pilihan saat ini. "Ya sudah tidak apa-apa. Yang penting Ale dan bayi kalian selamat." Bunda Reen tak ambil pusing. "Iya benar. Mau sc atau normal. Itu tidaklah masalah. Seorang ibu tetap akan menj
*Happy Reading*"Mas, ayo buruan!" seru Arletta tak sabaran. Melambai pada Arkana. "Iya, iya. Ini juga udah jalan, kok," sahut Arkana santai."Ih, lama, deh!" Gemas pada Arkana, Arletta pun menarik lengan sang suami dan sedikit menyeretnya agar jalan lebih cepat. "Sabar, Sayang. Milla juga gak akan ke mana-mana, kok. Inget, kamu tuh lagi hamil. Gak boleh--""Ck, bawel, deh!" kesal Arletta. "Gak ngerti banget, sih. Namanya juga gak sabar pengen liat anaknya Milla. Kira-kira mirip siapa, ya?"Kemarin malam, Arletta memang baru mendapat kabar kalau Milla sudah melahirkan. Wanita itu pun langsung saja heboh dan meminta pulang ke Jogja malam itu juga. Tak perduli saat itu sudah menjelang subuh. Arletta tetap memaksa suaminya untuk mengantarkan pulang saat itu juga. Namun, karena kondisi Arletta juga sudah hamil tua. Arkana pun tak langsung menurutinya. Bahaya kan melakukan bepergian pada kondisi Arletta saat ini. Makanya, pria itu meminta Arletta berkonsultasi terlebih dahulu kepada dok
*Happy Reading*Arkana memperhatikan Arletta dalam diam. Wanita itu saat ini tengah asik membaca buku yang tebal sekali. Entah buku bertema apa, yang jelas ketebalan buku tersebut bisa mengalahkan al-qur'an atau kitab-kitab sejenis. Okeh, mari lupakan tentang buku tersebut. Karena kini bukan itu yang sedang Arkana pikirkan. Pria itu sebenarnya tengah memikirkan Arletta dan kehamilannya yang sudah menginjak usia kandungan enam bulan. Khususnya kebiasaan yang umumnya terjadi pada ibu hamil. Orang bilang, wanita yang sedang hamil itu sensitif dan kadang memiliki keinginan aneh. Atau sebut saja ngidam. Nah! Masalahnya Arkana tidak menemukan hal itu pada Arletta sepanjang usia kehamilannya.Iya, wanita itu memang sempat mengalami morning sick beberapa minggu saat awal kehamilan. Namun hanya itu saja. Sisanya, Arletta itu tampak biasa saja. Tidak sensitif apalagi ngidam yang aneh-aneh. Kan, Arkana jadi curiga, ya? Ini Arkananya yang kurang perhatian atau Arlettanya yang menahan ngidamnya
*Happy Reading*"Dia mencoba bunuh diri lagi?"Pria di hadapannya mengangguk."Lalu?""Sesuai perintah anda, Bos. Kami menyelamatkannya kembali."Pria bule di balik meja itu tersenyum mendengar hal barusan. Mengangguk-angguk mengerti sambil mengusap dakunya perlahan. "Bagus," pujinya kemudian. "Pantau terus keadannya. Jangan sampai kecolongan. Mengerti?" "Mengerti, Bos!" sahut pria itu patuh. Setelah pria bule di hadapannya menyuruh pergi, dia pun lalu beranjak dari termpat tersebut. "Sampai kapan kau akan menyiksanya?" Pria lain di sana berbicara selepas kepergian si anak buah. "Bukankah, semakin cepat dia mati, semakin cepat pula tugasmu selesai?""Aku hanya menjalankan amanat dari putrinya," sahut pria bule bernetra hijau itu dengan santai, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Raid Anderson. "Dia tidak ingin bajingan itu mati dengan mudah."Lawan bicaranya terdiam. Lalu mengangguk faham. "Lalu kapan tugasmu akan berakhir jika bajingan itu tidak kau ijinkan mati?" Pria tadi ber
*Happy Reading*Cring! Cring!"Selamat dat--eh, elo Let?"Arletta hanya mengangkat tangan membalas Devi yang menyapa saat melewati pintu. Kemudian menunjuk sebuah meja yang letaknya agak pojok, di mana Arkana tengah berada bersama dua pria dan dua wanita. Devi pun mengangguk faham. "Duduk, deh. Gue bawain minuman nanti." Devi lalu berlalu, melanjutkan langkah yang sempat terhenti. Sementara itu, Arletta pun mencari tempat duduk yang tak jauh darinya."Nih!" Tak berselang lama. Devi kembali dengan segelas coklat hangat yang langsung di serahkannya pada Arletta. "Kok? Kayaknya gue belum pesen, deh?" Arletta heran. "Laki lo yang pesenin," jawab Devi menunjuk meja Arkana dengan dagunya. Arletta melirik ke arah sana juga. Tetapi Arkana terlihat masih fokus mendengarkan kliennya berbicara."Iyakah?""Iya!" Devi meyakinkan. "Tadi pas laki lo datang, dia langsung bilang begini." Devi menegakkan tubuh sejenak, lalu berdehem. "Kamu kenal istri saya, kan? Nanti kalau dia datang, terus pesen
Short story of Ka-Cha"Menikahlah dengan saya."Cangkir yang sudah menyentuh bibirnya seketika terhenti mendengar ucapan tersebut. Ia terkejut sekaligus bingung mendengar tawaran tadi. Lebih dari itu, ia merasa tiba-tiba ada rasa sakit yang menjalar dari sudut hatinya mendengar kalimat barusan. Membuatnya teringat kembali pada pria-nya yang telah tiada. Mengerjap perlahan beberapa saat, wanita itu pun meletakan kembali cangkir pada tatakannya. Lalu menghela napas panjang diam-diam demi menenangkan hatinya yang tiba-tiba bergemuruh perih. Matanya melirik perutnya yang semakin membesar sekilas."Apa ... Arletta yang menyuruh anda?" tanya balik wanita itu. Dia adalah Karmilla. Sahabat Arletta. "Ini tidak ada hubungannya dengan Arletta," jawab Pria itu tegas. Yang entah kenapa justru semakin membuat Milla makin curiga. "Kalau begitu siapa yang menyuruh anda melakukan ini?" tuntut Milla kemudian. Pria itu, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Chakra. Menghela nafas berat pendengar pe
*Happy reading*Setelah mengatur nafas sekali lagi dan membulatkan tekad kembali. Arletta pun mulai melangkah ke arah Milla. Langkah kakinya terasa berat sekali, Arletta rasanya harus bersusah payah hanya demi mengambil langkah satu demi satu. Saat jarak antara mereka sudah menipis. Arletta mengangguk sedikit pada perawat yang berjaga sebagai bentuk salam. Nampaknya perawat itu tahu perihal maksud kedatangan Arletta. Buktinya, setelah membalas salam Arletta dengan anggukan dan senyum. Perawat tersebut pun mengambil jarak agak jauh dari Milla. Seolah mempersilahkan mereka bicara. Awalnya Milla masih belum menyadari keberadaan Arletta. Wanita itu masih tampak sibuk mengusap perutnya dengan sayang dan senyum manis. Tidak ada ucapan atau pun celotehan. Hanya tersenyum dan terus tersenyum sambil mengusap perutnya yang sudah agak membuncit. Kata Bunda Reen, usia kandungan Milla hampir memasuki empat bulan. Berarti beda sekitar dua bulan dengannya. Berarti juga, saat kejadian di Villa. Mi
*Happy Reading*Arkana sebenarnya kurang suka jika Arletta berdekatan dengan Chakra lagi. Alasannya tentu saja karena pria itu pernah ada hati pada istrinya. Bukan tidak percaya pada kesetiaan sang istri. Namun, waspada itu wajib, kan?Hanya saja, jika dihadapkan pilihan antara Chakra dan Frans. Jelas Arkana akan pilih Chakra. Meski terpaksa, setidaknya Chakra itu masih tahu diri. Pria itu tahu Arletta sudah jadi milik Arkana sepenuhnya. Baik itu raga ataupun hatinya. Bahkan, kini sudah hadir buah cinta mereka di rahim Arletta, kan? Jadi, meski katanya sepupu juga masih boleh menikah. Jelas, Chakra sudah kalah telak darinya. Sementara Frans? Melihat dari sifat dan karakternya. Arkana tidak yakin pria itu bisa tahu diri. Atau lebih tepatnya mau tahu diri untuk tak merebut miliknya. Meski Frans memang tak pernah terdengar menyukai Arletta. Namun masalahnya adalah, Arletta itu terlalu istimewa sebagai seorang wanita. Pria mana pula yang rela melewatkannya. Jadi, daripada kecolongan. Le
*Happy Reading*"Ba-bayi ... kita?" beo Arletta dengan bingung setelah beberapa saat tertegun di tempatnya. Senyum Arkana semakin melebar seraya mengangguk pasti. Lalu pria itu mengusap perut Arletta lagi yang sebenarnya masih rata."Iya, sayang. Bayi kita." Arkana meyakinkan. "Di sini, ternyata sudah ada bayi kita."Arletta makin tertegun. Perlahan melirik perutnya sendiri yang sedang di usap lembut Arkana dengan tatap tak percaya. Benarkah ia hamil? Kenapa ia tak merasakan apa-apa?"Wajar jika kamu tidak menyadarinya. Dokter bilang, usianya baru enam minggu," ucap Arkana lagi seakan tahu apa yang Arletta fikirkan. Degh!Benarkah? Kalau begitu saat kejadian di villa waktu itu, ia sebenarnya sudah mengandung. Bahkan saat bertarung melawan anak buah Joshua dan pria itu pun, Arletta sudah dalam keadaan .....Tangis Arletta kembali pecah. Dia merasa bodoh dan jahat sekali. Bagaimana mungkin dia tak menyadari keberadaan janinnya sendiri. Abai dan bahkan hampir membunuh anaknya juga saat