*Happy Reading*Rasanya, Arletta sudah tidak tahu lagi harus menyebut Gina seperti apa? Tidak punya malu, tidak punya hati, atau ... tidak punya otak, mungkin?Maaf kalau Arletta terdengar jahat saat ini. Tetapi ya ... mau gimana lagi? Arletta terlalu gemas dengan kelakuan adik iparnya itu. Gemas yang hampir adi muak malahan. Bagaimana tidak? Di sindir halus, sudah. Di bukakan mata dan telinganya untuk mengetahui perasaan Elkava pun, sudah. Tetapi, bukannya mikir dan mundur. Gina malah terlihat lebih gencar mencari perhatian Elkava. Kan? Gimana Arletta gak gemas, coba?Apa lagi yang harus Arletta lakukan untuk menyadarkan Gina?Ugh ... lama-lama Arletta bikin jiga Gina berhadapan langsung sama Karmilla sekalian!"Ekhem!"Arletta sengaja berdehem kencang, demi menyita fokus dua sejoli yang sedari tadi dia perhatikan diam-diam. Siapa lagi kalau bukan Gina dan Elkava. Yang makin ke sini, justru terlihat semakin akrab. Sepertinya, Gina sudah belajar banyak untuk menjadi pelakor. Kasar?
*Happy Reading*"Saya gak mau tahu, El! Pokoknya kamu harus menikahi Gina secepatnya!" seru Ayah Yudis tiba-tiba. Loh! Loh! Kok malah jadi begini? "Maaf Om, saya tidak bersedia!" sambar Elkava cepat, seraya bangkit dari tempat tersungkurnya tadi akibat pukulan Ayah Yudis."Bajingan! Setelah apa yang sudah kamu lakukan pada Gina, bagaimana mungkin kamu bilang tidak bersedia?" Ayah Yudis kembali murka."Sudah saya bilang, Om. Ini tidak seperti yang Om lihat.""Halah bulshit! Maling mana ada mau ngaku!""Tapi saya beneran gak melakukannya, Om. Om hanya salah paham!""Salah paham bagaimana? Jelas-jelas saya lihat kamu hampir meremehkan putri saya barusan!"Degh!Apa? Meremehkan?"Itu tidak benar!" bantah Elkava cepat. "Saya tidak pernah melecehkan putri Om. Bahkan punya niat pun tidak!" Elkava mencoba membela diri."Kalau memang tidak berniat melecehkan Gina. Lalu apa maksud kelakuan kamu tadi? Kenapa memojokan Gina ke tembok dan berlaku mesum padanya?" tuntut Ayah Yudis.Arletta pun me
Arletta 121*Happy Reading*Arletta sekuat tenaga menahan dirinya agar tak menghambur ke arah Bunda Reen yang sudah terkulai tak sadarkan diri di lantai. Berusaha memaku kakinya agak tak bergerak membantu ayah Yudis dan Gina yang langsung panik meraih Bunda Reen. "Bunda! Bunda! Bunda bangun!" Gina menangis tergugu sambil mencoba membangunkan ibunya."Reen! Sayang? Bangun! Aku mohon." Pun Ayah Yudis di samping Gina. Arletta masih menahan diri. Menulikan telinganya dan mencoba buta pada pemandangan di hadapannya. Meski kedua tangannya sudah mengepal di sisi tubuh hingga memutih. Arletta bahkan segera menahan Elkava yang juga ingin menolong Bunda Reen."Kak Ale? Kenapa kakak diam saja? Ayo bantu Bunda, Kak." Gina mencoba menegur kakak iparnya. "Aku bukan lagi menantu keluarga ini. Jadi, untuk apa aku membantu?""Arletta?!" Mendengar sahutan Arletta pada Gina. Ayah Yudis pun kembali murka. Pria itu memandang Arletta tajam sekali. "Bagaimana pun dia masih ibu mertua kamu. Harusnya kamu-
*Happy Reading*Setelah apa yang tengah terjadi di keluarganya sampai pada telinga Arkana Sadewa. Pria itu pun murka. Terkejut disertai marah, membuatnya tak bisa menahan diri untuk tak bergegas pulang. Mengabaikan pekerjaan dan semua masalah yang sebenarnya masih membutuhkan perhatiannya. Arkana memutuskan kembali pulang. Meninggalkan Bruno dengan segudang masalah yang membuat pria galak itu ngomel sepanjang hari. Tidak apa-apa. Bruno kan memang begitu. Justru kalau tidak mengomel, bukan Bruno namanya. Ah, jadi ingat dulu Arletta pernah mengganti nama Bruno jadi Britney saking doyannya pria itu mengomel. Kalian masih ingat tidak?"Mas, aku mohon. Cari Ale, Mas. Bawa kembali dia. Aku mohon ... aku mohon. Apa yang akan kita katakan pada Arumi nanti jika membiarkannya kembali berjuang sendirian. Mas, aku mohon. Bawa kembali Arletta."Saat baru saja tiba di depan ruangan tempat Bunda Reen di rawat. Arkana sudah di sambut dengan tangis dan hibaan Bunda Reen pada Ayah Yudis, dengan nada
*Happy Reading*Kedua tangan Gina mengepal di kedua sisi tanpa sadar, saat mendengar sindiran kakaknya. Giginya mengatup kuat dengan rahang yang menengang, syarat akan rasa kesal yang sangat ingin dia luapkan.Kenapa kakaknya juga menyalahkannya?"Maksud Mas apa? Apa Mas mau nyalahin Gina atas kepergian Kak Ale?" todong Gina. "Kalau bukan kamu, lalu siapa lagi?" balas Arkana tanpa hati."Tapi Mas, yang ngusir Kak Ale itu ayah. Bukan Gina. Jadi--""Tapi ayah melakukannya juga karena kamu, Gina!" sela Arkana cepat. "Karena keegoisan dan kekeras kepalaan!" imbuhnya lagi, makin menyayat hati Gina. "Aku--""Sudah! Sudah! Kalian kenapa jadi ribut begini, sih?" lerai Ayah Yudis kemudian. "Dewa? Kamu kalau ke sini cuma mau bikin ribut saja, mending kamu pergi. Jangan buat kacau. Kepala Ayah sudah sangat pusing sekarang. Jangan menambah beban lagi!" Imbuh pria itu lagi seraya memijat keningnya."Aku buat kacau?" beo Arkana tak terima. " Gak salah, Yah? Yang buat kacau itu Gina, Yah. Kenapa m
*Happy Reading*Hari berlalu. Tidak terasa sudah hampir sebulan Arletta menghilang. Meski Arkana sudah mencoba mengerahkan seluruh orang kepercayaannya untuk pencarian. Tetapi, Arletta tetap tak diketahui rimbanya. Gadis itu memang piawai sekali dalam urusan petak umpet seperti ini. Membuat Arkana hampir gila memikirkannya. Beruntung masalah di keluarganya sudah bisa di atasi. Hingga bebannya pun sedikit berkurang.Ya! Akhirnya Gina menyadari kesalahannya dan mulai berubah kembali menjadi seperti dulu. Bahkan, gadis itu turut membantu Arkana dalam mencari keberadaan Arletta. Meski memang masih nihil hasilnya. Tetapi, bagian terbaiknya adalah, hal itu akhirnya bisa mendamaikan Bunda Reen dan Ayah Yudis.Sebenarnya, Arkana hampir menyerah dan menganggap bahwa Arletta benar-benar tak menginginkannya. Kalau saja tidak ada kiriman paket yang pria itu yakinin dari Arletta, berisikan beberapa bukti yang bisa Arkana pakai untuk melawan tuduhan Deandra. Bukan hanya satu malah, tapi beberapa k
*Happy Reading*Arkana mendesah kecewa lagi. Setelah mengecek seluruh ruangan yang ada di sana, tapi tetap tak menemukan orang lain di sana selain dirinya. "Gue rasa, gue beneran udah gila." desah kecewa kembali terdengar, setelah menyugar rambut gondrongnya sedikit keras sambil memindai seluruh ruangan tempatnya berada. "Sekarang ilusi pun kayak nyata banget. Huft ... gue harus nelpon Bunda buat konsul kayaknya," gumamnya bermonolog.Dengan berat hati, pria itu lalu memutar badannya kembali ke arah pintu kamar. Berniat meneruskan mandi yang sempat tertunda."Kamu gak jadi mandi, Mas?"Namun, baru saja hendak membuka pintu kamar. Arkana mendengar sebuah suara memanggilnya. Membuat pria itu kembali menoleh ke belakang. Tubuh Arkana pun menegang dengan kehadiran Arletta kembali muncul. Kali ini gadis itu ada di sebelah tangga yang menghubungkan huniannya dengan studio di lantai bawah."Ka-kamu ...." Arkana bingung harus bereaksi apa. Pria itu masih belum bisa memastikan yang ada di h
*Happy Reading*"Nah, sekarang ayo cerita. Sebenarnya ke mana aja kamu selama ini?" kejar Arkana, setelah menyelesaikan acara sarapan pagi yang agak kesiangan itu. Tenang, gaes. Dia udah mandi, kok, sebelum sarapan tadi. Udah ganteng, udah wangi, dan udah cukuran juga karena di omelin Arletta terus. Makanya, karena sekarang ritual paginya sudah terlaksana semua. Arkana pun mengejar penjelasan istrinya yang malah ...."Kamu gak kerja emang, Mas?" .... Seperti biasa. Tidak mudah untuk ditanya-tanya. "Ada Bruno yang bisa handle kerjaan aku." Meski begitu, Arkana pun tetap membalas Arletta dengan sabar. "Ck, kebiasaan deh kamu, tuh. Suka banget ngebebani Bruno. Padahal ini kan kerjaan kamu dan--""Sayaaang?" sela Arkana sengaja dengan nada mendayu. Tahu pasti niat Arletta ingin mengalihkan topik. "Bisa gak, jangan alihin topik terus. Mas bener-bener penasaran ini sama cerita kamu," pinta Arkana kemudian. "Cerita apa?" Namun, Arletta masih saja pura-pura polos. "Ya cerita tentang pela
*Happy Reading*"Mas, bagaimana kondisi Arletta?" Satu jam berselang, Bunda dan Ayah sudah hadir di sana. Bersama Gina yang membawa serta koper yang memang sudah disediakan, persiapan kelahiran Arletta. "Masih di dalam, Yah. Sedang bersiap melakukan operasi." Arkana menjawab singkat. Raut khawatir masih tampak jelas di wajahnya. "Akhirnya operasi secar, ya?" tanya Bunda Reen lagi. "Gak ada pilihan lain, Bun. Usia kandungan Arletta belum sempurna dan bayi kami juga salah satunya ada yang terlilit pusar. Jadinya mau tak mau harus operasi."Sebenarnya, Dokter sudah berusaha memberi induksi pada Arletta agar pembukaannya cepat dan bisa lahiran normal. Hanya saja, karena posisi salah satu bayi sepertinya tak memungkinkan bertahan. Maka dari itu, akhirnya operasi secar pun mau tak mau menjadi pilihan saat ini. "Ya sudah tidak apa-apa. Yang penting Ale dan bayi kalian selamat." Bunda Reen tak ambil pusing. "Iya benar. Mau sc atau normal. Itu tidaklah masalah. Seorang ibu tetap akan menj
*Happy Reading*"Mas, ayo buruan!" seru Arletta tak sabaran. Melambai pada Arkana. "Iya, iya. Ini juga udah jalan, kok," sahut Arkana santai."Ih, lama, deh!" Gemas pada Arkana, Arletta pun menarik lengan sang suami dan sedikit menyeretnya agar jalan lebih cepat. "Sabar, Sayang. Milla juga gak akan ke mana-mana, kok. Inget, kamu tuh lagi hamil. Gak boleh--""Ck, bawel, deh!" kesal Arletta. "Gak ngerti banget, sih. Namanya juga gak sabar pengen liat anaknya Milla. Kira-kira mirip siapa, ya?"Kemarin malam, Arletta memang baru mendapat kabar kalau Milla sudah melahirkan. Wanita itu pun langsung saja heboh dan meminta pulang ke Jogja malam itu juga. Tak perduli saat itu sudah menjelang subuh. Arletta tetap memaksa suaminya untuk mengantarkan pulang saat itu juga. Namun, karena kondisi Arletta juga sudah hamil tua. Arkana pun tak langsung menurutinya. Bahaya kan melakukan bepergian pada kondisi Arletta saat ini. Makanya, pria itu meminta Arletta berkonsultasi terlebih dahulu kepada dok
*Happy Reading*Arkana memperhatikan Arletta dalam diam. Wanita itu saat ini tengah asik membaca buku yang tebal sekali. Entah buku bertema apa, yang jelas ketebalan buku tersebut bisa mengalahkan al-qur'an atau kitab-kitab sejenis. Okeh, mari lupakan tentang buku tersebut. Karena kini bukan itu yang sedang Arkana pikirkan. Pria itu sebenarnya tengah memikirkan Arletta dan kehamilannya yang sudah menginjak usia kandungan enam bulan. Khususnya kebiasaan yang umumnya terjadi pada ibu hamil. Orang bilang, wanita yang sedang hamil itu sensitif dan kadang memiliki keinginan aneh. Atau sebut saja ngidam. Nah! Masalahnya Arkana tidak menemukan hal itu pada Arletta sepanjang usia kehamilannya.Iya, wanita itu memang sempat mengalami morning sick beberapa minggu saat awal kehamilan. Namun hanya itu saja. Sisanya, Arletta itu tampak biasa saja. Tidak sensitif apalagi ngidam yang aneh-aneh. Kan, Arkana jadi curiga, ya? Ini Arkananya yang kurang perhatian atau Arlettanya yang menahan ngidamnya
*Happy Reading*"Dia mencoba bunuh diri lagi?"Pria di hadapannya mengangguk."Lalu?""Sesuai perintah anda, Bos. Kami menyelamatkannya kembali."Pria bule di balik meja itu tersenyum mendengar hal barusan. Mengangguk-angguk mengerti sambil mengusap dakunya perlahan. "Bagus," pujinya kemudian. "Pantau terus keadannya. Jangan sampai kecolongan. Mengerti?" "Mengerti, Bos!" sahut pria itu patuh. Setelah pria bule di hadapannya menyuruh pergi, dia pun lalu beranjak dari termpat tersebut. "Sampai kapan kau akan menyiksanya?" Pria lain di sana berbicara selepas kepergian si anak buah. "Bukankah, semakin cepat dia mati, semakin cepat pula tugasmu selesai?""Aku hanya menjalankan amanat dari putrinya," sahut pria bule bernetra hijau itu dengan santai, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Raid Anderson. "Dia tidak ingin bajingan itu mati dengan mudah."Lawan bicaranya terdiam. Lalu mengangguk faham. "Lalu kapan tugasmu akan berakhir jika bajingan itu tidak kau ijinkan mati?" Pria tadi ber
*Happy Reading*Cring! Cring!"Selamat dat--eh, elo Let?"Arletta hanya mengangkat tangan membalas Devi yang menyapa saat melewati pintu. Kemudian menunjuk sebuah meja yang letaknya agak pojok, di mana Arkana tengah berada bersama dua pria dan dua wanita. Devi pun mengangguk faham. "Duduk, deh. Gue bawain minuman nanti." Devi lalu berlalu, melanjutkan langkah yang sempat terhenti. Sementara itu, Arletta pun mencari tempat duduk yang tak jauh darinya."Nih!" Tak berselang lama. Devi kembali dengan segelas coklat hangat yang langsung di serahkannya pada Arletta. "Kok? Kayaknya gue belum pesen, deh?" Arletta heran. "Laki lo yang pesenin," jawab Devi menunjuk meja Arkana dengan dagunya. Arletta melirik ke arah sana juga. Tetapi Arkana terlihat masih fokus mendengarkan kliennya berbicara."Iyakah?""Iya!" Devi meyakinkan. "Tadi pas laki lo datang, dia langsung bilang begini." Devi menegakkan tubuh sejenak, lalu berdehem. "Kamu kenal istri saya, kan? Nanti kalau dia datang, terus pesen
Short story of Ka-Cha"Menikahlah dengan saya."Cangkir yang sudah menyentuh bibirnya seketika terhenti mendengar ucapan tersebut. Ia terkejut sekaligus bingung mendengar tawaran tadi. Lebih dari itu, ia merasa tiba-tiba ada rasa sakit yang menjalar dari sudut hatinya mendengar kalimat barusan. Membuatnya teringat kembali pada pria-nya yang telah tiada. Mengerjap perlahan beberapa saat, wanita itu pun meletakan kembali cangkir pada tatakannya. Lalu menghela napas panjang diam-diam demi menenangkan hatinya yang tiba-tiba bergemuruh perih. Matanya melirik perutnya yang semakin membesar sekilas."Apa ... Arletta yang menyuruh anda?" tanya balik wanita itu. Dia adalah Karmilla. Sahabat Arletta. "Ini tidak ada hubungannya dengan Arletta," jawab Pria itu tegas. Yang entah kenapa justru semakin membuat Milla makin curiga. "Kalau begitu siapa yang menyuruh anda melakukan ini?" tuntut Milla kemudian. Pria itu, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Chakra. Menghela nafas berat pendengar pe
*Happy reading*Setelah mengatur nafas sekali lagi dan membulatkan tekad kembali. Arletta pun mulai melangkah ke arah Milla. Langkah kakinya terasa berat sekali, Arletta rasanya harus bersusah payah hanya demi mengambil langkah satu demi satu. Saat jarak antara mereka sudah menipis. Arletta mengangguk sedikit pada perawat yang berjaga sebagai bentuk salam. Nampaknya perawat itu tahu perihal maksud kedatangan Arletta. Buktinya, setelah membalas salam Arletta dengan anggukan dan senyum. Perawat tersebut pun mengambil jarak agak jauh dari Milla. Seolah mempersilahkan mereka bicara. Awalnya Milla masih belum menyadari keberadaan Arletta. Wanita itu masih tampak sibuk mengusap perutnya dengan sayang dan senyum manis. Tidak ada ucapan atau pun celotehan. Hanya tersenyum dan terus tersenyum sambil mengusap perutnya yang sudah agak membuncit. Kata Bunda Reen, usia kandungan Milla hampir memasuki empat bulan. Berarti beda sekitar dua bulan dengannya. Berarti juga, saat kejadian di Villa. Mi
*Happy Reading*Arkana sebenarnya kurang suka jika Arletta berdekatan dengan Chakra lagi. Alasannya tentu saja karena pria itu pernah ada hati pada istrinya. Bukan tidak percaya pada kesetiaan sang istri. Namun, waspada itu wajib, kan?Hanya saja, jika dihadapkan pilihan antara Chakra dan Frans. Jelas Arkana akan pilih Chakra. Meski terpaksa, setidaknya Chakra itu masih tahu diri. Pria itu tahu Arletta sudah jadi milik Arkana sepenuhnya. Baik itu raga ataupun hatinya. Bahkan, kini sudah hadir buah cinta mereka di rahim Arletta, kan? Jadi, meski katanya sepupu juga masih boleh menikah. Jelas, Chakra sudah kalah telak darinya. Sementara Frans? Melihat dari sifat dan karakternya. Arkana tidak yakin pria itu bisa tahu diri. Atau lebih tepatnya mau tahu diri untuk tak merebut miliknya. Meski Frans memang tak pernah terdengar menyukai Arletta. Namun masalahnya adalah, Arletta itu terlalu istimewa sebagai seorang wanita. Pria mana pula yang rela melewatkannya. Jadi, daripada kecolongan. Le
*Happy Reading*"Ba-bayi ... kita?" beo Arletta dengan bingung setelah beberapa saat tertegun di tempatnya. Senyum Arkana semakin melebar seraya mengangguk pasti. Lalu pria itu mengusap perut Arletta lagi yang sebenarnya masih rata."Iya, sayang. Bayi kita." Arkana meyakinkan. "Di sini, ternyata sudah ada bayi kita."Arletta makin tertegun. Perlahan melirik perutnya sendiri yang sedang di usap lembut Arkana dengan tatap tak percaya. Benarkah ia hamil? Kenapa ia tak merasakan apa-apa?"Wajar jika kamu tidak menyadarinya. Dokter bilang, usianya baru enam minggu," ucap Arkana lagi seakan tahu apa yang Arletta fikirkan. Degh!Benarkah? Kalau begitu saat kejadian di villa waktu itu, ia sebenarnya sudah mengandung. Bahkan saat bertarung melawan anak buah Joshua dan pria itu pun, Arletta sudah dalam keadaan .....Tangis Arletta kembali pecah. Dia merasa bodoh dan jahat sekali. Bagaimana mungkin dia tak menyadari keberadaan janinnya sendiri. Abai dan bahkan hampir membunuh anaknya juga saat