*Happy Reading*Hari itu, Arletta sedang ada di perjalanan pulang setelah menjenguk sang nenek yang lagi-lagi merajuk manja. Seperti biasa, dia di antar jemput Elkava dalam bepergian.Awalnya, semua berjalan lancar seperti yang sudah-sudah. Hingga tiba-tiba di tengah jalan, Arletta melihat sebuah ke rumunan masa yang menarik perhatiannya. Masalahnya, di tengah kerumunan itu samar Arletta melihat seorang ibu hamil duduk kesakitan memegangi perutnya. Tentu saja, hal itu langsung memanggil jiwanya sebagai seorang dokter."Kav? Kav? Minggirin mobilnya?!""Hah?! Apaan?" tanya Elkava yang terkejut sekaligus bingung dengan pinta Arletta yang tiba-tiba. "Ck, buruan!" Namun, Arletta tak menjelaskan apa pun dan malah makin memaksa Elkava. Pria itu pun mau tak mau menuruti Arletta, dan menepikan mobilnya segera. Arletta langsung membuka pintu dengan terburu. Bahkan langsung meloncat keluar tanpa repot-repot menunggu mobil itu benar-benar berhenti. Hal itu membuat Elkava refleks memaki kesal
*Happy Reading*"Dia anak buah Joshua?" tanya Arkana terkejut, setelah Arletta selesai bercerita. Istrinya mengangguk mengaminkan."Ya. Dia anak buah Joshua, yang juga selama ini pernah beberapa kali ikut menyerangku. Bahkan, saat penyerangan di rumah kamu pun. Dia ada di sana," ungkap Arletta. "Benarkah?" Arkana semakin terkejut. Gadis itu kembali mengangguk. "Setelah itu pasti kamu tahan orang itu, kan? Terus kamu paksa untuk membongkar rencana Joshua. Makanya, kamu tahu kalau di rumahku ada mata-mata. Iya, kan? Benar begitu, kan?" tebak Arkana dengan antusias. Namun, Arletta malah mengdengkus lucu sambil menggelengkan kepala. Membuat Arkana jadi bingung di tempatnya. "Aku memang dapat info tentang mata-mata di rumah dari dia. Tapi bukan dengan cara yang kamu sebutkan tadi," terang Arletta kemudian. Arkana masih mengerjap bingung."Kamu tahu? Anak buah Joshua itu lumayan setia orangnya. Soalnya, biasa di beri makan harta dan kesejahteraan oleh tuannya. Tapi di sisi lain, Joshua i
*Happy Reading*Arkana hanya bisa mengusap wajah, lalu menyugar rambut dengan perlahan setelah berhasil mencerna cerita Arletta. Pria itu kemudian melirik Arletta lagi, menatapnya intens dengan perasaan yang ... benar-benar sulit di jelaskan saat ini. "Kamu ... jadi selama ini ...." ucap Arkana lagi ragu-ragu.Sejujurnya, dia kecewa. Sangat! Bagaimana mungkin istri dan keluarganya menipunya seperti ini? Membuatnya sedih, takut, dan hampir stress memikirkan semuanya. Akan tetapi, mau marah pun Arkana tak kuasa. Karena dia yakin, Arletta pasti punya alasan khusus melakukan hal ini. Hanya saja ....Arkana mendesah berat lagi. Menyugar rambutnya agak kasar dan sedikit menjambaknya. Perasaannya kacau sekali saat ini. "Aku tahu kamu kecewa dan marah sama aku, Mas. Tapi aku gak punya pilihan lain."Arkana tahu hal itu. Arkana mengerti. Hanya saja ... tetap saja kekecewaan hadir di hatinya karena fakta ini. Apa, ya? Arkana merasa tidak berguna karena tidak dilibatkan rencana sebesar ini."
*Happy Reading*Arletta kira, setelah melihat ketegangan di wajah Arkana. Dia akan mendapat kejutan berupa cerita drama berbumbu khilaf yang intinya tetap perselingkuhan. Ternyata, sepertinya dia salah. Karena, setelah ketegangan yang beberapa menit lalu terlhat, alih-alih gugup dan panik. Si tukang photo itu malah tersenyum, sambil menopang dagu dengan sebelah tangan dan menatap Arletta dengan jail. "Apa ... ini artinya kamu cemburu, Luv?" tanya kemudian. "Atau ... jangan-jangan karena ini pula akhirnya kamu muncul?" imbuhnya dengan senyum manis bin ngarep. Benar-benar seperti tak punya dosa.Beruntung Arletta sudah terbiasa mengendalikan mimik wajahnya, dan paling mahir menampilkan face foker andalannya. Hingga dia pun bisa menahan diri untuk tak bereaksi lebih dengan godaan Arkana barusan. "Ck, tahu begitu. Sudah lama aku bikin beginian. Biar kamu cepet munculnya." Arkana menambahkan lagi dengan lugas. Namun, sedetik kemudian pria itu pun harus menelan karma atas kejahilannya, be
*Happy Reading*Faktanya, playboy tetap lah playboy. Tidak akan ada keajaiban yang bisa mengubahnya dalam satu malam. Apalagi jika jiwa playboy-nya akut seperti Arkana, yang sudah merasakan nikmatnya berganti toilet hidup tiap malam. Ah, sudah .... jangan pernah berharap lebih. Jangankan sebuah cinta tulus, janji suci pernikahan pun tidak akan menjamin dia berubah menjadi alim. Percayalah, playboy insyaf total karena cinta itu, hanya ada dalam dunia novel romansa saja. Kenyataannya, butuh waktu dan usaha keras merubahnya. Arletta tahu hal itu. Arletta pun sadar akan resikonya saat dulu memilih menjatuhkan hati pada Arkana. Karenanya, dia selalu berusaha tak pernah berharap lebih pada Arkana, dan menyiapkan diri untuk segala kemungkinan terburuk dari sifat suaminya yang seperti itu. Akan tetapi, saat benar-benar kejadian ternyata sakit juga, ya? Lumayan lagi sakitnya. Rasanya ingin menangis pilu, tapi juga ingin menertawakan dirinya sendiri.Menertawakan kebodohannya yang memilih da
*Happy Reading*Apa maksud Arletta mengambil semua bukti yang Arkana kumpulkan? Apa yang akan gadis itu lakukan? Akankah Arletta memanfaatkan bukti tersebut untuk kepentingannya? Atau malah gadis itu berniat melenyapkan semua bukti karena marah pada Arkana?Apa? Apa? Apa?"Arg!!! Sialan!" maki Arkana dengan marah. Sambil mengacak meja kerjanya yang penuh dengan tumpukan laporan. Semuanya jadi berjatuhan, termasuk sebuah laptop dan telepon kantor. Sepanjang Arkana mengenal Arletta. Baru kali ini dia benar-benar marah pada gadis itu. Sungguh! Arkana benar-benar tidak tahu lagi bagaimana harus menghadapi gadis penuh akal bulus itu. "Kan? Terus sekarang gimana?" tanya Bruno yang sedari tadi hanya bisa memperhatikan Arkana dalam kekalutan yang sama. Meski ini bukan masalahnya, dan bahkan tidak ada hubungannya dengan dia. Tetapi, bagaimana pun selama ini Bruno lah yang selalu menemani dan membantu Arkana dalam mencari semua bukti tersebut. Karenanya, jika sampai bukti tersebut hilang beg
*Happy Reading*Arletta melirik tak minat pada deretan nomor yang terus muncul pada salah satu ponsel di atas meja. Mengacuhkannya kembali seraya menyesap minuman kaleng miliknya. Sementara di tempatnya, si pemilik ponsel sudah tampak gelisah. Tangannya saling meremas dengan keringat yang sudah membanjiri pelipisnya yang agak memar."Kenapa? Mau mengangkatnya? Angkat saja," titah Arletta lugas. Namun, dengan tatapan penuh Arti. Pria paruh baya pemilik ponsel itu pun langsung melambaikan tangannya cepat. Menolak titah Arletta dengan segera. "E-enggak, kok. Saya gak akan mengangkat panggilan itu sampai kapan pun."Arletta hanya tersenyum miring menanggapinya. Sementara pria itu, kembali meremas tangan di pangkuan dengan resah. "Nona. Kau lihat sendiri, kan? Saya sudah mengabaikan telepon darinya sejak tadi. Tak mengirimkan bantuan dan mengumumkan pemecatannya sebagai model ambasador kami. Lalu, apa lagi yang nona mau?" tanya pria paruh baya takut-takut. "Tidak ada." Arletta menjawa
*Happy Reading*"Kamu?! Mau apa kamu kemari?" Deandra langsung menghardik dengan sengit, saat menemukan keberadaan Arletta di ruangannya. Dari perusaahan Alexander, Arletta memang melanjutkan perjalanannya ke Rumah sakit tempat Deandra di rawat. Meski sebenarnya ruangan tempat Deandra sudah diberi penjagaan lumayan ketat. Agar para awak media tidak bisa menerobos dan mengganggu Deandra. Tetapi, bukan Arletta namanya jika tidak bisa mengatasi hal tersebut. "Tentu saja mau menjengukmu, Deandra. Apalagi?" sahut Arletta santai, seraya menghampiri gadis itu yang masih menatapnya dengan galak."Menjenguk atau menertawakanku, hah? Kau pasti senang kan, akan kondisiku saat ini? Kau pasti merasa menang kan, karena kini aku sudah kehilangan bayiku? Iya kan? Iya kan? Dasar wanita licik!" Deandra masih dengan amarahnya. Sayangnya, Arletta menanggapi hal itu masih dengan sikap santai tanpa dosa. Gadis itu bahkan terkekeh pelan melihat tingkah Deandra yang benar-benar kekanakan. "Faktanya, ada