Sophia memegang pipinya yang baru ditampar oleh ayahnya sambil berseru, "Alex, tentu saja aku nggak baik-baik saja! Kamu sendiri juga tahu kekuatan ayahku! Sekarang, telingaku bahkan masih berdengung ...."Alex memicingkan matanya dan bertanya, "Kenapa aku bisa tahu kekuatan ayahmu? Jangan-jangan aku pernah dipukul ayahmu, ya?"Ekspresi Sophia seketika menjadi kaku. Dia bergegas berkata, "Emm ... nggak! Mana mungkin! Maksudku, kamu seharusnya bisa menebak sekuat apa tangan seorang pria!"Dia khawatir Alex akan mengetahui bahwa kakinya Alex lumpuh akibat pukulan ayahnya ....Meskipun Alex belum mendapatkan kembali ingatannya, dia seharusnya sudah mengetahui hal-hal yang perlu dia ketahui.Akan tetapi, dia tidak menunjukkan perubahan ekspresi apa pun. Dengan ekspresi cuek, dia berkata, "Sudahlah, nanti kompres saja pakai es, pasti nggak sakit lagi."Mendengar ucapan pria ini, Sophia merasa sangat kecewa. "Alex, kamu masih belum mengerti, ya? Yang kuinginkan bukan kompres es batu, tapi pe
Pamela merasa agak pusing. Dia pun mengurut pelipisnya sambil berkata, "Apa yang harus kulakukan agar aku tampak bersemangat? Berteriak sambil guling-guling di lantai?"Olivia memonyongkan bibirnya dan berkata, "Bukan begitu ... tapi rasanya reaksimu cuek sekali, sama sekali nggak seperti baru melihat kakakku setelah penantian selama tiga tahun ...."Pamela malas menjelaskan apa pun. Dia menyerahkan Heri pada Adsila, lalu duduk di posisi dekat jendela dan memandang pemandangan di luar jendela dalam diam.Olivia masih ingin menanyakan rencana Pamela ke depannya, tetapi dia ditahan oleh Marlon. "Nona Olivia, setibanya di rumah, kamu masih punya waktu untuk berbincang-bincang dengan kakak iparmu. Sekarang, biarkanlah dia berdiam diri dulu sebentar!"Pamela terlihat sangat tertekan, sehingga Olivia pun menuruti ucapan Marlon dan pergi ke tempat Adsila untuk menjaga anak-anak.Jason berpindah ke sisi Pamela dan mengelus kepala adiknya dengan sedih sambil berkata, "Segera. Kita akan segera m
"Sonya, pergi pilih satu kamar tamu, ya! Ini rumah teman Ibu. Meskipun dia nggak tinggal di sini untuk sementara, kita juga nggak bisa asal menyentuh barangnya. Kita berdua bisa tinggal di satu kamar saja," kata Silvia.Sonya mengangguk dengan penuh pengertian, lalu bertanya, "Ibu, kalau begitu, bagaimana dengan buku dan pekerjaan rumahku? Semuanya masih di hotel itu!"Silvia membuang napas dan berkata, "Beberapa hari lagi, Ibu akan mencari cara untuk mengambil barang-barang itu untukmu.""Baik!"Setelah mengiakan ucapan ibunya, Sonya pun pergi memilih kamar dengan patuh ....Setelah putrinya pergi, Silvia duduk diam di sofa sambil memikirkan hubungan pernikahan antara dirinya dengan Theo. Kemudian, dia tiba-tiba mengingat gadis yang dia temui hari ini!Silvia berpikir, 'Gadis bernama Pamela itu benar-benar spesial. Pantas saja Alex yang sudah hilang ingatan pun nggak bisa menyukai Sophia.''Sophia terlalu egois, sama sekali nggak bisa dibandingkan dengan gadis bernama Pamela itu.'Sel
Adsila mengerutkan bibirnya sambil berpikir, 'Tentu saja Bibi paling memedulikan keselamatan Paman! Tapi, Bibi juga pasti akan merasa kecewa karena Paman melupakannya semudah itu!'Justin menyilangkan tangannya dan berkata, "Sekarang, sebaiknya kalian nggak mengkhawatirkan hal ini. Bukankah kalian akan segera menikah? Cepat pergi siap-siap! Aku dan kakakku akan memikirkan cara untuk membantu Kak Agam, kami pasti akan membawanya kembali ke sisi Kak Pamela dengan aman!"Meskipun Justin berniat baik, dia malah mendapatkan tatapan kebingungan dari Marlon dan Adsila ....Jason sangat dapat diandalkan. Namun, tidak demikian dengan Justin! Begitu Justin ikut campur dalam hal ini, kemungkinan besar hal ini tidak akan berakhir dengan baik ....Tatapan mereka jelas-jelas meremehkan dirinya, sehingga Justin merasa sangat kesal. "Hei! Kenapa kalian menatapku seperti itu? Kalian nggak memercayai kemampuanku, ya?"Marlon dan Adsila pun menoleh secara bersamaan dan memandang ke luar jendela ....Just
Justin berjalan ke hadapan gadis ini dan menjebaknya di pojok lift, lalu menarik dagunya sambil bertanya, "Menurutmu?"...Di Kediaman Dirgantara.Setelah ketiga anaknya tidur, Pamela juga bersiap-siap untuk mematikan lampu kamar dan tidur. Hari ini, dia merasa sangat lelah.Saat dia mengulurkan tangannya untuk mematikan lampu, seseorang tiba-tiba mengetuk pintu kamarnya.Suara ketukan ini sangat pelan, jelas-jelas orang yang mengetuk pintu ini tidak ingin membangunkan anak-anak yang sudah terlelap.Pamela pergi membuka pintu dan melihat Olivia, adik iparnya, berdiri di depan pintu dengan ekspresi cemas."Ada apa? Kenapa kamu masih belum tidur semalam ini?" tanya Pamela.Olivia mengernyit dan menjawab, "Kak, anak-anak sudah tidur, ya?"Pamela menoleh dan melihat sekilas ke dalam kamar, lalu berkata, "Ya, baru saja ketiduran.""Kakek dan Nenek juga sudah tidur. Bisakah aku berbicara sebentar denganmu?" tanya Olivia.Pamela mengetahui apa yang ingin Olivia bicarakan dengannya. Sebenarnya
Olivia bertanya "Kak Pamela, bisakah kamu memberitahuku rencanamu itu? Mungkin saja aku bisa membantu!"Pamela menggeleng dan berkata, "Kamu nggak bisa membantu dalam rencana ini. Bantuan terbesar yang bisa kamu berikan padaku adalah dengan menjaga ketiga anak dengan baik!"Olivia merasa tidak berdaya, dia berkata, "Baiklah kalau begitu! Kak Pamela, kalau ada bantuan yang kamu perlukan dariku, kamu harus mengatakannya padaku!"Pamela tersenyum sambil mengangguk dan berkata, "Tenang saja, aku nggak akan sungkan-sungkan padamu. Sudahlah, cepat tidur!"Olivia pun berdiri. "Kalau begitu, aku nggak mengganggumu beristirahat lagi, Kak. Cepat tidur, ya.""Ya."Setelah mengiakan ucapan Olivia, Pamela pun mengantarkan Olivia keluar dari kamarnya.Olivia terus mengernyit, dia mengkhawatirkan kakak iparnya, juga kakaknya yang sudah menghilang selama bertahun-tahun itu. Dia berharap agar kali ini, kakaknya bisa pulang dengan lancar dan tidak mengalami kecelakaan apa pun lagi, lalu hidup dengan bai
Olivia mengiakan ucapan neneknya, lalu berlari kembali ke kamarnya dengan terburu-buru. Dia takut sikapnya akan tampak canggung, sehingga ketahuan oleh neneknya ....Begitu Olivia menutup pintu kamarnya, dia baru membuang napas dengan lega. Olivia menepuk-nepuk dadanya sendiri untuk menenangkan dirinya. Melihat ponselnya yang sedang menyala di atas meja di samping ranjang, dia langsung menerima panggilan itu."Halo? Kak Ricky!"Dari ujung telepon lainnya, pria itu berkata dengan sangat lembut, "Kenapa lama sekali angkatnya? Aku sudah telepon dua kali, tapi kamu nggak terima!"Dengan wajahnya yang memerah, Olivia menjawab dengan malu, "Tadi, aku pergi mengobrol dengan Kak Pamela, aku nggak bawa ponselku. Maaf, ya, seharusnya aku mengirimkan pesan untuk mengabarimu!"Ricky berkata dengan penuh kasih, "Nggak perlu minta maaf. Kamu masih saja sesungkan itu padaku. Kalau lain kali kamu masih terus begini, aku mungkin akan benar-benar marah!"Sambil tersenyum dengan sangat manis, Olivia berk
Di Kediaman Yanuar.Jason baru pulang negeri. Setelah makan malam dengan adiknya, dia langsung pergi ke perusahaan.Meskipun tidak ada urusan mendesak di perusahaan, karena suasana hatinya kurang baik, dia memilih untuk menyelesaikan pekerjaan yang menumpuk di perusahaan, supaya pikirannya teralihkan.Sudah larut malam saat kesibukannya berakhir.Jason mematikan komputernya dan mengurut keningnya. Kemudian, dia berdiri, mengambil jas luarnya dan berjalan ke luar ....Baru saja dia membuka pintu kantornya, dia melihat Calvin yang baru mengakhiri sebuah panggilan dan berbalik dengan terburu-buru!Melihat Jason keluar dari kantornya, Calvin bergegas berkata, "Tuan, kesibukan Anda sudah selesai, ya! Saya baru saja mau pergi melaporkan sesuatu pada Anda!"Jason mengernyit sambil menatap Calvin yang tampak panik dan bertanya, "Ada apa?""Ada masalah di rumah! Tadi, pengurus rumah menghubungi saya, katanya Tuan Marko menghilang dan panggilan Anda nggak terhubung, jadi dia menghubungi saya dan
Ketakutan masih melanda Phillip ketika dia membayangkan situasi saat itu, Dian meratakan alis pria itu, "Aku tahu kamu pasti akan datang untuk menyelamatkanku, sama seperti sebelumnya.""Aku mencintaimu, Phillip."Sebelumnya Dian sudah menyatakan cintanya, tapi dia mengatakannya dalam keadaan tidak sadar. Sekarang dia sudah sadar, pikirannya jernih, bahkan sambil tersenyum tipis. Ucapannya membuat Phillip tersipu sejenak."Aku juga mencintaimu," balas Phillip.Dian hanya dirawat sebentar di rumah sakit, tak lama kemudian dia kembali ke Kediaman Sanders.Seperti yang mereka katakan, kondisi Dian tidak serius, dirawat di rumah sakit hanya akan memperlambat pemulihannya.Lebih baik dia dirawat di rumah.Phillip tidak pernah menyinggung pekerjaan Dian. Sebaliknya, Dian langsung pergi ke Surat Kabar Sino untuk mengundurkan diri.Kondisinya saat ini tidak sesuai untuk menyelidiki kasus terkait, lagi pula Phillip langsung menyerahkan barang bukti ke kantor polisi, pihak kepolisian yang akan m
"Phillip, aku menyukaimu, aku mencintaimu."Phillip memeluk Dian dengan perasaan sakit yang tiada tara, "Ini salahku, seharusnya aku lebih cepat.""Aku nggak pernah menyalahkanmu. Aku hanya ingin melihatmu tersenyum. Selama kamu bersedia membiarkanku tetap di sisimu, aku nggak meminta pengakuanmu.""Aku tahu keluargamu menyulitkanmu, aku bisa melihatnya ...."Para pengawal yang ikut menerobos masuk merasa canggung ketika melihat CEO mereka menangis.Namun, yang terpenting saat ini adalah membawa Dian ke rumah sakit untuk pemeriksaan fisik. Setelah lama terikat, aliran darahnya surut, menyebabkan mati rasa yang akan menjadi masalah serius jika tidak bisa pulih.Akhirnya, para pengawal mendorong bos mereka yang sangat pemberani untuk menasihati Phillip. Phillip menundukkan kepala, menyeka air matanya, dia menggendong Dian dengan mudah, tidak membiarkan orang lain turun tangan. Gerakannya sangat lembut, seolah-olah sedang menggendong tuan putri.Untungnya, hasil pemeriksaan menyatakan kon
Setelah itu, Lesti pergi tanpa menoleh, sama sekali tidak menunjukkan keraguan.Masa depan dirinya dan Fabian ada dalam kandungannya, tidak mungkin dia menyerahkan semua hartanya pada Ririn.Karena putrinya tidak menurut, maka dia akan mengandalkan putra dalam kandungannya.Bukankah Ririn senang menemui Juko? Kalau begitu, biarkan saja mereka hidup bersama.Lagi pula dia sudah menghabiskan banyak usaha untuk membesarkan putrinya itu.Ririn menghabiskan paruh pertama hidupnya bersama Lesti, paruh kedua hidupnya sudah seharusnya menjadi giliran Juko.Satu-satunya hal yang membuat Phillip bersyukur adalah Juko tidak mempermainkannya, tampaknya dia masih peduli pada putrinya.Phillip bersama para pengawalnya berhasil menemukan rumah bobrok itu.Pelaku cukup waspada, mereka memilih rumah bobrok di pinggiran desa.Setelah pintu didobrak, Phillip menemukan Dian terbaring sendirian di lantai, tanpa ada yang menghiraukannya.Penjahat yang berjaga menunggu instruksi Juko, tanpa perintah darinya,
Lesti meneteskan air mata, duduk bersila dan terdiam, tidak ingin membela diri.Ririn satu-satunya orang yang masih berusaha memberikan penjelasan, tapi apa pun yang dia katakan, Fabian tidak lagi memercayainya.Hal seperti ini sudah terjadi berkali-kali dan setiap kali Fabian selalu memilih memercayai Lesti dan putrinya.Namun kini dia menyadari bahwa dia sepenuhnya salah.Dian dulunya sangat perhatian dan berperilaku baik, tetapi setelah Lesti dan Ririn memasuki hidup mereka, dia merasa putrinya mulai bermulut tajam dan selalu bertingkah di hadapannya.Sekarang dia baru menyadari, semua itu Dian lakukan untuk mendapatkan lebih banyak perhatian darinya atau setidaknya hanya ingin dia memperlakukan dirinya dan Ririn secara adil.Hanya saja dia tidak pernah menyadarinya. Sebaliknya, dia merasa Dian harus mengalah pada Ririn karena lebih tua."Karena kamu begitu menyukai ayah kandungmu, mulai sekarang kamu bisa hidup bersamanya.""Jangan pernah datang lagi ke rumah ini. Sedangkan ibumu,
Ririn buru-buru bertanya, "Ibu tertipu?""Kenapa Ibu menghubungi Juko?""Sekarang mereka tahu keberadaan Dian, Ibu mengacaukan rencanaku, apa yang ada di kepala Ibu?"Namun Lesti tidak menggubris, dia menangis dan menampar Ririn, "Kamu membuat Ibu takut setengah mati. Kalau terjadi sesuatu padamu, Ibu harus bagaimana? Susah payah Ibu membesarkanmu, apa Ibu harus melihatmu mati?""Ibu 'kan sudah bilang, jangan menemui Juko Sanders, kenapa kamu masih diam-diam menemuinya, bahkan menyuruhnya melakukan hal seperti ini, apa kamu sudah gila?""Ibu hanya ingin menjalani sisa hidup dengan damai bersamamu, kenapa kamu nggak mau mendengarkan Ibu?"Ririn sangat kecewa pada ibunya. Sejak hamil, Lesti tidak pernah lagi memberi pelajaran pada Dian.Namun, Ririn tidak terima, Dian bagaikan duri yang menancap di matanya, duri itu harus disingkirkan agar dia merasa lega."Apa Ibu nggak tahu aku menyukai Phillip?""Aku yang duluan menyukai Phillip, tapi Dian merampasnya. Mana mungkin aku melepaskannya.
Ingin sekali Lesti menamparnya, untuk apa dia bicara seperti itu?Jika dulu pria itu tidak melakukan tindak kekerasan padanya, hubungan mereka tidak mungkin jadi seburuk ini.Sekarang beraninya dia mengatakan berbuat seperti ini demi putrinya, dia kira nyawa Dian bisa diambil semudah itu?Dian adalah Nona Besar Keluarga Sandiga, belum lagi dia sudah menikah dengan Phillip Sanders, sekarang dia adalah istri dari pemilik Perusahaan Sanders. Juko kira siapa dirinya? Beraninya dia menculik Dian!Napas Lesti tidak teratur, dia tersentak, "Kalau kamu nggak percaya, dengarkan saja teriakan putrimu.""Aku nggak bisa menyelamatkannya, nyawanya ada di tanganmu. Lagi pula aku sedang mengandung anak Fabian. Tanpa Ririn sekalipun, aku masih punya anak yang lain, tapi nggak denganmu!"Phillip sangat mengagumi Lesti. Di saat seperti ini, dia tidak lupa mengungkapkan kesetiaannya pada Fabian, secara tidak langsung memberi tahu Fabian bahwa dia selalu berpihak padanya, sungguh hebat.Di ujung telepon,
Phillip menaikkan alisnya sambil berkata, "Jangan khawatir, paling-paling hanya jari tangannya yang disentuh, nggak akan jadi masalah besar. Cedera otot dan tulang akan pulih dalam beberapa bulan. Kalian bisa merawatnya dengan baik di rumah, dijamin dia akan segera pulih."Lesti tidak tega mendengarnya, dia bergegas ke arah Phillip untuk memukulnya, tetapi sebelum berhasil mendekat, pengawal sudah menghentikannya.Fabian juga khawatir, dia segera memeluk Lesti erat-erat ke sisinya, "Kalau benar nggak ada hubungannya dengan Ririn, dia pasti akan keluar dengan selamat, tetapi kalau sebaliknya, kamu harusnya tahu ...."Suara Fabian tiba-tiba berubah dingin. Dia tidak pernah menyangka penculikan putri kandungnya ternyata berhubungan dengan putri tirinya ini.Namun, dia juga tidak terlalu bodoh dan langsung bertanya, "Bagaimana seorang gadis seperti Ririn bisa membawa Dian?""Bahkan kaca mobilnya pecah, pasti ada yang membantunya.""Mungkinkah ada hubungannya dengan ayah kandung Ririn?"Phi
"Benar aku menemui ayah kandungku, tapi hanya satu kali, aku nggak berniat kembali ke sisinya!""Kalau nggak, aku pasti sudah dari dulu meninggalkan Keluarga Sandiga, tapi aku peduli padamu, Ayah. Ayah sudah menjagaku selama bertahun-tahun, aku sudah menganggapmu sebagai ayah kandungku. Kenapa Ayah memperlakukan kami seperti ini?""Sekarang Phillip berbicara nggak bermoral dan melimpahkan semua kesalahan padaku. Ayah harus melihat kebenarannya!"Lesti mengangguk berulang kali, tapi di saat bersamaan, dia penasaran, kapan Ririn menemui Juko?Gadis itu tidak mengatakan apa pun padanya, tapi malah tertangkap oleh Phillip.Sepertinya kejadian yang menimpa Dian memang berhubungan dengannya. Lesti hanya ingin menyelesaikan masalah ini secepatnya agar Phillip tidak berlama-lama di sana.Dia sama sekali tidak punya pemikiran seperti itu, apalagi untuk rujuk dengan Juko.Dia hanya ingin melahirkan putranya dengan selamat di Keluarga Sandiga. Kelak Keluarga Sandiga akan menjadi milik putranya, d
Phillip paling benci ditunjuk orang saat berbicara dengannya. Dia bangkit dari duduknya, seketika tubuhnya lebih tinggi dari Fabian."Kamu masih berani mengaku sebagai ayah kandungnya Dian, kalau aku jadi kamu, aku akan memilih diam dan menyingkir.""Demi putri orang lain, kamu menuduhku mengancam Ririn. Dari ekspresi bersalahnya saja sudah cukup membuktikan kalau masalah ini berhubungan dengannya.""Sekalipun nggak percaya padaku, minimal gunakan otakmu. Pantas saja Perusahaan Sandiga semakin terpuruk, cepat atau lambat akan tamat di tanganmu."Phillip tidak lagi memberi muka. Saat mengucapkan kata-kata ini, dia mundur berulang kali, memegangi dadanya dan hampir kehabisan napas.Lesti melupakan tubuh lemahnya dan maju beberapa langkah, "Begini caramu berbicara dengan ayah mertuamu? Apa Ririn pernah menyinggungmu? Sebelumnya dia bahkan menyukaimu, Ririn masih kecil, kenapa kamu memperlakukannya seperti ini?"Dia mengatakannya berulang kali, tetapi sikap Phillip sudah jelas dan para pen