Justin menyeka air matanya, kemudian berkata, "Ibu, kamu nggak tahu, Kak Kalana sendiri yang mengumbar semua pemikirannya selama ini!""Selama ini aku mengira Kak Kalana wanita paling baik dan lembut, dia pantas mendapatkan segala yang terbaik! Jadi demi dia, aku bertindak keterlaluan pada Kak Pamela ..." tambahnya."Tapi ternyata diam-diam Kak Kalana melakukan banyak hal jahat, dia memanfaatkan semua orang yang mencintai dan memercayainya!" lanjutnya lagi."Sekarang berakhir seperti ini juga karena perbuatannya sendiri, nggak ada yang bisa disalahkan, aku nggak bisa membantunya, demikian juga denganmu!" sambungnya."Ibu, aku mencarimu ke sini dengan harapan kamu mau mengikuti saran Kakek, tinggallah di Vila Pakas yang ada di desa untuk sementara waktu, renungkan kesalahanmu, setelah amarah Kakek dan Nenek mereda baru kembali lagi, berhenti memikirkan cara untuk membebaskan Kak Kalana," saran Justin."Sudah seharusnya Kak Kalana menanggung sendiri akibat dari perbuatannya!" tambahnya l
"Nyonya, kali ini jangan melarikan diri lagi, kami nggak bisa mempertanggungjawabkannya," kata salah seorang pelayan.Kelly menggila, dia mendorong para pelayan itu, lalu berteriak, "Minggir! Kalian pikir siapa kalian? Beraninya mengaturku!"Karena sudah pernah tertipu sebelumnya, para pelayan pun tidak sungkan lagi, dua di antara mereka menahan Kelly, sementara sisanya membantu mengemas barang-barang.Kelly tinggal di apartemen itu bahkan belum sehari, tak ada barang yang perlu dikemas, para pelayan hanya mengemasi barang yang berserakan dan bersiap untuk pergi ....Sebelum pergi, Kepala Pelayan mendengar suara tangisan datang dari kamar tidur, dia pun mengirim bawahannya untuk memeriksa."Itu suara anak adopsi Nona Kalana! Sepertinya terluka, dia meringkuk di lantai sambil menangis," jawab salah satu bawahan.Kepala Pelayan mendekat untuk memeriksa, benar saja, Revan sedang meringkuk di lantai, dia gemetaran dan menangis lemah, terlihat sangat menyedihkan.Kelly teringat sesuatu, dia
Kelly berteriak, "Mana mungkin aku bisa tenang! Kalau kalian bawa Revan, itu sama dengan mengambil nyawaku!"Kepala Pelayan tak berdaya, dia memerintahkan bawahannya, "Bawa Nyonya beserta Tuan Revan ke Vila Pakas dulu, nanti kita tanyakan kembali pada Nyonya Anisa, apakah Tuan Revan jadi kita bawa pulang."Kelly kurang puas dengan instruksi Kepala Pelayan, dia memprotes, "Apa? Kalian nggak mau memeriksakan Revan ke rumah sakit sekarang? Bagaimana kalau terjadi sesuatunya padanya?"Kepala Pelayan menjawab, "Nyonya nggak perlu khawatir, tadi aku sudah memeriksanya, Tuan Revan hanya mengalami luka luar, setibanya di vila, kita akan meminta dokter di klinik sekitar sana untuk mengobatinya."Kelly mengerutkan kening sambil berkata, "Nggak bisa! Mana bisa kita percaya dengan keterampilan medis dokter di klinik desa? Nggak, Revan harus dibawa ke rumah sakit besar!"Kali ini Kepala Pelayan tidak lagi tertipu, dia berkata, "Nyonya, tolong pahami pekerjaan kami, kalau sampai Anda kabur lagi kali
Tatapan Pamela sayu, dia tidak marah, hanya sedikit kecewa, kemudian dia bertanya, "Apa dia bilang kapan akan pulang?"Adsila menggeleng, lalu menjawab, "Paman nggak bilang, aku hanya diminta untuk terus menemanimu di sini selama dia belum kembali, jangan biarkan Olivia membuatmu kesal."Pamela menjawab dengan tenang, "Oh ...."Saat ini, terdengar suara tidak senang Olivia, "Siapa yang mau membuatnya kesal? Sekarang aku sudah pasrah dan menerimanya sebagai kakak iparku, oke?"Mendengar suara Olivia, Pamela dan Adsila menatap ke arah pintu secara bersamaan ....Terlihat Olivia berjalan masuk dengan kesal sembari berkacak pinggang, "Kak Agam juga keterlaluan, seolah-olah aku ini mertua yang kejam, malah orang luar yang disuruh kemari!"Adsila menjulingkan mata, lalu berkata, "Kalau itu seharusnya kamu renungkan sendiri, dari perbuatanmu apakah wajar Paman merasa kamu lebih perlu diwaspadai daripada mertua yang kejam?"Ledekan Adsila mengingatkan Olivia akan perbuatannya pada Pamela, hal
Ketika melihat Marlon masuk, Pamela mengangkat alisnya dengan tenang.Kenapa bocah ini bisa ada di sini?Meski sempat kaget oleh penampilan Marlon, berhubung Olivia sudah punya pria idaman, dia tidak lagi terpesona oleh pemuda tampan itu. Dia menatap Marlon sambil bertanya dengan marah, "Siapa kamu? Masuk kamar Kak Pamela nggak mengetuk pintu dulu! Berani sekali kamu!"Marlon menatap Olivia sambil tersenyum, kemudian mengalihkan pandangannya ke Pamela di ranjang pasien, lalu berkata penuh arti, "Dulu aku masuk kamar tidurnya juga nggak perlu mengetuk pintu!"Mendengar kalimat itu, seketika Olivia meningkatkan kewaspadaan, dia mengamati pria itu, lalu menatap Pamela penuh selidik, kemudian bertanya, "Apa? Jangan-jangan kamu mantan pacarnya Pamela?"Marlon sengaja tersenyum ambigu, juga tidak menyangkal.Olivia langsung menanggapinya serius, dia berkacak pinggang sambil bertanya, "Pamela, bagus ya kamu! Selagi Kak Agam nggak ada, kamu mengajak mantanmu berkencan! Kamu masih mau sama kaka
Pamela membalas, "Aku 'kan sudah bilang, aku baik-baik saja! Kenapa kamu sendirian? Mana Ariel?"Berdasarkan pemahaman Pamela terhadap kedua anak muda tersebut, seharusnya mereka tidak mungkin datang sendirian di situasi seperti ini.Marlon tersenyum, "Ariel dan lainnya sedang membelikan cemilan kesukaanmu, toko cemilan itu ramai sekali, harus mengantre. Aku 'kan nggak suka mengantri, jadi datang duluan," jawabnya.Lainnya ....Selain Ariel ada yang lain?"Ariel mengantre dengan siapa?" tanya Pamela.Adsila menuangkan segelas air dan mengantarkannya pada Marlon, "Pak, silakan minum dulu," katanya."Hm, terima kasih," sahut Marlon sembari menerima gelas dengan anggun sambil menjawab pertanyaan Pamela, "Dengan pacarku!"Kata "pacar" menancap di hati Adsila bagaikan jarum, mengira dirinya salah dengar, dia mengangkat kepalanya menatap Marlon dengan rasa tak percaya ....Sementara Marlon bahkan tidak meliriknya, dia hanya tersenyum manis menatap Pamela sambil berkata, "Seharusnya sebentar
Marlon memegangi keningnya, menghela napas dengan narsis dan mengasihani dirinya sendiri, "Bos, itu sangat sulit. Kamu 'kan tahu bagaimana pesonaku! Kalau nggak membuatnya sakit hati, mana mungkin dia akan menyerah?"Pamela menjulingkan matanya sambil memarahi, "Aku 'kan sudah memperingatkanmu sejak awal, jangan main-main dengan gadis budak cinta, mereka nggak akan sanggup, mudah berpikiran bodoh, kamu nggak mau mendengarkan!"Marlon menjawab dengan cemberut, "Baiklah, aku salah! Lain kali nggak akan lagi!"Pamela mendengus, tidak ingin mengacuhkannya.Di kamar pasien, Marlon melihat ke sekeliling, lalu bertanya dengan penasaran, "Bos, mana suamimu? Kenapa nggak menemanimu di sini?"Pamela menatap ke langit di luar jendela, "Dia ada urusan, pagi-pagi sekali sudah berangkat dinas," jawabnya.Marlon mengeluh, "Kamu masih rawat inap di rumah sakit, sebagai suamimu, dia masih kepikiran mau dinas? Sebenarnya di hatinya ada kamu, nggak?Kening Pamela berkerut semakin erat, dia mengabaikan Ma
Adsila takut Olivia membuat masalah karena salah paham dengan hubungan Pamela dan Marlon, jadi dia menjawab pertanyaannya, "Dia itu Pak Marlon, Wakil Direktur Perusahaan Vasant, dia sudah lama bersahabat baik dengan Kak Pamela."Olivia mengerutkan dahi kebingungan, "Apa? Pamela dan Wakil Direktur Perusahaan Vasant bersahabat baik? Bukannya Pamela dari pedesaan? Dengan latar belakangnya, bagaimana mungkin dia bisa mengenal Wakil Direktur Perusahaan Vasant?"Adsila memutar matanya, "Memang tepat mengataimu berpikiran dangkal, pahlawan itu nggak mengenal asal usul, tahu? Kenapa kalau dia dari desa? Bukankah Paman juga jatuh cinta setengah mati padanya? Kenapa dia nggak mungkin punya teman sekelas Direktur perusahaan?"Perasaan Olivia sangat rumit, ternyata sejak awal Pamela punya teman konglomerat dengan status seperti itu, tapi tidak pernah memamerkannya, sepertinya pemahamannya terhadap Pamela kurang dalam ...."Pria tadi lumayan tampan, kenapa Pamela nggak sama dia saja, untuk apa mend