Wajah pucat akibat tangis yang tak kunjung mereda, membuat Miracle tampak begitu kacau. Tatapan matanya kosong dengan pikirannya menerawang ke depan. Beberapa jam lalu, dia baru saja melangsungkan pernikahan dengan calon suami dari saudara kembarnya sendiri. Nasib sial datang dihidup Miracle kala saudara kembarnya melarikan diri dari pesta pernikahan, membuat dirinya dipaksa untuk menikah dengan pria yang tidak pernah dia kenal sebelumnya.Ya, hidup Miracle seolah telah berhenti di sini. Menikah adalah hal yang diimpikan semua wanita. Namun, pernikahan ini bukanlah pernikahan miliknya. Jika saja Miracle tahu akan seperti ini, Miracle tidak akan pernah datang ke pernikahan saudara kembarnya. Andai waktu bisa diputar, Miracle akan memilih menghindar. Sekarang, dirinya telah terjebak dalam sebuah ikatan pernikahan yang tidak pernah dia inginkan.Miracle menyeka air matanya yang membasahi pelupuk matanya itu. Dia ingin melarikan diri, tapi dia tentu tidak bisa melakukan itu semua. Jika di
Mateo terdiam sesaat melihat berkas yang ada di tangan Miracle. Raut wajah dingin dan sorot mata yang tajam, menatap Miracle. “Bukalah, baca dokumen yang ada di tanganmu itu dan pelajari isinya.”Kening Miracle berkerut. Dia tampak semakin tidak mengerti dengan apa yang dimaksud oleh Mateo. Perlahan Miracle mulai bangkit berdiri. Dia masih memegang kuat berkas perjanjian itu. “Bisa kau jelaskan apa maksud ini?”“Aku akan menjelaskan jika kau sudah membacanya.” Mateo berucap dengan tegas. Sorot mata yang terpancar sifat arogantnya itu, menatap Miracle dingin.Miracle diam. Dia masih tidak mengerti. Namun, tidak mungkin dia kembali mendesak Mateo untuk menjelaskannya. Dengan pelan, Miracle mulai membuka berkas itu. Tiba-tiba, raut wajahnya berubah kala membaca lembar pertama yang ada di perjanjian itu. Iris mata birunya menajam. Terlihat amarah disertai kebingungan di sana.Pihak Pertama : Mateo De LucaPihak Kedua : Miracle GeovanPihak pertama akan menghidupi pihak ke
Miracle menggeliat, mengerjap dan menyipitkan matanya saat sinar matahari menembus jendela, menyentuh wajanya. Sesaat Miracle memijat pelan pelipisnya ketika dia merasakan sedikit pusing. Dia mengedarkan pandangannya, menatap sekelilingnya. Seketika raut wajahnya langsung berubah saat dia menyadari dirinya berada di kamar pengantin.“Tadi malam pasti aku ketiduran,” gerutu Miracle seraya menatap tubuhnya sendiri—dia mendesah panjang mendapati gaun pengantin masih terbalut ditubuhnya. Bahkan sisa riasan masih melekat di wajahnya. Rambutnya yang dia yakin sudah tidak tahu lagi bagaimana bentuknya. Dia mengingat tadi malam, dirinya tertidur hingga dia tidak mengganti gaun dan menghapus riasan di wajahnya. Terdengar suara perut Miracle yang berbunyi. Dia langsung mendengkus, tentu saja dia kelaparan karena sejak tadi malam, dia tidak menyentuh makanan yang dihidangkan pelayan. Dia langsung beranjak dan menuju ruang makan. Namun langkahnya terhenti melihat Mateo sudah lebih dulu berada d
Mateo duduk di kursi kebesarannya seraya menyesap wine yang berada di tangannya. Pikirannya tidak lagi berpikir jernih. Dia baru saja merasakan kebahagaian saat Selena melarikan diri dari pernikahan, tapi dalam hitungan detik kebahagiannya harus lenyap kala Miracle, saudara kembar Selena menggantikan Selena yang melarikan diri. Andai saja, Miracle tidak menggantikan Selena, hidupnya sudah pasti akan jauh lebih baik dan terbebas dari paksaan keluarganya.Suara interkom terdengar membuat Mateo langsung mengalihkan pandangannya pada telepon yang terus berdering. Sesaat dia mengembuskan napas kasar kala ada yang mengganggunya. Ingin sekali dirinya lepas dari tanggung jawab sialan ini. Ya, menjadi anak satu-satunya dan pewaris De Luca Group membuat Mateo tidak memiliki pilihan lain untuk mengambil alih tanggung jawab perusahaan.Dengan terpaksa, dan raut wajah yang begitu datar dan dingin Mateo menekan tombol hijau untuk memerima panggilan. “Ada apa? Kenapa kau menggangguku?” serunya saat
“Aku sudah meminta asistenmu memindahkan barang-barangmu yang ada di Roma. Jadi kau tidak perlu kembali ke sana,” ujar Mateo begitu santai, sontak membuat Miracle terkejut.“Kau memindahkan barang-barangku? Apa hakmu memindahkan semua barang-barangku di Roma tanpa persetujuan dariku?” Suara Miracle berseru, dan tatapan yang kian menajam. Rahangnya mengetat. Sementara Mateo hanya memilih duduk di kursi kerjanya seraya mengisap rokoknya dan mengabaikan perkataan Miracle.“Kenapa kau harus marah? Apa yang aku lakukan adalah hal yang benar. Aku membantumu memindahkan barang-barangmu di Roma. Lagi pula, ini bukan sepenuhnya keinginanku, tapi ayahmu berpesan padaku untuk segera meminta anak buahku memindahkan barang-barangmu. So, it’s not a big deal,” ucap Mateo mengembuskan asap rokok ke udara. Dia mengambil botol wine yang ada di hadapannya dan menuangkan ke gelas sloki di tangannya dan menyesapnya perlahan.Miracle menggeram penuh rasa kesal. Tatapan matanya kian menajam pada Mateo yang
Dorr … Dorr …“Good job, Miracle. Kau memang hebat,” Miracle tersenyum puas kala tembakannya tidak meleset pada papan. Sejak dulu Miracle selalu diajarkan oleh sang ayah untuk menjaga dirinya sendiri. Setiap hari Miracle selalu berlatih menembak dan menggunakan pisau. Lama tinggal di Roma sendiri, membuatnya harus mampu melindungi dirinya. Meski banyak pengawal yang menjaganya, tapi Miracle selalu waspada demi kebaikannya.Miracle berbalik, dia hendak mengambil minuman yang terletak di atas meja. Namun, langkahnya terhenti kala melihat sosok pria berdiri tegap dan terus menatapnya dengan begitu lekat. “Mateo? Kau sudah pulang? Sejak kapan kau di sini?” tanyanya terkejut melihat Mateo berada di hadapannya. Pasalnya, tidak biasanya pria itu pulang lebih awal. Bahkan hampir setiap harinya Mateo selalu pulang larut malam.“Hari ini aku pulang lebih awal,” jawab Mateo dingin dengan raut wajah datar. Dia melangkah mendekat ke arah Miracle seraya melanjutkan perkataanya, “Siapa yang mengajar
“Miracle, ini adalah makanan kesukaan Mateo. Nanti, Mommy akan mengajarkanmu lagi. Sekarang kau dan Mateo makanlah.” Orina memberikan Ossobuco pada Miracle dan Mateo untiuk segera memakan makanan yang dia buat.Sebelumnya Orina sudah mengajarkan membuat makanan kesukaan Mateo. Hanya saja, terlihat wajah Miracle yang tampak begitu enggan. Bagaimana tidak? Miracle memang tidak hebat dalam memasak. Selama ini, dia tidak memiliki waktu untuk belajar memasak.“Ya, Mom,” jawab Miracle dengan raut wajah yang terpaksa. Tidak ada jawaban selain ‘Ya’, dia tak mungkin mengutarakan isi hatinya yang tak ingin membuatkan makanan untuk Mateo.“Jika kau lemah dalam memasak, lebih baik kau tidak perlu melakukannya,” sambung Mateo dingin, tanpa melihat ke arah Miracle.Miracle mendengus tak suka. “Kau ini memangnya tahu apa? Lihat saja, nanti aku akan membuktikan masakanku!” Mateo mengangkat bahu acuh, tak acuh. Dia tidak memedulikan perkataan Miracle. Pria tampan itu memilih menikmati Ossobuco yang
“Miracle?” Mateo menjauhkan wajahnya, menatap Miracle yang berada dibawahnya. Seketika dia terkejut melihat Miracle yang memejamkan mata. Dengan panik, Mateo menepuk pelan pipi Miracle, tapi wanita itu tetap juga tidak sadar.Hingga kemudian, tatapan Mateo teralih pada kepala Miracle yang mulai meneteskan darah. Wajahnya semakin panik melihat darah yang menetes di kepala Miracle. Pria tampan itu langsung menutup luka Miracle dengan tangannya, guna menghentikan darah yang keluar.“Shit! Buka matamu, Miracle!” Mateo kembali berusaha membangunkan Miracle, tapi wanita itu tetap memejamkan matanya dengan keadaan wajah yang semakin pucat. “Mateo, ada apa dengan Miracle?” tanya Orina menghampiri, dengan raut wajah yang dilingkupi rasa panik.“Dia terluka. Minta pelayan panggilkan dokter.” Mateo bangkit berdiri seraya membopong tubuh Miracle dengan gaya bridal menuju kamar.Orina yang sangat panik mendengar Miracle terluka, langsung meminta pelayan untuk memanggil dokter keluarga De Luca. W
Paris, Prancis. Beberapa bulan kemudian… “Marcel… Moses… Jangan berlari terlalu kencang. Kasihan kakakmu.” Suara Miracle berseru pada kedua putra kembarnya yang terus berlari kencang. “Sayang. Kau tidak perlu khawatir. Anak buahku selalu mengikuti anak kita. Lebih baik kita duduk.” Mateo menarik tangan Miracle, mengajaknya untuk duduk seraya menikmati keindahan kota Paris. Musim semi salah satu musim yang terbaik. Cuaca dingin yang menyejukan. Miracle mengembuskan napas kasar. “Marcel dan Moses itu sering sekali berlari-lari. Aku tidak ingin mereka terjatuh, Sayang. Ditambah mereka mengajak Michaela berlari,” ujarnya kala sudah duduk di samping sang suami. “Marcel dan Moses pasti akan menjaga kakak mereka. Aku ingin memberikan mereka tanggung jawab menjaga Michaela. Sebagai anak laki-laki, mereka harus melindungi kakak perempuan mereka,” ujar Mateo menjelaskan. Miracle mencoba mengerti. Dia menyandarkan kepalanya di dada bidang sang suami. Memeluk suaminya itu dengan erat. “Mate
“Mommy….” Suara bocah laki-laki dan perempuan berlari menghampiri Charlotte yang tengah menata foto-foto di ruang keluarga. Charlotte langsung mengalihkan pandangannya kala mendengar suara yang begitu dia kenal. Seketika senyuman di wajah Charlotte terukir melihat kedua anaknya melangkah mendekat padanya. Charlotte segera memberikan pelukan hangat pada kedua anaknya itu. “Sayang, kalian sudah pulang.” Charlotte bersimpuh, mensejajarkan tubuhnya pada kedua anaknya itu. Dia tersenyum hangat melihat kedua anaknya yang masih lengkap dengan seragam sekolah. “Bagaimana hari kalian di sekolah? Apa menyenangkan?” tanyanya dengan tatapan kelembutan seorang ibu dan tersirat penuh kasih sayang. Austin Geovan Romano dan Carmella Geovan Romano adalah anak kembar Charlotte dan Arsen. Sungguh, Charlotte tidak menyangka akan memiliki anak kembar laki-laki dan perempuan. Persis seperti dirinya dan Kelvin yang kembar. Kehidupan Charlotte dan Arsen kini benar-benar sempurna. Kehadiran buah cinta mere
Lima tahun kemudian… “Mommy….” Dua anak laki-laki berusia empat tahun berlari menghampiri Mirale yang tengah menata bunga-bunga di taman megah mansionnya itu. Miracle mengalihkan pandangannya kala mendengar suara kedua putranya. Benar saja. Kedua putranya itu tengah berlari menghampirinya. Miracle langsung menundukan tubuhnya, memeluk erat kedua putranya itu. “Sayang… Kalian sudah pulang? Mommy pikir kalian masih menginap di rumah Grandpa dan Grandma,” ujar Miracle seraya mengurai pelukannya dan mengelus lembut pipi kedua putranya itu.Ya, Imanuel Marcellino Geovan De Luca dan Imanuel Moses Geovan De Luca adalah kedua anak laki-laki kembar Mateo dan Miracle. Kehamilan kedua, Miracle mengandung bayi laki-laki kembar. Namun, Moses dan Marcel tidak kembar indentik. Keduanya memiliki wajah yang berbeda. Sama seperti Miracle dan Selena yang tidak kembar identik. “Kami sudah pulang, Mommy. Tadi sopir mengantar kami. Daddy bilang katanya hari ini kita akan makan diluar bersama,” ujar Mar
Katedral Milano, Milan, Italia. “Sayang… Ayo berfoto lagi. Aku ingin kita memiliki banyak foto bersama,” seru Charlotte dengan riang. Tampak raut wajahnya begitu bahagia. Arsen menghela napas panjang. “Sayang, apa kau tidak lelah? Fotografer sudah memotret ratusan foto kita hari ini. Nanti juga kau pasti hanya memajang dinding hanya beberapa saja. Tidak semuanya,” katanya yang mulai kesal. Bibir Charlotte tertekuk. Dia mengusap perut Charlotte yang membuncit itu. “Ini keinginan anak kita, Sayang. Kau tega tidak menuruti keinginan anak kita?” Arsen berdecak kesal. Semua keinginan istrinya itu selalu saja mengatas namakan keinginan anak mereka. Kandungan Charlotte memasuki minggu ke tiga puluh lima. Tepatnya hari ini Charlotte ingin melakukan fotoshoot dengan Arsen. Mengingat perut Charlotte kini sudah semakin membesar, tentu saja Charlotte ingin mengabadikan moment itu. Namun, bayangkan saja Charlotte tidak pernah lelah sedikit pun. Sudah banyak mereka berpindah-pindah tempat di M
“Sayang… Lapar, ya? Anak Mommy yang cantik pintar sekali.” Miracle berucap lembut pada putri kecilnya seraya memberikan ASI pada putri kecilnya itu. “Michaela, Namamu sangat indah. Daddy-mu memang yang terbaik. Dia memberikan nama yang indah untukmu, Nak.” Miracle tengah duduk di sofa kamar seraya memberikan ASI untuk putri kecilnya. Saat itu, Kini Miracle dan Mateo telah pindah ke mansion baru mereka yang megah. Seperti apa yang direncanakan oleh Miracle, bahwa mereka akan pindah jika sudah melahirkan. Saat ini usia Michaela sudah tiga bulan. Waktu berjalan begitu cepat. Miracle seperti baru saja melahirkan putri kecilnya. Namun, kenyataan putrinya ini sudah berusia tiga bulan. Tubuh Michaela gemuk. Kulit putih. Rambut cokelat tebal. Ditambah mata biru, membuat Michaela seperti boneka barbie hidup. Setiap harinya Michaela begitu menggemaskan. Tingkah-tingkah gemas Michaela membuat Mateo dan Miracle selalu dipenuhi tawa setiap harinya. Banyak orang mengatakan seorang putri akan jau
Huee…. Huee….Charlotte memuntahkan semua isi perutnya ke wastafel. Kepalanya memberat. Pandangannya sedikit buram. Charlotte memutar keran wastafel, lalu membasuh mulutnya dengan air bersih. Sesaat Charlotte memijat pelipisnya kala rasa sakit di kepalanya begitu menyerang. “Astaga, kenapa aku pusing sekali seperti ini. Ada apa denganku.” Charlotte bergumam pelan. “Sudahlah lebih baik aku istirahat saja.” Charlotte melangkah keluar dari kamar mandi, tetapi tatapannya teralih pada suara pintu terbuka. Seketika mata Charlotte tampak terkejut melihat Arsen yang membuka pintu kamar. Padahal tadi baru saja suaminya itu berpamitan untuk berangkat ke kantor. “Arsen? Kenapa kau kembali?” Charlotte hendak mendekat. Namun pandangan Charlotte semakin buram. Rasa sakit dikepalanya begitu menyerang. Tiba-tiba tubuh Charlotte tidak seimbang. Tepat di saat Charlotte terjatuh, Arsen langsung menangkap tubuhnya. “Sayang kau kenapa?” Arsen menjadi panik saat menangkap tubuh Charlotte yang hampir te
Di ruang persalinan, suasana begitu mencekam. Suara jeritan dan rintihan sakit Miracle membuat Mateo semakin panik. Berkali-kali Mateo membiarkan istrinya itu menggigit lengannya dan menarik rambutnya hanya demi sang istri bisa mengurangi rasa sakitnya. Sekitar satu jam lalu dokter baru saja memeriksa Miracle. Sang dokter mengatakan harus menunggu sebentar karena kepala bayi masih belum terlihat. Mateo sudah menawarkan Miracle untuk melakukan proses persalinan dengan operasi sesar. Sayangnya Miracle menolak itu dengan tegas. Miracle berkali-kali menekankan pada Mateo bahwa ingin melahirkan secara normal. Well… Keras kepala Miracle membuat jantung Mateo ingin berhenti. Bagaimana tidak? Sudah cukup lama mereka di rumah sakit tapi dokter masih memgatakan harus menunggu. Sedangkan Mateo tidak tega melihat Miracle yang sejak tadi merintih kesakitan. “Mateo…” Miracle menatap sang suami dengan wajah yang masih pucat. “Iya, Sayang. Aku di sini. Bertahanlah.” Mateo menghapus keringat sang
Kandungan Miracle mulai memasuki tiga puluh delapan minggu. Perutnya kian membesar. Mateo sudah melarang Miracle berpergian. Hari demi hari, Miracle lewati dengan bersantai di rumah. Atau kalau pun bosan, biasa Miracle menonton film di rumah dan emminta Charlotte untuk menemaninya. Miracle sungguh bersyukur karena di Milan tidak tinggal seorang diri. Ada Charlotte—sepupunya yang selalu menemani dirinya. Seperti saat ini, Miracle pun tengah duduk di sofa empuk kamarnya sembari menonton film action kesukaannya. Tadi pagi Mateo mengatakan akan pulang terlambat hari ini. Mengingat banyaknya tanggung jawab Mateo, membuat Miracle paling tidak mengerti. Lagi pula Miracle pun masih belum merasakan apa apa. Terakhir saat konsultasi dengan dokter, kandungan Miracle sehat dan baik-baik saja. Kelahiran bayinya diperkirakan baru minggu depan. Itu kenapa Miracle masih duduk bersantai di rumah. “Ah, kenapa wanita itu lemah sekali. Harusnya dia menghajarnya dari sisi kiri. Gunakan pisaumu dengan b
Miracle melihat sebuah gaun indah berwarna merah yang sangat cantik. Baru saja anak buah suaminya mengantarkan gaun untuknya. Gaun yang tepat untuk wanita hamil. Bagian perut terlihat longgar, membuat Miracle yakin dirinya akan merasa nyaman. Jujur, Miracle masih bingung ke mana Mateo akan membawanya. Biasanya kalau ada jamuan makan malam maka suaminya itu akan mengatakan padanya. Namun kenyataannya Mateo tidak mengatakan apa pun. Membuat dirinya benar-benar semakin penasaran. Miracle menghela napas panjang. Dia mengalihkan pandangannya ke jam dinding—waktu menunjukan pukul lima sore. Sudah waktunya, dia untuk bersiap-siap. Kini Miracle memilih untuk merias wajahnya. Semenjak hamil, Miracle memang menyukai bersolek. Bahkan kemampuan Miracle dalam merias wajah sangatlah hebat. Seperti saat ini, nyatanya Miracle begitu hebat merias wajahnya dengan riasan bold. Dia memadukan make up bold dengan gaun warna merah yang diantarkan oleh anak buah suaminya itu. Setelah selesai berias, Mira