Miracle menggeliat, mengerjap dan menyipitkan matanya saat sinar matahari menembus jendela, menyentuh wajanya. Sesaat Miracle memijat pelan pelipisnya ketika dia merasakan sedikit pusing. Dia mengedarkan pandangannya, menatap sekelilingnya. Seketika raut wajahnya langsung berubah saat dia menyadari dirinya berada di kamar pengantin.
“Tadi malam pasti aku ketiduran,” gerutu Miracle seraya menatap tubuhnya sendiri—dia mendesah panjang mendapati gaun pengantin masih terbalut ditubuhnya. Bahkan sisa riasan masih melekat di wajahnya. Rambutnya yang dia yakin sudah tidak tahu lagi bagaimana bentuknya. Dia mengingat tadi malam, dirinya tertidur hingga dia tidak mengganti gaun dan menghapus riasan di wajahnya.
Terdengar suara perut Miracle yang berbunyi. Dia langsung mendengkus, tentu saja dia kelaparan karena sejak tadi malam, dia tidak menyentuh makanan yang dihidangkan pelayan. Dia langsung beranjak dan menuju ruang makan. Namun langkahnya terhenti melihat Mateo sudah lebih dulu berada di ruang makan. Ingin rasanya dia pergi, tapi dia tidak mungkin melakukan itu. Perutnya sudah berbunyi. Dia tidak bisa lagi menahan laparnya. Dengan raut wajah datar dan dingin, Miracle mendekat dan menarik kursi, lalu duduk di samping Mateo—yang meliriknya sekilas.
“Miracle.” Mateo memanggil Miracle dengan nada dingin, dan raut wajah tanpa ekspresi.
“Ada apa?” jawab Miracle ketus, tanpa mau melihat ke arah Mateo.
“Hari ini aku akan pulang malam. Jika orang tuaku menghubungimu, katakan padanya aku tidak bisa meninggalkan pekerjaanku,” Mateo bekata dengan nada datar. Bukan hanya Miracle yang tidak melihat ke arahnya, tapi dia juga tidak mau menatap ke arah wanita itu. Meski wanita itu duduk di sampingnya, dia memilih hanya melirik sekilas, dan tidak lagi menatapnya.
“Lebih bagus kalau kau tidak pulang,” jawab Miracle ketus.
Sudut bibir Mateo terangkat, membentuk senyuman kala mendengar perkataan pedas Miracle. Pria tampan itu mengambil cangkir yang berisikan kopi, lalu disesapnya perlahan. “Aku juga ingin tidak pulang, tapi, kau tentu tahu kita baru menikah. Media akan terus mencari tahu tentang kehidupan kita. Aku tidak ingin masuk ke dalam pemberitaan itu.”
Miracle mengembuskan napas panjang. Menikah dengan sosok pria seperti Mateo De Luca, membuat hidupnya mau tidak mau harus berhadapan dengan paparazzi yang diam-diam mengusik pribadinya. Sejak dulu, Miracle selalu menghindar dari pemberitaan media yang mencari tahu tentang dirinya. Itu kenapa Miracle menempuh pendidikan di Roma dan jauh dari keluarganya yang menetap di Toronto.
Lahir dari keluarga terpandang, membuat Miracle bosan. Dia lelah harus menjadi incaran para media. Dulu Miracle pikir, setelah dirinya menikah, dia akan bebas dari media yang ingin tahu tentang kehidupan pribadinya. Namun nyatanya itu salah. Tepat di mana dirinya menggantikan saudara kembarnya dalam pernikahan, dia semakin menjadi pusat pemberitaan di media.
Bahkan hingga detik ini, Miracle tidak berani membuka social media karena begitu banyak yang membicarakan dirinya. Bukan hanya social media, tapi Miracle tidak menghidupkan ponselnya, menghindari telepon dari teman-temannya.
“Sebelum aku berangkat, aku ingatkan padamu jangan mencari masalah. Sekarang kau adalah istriku. Aku tidak akan pernah mengusik kehidupanmu. Nama belakangmu sudah berganti dengan nama keluargaku. Jangan mencari masalah yang membuatku malu. Aku tidak akan pernah mentolerasi sedikit pun masalah yang kau buat.” Mateo berucap tegas dengan nada penuh peringatan.
“Kau tidak perlu mengancamku. Aku bukan wanita bodoh,” jawab Miracle dingin dan membuang wajahnya tidak mau menatap Mateo yang mengajaknya bicara. “Lagi pula jika aku bisa, aku kan memilih membuang nama keluargamu dari nama belakangku,” lanjutnya sarkas.
Mateo tersenyum sinis mendengar jawab dari Miracle. Rupanya wanita itu telah memasang taring, membentengi dirinya agar tampak tidak lemah. Namun, sayangnya Mateo tidak memedulikan apa perkataan Miracle. Bagi Mateo, wanita itu akan tetap berada di bawah kendalinya.
“Terserah apa yang kau katakan.” Mateo membalas ucapan Miracle dengan dingin. Dia beranjak dari tempat duduknya, lalu mengambil kunci mobil yang ada di atas meja seraya melanjutkan perkataannya, “Aku berangkat.”
Miracle tidak menjawab. Dia masih membuang wajahnya, tidak mau menatap Mateo. Sementara Mateo, dia sendiri langsung melangkah keluar dari ruang makan, tanpa melihat ke arah Miracle.
“Pria sialan,” umpat Miracle kesal kala Mateo sudah pergi. “Aku berharap kau tidak perlu lagi pulang selamanya!”
Miracle mengembuskan napas kasar. Dia mengatur dirinya meredakan kekesalan pada Mateo. Sepertinya dia harus menerima mimpi buruk ini. Sebab setiap harinya, dia harus dihadapakan dengan wajah Mateo yang menyebalkan itu.
Miracle sudah tidak lagi menafsu makan. Dia meletakan perlengkapan makan ke atas meja. Dia beranjak dan memilih melangkahkan kakinya, menuju taman belakang. Udara yang cerah, membuat Miracle menginginkan menenangkan pikiran yang telah mengganggunya itu. Dia mulai lelah, kesialan datang dihidupnya bertubi-tubi sejak dirinya datang ke Milan.
Saat Miracle hendak melangkah menuju taman belakang, tanpa sengaja tatapannya teralih ke sebuah ruangan di ujung saja. Ruangan yang tampak berbeda dari ruangan yang ada di dalam mansion ini. Miracle mengerutkan keningnya, harusnya tidak ada gudang yang berada di sekitar sini. Gudang berada di luar ruang utama.
“Ruangan apa itu?” gumam Miracle yang tampak berpikir. Dia ingin mengabaikan ruangan itu, tapi rasa penasarannya membuat dirinya berjalan mendekat ke ruangan itu dan membuka kenop pintu. Namun tiba-tiba…
“Nyonya jangan,” Seorang pelayan berteriak cukup keras, kala Miracle hendak membuka kamar itu.
Miracle terkejut, dia mengalihkan pandangannya pada pelayan yang berteriak padanya. “Kenapa kau melarangku masuk? Aku hanya ingin melihat ini ruangan apa,” jawabnya dingin, dan tatapan yang tajam.
“Nyonya, maaf.” Pelayan itu segera menghampiri Miracle dan menundukkan kepalanya. “Tuan Mateo tidak mengizinkan satu orang pun masuk ke dalam kamar itu. Saya mohon, Nyonya jangan masuk ke sana. Anda boleh mengunjungi tempat lain, tapi tidak dengan kamar itu, Nyonya. Jika Tuan Mateo tahu, beliau akan marah besar,” lanjutnya dengan nada begitu ketakutan.
Kening Miracle berkerut. Dia menatap bingung pelayan yang berdiri di hadapannya. “Kenapa hanya kamar ini yang tidak boleh aku lihat? Apa yang Mateo sembunyikan di kamar ini?” tanyanya dengan nada sedikit mendesak agar pelayan memberitahunya. Rasa penasaran dalam dirinya semakin kuat.
“Nyonya, lebih baik Anda segera menjauh dari kamar ini. Area kamar ini banyak CCTV, Nyonya. Bisa saja Tuan Mateo saat ini sedang melihat Anda,” jawab sang pelayan dengan gugup dan takut.
Miracle terdiam sesaat, dia tampak berpikir ketika sang pelayan mati-matian melarang dirinya masuk ke dalam ruangan ini. ‘Apa yang disembunyikan Mateo di dalam?’ batinnya seraya menatap pintu ruangan itu dengan lekat.
Mateo duduk di kursi kebesarannya seraya menyesap wine yang berada di tangannya. Pikirannya tidak lagi berpikir jernih. Dia baru saja merasakan kebahagaian saat Selena melarikan diri dari pernikahan, tapi dalam hitungan detik kebahagiannya harus lenyap kala Miracle, saudara kembar Selena menggantikan Selena yang melarikan diri. Andai saja, Miracle tidak menggantikan Selena, hidupnya sudah pasti akan jauh lebih baik dan terbebas dari paksaan keluarganya.Suara interkom terdengar membuat Mateo langsung mengalihkan pandangannya pada telepon yang terus berdering. Sesaat dia mengembuskan napas kasar kala ada yang mengganggunya. Ingin sekali dirinya lepas dari tanggung jawab sialan ini. Ya, menjadi anak satu-satunya dan pewaris De Luca Group membuat Mateo tidak memiliki pilihan lain untuk mengambil alih tanggung jawab perusahaan.Dengan terpaksa, dan raut wajah yang begitu datar dan dingin Mateo menekan tombol hijau untuk memerima panggilan. “Ada apa? Kenapa kau menggangguku?” serunya saat
“Aku sudah meminta asistenmu memindahkan barang-barangmu yang ada di Roma. Jadi kau tidak perlu kembali ke sana,” ujar Mateo begitu santai, sontak membuat Miracle terkejut.“Kau memindahkan barang-barangku? Apa hakmu memindahkan semua barang-barangku di Roma tanpa persetujuan dariku?” Suara Miracle berseru, dan tatapan yang kian menajam. Rahangnya mengetat. Sementara Mateo hanya memilih duduk di kursi kerjanya seraya mengisap rokoknya dan mengabaikan perkataan Miracle.“Kenapa kau harus marah? Apa yang aku lakukan adalah hal yang benar. Aku membantumu memindahkan barang-barangmu di Roma. Lagi pula, ini bukan sepenuhnya keinginanku, tapi ayahmu berpesan padaku untuk segera meminta anak buahku memindahkan barang-barangmu. So, it’s not a big deal,” ucap Mateo mengembuskan asap rokok ke udara. Dia mengambil botol wine yang ada di hadapannya dan menuangkan ke gelas sloki di tangannya dan menyesapnya perlahan.Miracle menggeram penuh rasa kesal. Tatapan matanya kian menajam pada Mateo yang
Dorr … Dorr …“Good job, Miracle. Kau memang hebat,” Miracle tersenyum puas kala tembakannya tidak meleset pada papan. Sejak dulu Miracle selalu diajarkan oleh sang ayah untuk menjaga dirinya sendiri. Setiap hari Miracle selalu berlatih menembak dan menggunakan pisau. Lama tinggal di Roma sendiri, membuatnya harus mampu melindungi dirinya. Meski banyak pengawal yang menjaganya, tapi Miracle selalu waspada demi kebaikannya.Miracle berbalik, dia hendak mengambil minuman yang terletak di atas meja. Namun, langkahnya terhenti kala melihat sosok pria berdiri tegap dan terus menatapnya dengan begitu lekat. “Mateo? Kau sudah pulang? Sejak kapan kau di sini?” tanyanya terkejut melihat Mateo berada di hadapannya. Pasalnya, tidak biasanya pria itu pulang lebih awal. Bahkan hampir setiap harinya Mateo selalu pulang larut malam.“Hari ini aku pulang lebih awal,” jawab Mateo dingin dengan raut wajah datar. Dia melangkah mendekat ke arah Miracle seraya melanjutkan perkataanya, “Siapa yang mengajar
“Miracle, ini adalah makanan kesukaan Mateo. Nanti, Mommy akan mengajarkanmu lagi. Sekarang kau dan Mateo makanlah.” Orina memberikan Ossobuco pada Miracle dan Mateo untiuk segera memakan makanan yang dia buat.Sebelumnya Orina sudah mengajarkan membuat makanan kesukaan Mateo. Hanya saja, terlihat wajah Miracle yang tampak begitu enggan. Bagaimana tidak? Miracle memang tidak hebat dalam memasak. Selama ini, dia tidak memiliki waktu untuk belajar memasak.“Ya, Mom,” jawab Miracle dengan raut wajah yang terpaksa. Tidak ada jawaban selain ‘Ya’, dia tak mungkin mengutarakan isi hatinya yang tak ingin membuatkan makanan untuk Mateo.“Jika kau lemah dalam memasak, lebih baik kau tidak perlu melakukannya,” sambung Mateo dingin, tanpa melihat ke arah Miracle.Miracle mendengus tak suka. “Kau ini memangnya tahu apa? Lihat saja, nanti aku akan membuktikan masakanku!” Mateo mengangkat bahu acuh, tak acuh. Dia tidak memedulikan perkataan Miracle. Pria tampan itu memilih menikmati Ossobuco yang
“Miracle?” Mateo menjauhkan wajahnya, menatap Miracle yang berada dibawahnya. Seketika dia terkejut melihat Miracle yang memejamkan mata. Dengan panik, Mateo menepuk pelan pipi Miracle, tapi wanita itu tetap juga tidak sadar.Hingga kemudian, tatapan Mateo teralih pada kepala Miracle yang mulai meneteskan darah. Wajahnya semakin panik melihat darah yang menetes di kepala Miracle. Pria tampan itu langsung menutup luka Miracle dengan tangannya, guna menghentikan darah yang keluar.“Shit! Buka matamu, Miracle!” Mateo kembali berusaha membangunkan Miracle, tapi wanita itu tetap memejamkan matanya dengan keadaan wajah yang semakin pucat. “Mateo, ada apa dengan Miracle?” tanya Orina menghampiri, dengan raut wajah yang dilingkupi rasa panik.“Dia terluka. Minta pelayan panggilkan dokter.” Mateo bangkit berdiri seraya membopong tubuh Miracle dengan gaya bridal menuju kamar.Orina yang sangat panik mendengar Miracle terluka, langsung meminta pelayan untuk memanggil dokter keluarga De Luca. W
Suara dering ponsel terdengar. Miracle yang tengah tertidur pulas harus terbangun karena dering ponselnya tak kunjung berhenti. Wanita cantik mengumpat kasar kala ponselnya mengganggu tidurnya. Padahal dia masih ingin beristirahat. Dalam keadaan kesal, dia menyambar ponselnya dan langsung menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan—tanpa lebih dulu melihat ke layar.“Halo?” jawab Miracle dengan nada begitu kesal saat panggilan terhubung.“Miracle! Katakan pada penjagamu berikan aku masuk ke dalam rumahmu! Kurang ajar sekali penjagamu itu tidak memberikan akses untukku masuk! Cepat aku tidak tahan menunggu lama seperti ini!” Suara seorang wanita begitu nyaring dari seberang line yang sontak membuat Miracle terkejut. Miracle langsung menjauhkan ponselnya dari telinganya, lalu menatap ke layar ponselnya itu. Seketika dia menghembuskan napas kasar kala nama Charlotte, sepupunya muncul di layar ponselnya. Pantas saja dia begitu mengenali suara nyaring itu. Dia kembali meletakan ponsel
Mateo mengisap rokoknya dengan kuat dan mengembuskan asapnya keudara. Suara interkom masuk membuat Mateo yang bersantai langsung mengalihkan pandangannya pada telepon yang tak kunjung berhenti.Mateo membuang napas kasar. Dia paling membenci ada yang mengganggunya ketika sedang bersantai. Dengan raut wajah kesal, Mateo menekan tombol hijau untuk menerima panggilan dan menjawab dingin, “Kenapa kau menggangguku?”“Tuan Maaf, saya hanya ingin memberi tahu, Tuan Arsen datang ingin bertemu dengan anda,” ujar Gustav, sang asisten dari seberang line. “Untuk apa dia ke sini? Katakan padanya aku sibuk!”“Tapi, Tuan, Anda tentu tahu Tuan Arsen tidak akan mungkin pergi jika belum bertemu dengan Anda.” Mateo berdecak seraya mengumpat dalam hati. Arsen, sahabatnya mengganggu di waktu yang tidak tepat. Dia ingin bersantai sejenak, tapi malah harus mendapatkan gangguan.“Fine, suruh dia masuk, tapi katakan padanya, aku tidak memiliki banyak waktu!” Mateo langsung menutup panggilan secara sepihak.
Wajah pucat akibat tangis yang tak kunjung mereda, membuat Miracle tampak begitu kacau. Tatapan matanya kosong dengan pikirannya menerawang ke depan. Beberapa jam lalu, dia baru saja melangsungkan pernikahan dengan calon suami dari saudara kembarnya sendiri. Nasib sial datang dihidup Miracle kala saudara kembarnya melarikan diri dari pesta pernikahan, membuat dirinya dipaksa untuk menikah dengan pria yang tidak pernah dia kenal sebelumnya.Ya, hidup Miracle seolah telah berhenti di sini. Menikah adalah hal yang diimpikan semua wanita. Namun, pernikahan ini bukanlah pernikahan miliknya. Jika saja Miracle tahu akan seperti ini, Miracle tidak akan pernah datang ke pernikahan saudara kembarnya. Andai waktu bisa diputar, Miracle akan memilih menghindar. Sekarang, dirinya telah terjebak dalam sebuah ikatan pernikahan yang tidak pernah dia inginkan.Miracle menyeka air matanya yang membasahi pelupuk matanya itu. Dia ingin melarikan diri, tapi dia tentu tidak bisa melakukan itu semua. Jika di