“Aku sudah meminta asistenmu memindahkan barang-barangmu yang ada di Roma. Jadi kau tidak perlu kembali ke sana,” ujar Mateo begitu santai, sontak membuat Miracle terkejut.
“Kau memindahkan barang-barangku? Apa hakmu memindahkan semua barang-barangku di Roma tanpa persetujuan dariku?” Suara Miracle berseru, dan tatapan yang kian menajam. Rahangnya mengetat. Sementara Mateo hanya memilih duduk di kursi kerjanya seraya mengisap rokoknya dan mengabaikan perkataan Miracle.
“Kenapa kau harus marah? Apa yang aku lakukan adalah hal yang benar. Aku membantumu memindahkan barang-barangmu di Roma. Lagi pula, ini bukan sepenuhnya keinginanku, tapi ayahmu berpesan padaku untuk segera meminta anak buahku memindahkan barang-barangmu. So, it’s not a big deal,” ucap Mateo mengembuskan asap rokok ke udara. Dia mengambil botol wine yang ada di hadapannya dan menuangkan ke gelas sloki di tangannya dan menyesapnya perlahan.
Miracle menggeram penuh rasa kesal. Tatapan matanya kian menajam pada Mateo yang tampak begitu santai dan tidak bersalah. Dia terus mengumpat kasar dalam hatinya. Dia sudah menduga, pasti ayahnya meminta Mateo untuk memindahkan barang-barangnya. Meski sudah menduga ini akan terjadi, tapi Miracle tidak menyangka bisa secepat ini.
Sial, kali ini Miracle kalah cepat. Padahal jika dia kembali ke Roma, dia akan sedikit menenangkan pikiranya. Menikah adalah hal yang tidak pernah Miracle sangka dalam hidupnya. Bukan tidak ingin, tapi dia tidak menyangka menikah secepat ini. Itu kenapa dia ingin sekali menenangkan pikiranya. Namun, jika sudah seperti ini, dia bisa apa? Miracle mengatur napasnya, berusaha meredakan amarah dalam dirinya. Percuma saja kalaupun dia marah karena semuanya sudah terjadi.
“Mateo, kau benar-benar pria yang menyebalkan! Apa yang selama ini tertulis di media mengenai dirimu hanya omong kosong! Kau adalah pria yang menyebalkan yang pernah aku temui! Aku membencimu!” Miracle meluapkan apa yang ada di hatinya. Lantas, dia turun dari meja seraya menyambar tasnya, dan hendak melangkahkan kakinya meninggalkan ruang kerja Mateo.
“Jadi, selama ini kau memperhatikanku lewat media?” Senyuman samar di bibir Mateo terukir kala mendengar perkataan Miracle. Tatapannya menatap Miracle penuh intimidasi. “Atau jangan-jangan, kau menggantikan saudara kembarmu karena memang kau menginginkan menikah denganku?”
Perkataan Mateo sukses membuat langkah Miracle terhenti. Wanita cantik itu langsung membalikkan tubuhnya, menatap Mateo dengan tatapan dingin. “Aku hanya tidak sengaja melihat berita tentang dirimu! Kau ini percaya diri sekali!”
“Percaya diri?” Mateo beranjak dari tepat duduknya, dia melangkah mendekat ke arah Miracle yang masih tidak bergeming dari tempatnya. “Jika kau tidak menyukaiku, maka kau tidak perlu repot melihat berita itu. Tapi kau terlihat memperhatikan berita mengenai diriku. Bisa jadi kau menggantikan saudara kembarmu karena memang kau menginginkannya,”
Miracle mendengkus tak suka. Dia mengumpat dalam hati. Pria di hadapannya ini begitu percaya diri. Miracle bersumpah, pria di hadapannya ini adalah pria yang paling menyebalkan dihidupnya. “Memangnya kau pikir kau siapa hingga membuatku harus menyukaimu? Kau itu Percaya diri sekali! Dengarkan aku baik-baik, Mateo De Luca … Aku tidak pernah menyukaimu! Meski hanya sedikit tidak akan pernah! Satu lagi, aku menggantikan Selena karena untuk menyelamatkan nama keluargaku. Sudahlah, aku mau pulang. Terserah kau mau mengatakan apa. Aku tidak peduli pada apa yang kau ucapkan!”
Tanpa lagi berkata, Miracle langsung berjalan meninggalkan ruang kerja Mateo. Terlihat wajah Miracle yang masih begitu kesal. Sejak awal Miracle tidak pernah memiliki perasaan apa pun pada Mateo. Dia hanya melihat di berita mengenai Mateo, itupun tidak disengaja. Sungguh, jika saja ini bukan kantor, Miracle sudah pasti menendang Mateo. Sayangnya, Miracle tidak ingin membuat keributan di perusahan pria itu.
Mateo menyeringai melihat punggung Miracle yang mulai menghilang dari pandangannya. Bahkan dia masih terus membayangi wajah kesal Miracle. Tepat setelah Miracle pergi, Mateo kembali duduk di kursi kerjanya seraya menyandarkan punggungnya. Dia hanya sedikit menggoda Miracle karena wanita itu membaca berita mengenai dirinya, tapi respon dari wanita itu, langsung marah padanya.
Suara ketukan pintu terdengar, Mateo membuang napas kasar kala ada yang mengganggunya. Meski kesal karena ada yang mengganggunya, dia tetap menginterupsi untuk masuk.
“Tuan Mateo,” sapa Gustav, asisten Mateo menundukkan kepalanya kala tiba di hadapan Mateo.
“Ada apa kau ke sini?” tanya Mateo dingin.
“Tuan, apa Tuan hari ini akan mengunjungi Nona Heera?” tanya Gustav hati-hati.
Mateo terdiam kala mendengar pertanyaan Gustav. Seketika raut wajahnya berubah. Tampak iris matanya terlihat penuh dengan kerinduan bersamaan dengan kepedihan yang mendalam. Pandangan Mateo berubah menjadi kosong dan menerawang ke depan.
“Aku sudah lama tidak mengunjungi Heera. Sejak mengurus pernikahanku, aku sampai lupa pada Heera. Dia pasti marah dan memebenciku saat ini karena mengabaikannya.” Mateo mejeda, dia mengembuskan napas kasar seraya melanjutkan perkataanya, “Jika saja Miracle tidak menggantikan posisi saudara kembarnya, aku pasti tidak harus terjebak dalam pernikahan ini.”
“Tuan, tapi menurut saya Nyonya Miracle sosok wanita yang tepat bersanding dengan Snda. Saya mendengar dia begitu mandiri di Roma. Nyonya Miracle mampu mendirikan perusahaannya sendiri tanpa bantuan ayahnya. Tidak hanya itu, tapi Nyonya Miracle memiliki prestasi yang hebat dalam pendidikan. Dengan semua yang dimiliki Nyonya Miracle, dia adalah wanita yang sangat pantas bersanding dengan anda, Tuan,” ujar Gustav memberi pendapat.
“Aku tidak pernah peduli tentang Miracle. Apa pun mengenai dirinya tidak akan membuatku tertarik sedikit pun,” jawab Mateo dingin dengan raut wajah datar.
“Tuan, tapi bagaimanapun Nyonya Miracle adalah istri Anda. Apa Anda tidak ingin belajar untuk mencintai Nyonya Miracle?” tanya Gustav hati-hati.
“Aku tidak mungkin mencintai wanita lain,” jawab Mateo dengan suara yang begitu dingin dan tajam. “Hanya akan ada satu wanita yang aku cintai, dan kau sangat tahu itu, Gustav. Lebih baik kau pergi dan jangan lagi membahas tentang Miracle. Aku tidak ingin kau kembali membahas tentangnya. Aku dan Miracle menikah hanya karena keadaan terpaksa. Meski dia istriku, tapi dia tidak memiliki hak apapun," lanjutnya menegaskan.
“Maaf, Tuan. Kalau begitu saya permisi.” Gustav menundukkan kepalanya, pamit undur diri dari hadapan Mateo.
Mateo kembali menyandarkan punggungnya di kursi seraya memejamkan mata lelah. Dia tidak pernah peduli dengan apa pun hal yang menyangkut Miracle. Detik selanjutnya, tatapan Mateo teralih pada laci di mejanya yang tidak tertutup rapat. Dia membuka laci itu—dan seketika senyuman di wajahnya terlukis melihat bingkai foto dari seorang wanita yang sangat cantik baginya.
“Aku sangat merindukanmu,” bisik Mateo seraya mengecup bingkai foto wanita cantik itu. “Tidak akan ada yang bisa menggantikanmu. Pegang janjiku,” lanjutnya lagi dengan tatapan menatap bingkai foto itu penuh cinta dan kerinduan mendalam.
Dorr … Dorr …“Good job, Miracle. Kau memang hebat,” Miracle tersenyum puas kala tembakannya tidak meleset pada papan. Sejak dulu Miracle selalu diajarkan oleh sang ayah untuk menjaga dirinya sendiri. Setiap hari Miracle selalu berlatih menembak dan menggunakan pisau. Lama tinggal di Roma sendiri, membuatnya harus mampu melindungi dirinya. Meski banyak pengawal yang menjaganya, tapi Miracle selalu waspada demi kebaikannya.Miracle berbalik, dia hendak mengambil minuman yang terletak di atas meja. Namun, langkahnya terhenti kala melihat sosok pria berdiri tegap dan terus menatapnya dengan begitu lekat. “Mateo? Kau sudah pulang? Sejak kapan kau di sini?” tanyanya terkejut melihat Mateo berada di hadapannya. Pasalnya, tidak biasanya pria itu pulang lebih awal. Bahkan hampir setiap harinya Mateo selalu pulang larut malam.“Hari ini aku pulang lebih awal,” jawab Mateo dingin dengan raut wajah datar. Dia melangkah mendekat ke arah Miracle seraya melanjutkan perkataanya, “Siapa yang mengajar
“Miracle, ini adalah makanan kesukaan Mateo. Nanti, Mommy akan mengajarkanmu lagi. Sekarang kau dan Mateo makanlah.” Orina memberikan Ossobuco pada Miracle dan Mateo untiuk segera memakan makanan yang dia buat.Sebelumnya Orina sudah mengajarkan membuat makanan kesukaan Mateo. Hanya saja, terlihat wajah Miracle yang tampak begitu enggan. Bagaimana tidak? Miracle memang tidak hebat dalam memasak. Selama ini, dia tidak memiliki waktu untuk belajar memasak.“Ya, Mom,” jawab Miracle dengan raut wajah yang terpaksa. Tidak ada jawaban selain ‘Ya’, dia tak mungkin mengutarakan isi hatinya yang tak ingin membuatkan makanan untuk Mateo.“Jika kau lemah dalam memasak, lebih baik kau tidak perlu melakukannya,” sambung Mateo dingin, tanpa melihat ke arah Miracle.Miracle mendengus tak suka. “Kau ini memangnya tahu apa? Lihat saja, nanti aku akan membuktikan masakanku!” Mateo mengangkat bahu acuh, tak acuh. Dia tidak memedulikan perkataan Miracle. Pria tampan itu memilih menikmati Ossobuco yang
“Miracle?” Mateo menjauhkan wajahnya, menatap Miracle yang berada dibawahnya. Seketika dia terkejut melihat Miracle yang memejamkan mata. Dengan panik, Mateo menepuk pelan pipi Miracle, tapi wanita itu tetap juga tidak sadar.Hingga kemudian, tatapan Mateo teralih pada kepala Miracle yang mulai meneteskan darah. Wajahnya semakin panik melihat darah yang menetes di kepala Miracle. Pria tampan itu langsung menutup luka Miracle dengan tangannya, guna menghentikan darah yang keluar.“Shit! Buka matamu, Miracle!” Mateo kembali berusaha membangunkan Miracle, tapi wanita itu tetap memejamkan matanya dengan keadaan wajah yang semakin pucat. “Mateo, ada apa dengan Miracle?” tanya Orina menghampiri, dengan raut wajah yang dilingkupi rasa panik.“Dia terluka. Minta pelayan panggilkan dokter.” Mateo bangkit berdiri seraya membopong tubuh Miracle dengan gaya bridal menuju kamar.Orina yang sangat panik mendengar Miracle terluka, langsung meminta pelayan untuk memanggil dokter keluarga De Luca. W
Suara dering ponsel terdengar. Miracle yang tengah tertidur pulas harus terbangun karena dering ponselnya tak kunjung berhenti. Wanita cantik mengumpat kasar kala ponselnya mengganggu tidurnya. Padahal dia masih ingin beristirahat. Dalam keadaan kesal, dia menyambar ponselnya dan langsung menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan—tanpa lebih dulu melihat ke layar.“Halo?” jawab Miracle dengan nada begitu kesal saat panggilan terhubung.“Miracle! Katakan pada penjagamu berikan aku masuk ke dalam rumahmu! Kurang ajar sekali penjagamu itu tidak memberikan akses untukku masuk! Cepat aku tidak tahan menunggu lama seperti ini!” Suara seorang wanita begitu nyaring dari seberang line yang sontak membuat Miracle terkejut. Miracle langsung menjauhkan ponselnya dari telinganya, lalu menatap ke layar ponselnya itu. Seketika dia menghembuskan napas kasar kala nama Charlotte, sepupunya muncul di layar ponselnya. Pantas saja dia begitu mengenali suara nyaring itu. Dia kembali meletakan ponsel
Mateo mengisap rokoknya dengan kuat dan mengembuskan asapnya keudara. Suara interkom masuk membuat Mateo yang bersantai langsung mengalihkan pandangannya pada telepon yang tak kunjung berhenti.Mateo membuang napas kasar. Dia paling membenci ada yang mengganggunya ketika sedang bersantai. Dengan raut wajah kesal, Mateo menekan tombol hijau untuk menerima panggilan dan menjawab dingin, “Kenapa kau menggangguku?”“Tuan Maaf, saya hanya ingin memberi tahu, Tuan Arsen datang ingin bertemu dengan anda,” ujar Gustav, sang asisten dari seberang line. “Untuk apa dia ke sini? Katakan padanya aku sibuk!”“Tapi, Tuan, Anda tentu tahu Tuan Arsen tidak akan mungkin pergi jika belum bertemu dengan Anda.” Mateo berdecak seraya mengumpat dalam hati. Arsen, sahabatnya mengganggu di waktu yang tidak tepat. Dia ingin bersantai sejenak, tapi malah harus mendapatkan gangguan.“Fine, suruh dia masuk, tapi katakan padanya, aku tidak memiliki banyak waktu!” Mateo langsung menutup panggilan secara sepihak.
Miracle berjalan dengan pelan di taman belakang rumah. Sesekali dia berputar memastikan rasa sakit di kakinya sudah tidak lagi ada. Tiga hari belakangan Miracle selalu berlatih berjalan. Dia tidak pernah lagi bergantung dengan kursi roda. Beruntung pemulihan kakinya jauh lebih cepat dari perkiraan Dokter. Setidaknya, Miracle sudah lebih bebas dan tidak memerlukan bantuan pelayan.“Nyonya,” Seorang pelayan melangkah mendekat ke arah Miracle.“Ya, ada apa?” Miracle menatap pelayan yang berdiri di hadapannya.“Nyonya, maaf mengganggu Anda, tapi di depan ada Nona Esme. Beliau designer yang diminta oleh Tuan Mateo bertemu dengan Anda, Nyonya,” ujar sang pelayan memberi tahu.Miracle menghela nepas dalam. “Undangan makan malamnya malam ini, tapi designer-nya baru datang sekarang. Bagaimana kalau gaunnya tidak cocok untukku?”Miracle tak mengerti dengan jalan pikiran Mateo. Undangan makan malam akan diadakan malam ini, tapi malah perancang busana baru datang sekarang. Hal yang menjadi masala
“Arsen? Kenapa kau hanya sendiri?” Mateo langsung bertanya pada Arsen, sahabatnya, yang melangkah menghampirinya. Ya, yang memanggil Mateo adalah Arsen.“Well, kau tenang saja. Nanti aku akan mengenalkannya padamu,” jawab Arsen santai, lalu tatapannya teralih pada sosok wanita cantik yang berdiri di samping Mateo. “Kau pasti Miracle,” tebaknya sangat yakin.Miracle tersenyum anggun, dan mengangguk. “Ya, aku Miracle. Senang bertemu dengamu, Tuan.”“Kau bisa memanggilku Arsen. Aku sahabat Mateo sejak kecil,” jawab Arsen yang juga tersenyum. “Aku tidak menyangka wajahmu jauh lebih cantik, dari pada foto.”“Thanks, Arsen,” balas Miracle hangat. “Lebih baik kita masuk ke dalam,” ajak Arsen pada Mateo dan Miracle.Mateo mengangguk singkat, setuju dengan ucapan Arsen.“Mateo, tunggu.” Miracle mencegah Mateo untuk masuk ke dalam.“Ada apa?” tanya Mateo dingin seraya menatap Miracle.Miracle sedikit berjinjit, membisikkan sesuatu di telinga Mateo, “Aku ingin ke toilet sebentar.”“Ingin aku a
Suara ketukan pintu terdengar membuat Miracle yang tertidur pulas harus terbangun. Dengan raut wajah kesal, Miracle langsung memerintahkan orang yang mengetuk pintu untuk masuk. Tak selang lama, seorang pelayan melangkah masuk ke dalam kamar Miracle.“Selamat pagi, Nyonya Miracle,” sapa seorang pelayan seraya menundukkan kepalanya di hadapan Miracle.Miracle membuka matanya, mengalihkan pandangannya pada pelayan yang sudah berdiri di hadapannya. “Ada apa kau sepagi ini sudah menggangguku? Aku masih mengantuk!”“Maaf, saya mengganggu Anda, Nyonya. Tapi Tuan Meteo meminta saya untuk memanggil Anda untuk sarapan,” jawab sang pelayan hati-hati.Miracle membuang napas kasar. “Dia belum berangkat ke kantor?”Sang pelayan menggelengkan kepalanya. “Belum, Nyonya. Tuan Mateo belum berangkat ke kantor.”Miracle mendengkus tak suka. Padahal dia berharap Mateo sudah berangkat bekerja. Jadi, pagi ini dia tak harus bertemu dengannya. Sungguh! Miracle masih kesal pada Mateo karena kejadian tadi mala
Paris, Prancis. Beberapa bulan kemudian… “Marcel… Moses… Jangan berlari terlalu kencang. Kasihan kakakmu.” Suara Miracle berseru pada kedua putra kembarnya yang terus berlari kencang. “Sayang. Kau tidak perlu khawatir. Anak buahku selalu mengikuti anak kita. Lebih baik kita duduk.” Mateo menarik tangan Miracle, mengajaknya untuk duduk seraya menikmati keindahan kota Paris. Musim semi salah satu musim yang terbaik. Cuaca dingin yang menyejukan. Miracle mengembuskan napas kasar. “Marcel dan Moses itu sering sekali berlari-lari. Aku tidak ingin mereka terjatuh, Sayang. Ditambah mereka mengajak Michaela berlari,” ujarnya kala sudah duduk di samping sang suami. “Marcel dan Moses pasti akan menjaga kakak mereka. Aku ingin memberikan mereka tanggung jawab menjaga Michaela. Sebagai anak laki-laki, mereka harus melindungi kakak perempuan mereka,” ujar Mateo menjelaskan. Miracle mencoba mengerti. Dia menyandarkan kepalanya di dada bidang sang suami. Memeluk suaminya itu dengan erat. “Mate
“Mommy….” Suara bocah laki-laki dan perempuan berlari menghampiri Charlotte yang tengah menata foto-foto di ruang keluarga. Charlotte langsung mengalihkan pandangannya kala mendengar suara yang begitu dia kenal. Seketika senyuman di wajah Charlotte terukir melihat kedua anaknya melangkah mendekat padanya. Charlotte segera memberikan pelukan hangat pada kedua anaknya itu. “Sayang, kalian sudah pulang.” Charlotte bersimpuh, mensejajarkan tubuhnya pada kedua anaknya itu. Dia tersenyum hangat melihat kedua anaknya yang masih lengkap dengan seragam sekolah. “Bagaimana hari kalian di sekolah? Apa menyenangkan?” tanyanya dengan tatapan kelembutan seorang ibu dan tersirat penuh kasih sayang. Austin Geovan Romano dan Carmella Geovan Romano adalah anak kembar Charlotte dan Arsen. Sungguh, Charlotte tidak menyangka akan memiliki anak kembar laki-laki dan perempuan. Persis seperti dirinya dan Kelvin yang kembar. Kehidupan Charlotte dan Arsen kini benar-benar sempurna. Kehadiran buah cinta mere
Lima tahun kemudian… “Mommy….” Dua anak laki-laki berusia empat tahun berlari menghampiri Mirale yang tengah menata bunga-bunga di taman megah mansionnya itu. Miracle mengalihkan pandangannya kala mendengar suara kedua putranya. Benar saja. Kedua putranya itu tengah berlari menghampirinya. Miracle langsung menundukan tubuhnya, memeluk erat kedua putranya itu. “Sayang… Kalian sudah pulang? Mommy pikir kalian masih menginap di rumah Grandpa dan Grandma,” ujar Miracle seraya mengurai pelukannya dan mengelus lembut pipi kedua putranya itu.Ya, Imanuel Marcellino Geovan De Luca dan Imanuel Moses Geovan De Luca adalah kedua anak laki-laki kembar Mateo dan Miracle. Kehamilan kedua, Miracle mengandung bayi laki-laki kembar. Namun, Moses dan Marcel tidak kembar indentik. Keduanya memiliki wajah yang berbeda. Sama seperti Miracle dan Selena yang tidak kembar identik. “Kami sudah pulang, Mommy. Tadi sopir mengantar kami. Daddy bilang katanya hari ini kita akan makan diluar bersama,” ujar Mar
Katedral Milano, Milan, Italia. “Sayang… Ayo berfoto lagi. Aku ingin kita memiliki banyak foto bersama,” seru Charlotte dengan riang. Tampak raut wajahnya begitu bahagia. Arsen menghela napas panjang. “Sayang, apa kau tidak lelah? Fotografer sudah memotret ratusan foto kita hari ini. Nanti juga kau pasti hanya memajang dinding hanya beberapa saja. Tidak semuanya,” katanya yang mulai kesal. Bibir Charlotte tertekuk. Dia mengusap perut Charlotte yang membuncit itu. “Ini keinginan anak kita, Sayang. Kau tega tidak menuruti keinginan anak kita?” Arsen berdecak kesal. Semua keinginan istrinya itu selalu saja mengatas namakan keinginan anak mereka. Kandungan Charlotte memasuki minggu ke tiga puluh lima. Tepatnya hari ini Charlotte ingin melakukan fotoshoot dengan Arsen. Mengingat perut Charlotte kini sudah semakin membesar, tentu saja Charlotte ingin mengabadikan moment itu. Namun, bayangkan saja Charlotte tidak pernah lelah sedikit pun. Sudah banyak mereka berpindah-pindah tempat di M
“Sayang… Lapar, ya? Anak Mommy yang cantik pintar sekali.” Miracle berucap lembut pada putri kecilnya seraya memberikan ASI pada putri kecilnya itu. “Michaela, Namamu sangat indah. Daddy-mu memang yang terbaik. Dia memberikan nama yang indah untukmu, Nak.” Miracle tengah duduk di sofa kamar seraya memberikan ASI untuk putri kecilnya. Saat itu, Kini Miracle dan Mateo telah pindah ke mansion baru mereka yang megah. Seperti apa yang direncanakan oleh Miracle, bahwa mereka akan pindah jika sudah melahirkan. Saat ini usia Michaela sudah tiga bulan. Waktu berjalan begitu cepat. Miracle seperti baru saja melahirkan putri kecilnya. Namun, kenyataan putrinya ini sudah berusia tiga bulan. Tubuh Michaela gemuk. Kulit putih. Rambut cokelat tebal. Ditambah mata biru, membuat Michaela seperti boneka barbie hidup. Setiap harinya Michaela begitu menggemaskan. Tingkah-tingkah gemas Michaela membuat Mateo dan Miracle selalu dipenuhi tawa setiap harinya. Banyak orang mengatakan seorang putri akan jau
Huee…. Huee….Charlotte memuntahkan semua isi perutnya ke wastafel. Kepalanya memberat. Pandangannya sedikit buram. Charlotte memutar keran wastafel, lalu membasuh mulutnya dengan air bersih. Sesaat Charlotte memijat pelipisnya kala rasa sakit di kepalanya begitu menyerang. “Astaga, kenapa aku pusing sekali seperti ini. Ada apa denganku.” Charlotte bergumam pelan. “Sudahlah lebih baik aku istirahat saja.” Charlotte melangkah keluar dari kamar mandi, tetapi tatapannya teralih pada suara pintu terbuka. Seketika mata Charlotte tampak terkejut melihat Arsen yang membuka pintu kamar. Padahal tadi baru saja suaminya itu berpamitan untuk berangkat ke kantor. “Arsen? Kenapa kau kembali?” Charlotte hendak mendekat. Namun pandangan Charlotte semakin buram. Rasa sakit dikepalanya begitu menyerang. Tiba-tiba tubuh Charlotte tidak seimbang. Tepat di saat Charlotte terjatuh, Arsen langsung menangkap tubuhnya. “Sayang kau kenapa?” Arsen menjadi panik saat menangkap tubuh Charlotte yang hampir te
Di ruang persalinan, suasana begitu mencekam. Suara jeritan dan rintihan sakit Miracle membuat Mateo semakin panik. Berkali-kali Mateo membiarkan istrinya itu menggigit lengannya dan menarik rambutnya hanya demi sang istri bisa mengurangi rasa sakitnya. Sekitar satu jam lalu dokter baru saja memeriksa Miracle. Sang dokter mengatakan harus menunggu sebentar karena kepala bayi masih belum terlihat. Mateo sudah menawarkan Miracle untuk melakukan proses persalinan dengan operasi sesar. Sayangnya Miracle menolak itu dengan tegas. Miracle berkali-kali menekankan pada Mateo bahwa ingin melahirkan secara normal. Well… Keras kepala Miracle membuat jantung Mateo ingin berhenti. Bagaimana tidak? Sudah cukup lama mereka di rumah sakit tapi dokter masih memgatakan harus menunggu. Sedangkan Mateo tidak tega melihat Miracle yang sejak tadi merintih kesakitan. “Mateo…” Miracle menatap sang suami dengan wajah yang masih pucat. “Iya, Sayang. Aku di sini. Bertahanlah.” Mateo menghapus keringat sang
Kandungan Miracle mulai memasuki tiga puluh delapan minggu. Perutnya kian membesar. Mateo sudah melarang Miracle berpergian. Hari demi hari, Miracle lewati dengan bersantai di rumah. Atau kalau pun bosan, biasa Miracle menonton film di rumah dan emminta Charlotte untuk menemaninya. Miracle sungguh bersyukur karena di Milan tidak tinggal seorang diri. Ada Charlotte—sepupunya yang selalu menemani dirinya. Seperti saat ini, Miracle pun tengah duduk di sofa empuk kamarnya sembari menonton film action kesukaannya. Tadi pagi Mateo mengatakan akan pulang terlambat hari ini. Mengingat banyaknya tanggung jawab Mateo, membuat Miracle paling tidak mengerti. Lagi pula Miracle pun masih belum merasakan apa apa. Terakhir saat konsultasi dengan dokter, kandungan Miracle sehat dan baik-baik saja. Kelahiran bayinya diperkirakan baru minggu depan. Itu kenapa Miracle masih duduk bersantai di rumah. “Ah, kenapa wanita itu lemah sekali. Harusnya dia menghajarnya dari sisi kiri. Gunakan pisaumu dengan b
Miracle melihat sebuah gaun indah berwarna merah yang sangat cantik. Baru saja anak buah suaminya mengantarkan gaun untuknya. Gaun yang tepat untuk wanita hamil. Bagian perut terlihat longgar, membuat Miracle yakin dirinya akan merasa nyaman. Jujur, Miracle masih bingung ke mana Mateo akan membawanya. Biasanya kalau ada jamuan makan malam maka suaminya itu akan mengatakan padanya. Namun kenyataannya Mateo tidak mengatakan apa pun. Membuat dirinya benar-benar semakin penasaran. Miracle menghela napas panjang. Dia mengalihkan pandangannya ke jam dinding—waktu menunjukan pukul lima sore. Sudah waktunya, dia untuk bersiap-siap. Kini Miracle memilih untuk merias wajahnya. Semenjak hamil, Miracle memang menyukai bersolek. Bahkan kemampuan Miracle dalam merias wajah sangatlah hebat. Seperti saat ini, nyatanya Miracle begitu hebat merias wajahnya dengan riasan bold. Dia memadukan make up bold dengan gaun warna merah yang diantarkan oleh anak buah suaminya itu. Setelah selesai berias, Mira