“Aku sudah meminta asistenmu memindahkan barang-barangmu yang ada di Roma. Jadi kau tidak perlu kembali ke sana,” ujar Mateo begitu santai, sontak membuat Miracle terkejut.
“Kau memindahkan barang-barangku? Apa hakmu memindahkan semua barang-barangku di Roma tanpa persetujuan dariku?” Suara Miracle berseru, dan tatapan yang kian menajam. Rahangnya mengetat. Sementara Mateo hanya memilih duduk di kursi kerjanya seraya mengisap rokoknya dan mengabaikan perkataan Miracle.
“Kenapa kau harus marah? Apa yang aku lakukan adalah hal yang benar. Aku membantumu memindahkan barang-barangmu di Roma. Lagi pula, ini bukan sepenuhnya keinginanku, tapi ayahmu berpesan padaku untuk segera meminta anak buahku memindahkan barang-barangmu. So, it’s not a big deal,” ucap Mateo mengembuskan asap rokok ke udara. Dia mengambil botol wine yang ada di hadapannya dan menuangkan ke gelas sloki di tangannya dan menyesapnya perlahan.
Miracle menggeram penuh rasa kesal. Tatapan matanya kian menajam pada Mateo yang tampak begitu santai dan tidak bersalah. Dia terus mengumpat kasar dalam hatinya. Dia sudah menduga, pasti ayahnya meminta Mateo untuk memindahkan barang-barangnya. Meski sudah menduga ini akan terjadi, tapi Miracle tidak menyangka bisa secepat ini.
Sial, kali ini Miracle kalah cepat. Padahal jika dia kembali ke Roma, dia akan sedikit menenangkan pikiranya. Menikah adalah hal yang tidak pernah Miracle sangka dalam hidupnya. Bukan tidak ingin, tapi dia tidak menyangka menikah secepat ini. Itu kenapa dia ingin sekali menenangkan pikiranya. Namun, jika sudah seperti ini, dia bisa apa? Miracle mengatur napasnya, berusaha meredakan amarah dalam dirinya. Percuma saja kalaupun dia marah karena semuanya sudah terjadi.
“Mateo, kau benar-benar pria yang menyebalkan! Apa yang selama ini tertulis di media mengenai dirimu hanya omong kosong! Kau adalah pria yang menyebalkan yang pernah aku temui! Aku membencimu!” Miracle meluapkan apa yang ada di hatinya. Lantas, dia turun dari meja seraya menyambar tasnya, dan hendak melangkahkan kakinya meninggalkan ruang kerja Mateo.
“Jadi, selama ini kau memperhatikanku lewat media?” Senyuman samar di bibir Mateo terukir kala mendengar perkataan Miracle. Tatapannya menatap Miracle penuh intimidasi. “Atau jangan-jangan, kau menggantikan saudara kembarmu karena memang kau menginginkan menikah denganku?”
Perkataan Mateo sukses membuat langkah Miracle terhenti. Wanita cantik itu langsung membalikkan tubuhnya, menatap Mateo dengan tatapan dingin. “Aku hanya tidak sengaja melihat berita tentang dirimu! Kau ini percaya diri sekali!”
“Percaya diri?” Mateo beranjak dari tepat duduknya, dia melangkah mendekat ke arah Miracle yang masih tidak bergeming dari tempatnya. “Jika kau tidak menyukaiku, maka kau tidak perlu repot melihat berita itu. Tapi kau terlihat memperhatikan berita mengenai diriku. Bisa jadi kau menggantikan saudara kembarmu karena memang kau menginginkannya,”
Miracle mendengkus tak suka. Dia mengumpat dalam hati. Pria di hadapannya ini begitu percaya diri. Miracle bersumpah, pria di hadapannya ini adalah pria yang paling menyebalkan dihidupnya. “Memangnya kau pikir kau siapa hingga membuatku harus menyukaimu? Kau itu Percaya diri sekali! Dengarkan aku baik-baik, Mateo De Luca … Aku tidak pernah menyukaimu! Meski hanya sedikit tidak akan pernah! Satu lagi, aku menggantikan Selena karena untuk menyelamatkan nama keluargaku. Sudahlah, aku mau pulang. Terserah kau mau mengatakan apa. Aku tidak peduli pada apa yang kau ucapkan!”
Tanpa lagi berkata, Miracle langsung berjalan meninggalkan ruang kerja Mateo. Terlihat wajah Miracle yang masih begitu kesal. Sejak awal Miracle tidak pernah memiliki perasaan apa pun pada Mateo. Dia hanya melihat di berita mengenai Mateo, itupun tidak disengaja. Sungguh, jika saja ini bukan kantor, Miracle sudah pasti menendang Mateo. Sayangnya, Miracle tidak ingin membuat keributan di perusahan pria itu.
Mateo menyeringai melihat punggung Miracle yang mulai menghilang dari pandangannya. Bahkan dia masih terus membayangi wajah kesal Miracle. Tepat setelah Miracle pergi, Mateo kembali duduk di kursi kerjanya seraya menyandarkan punggungnya. Dia hanya sedikit menggoda Miracle karena wanita itu membaca berita mengenai dirinya, tapi respon dari wanita itu, langsung marah padanya.
Suara ketukan pintu terdengar, Mateo membuang napas kasar kala ada yang mengganggunya. Meski kesal karena ada yang mengganggunya, dia tetap menginterupsi untuk masuk.
“Tuan Mateo,” sapa Gustav, asisten Mateo menundukkan kepalanya kala tiba di hadapan Mateo.
“Ada apa kau ke sini?” tanya Mateo dingin.
“Tuan, apa Tuan hari ini akan mengunjungi Nona Heera?” tanya Gustav hati-hati.
Mateo terdiam kala mendengar pertanyaan Gustav. Seketika raut wajahnya berubah. Tampak iris matanya terlihat penuh dengan kerinduan bersamaan dengan kepedihan yang mendalam. Pandangan Mateo berubah menjadi kosong dan menerawang ke depan.
“Aku sudah lama tidak mengunjungi Heera. Sejak mengurus pernikahanku, aku sampai lupa pada Heera. Dia pasti marah dan memebenciku saat ini karena mengabaikannya.” Mateo mejeda, dia mengembuskan napas kasar seraya melanjutkan perkataanya, “Jika saja Miracle tidak menggantikan posisi saudara kembarnya, aku pasti tidak harus terjebak dalam pernikahan ini.”
“Tuan, tapi menurut saya Nyonya Miracle sosok wanita yang tepat bersanding dengan Snda. Saya mendengar dia begitu mandiri di Roma. Nyonya Miracle mampu mendirikan perusahaannya sendiri tanpa bantuan ayahnya. Tidak hanya itu, tapi Nyonya Miracle memiliki prestasi yang hebat dalam pendidikan. Dengan semua yang dimiliki Nyonya Miracle, dia adalah wanita yang sangat pantas bersanding dengan anda, Tuan,” ujar Gustav memberi pendapat.
“Aku tidak pernah peduli tentang Miracle. Apa pun mengenai dirinya tidak akan membuatku tertarik sedikit pun,” jawab Mateo dingin dengan raut wajah datar.
“Tuan, tapi bagaimanapun Nyonya Miracle adalah istri Anda. Apa Anda tidak ingin belajar untuk mencintai Nyonya Miracle?” tanya Gustav hati-hati.
“Aku tidak mungkin mencintai wanita lain,” jawab Mateo dengan suara yang begitu dingin dan tajam. “Hanya akan ada satu wanita yang aku cintai, dan kau sangat tahu itu, Gustav. Lebih baik kau pergi dan jangan lagi membahas tentang Miracle. Aku tidak ingin kau kembali membahas tentangnya. Aku dan Miracle menikah hanya karena keadaan terpaksa. Meski dia istriku, tapi dia tidak memiliki hak apapun," lanjutnya menegaskan.
“Maaf, Tuan. Kalau begitu saya permisi.” Gustav menundukkan kepalanya, pamit undur diri dari hadapan Mateo.
Mateo kembali menyandarkan punggungnya di kursi seraya memejamkan mata lelah. Dia tidak pernah peduli dengan apa pun hal yang menyangkut Miracle. Detik selanjutnya, tatapan Mateo teralih pada laci di mejanya yang tidak tertutup rapat. Dia membuka laci itu—dan seketika senyuman di wajahnya terlukis melihat bingkai foto dari seorang wanita yang sangat cantik baginya.
“Aku sangat merindukanmu,” bisik Mateo seraya mengecup bingkai foto wanita cantik itu. “Tidak akan ada yang bisa menggantikanmu. Pegang janjiku,” lanjutnya lagi dengan tatapan menatap bingkai foto itu penuh cinta dan kerinduan mendalam.
Dorr … Dorr …“Good job, Miracle. Kau memang hebat,” Miracle tersenyum puas kala tembakannya tidak meleset pada papan. Sejak dulu Miracle selalu diajarkan oleh sang ayah untuk menjaga dirinya sendiri. Setiap hari Miracle selalu berlatih menembak dan menggunakan pisau. Lama tinggal di Roma sendiri, membuatnya harus mampu melindungi dirinya. Meski banyak pengawal yang menjaganya, tapi Miracle selalu waspada demi kebaikannya.Miracle berbalik, dia hendak mengambil minuman yang terletak di atas meja. Namun, langkahnya terhenti kala melihat sosok pria berdiri tegap dan terus menatapnya dengan begitu lekat. “Mateo? Kau sudah pulang? Sejak kapan kau di sini?” tanyanya terkejut melihat Mateo berada di hadapannya. Pasalnya, tidak biasanya pria itu pulang lebih awal. Bahkan hampir setiap harinya Mateo selalu pulang larut malam.“Hari ini aku pulang lebih awal,” jawab Mateo dingin dengan raut wajah datar. Dia melangkah mendekat ke arah Miracle seraya melanjutkan perkataanya, “Siapa yang mengajar
“Miracle, ini adalah makanan kesukaan Mateo. Nanti, Mommy akan mengajarkanmu lagi. Sekarang kau dan Mateo makanlah.” Orina memberikan Ossobuco pada Miracle dan Mateo untiuk segera memakan makanan yang dia buat.Sebelumnya Orina sudah mengajarkan membuat makanan kesukaan Mateo. Hanya saja, terlihat wajah Miracle yang tampak begitu enggan. Bagaimana tidak? Miracle memang tidak hebat dalam memasak. Selama ini, dia tidak memiliki waktu untuk belajar memasak.“Ya, Mom,” jawab Miracle dengan raut wajah yang terpaksa. Tidak ada jawaban selain ‘Ya’, dia tak mungkin mengutarakan isi hatinya yang tak ingin membuatkan makanan untuk Mateo.“Jika kau lemah dalam memasak, lebih baik kau tidak perlu melakukannya,” sambung Mateo dingin, tanpa melihat ke arah Miracle.Miracle mendengus tak suka. “Kau ini memangnya tahu apa? Lihat saja, nanti aku akan membuktikan masakanku!” Mateo mengangkat bahu acuh, tak acuh. Dia tidak memedulikan perkataan Miracle. Pria tampan itu memilih menikmati Ossobuco yang
“Miracle?” Mateo menjauhkan wajahnya, menatap Miracle yang berada dibawahnya. Seketika dia terkejut melihat Miracle yang memejamkan mata. Dengan panik, Mateo menepuk pelan pipi Miracle, tapi wanita itu tetap juga tidak sadar.Hingga kemudian, tatapan Mateo teralih pada kepala Miracle yang mulai meneteskan darah. Wajahnya semakin panik melihat darah yang menetes di kepala Miracle. Pria tampan itu langsung menutup luka Miracle dengan tangannya, guna menghentikan darah yang keluar.“Shit! Buka matamu, Miracle!” Mateo kembali berusaha membangunkan Miracle, tapi wanita itu tetap memejamkan matanya dengan keadaan wajah yang semakin pucat. “Mateo, ada apa dengan Miracle?” tanya Orina menghampiri, dengan raut wajah yang dilingkupi rasa panik.“Dia terluka. Minta pelayan panggilkan dokter.” Mateo bangkit berdiri seraya membopong tubuh Miracle dengan gaya bridal menuju kamar.Orina yang sangat panik mendengar Miracle terluka, langsung meminta pelayan untuk memanggil dokter keluarga De Luca. W
Suara dering ponsel terdengar. Miracle yang tengah tertidur pulas harus terbangun karena dering ponselnya tak kunjung berhenti. Wanita cantik mengumpat kasar kala ponselnya mengganggu tidurnya. Padahal dia masih ingin beristirahat. Dalam keadaan kesal, dia menyambar ponselnya dan langsung menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan—tanpa lebih dulu melihat ke layar.“Halo?” jawab Miracle dengan nada begitu kesal saat panggilan terhubung.“Miracle! Katakan pada penjagamu berikan aku masuk ke dalam rumahmu! Kurang ajar sekali penjagamu itu tidak memberikan akses untukku masuk! Cepat aku tidak tahan menunggu lama seperti ini!” Suara seorang wanita begitu nyaring dari seberang line yang sontak membuat Miracle terkejut. Miracle langsung menjauhkan ponselnya dari telinganya, lalu menatap ke layar ponselnya itu. Seketika dia menghembuskan napas kasar kala nama Charlotte, sepupunya muncul di layar ponselnya. Pantas saja dia begitu mengenali suara nyaring itu. Dia kembali meletakan ponsel
Mateo mengisap rokoknya dengan kuat dan mengembuskan asapnya keudara. Suara interkom masuk membuat Mateo yang bersantai langsung mengalihkan pandangannya pada telepon yang tak kunjung berhenti.Mateo membuang napas kasar. Dia paling membenci ada yang mengganggunya ketika sedang bersantai. Dengan raut wajah kesal, Mateo menekan tombol hijau untuk menerima panggilan dan menjawab dingin, “Kenapa kau menggangguku?”“Tuan Maaf, saya hanya ingin memberi tahu, Tuan Arsen datang ingin bertemu dengan anda,” ujar Gustav, sang asisten dari seberang line. “Untuk apa dia ke sini? Katakan padanya aku sibuk!”“Tapi, Tuan, Anda tentu tahu Tuan Arsen tidak akan mungkin pergi jika belum bertemu dengan Anda.” Mateo berdecak seraya mengumpat dalam hati. Arsen, sahabatnya mengganggu di waktu yang tidak tepat. Dia ingin bersantai sejenak, tapi malah harus mendapatkan gangguan.“Fine, suruh dia masuk, tapi katakan padanya, aku tidak memiliki banyak waktu!” Mateo langsung menutup panggilan secara sepihak.
Wajah pucat akibat tangis yang tak kunjung mereda, membuat Miracle tampak begitu kacau. Tatapan matanya kosong dengan pikirannya menerawang ke depan. Beberapa jam lalu, dia baru saja melangsungkan pernikahan dengan calon suami dari saudara kembarnya sendiri. Nasib sial datang dihidup Miracle kala saudara kembarnya melarikan diri dari pesta pernikahan, membuat dirinya dipaksa untuk menikah dengan pria yang tidak pernah dia kenal sebelumnya.Ya, hidup Miracle seolah telah berhenti di sini. Menikah adalah hal yang diimpikan semua wanita. Namun, pernikahan ini bukanlah pernikahan miliknya. Jika saja Miracle tahu akan seperti ini, Miracle tidak akan pernah datang ke pernikahan saudara kembarnya. Andai waktu bisa diputar, Miracle akan memilih menghindar. Sekarang, dirinya telah terjebak dalam sebuah ikatan pernikahan yang tidak pernah dia inginkan.Miracle menyeka air matanya yang membasahi pelupuk matanya itu. Dia ingin melarikan diri, tapi dia tentu tidak bisa melakukan itu semua. Jika di
Mateo terdiam sesaat melihat berkas yang ada di tangan Miracle. Raut wajah dingin dan sorot mata yang tajam, menatap Miracle. “Bukalah, baca dokumen yang ada di tanganmu itu dan pelajari isinya.”Kening Miracle berkerut. Dia tampak semakin tidak mengerti dengan apa yang dimaksud oleh Mateo. Perlahan Miracle mulai bangkit berdiri. Dia masih memegang kuat berkas perjanjian itu. “Bisa kau jelaskan apa maksud ini?”“Aku akan menjelaskan jika kau sudah membacanya.” Mateo berucap dengan tegas. Sorot mata yang terpancar sifat arogantnya itu, menatap Miracle dingin.Miracle diam. Dia masih tidak mengerti. Namun, tidak mungkin dia kembali mendesak Mateo untuk menjelaskannya. Dengan pelan, Miracle mulai membuka berkas itu. Tiba-tiba, raut wajahnya berubah kala membaca lembar pertama yang ada di perjanjian itu. Iris mata birunya menajam. Terlihat amarah disertai kebingungan di sana.Pihak Pertama : Mateo De LucaPihak Kedua : Miracle GeovanPihak pertama akan menghidupi pihak ke
Miracle menggeliat, mengerjap dan menyipitkan matanya saat sinar matahari menembus jendela, menyentuh wajanya. Sesaat Miracle memijat pelan pelipisnya ketika dia merasakan sedikit pusing. Dia mengedarkan pandangannya, menatap sekelilingnya. Seketika raut wajahnya langsung berubah saat dia menyadari dirinya berada di kamar pengantin.“Tadi malam pasti aku ketiduran,” gerutu Miracle seraya menatap tubuhnya sendiri—dia mendesah panjang mendapati gaun pengantin masih terbalut ditubuhnya. Bahkan sisa riasan masih melekat di wajahnya. Rambutnya yang dia yakin sudah tidak tahu lagi bagaimana bentuknya. Dia mengingat tadi malam, dirinya tertidur hingga dia tidak mengganti gaun dan menghapus riasan di wajahnya. Terdengar suara perut Miracle yang berbunyi. Dia langsung mendengkus, tentu saja dia kelaparan karena sejak tadi malam, dia tidak menyentuh makanan yang dihidangkan pelayan. Dia langsung beranjak dan menuju ruang makan. Namun langkahnya terhenti melihat Mateo sudah lebih dulu berada d