Mateo mengisap rokoknya dengan kuat dan mengembuskan asapnya keudara. Suara interkom masuk membuat Mateo yang bersantai langsung mengalihkan pandangannya pada telepon yang tak kunjung berhenti.Mateo membuang napas kasar. Dia paling membenci ada yang mengganggunya ketika sedang bersantai. Dengan raut wajah kesal, Mateo menekan tombol hijau untuk menerima panggilan dan menjawab dingin, “Kenapa kau menggangguku?”“Tuan Maaf, saya hanya ingin memberi tahu, Tuan Arsen datang ingin bertemu dengan anda,” ujar Gustav, sang asisten dari seberang line. “Untuk apa dia ke sini? Katakan padanya aku sibuk!”“Tapi, Tuan, Anda tentu tahu Tuan Arsen tidak akan mungkin pergi jika belum bertemu dengan Anda.” Mateo berdecak seraya mengumpat dalam hati. Arsen, sahabatnya mengganggu di waktu yang tidak tepat. Dia ingin bersantai sejenak, tapi malah harus mendapatkan gangguan.“Fine, suruh dia masuk, tapi katakan padanya, aku tidak memiliki banyak waktu!” Mateo langsung menutup panggilan secara sepihak.
Miracle berjalan dengan pelan di taman belakang rumah. Sesekali dia berputar memastikan rasa sakit di kakinya sudah tidak lagi ada. Tiga hari belakangan Miracle selalu berlatih berjalan. Dia tidak pernah lagi bergantung dengan kursi roda. Beruntung pemulihan kakinya jauh lebih cepat dari perkiraan Dokter. Setidaknya, Miracle sudah lebih bebas dan tidak memerlukan bantuan pelayan.“Nyonya,” Seorang pelayan melangkah mendekat ke arah Miracle.“Ya, ada apa?” Miracle menatap pelayan yang berdiri di hadapannya.“Nyonya, maaf mengganggu Anda, tapi di depan ada Nona Esme. Beliau designer yang diminta oleh Tuan Mateo bertemu dengan Anda, Nyonya,” ujar sang pelayan memberi tahu.Miracle menghela nepas dalam. “Undangan makan malamnya malam ini, tapi designer-nya baru datang sekarang. Bagaimana kalau gaunnya tidak cocok untukku?”Miracle tak mengerti dengan jalan pikiran Mateo. Undangan makan malam akan diadakan malam ini, tapi malah perancang busana baru datang sekarang. Hal yang menjadi masala
“Arsen? Kenapa kau hanya sendiri?” Mateo langsung bertanya pada Arsen, sahabatnya, yang melangkah menghampirinya. Ya, yang memanggil Mateo adalah Arsen.“Well, kau tenang saja. Nanti aku akan mengenalkannya padamu,” jawab Arsen santai, lalu tatapannya teralih pada sosok wanita cantik yang berdiri di samping Mateo. “Kau pasti Miracle,” tebaknya sangat yakin.Miracle tersenyum anggun, dan mengangguk. “Ya, aku Miracle. Senang bertemu dengamu, Tuan.”“Kau bisa memanggilku Arsen. Aku sahabat Mateo sejak kecil,” jawab Arsen yang juga tersenyum. “Aku tidak menyangka wajahmu jauh lebih cantik, dari pada foto.”“Thanks, Arsen,” balas Miracle hangat. “Lebih baik kita masuk ke dalam,” ajak Arsen pada Mateo dan Miracle.Mateo mengangguk singkat, setuju dengan ucapan Arsen.“Mateo, tunggu.” Miracle mencegah Mateo untuk masuk ke dalam.“Ada apa?” tanya Mateo dingin seraya menatap Miracle.Miracle sedikit berjinjit, membisikkan sesuatu di telinga Mateo, “Aku ingin ke toilet sebentar.”“Ingin aku a
Suara ketukan pintu terdengar membuat Miracle yang tertidur pulas harus terbangun. Dengan raut wajah kesal, Miracle langsung memerintahkan orang yang mengetuk pintu untuk masuk. Tak selang lama, seorang pelayan melangkah masuk ke dalam kamar Miracle.“Selamat pagi, Nyonya Miracle,” sapa seorang pelayan seraya menundukkan kepalanya di hadapan Miracle.Miracle membuka matanya, mengalihkan pandangannya pada pelayan yang sudah berdiri di hadapannya. “Ada apa kau sepagi ini sudah menggangguku? Aku masih mengantuk!”“Maaf, saya mengganggu Anda, Nyonya. Tapi Tuan Meteo meminta saya untuk memanggil Anda untuk sarapan,” jawab sang pelayan hati-hati.Miracle membuang napas kasar. “Dia belum berangkat ke kantor?”Sang pelayan menggelengkan kepalanya. “Belum, Nyonya. Tuan Mateo belum berangkat ke kantor.”Miracle mendengkus tak suka. Padahal dia berharap Mateo sudah berangkat bekerja. Jadi, pagi ini dia tak harus bertemu dengannya. Sungguh! Miracle masih kesal pada Mateo karena kejadian tadi mala
Hujan turun begitu deras membasahi kota Milan. Suara kilatan petir yang cukup keras membuat Miracle terbangun dari tidurnya. Wanita cantik itu mengerjapkan matanya beberapa kali, menguap sebentar, lalu tatapannya teralih pada jendela yang terbuka. Decakan pelan lolos di bibirnya. Angin kencang membuat jendela terbuka. Benar-benar menyebalkan! Detik itu juga, Miracle beranjak dari ranjang, melangkah menuju jendela yang terbuka itu.Namun, ketika Miracle tiba di depan jendela, tatapannya terpaku melihat parkiran khusus mobil Mateo kosong. Hal tersebut menandakan Mateo belum pulang. Tunggu! Kenapa dia harus memikirkan pria itu?! Buru-buru, Miracle menepis pikiran yang mengusik ketenangannya.Miracle memilih untuk kembali membaringkan tubuhnya di ranjang, tetapi rasa haus ditenggorokan membuatnya berbalik dan mengambil gelas di atas meja. Umpatan pelan lolos di bibirnya melihat teko yang berada di atas meja sudah kosong. Tidak ada pilihan lain, dia mengambil sendiri minumannya di dapur. S
“Miracle? Kenapa kau baru datang? Aku sudah menunggumu lama!” suara Charlotte berseru dengan nada kesal kala Miracle mendekat ke arahnya. Raut wajahnya menunjukkan jelas rasa jengkelnya. Dia memiliki janji bertemu dengan Miracle, tapi sepupunya itu datang terlambat.Miracle manarik kursi dan duduk di hadapan Charlotte. “Kau ini berisik sekali! Aku hanya terlambat beberapa menit saja kau sudah seperti dihutan!”Charlotte mendelik kesal. “What? Kau bilang hanya terlambat beberapa menit? Apa kau tidak memiliki jam? Aku sudah menunggumu lebih dari satu jam, Miracle De luca! Kau ini menyebalkan sekali!”“Jangan sebut aku De Luca. Aku bukan De Luca,” ucap Miracle dingin, dan kesal kala mendengar ucapan Charlotte menyebutnya dengan panggilan ‘De Luca’.“Well, kau sudah menikah secara resmi dengan Mateo. So, di mata hukum memang sudah seharusnya nama belakangmu menjadi De Luca,” terang Charlotte meraa dirinya tidak salah.Miracle berdecak pelan, dia merasa susah untuk menjelaskan pada Charlot
Jalanan di kota Milan semakin diguyur hujan deras. Miracle beruntung karena Gerald datang tepat waktu. Seolah semesta menolong Miracle dengan mendatangkan Gerald. Tentu Miracle bersyukur akan hal itu. Dalam keadaan yang terdesak, dia mendapatkan bantuan. Walau jujur, dia merasa tak enak karena sudah menyusahkan Gerald. Laju mobil Gerald pelan membelah kota Milan. Kilat petir terlihat ada di langit mendung dan gelap. Miracle duduk di dalam mobil Gerald, masih belum mengeluarkan sepatah kata pun. Hanya sesekali tatapan wanita itu menatap Gerald yang sedang melajukan mobil.“Gerald, terima kasih sudah menolongku,” kata Miracle dengan nada merasa bersalah pada Gerald.“Kau sudah berkali-kali mengucapkan terima kasih padaku, Miracle,” jawab Gerald sambil melirik Miracle yang duduk di sampingnya. “Aku senang bisa membantumu. Jangan pernah berpikir kau merepotkanku, karena jawabannya adalah kau sama sekali tidak merepotkanku. Nanti anak buahku akan membawa mobilmu."Miracle menghela napas
Mateo mulai membuka matanya kala dia mendengar dering alarm dari ponselnya berbunyi. Tangan kirinya dia gunakan untuk mengambil ponsel miliknya—dan langsung mematikannya. Seketika Mateo mengerutkan kening seraya menyipitkan matanya kala sinar matahari menembus jendela menyentuh kulit wajahnya.Mateo hendak beranjak dari ranjang, tapi tiba-tiba dia menyadari ada sosok yang terbaring di dadanya. Detik itu juga dia mengalihkan pandangannya, menatap sosok wanita yang tertidur sangat pulas dalam dekapannya. Wanita itu layaknya bayi yang tidak bisa diganggu sama sekali. Bahkan di kala adanya gerakan sedikit dari Mateo, malah wanita itu tak menyadari.Mateo bergeming, belum mengeluarkan sepatah kata pun. Kepingan memorinya langsung teringat bahwa dirinya yang meminta wanita itu tidur di kamar yang sama dengannya. Perlahan, tanpa dia sadari sebuah senyuman samar terbit di bibirnya.Mateo ingat ada bantal yang menjadi pembatas di tengah-tengah antara dirinya dan Miracle, tapi kenapa malah bant
Paris, Prancis. Beberapa bulan kemudian… “Marcel… Moses… Jangan berlari terlalu kencang. Kasihan kakakmu.” Suara Miracle berseru pada kedua putra kembarnya yang terus berlari kencang. “Sayang. Kau tidak perlu khawatir. Anak buahku selalu mengikuti anak kita. Lebih baik kita duduk.” Mateo menarik tangan Miracle, mengajaknya untuk duduk seraya menikmati keindahan kota Paris. Musim semi salah satu musim yang terbaik. Cuaca dingin yang menyejukan. Miracle mengembuskan napas kasar. “Marcel dan Moses itu sering sekali berlari-lari. Aku tidak ingin mereka terjatuh, Sayang. Ditambah mereka mengajak Michaela berlari,” ujarnya kala sudah duduk di samping sang suami. “Marcel dan Moses pasti akan menjaga kakak mereka. Aku ingin memberikan mereka tanggung jawab menjaga Michaela. Sebagai anak laki-laki, mereka harus melindungi kakak perempuan mereka,” ujar Mateo menjelaskan. Miracle mencoba mengerti. Dia menyandarkan kepalanya di dada bidang sang suami. Memeluk suaminya itu dengan erat. “Mate
“Mommy….” Suara bocah laki-laki dan perempuan berlari menghampiri Charlotte yang tengah menata foto-foto di ruang keluarga. Charlotte langsung mengalihkan pandangannya kala mendengar suara yang begitu dia kenal. Seketika senyuman di wajah Charlotte terukir melihat kedua anaknya melangkah mendekat padanya. Charlotte segera memberikan pelukan hangat pada kedua anaknya itu. “Sayang, kalian sudah pulang.” Charlotte bersimpuh, mensejajarkan tubuhnya pada kedua anaknya itu. Dia tersenyum hangat melihat kedua anaknya yang masih lengkap dengan seragam sekolah. “Bagaimana hari kalian di sekolah? Apa menyenangkan?” tanyanya dengan tatapan kelembutan seorang ibu dan tersirat penuh kasih sayang. Austin Geovan Romano dan Carmella Geovan Romano adalah anak kembar Charlotte dan Arsen. Sungguh, Charlotte tidak menyangka akan memiliki anak kembar laki-laki dan perempuan. Persis seperti dirinya dan Kelvin yang kembar. Kehidupan Charlotte dan Arsen kini benar-benar sempurna. Kehadiran buah cinta mere
Lima tahun kemudian… “Mommy….” Dua anak laki-laki berusia empat tahun berlari menghampiri Mirale yang tengah menata bunga-bunga di taman megah mansionnya itu. Miracle mengalihkan pandangannya kala mendengar suara kedua putranya. Benar saja. Kedua putranya itu tengah berlari menghampirinya. Miracle langsung menundukan tubuhnya, memeluk erat kedua putranya itu. “Sayang… Kalian sudah pulang? Mommy pikir kalian masih menginap di rumah Grandpa dan Grandma,” ujar Miracle seraya mengurai pelukannya dan mengelus lembut pipi kedua putranya itu.Ya, Imanuel Marcellino Geovan De Luca dan Imanuel Moses Geovan De Luca adalah kedua anak laki-laki kembar Mateo dan Miracle. Kehamilan kedua, Miracle mengandung bayi laki-laki kembar. Namun, Moses dan Marcel tidak kembar indentik. Keduanya memiliki wajah yang berbeda. Sama seperti Miracle dan Selena yang tidak kembar identik. “Kami sudah pulang, Mommy. Tadi sopir mengantar kami. Daddy bilang katanya hari ini kita akan makan diluar bersama,” ujar Mar
Katedral Milano, Milan, Italia. “Sayang… Ayo berfoto lagi. Aku ingin kita memiliki banyak foto bersama,” seru Charlotte dengan riang. Tampak raut wajahnya begitu bahagia. Arsen menghela napas panjang. “Sayang, apa kau tidak lelah? Fotografer sudah memotret ratusan foto kita hari ini. Nanti juga kau pasti hanya memajang dinding hanya beberapa saja. Tidak semuanya,” katanya yang mulai kesal. Bibir Charlotte tertekuk. Dia mengusap perut Charlotte yang membuncit itu. “Ini keinginan anak kita, Sayang. Kau tega tidak menuruti keinginan anak kita?” Arsen berdecak kesal. Semua keinginan istrinya itu selalu saja mengatas namakan keinginan anak mereka. Kandungan Charlotte memasuki minggu ke tiga puluh lima. Tepatnya hari ini Charlotte ingin melakukan fotoshoot dengan Arsen. Mengingat perut Charlotte kini sudah semakin membesar, tentu saja Charlotte ingin mengabadikan moment itu. Namun, bayangkan saja Charlotte tidak pernah lelah sedikit pun. Sudah banyak mereka berpindah-pindah tempat di M
“Sayang… Lapar, ya? Anak Mommy yang cantik pintar sekali.” Miracle berucap lembut pada putri kecilnya seraya memberikan ASI pada putri kecilnya itu. “Michaela, Namamu sangat indah. Daddy-mu memang yang terbaik. Dia memberikan nama yang indah untukmu, Nak.” Miracle tengah duduk di sofa kamar seraya memberikan ASI untuk putri kecilnya. Saat itu, Kini Miracle dan Mateo telah pindah ke mansion baru mereka yang megah. Seperti apa yang direncanakan oleh Miracle, bahwa mereka akan pindah jika sudah melahirkan. Saat ini usia Michaela sudah tiga bulan. Waktu berjalan begitu cepat. Miracle seperti baru saja melahirkan putri kecilnya. Namun, kenyataan putrinya ini sudah berusia tiga bulan. Tubuh Michaela gemuk. Kulit putih. Rambut cokelat tebal. Ditambah mata biru, membuat Michaela seperti boneka barbie hidup. Setiap harinya Michaela begitu menggemaskan. Tingkah-tingkah gemas Michaela membuat Mateo dan Miracle selalu dipenuhi tawa setiap harinya. Banyak orang mengatakan seorang putri akan jau
Huee…. Huee….Charlotte memuntahkan semua isi perutnya ke wastafel. Kepalanya memberat. Pandangannya sedikit buram. Charlotte memutar keran wastafel, lalu membasuh mulutnya dengan air bersih. Sesaat Charlotte memijat pelipisnya kala rasa sakit di kepalanya begitu menyerang. “Astaga, kenapa aku pusing sekali seperti ini. Ada apa denganku.” Charlotte bergumam pelan. “Sudahlah lebih baik aku istirahat saja.” Charlotte melangkah keluar dari kamar mandi, tetapi tatapannya teralih pada suara pintu terbuka. Seketika mata Charlotte tampak terkejut melihat Arsen yang membuka pintu kamar. Padahal tadi baru saja suaminya itu berpamitan untuk berangkat ke kantor. “Arsen? Kenapa kau kembali?” Charlotte hendak mendekat. Namun pandangan Charlotte semakin buram. Rasa sakit dikepalanya begitu menyerang. Tiba-tiba tubuh Charlotte tidak seimbang. Tepat di saat Charlotte terjatuh, Arsen langsung menangkap tubuhnya. “Sayang kau kenapa?” Arsen menjadi panik saat menangkap tubuh Charlotte yang hampir te
Di ruang persalinan, suasana begitu mencekam. Suara jeritan dan rintihan sakit Miracle membuat Mateo semakin panik. Berkali-kali Mateo membiarkan istrinya itu menggigit lengannya dan menarik rambutnya hanya demi sang istri bisa mengurangi rasa sakitnya. Sekitar satu jam lalu dokter baru saja memeriksa Miracle. Sang dokter mengatakan harus menunggu sebentar karena kepala bayi masih belum terlihat. Mateo sudah menawarkan Miracle untuk melakukan proses persalinan dengan operasi sesar. Sayangnya Miracle menolak itu dengan tegas. Miracle berkali-kali menekankan pada Mateo bahwa ingin melahirkan secara normal. Well… Keras kepala Miracle membuat jantung Mateo ingin berhenti. Bagaimana tidak? Sudah cukup lama mereka di rumah sakit tapi dokter masih memgatakan harus menunggu. Sedangkan Mateo tidak tega melihat Miracle yang sejak tadi merintih kesakitan. “Mateo…” Miracle menatap sang suami dengan wajah yang masih pucat. “Iya, Sayang. Aku di sini. Bertahanlah.” Mateo menghapus keringat sang
Kandungan Miracle mulai memasuki tiga puluh delapan minggu. Perutnya kian membesar. Mateo sudah melarang Miracle berpergian. Hari demi hari, Miracle lewati dengan bersantai di rumah. Atau kalau pun bosan, biasa Miracle menonton film di rumah dan emminta Charlotte untuk menemaninya. Miracle sungguh bersyukur karena di Milan tidak tinggal seorang diri. Ada Charlotte—sepupunya yang selalu menemani dirinya. Seperti saat ini, Miracle pun tengah duduk di sofa empuk kamarnya sembari menonton film action kesukaannya. Tadi pagi Mateo mengatakan akan pulang terlambat hari ini. Mengingat banyaknya tanggung jawab Mateo, membuat Miracle paling tidak mengerti. Lagi pula Miracle pun masih belum merasakan apa apa. Terakhir saat konsultasi dengan dokter, kandungan Miracle sehat dan baik-baik saja. Kelahiran bayinya diperkirakan baru minggu depan. Itu kenapa Miracle masih duduk bersantai di rumah. “Ah, kenapa wanita itu lemah sekali. Harusnya dia menghajarnya dari sisi kiri. Gunakan pisaumu dengan b
Miracle melihat sebuah gaun indah berwarna merah yang sangat cantik. Baru saja anak buah suaminya mengantarkan gaun untuknya. Gaun yang tepat untuk wanita hamil. Bagian perut terlihat longgar, membuat Miracle yakin dirinya akan merasa nyaman. Jujur, Miracle masih bingung ke mana Mateo akan membawanya. Biasanya kalau ada jamuan makan malam maka suaminya itu akan mengatakan padanya. Namun kenyataannya Mateo tidak mengatakan apa pun. Membuat dirinya benar-benar semakin penasaran. Miracle menghela napas panjang. Dia mengalihkan pandangannya ke jam dinding—waktu menunjukan pukul lima sore. Sudah waktunya, dia untuk bersiap-siap. Kini Miracle memilih untuk merias wajahnya. Semenjak hamil, Miracle memang menyukai bersolek. Bahkan kemampuan Miracle dalam merias wajah sangatlah hebat. Seperti saat ini, nyatanya Miracle begitu hebat merias wajahnya dengan riasan bold. Dia memadukan make up bold dengan gaun warna merah yang diantarkan oleh anak buah suaminya itu. Setelah selesai berias, Mira