Jalanan di kota Milan semakin diguyur hujan deras. Miracle beruntung karena Gerald datang tepat waktu. Seolah semesta menolong Miracle dengan mendatangkan Gerald. Tentu Miracle bersyukur akan hal itu. Dalam keadaan yang terdesak, dia mendapatkan bantuan. Walau jujur, dia merasa tak enak karena sudah menyusahkan Gerald. Laju mobil Gerald pelan membelah kota Milan. Kilat petir terlihat ada di langit mendung dan gelap. Miracle duduk di dalam mobil Gerald, masih belum mengeluarkan sepatah kata pun. Hanya sesekali tatapan wanita itu menatap Gerald yang sedang melajukan mobil.“Gerald, terima kasih sudah menolongku,” kata Miracle dengan nada merasa bersalah pada Gerald.“Kau sudah berkali-kali mengucapkan terima kasih padaku, Miracle,” jawab Gerald sambil melirik Miracle yang duduk di sampingnya. “Aku senang bisa membantumu. Jangan pernah berpikir kau merepotkanku, karena jawabannya adalah kau sama sekali tidak merepotkanku. Nanti anak buahku akan membawa mobilmu."Miracle menghela napas
Mateo mulai membuka matanya kala dia mendengar dering alarm dari ponselnya berbunyi. Tangan kirinya dia gunakan untuk mengambil ponsel miliknya—dan langsung mematikannya. Seketika Mateo mengerutkan kening seraya menyipitkan matanya kala sinar matahari menembus jendela menyentuh kulit wajahnya.Mateo hendak beranjak dari ranjang, tapi tiba-tiba dia menyadari ada sosok yang terbaring di dadanya. Detik itu juga dia mengalihkan pandangannya, menatap sosok wanita yang tertidur sangat pulas dalam dekapannya. Wanita itu layaknya bayi yang tidak bisa diganggu sama sekali. Bahkan di kala adanya gerakan sedikit dari Mateo, malah wanita itu tak menyadari.Mateo bergeming, belum mengeluarkan sepatah kata pun. Kepingan memorinya langsung teringat bahwa dirinya yang meminta wanita itu tidur di kamar yang sama dengannya. Perlahan, tanpa dia sadari sebuah senyuman samar terbit di bibirnya.Mateo ingat ada bantal yang menjadi pembatas di tengah-tengah antara dirinya dan Miracle, tapi kenapa malah bant
Mateo duduk di sofa seraya membaca majalah yang baru saja diantar oleh pelayan. Pria tampan itu sesekali menyesap kopi hitam, lalu memfokuskan kembali pada apa yang dia baca saat ini. Namun, di kala dia sedang fokus pada apa yang dia baca, dia merasakan adanya kehadiran seseorang. Pria tampan itu menoleh, menatap sang pelayan yang sekarang muncul di hadapannya.“Tuan Mateo, maaf mengganggu Anda,” sapa sang pelayan penuh rasa sopan.Mateo menurunkan majalah di tangannya ke atas meja, lalu menatap dingin pelayan itu. “Ada apa?” tanyanya to the point.Pelayan itu menundukkan kepalanya. “Tuan, di depan ada Tuan William dan Nyonya Marsha. Mereka sudah menunggu Anda dan Nyonya Miracle di ruang tengah.”Mateo membuang napas kasar. Apa yang menjadi dugaannya benar. Jika mertuanya itu berada di Milan, maka tak akan mungkin mertuanya tak mnedatangi mansion-nya. Beruntung, dia sudah mengatur di mana dirinya harus tidur di kamar yang sama dengan Miracle.“Nanti aku dan Miracle akan turun,” jawab
Miracle mematut cermin. Kini tubuhnya telah terbalut oleh jeans dan atasan kaos polos berwarna putih yang dipadukan dengan boots tinggi. Untuk rambut Miracle memilih untuk mengikatnya model ponytail. Penampilannya kali ini terlihat begitu cantik. Hari ini Miracle terpaksa menemani Mateo ke perkebunan anggur dan pabrik anggur. Meski sebenarnya Miracle sangat ingin di rumah saja, tapi kali ini dia tidak memiliki pilihan lain."Miracle, besok kau akan mulai bekerja di kantorku." Mateo melangkah masuk ke dalam walk-in closet Miracle. Miracle yang tengah berias, dia langsung mengalihkan pandangannya kala mendengar suara Mateo."Besok aku mulai bekerja di kantormu?" tanya Miracle memastikan.Mateo mengangguk. "Ya, besok aku akan meminta Gustav menyiapkan ruang kerja untukmu. Aku ingin kau belajar semuanya dari bawah. Dulu sebelum aku mengambil alih perusahaan keluargaku, ayahku memintaku menjadi IT staff. Aku juga belajar tentang finance, adminstrasi perusahaan dan segalanya yang memulai da
Mateo menarik tengkuk leher Miracle, dia kembali menyambar bibir Miracle. Kali ini, dia mencium bibir Miracle dengan begitu pelan, "Malam ini, aku menuntut hakku sebagai suamimu," bisiknya serak yang sontak membuat Miracle terkejut."M-Mateo," panggil Miracle lirih. Terlihat dia begitu gugup dan takut."Aku suamimu, Miracle. Aku memiliki hak atas tubuhmu," Mateo kembali berbisik tepat di depan bibir Miracle. Tangannya terus meremas dada Miracle. Kini Mateo mulai mengecupi leher jenjang Miracle. Miracle pun memejamkan matanya, menikmati setiap sentuhan yang begitu memabukan. Mateo membawa tangannya, melepas pengait bra Miracle, hingga membuatnya terjatuh ke lantai."Akh-" Miracle mendesah kala Mateo meremas pelan gundukan kembar di dadanya. Bahkan pria itu mencubit puncak dadanya. Gelenyar aneh dalam tubuh Miracle benar-benar membuatnya kehilangan akal sehatnya. Harusnya dia mendorong tubuh Mateo, tapi kenyataanya dia tidak mampu melakukan itu. Pria itu membuat dirinya tunduk dan tidak
Mateo melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Sesaat dia melirik Miracle yang tengah melihat ke luar jendela. Sejak kejadian kemarin baik dia dan Miracle tidak mengatakan sepatah katapun. Mereka hanya berbicara seperlunya. Jujur saja ada rasa bersalah dalam hati Mateo, dia hanya takut melukai hati Miracle."Miracle," panggil Mateo dengan suara dingin dan raut wajah datar. Tatapannya kembali teralih ke depan."Ya?" Miracle mengalihkan pandangannya, menatap Mateo."Hari ini kau istirahat saja di rumah. Aku akan ke kantor sendiri," ujar Mateo.Miracle mengangguk sebagai jawaban. Terlihat Miracle enggan untuk berucap. Lebih tepatnya, dia tidak tahu harus berkata apa."Miracle, untuk kejadian kemarin." Mateo menjeda, kemudian menghembuskan napas kasar. "Aku minta maaf. Tapi apa yang terjadi tidak sepenuhnya salah. Keluargaku membutuhkan keturunan. Kau tahu aku adalah anak tunggal. Sudah sejak lama keluargaku mengharapkan keturunan dariku."Ya, Mateo memilih untuk mengatakan itu pada Mi
"Tuan Mateo..." sapa seorang pelayan seraya menundukan kepalanya kala melihat Mateo masuk ke dalam rumah."Apa Miracle sudah tidur?" tanya Mateo dingin pada sang pelayan yang berdiri di hadapannya."Nyonya tadi berada di ruang perpustakaan. Terakhir saya lihat Nyonya memainkan piano," jawab sang pelayan memberitahu."Memainkan piano?" Alis Mateo bertautan, dan menatap dingin sang pelayan. "Miracle bisa bermain piano?"Sang pelayan mengangguk. "Bisa, Tuan. Saya mendengar permainan piano Nyonya Miracle sangat indah.""Aku akan ke sana." Mateo melangkahkan kakinya, menuju ruang perpustakaan yang berada di lantai tiga. Sesaat dia melirik arloji, kini sudah pukul 12 malam. Ya, sejak pertengkarannya terakhir dengan Miracle, Mateo memilih untuk tidak langsung pulang ke rumah. Dia memilih untuk menenangkan dirinya sejenak. Hanya saja, entah kenapa jika dia sudah berada di rumah, dia selalu ingin menanyakan tentang Miracle.Saat tiba di depan ruang perpustakaan, Mateo langsung membuka pintu da
Miracle menatap malas berkas-berkas yang diberikan Gustav dan harus segera dia pelajari. Kini Miracle berada di ruang kerjanya yang telah disiapkan oleh Mateo. Ruang kerja cukup nyaman, meski ukurannya tidak terlalu besar. Setidaknya Miracle tidak harus bekerja di ruang yang sama dengan Mateo. Dia lebih baik seperti ini, mempelajari pekerjaannya di ruangannya sendiri."Ah, kenapa banyak sekali!" gerutu Miracle yang mulai lelah membaca berkas-berkas di hadapannya. "Sepertinya pria itu bukan ini mengajariku, tapi dia mengerjaiku. Benar-benar menyebalkan. Kepalaku sakit membaca semua ini."Ya, Miracle sudah tiga jam mempelajari berkas-berkas di hadapannya. Dia pun sudah berkeliling perusahaan Mateo. Dia mengakui De Luca Group, patut dikatakan sebagai perusahan terbesar di Milan, pasalnya sistem bekrja di sini sangatlah ketat. Setiap orang begitu disiplin mengejarkan pekerjaannya."Sudahlah, aku ke kantin saja. Aku sangat lapar." Miracle beranjak berdiri, dia mengambil ponsel dan dompetny
Paris, Prancis. Beberapa bulan kemudian… “Marcel… Moses… Jangan berlari terlalu kencang. Kasihan kakakmu.” Suara Miracle berseru pada kedua putra kembarnya yang terus berlari kencang. “Sayang. Kau tidak perlu khawatir. Anak buahku selalu mengikuti anak kita. Lebih baik kita duduk.” Mateo menarik tangan Miracle, mengajaknya untuk duduk seraya menikmati keindahan kota Paris. Musim semi salah satu musim yang terbaik. Cuaca dingin yang menyejukan. Miracle mengembuskan napas kasar. “Marcel dan Moses itu sering sekali berlari-lari. Aku tidak ingin mereka terjatuh, Sayang. Ditambah mereka mengajak Michaela berlari,” ujarnya kala sudah duduk di samping sang suami. “Marcel dan Moses pasti akan menjaga kakak mereka. Aku ingin memberikan mereka tanggung jawab menjaga Michaela. Sebagai anak laki-laki, mereka harus melindungi kakak perempuan mereka,” ujar Mateo menjelaskan. Miracle mencoba mengerti. Dia menyandarkan kepalanya di dada bidang sang suami. Memeluk suaminya itu dengan erat. “Mate
“Mommy….” Suara bocah laki-laki dan perempuan berlari menghampiri Charlotte yang tengah menata foto-foto di ruang keluarga. Charlotte langsung mengalihkan pandangannya kala mendengar suara yang begitu dia kenal. Seketika senyuman di wajah Charlotte terukir melihat kedua anaknya melangkah mendekat padanya. Charlotte segera memberikan pelukan hangat pada kedua anaknya itu. “Sayang, kalian sudah pulang.” Charlotte bersimpuh, mensejajarkan tubuhnya pada kedua anaknya itu. Dia tersenyum hangat melihat kedua anaknya yang masih lengkap dengan seragam sekolah. “Bagaimana hari kalian di sekolah? Apa menyenangkan?” tanyanya dengan tatapan kelembutan seorang ibu dan tersirat penuh kasih sayang. Austin Geovan Romano dan Carmella Geovan Romano adalah anak kembar Charlotte dan Arsen. Sungguh, Charlotte tidak menyangka akan memiliki anak kembar laki-laki dan perempuan. Persis seperti dirinya dan Kelvin yang kembar. Kehidupan Charlotte dan Arsen kini benar-benar sempurna. Kehadiran buah cinta mere
Lima tahun kemudian… “Mommy….” Dua anak laki-laki berusia empat tahun berlari menghampiri Mirale yang tengah menata bunga-bunga di taman megah mansionnya itu. Miracle mengalihkan pandangannya kala mendengar suara kedua putranya. Benar saja. Kedua putranya itu tengah berlari menghampirinya. Miracle langsung menundukan tubuhnya, memeluk erat kedua putranya itu. “Sayang… Kalian sudah pulang? Mommy pikir kalian masih menginap di rumah Grandpa dan Grandma,” ujar Miracle seraya mengurai pelukannya dan mengelus lembut pipi kedua putranya itu.Ya, Imanuel Marcellino Geovan De Luca dan Imanuel Moses Geovan De Luca adalah kedua anak laki-laki kembar Mateo dan Miracle. Kehamilan kedua, Miracle mengandung bayi laki-laki kembar. Namun, Moses dan Marcel tidak kembar indentik. Keduanya memiliki wajah yang berbeda. Sama seperti Miracle dan Selena yang tidak kembar identik. “Kami sudah pulang, Mommy. Tadi sopir mengantar kami. Daddy bilang katanya hari ini kita akan makan diluar bersama,” ujar Mar
Katedral Milano, Milan, Italia. “Sayang… Ayo berfoto lagi. Aku ingin kita memiliki banyak foto bersama,” seru Charlotte dengan riang. Tampak raut wajahnya begitu bahagia. Arsen menghela napas panjang. “Sayang, apa kau tidak lelah? Fotografer sudah memotret ratusan foto kita hari ini. Nanti juga kau pasti hanya memajang dinding hanya beberapa saja. Tidak semuanya,” katanya yang mulai kesal. Bibir Charlotte tertekuk. Dia mengusap perut Charlotte yang membuncit itu. “Ini keinginan anak kita, Sayang. Kau tega tidak menuruti keinginan anak kita?” Arsen berdecak kesal. Semua keinginan istrinya itu selalu saja mengatas namakan keinginan anak mereka. Kandungan Charlotte memasuki minggu ke tiga puluh lima. Tepatnya hari ini Charlotte ingin melakukan fotoshoot dengan Arsen. Mengingat perut Charlotte kini sudah semakin membesar, tentu saja Charlotte ingin mengabadikan moment itu. Namun, bayangkan saja Charlotte tidak pernah lelah sedikit pun. Sudah banyak mereka berpindah-pindah tempat di M
“Sayang… Lapar, ya? Anak Mommy yang cantik pintar sekali.” Miracle berucap lembut pada putri kecilnya seraya memberikan ASI pada putri kecilnya itu. “Michaela, Namamu sangat indah. Daddy-mu memang yang terbaik. Dia memberikan nama yang indah untukmu, Nak.” Miracle tengah duduk di sofa kamar seraya memberikan ASI untuk putri kecilnya. Saat itu, Kini Miracle dan Mateo telah pindah ke mansion baru mereka yang megah. Seperti apa yang direncanakan oleh Miracle, bahwa mereka akan pindah jika sudah melahirkan. Saat ini usia Michaela sudah tiga bulan. Waktu berjalan begitu cepat. Miracle seperti baru saja melahirkan putri kecilnya. Namun, kenyataan putrinya ini sudah berusia tiga bulan. Tubuh Michaela gemuk. Kulit putih. Rambut cokelat tebal. Ditambah mata biru, membuat Michaela seperti boneka barbie hidup. Setiap harinya Michaela begitu menggemaskan. Tingkah-tingkah gemas Michaela membuat Mateo dan Miracle selalu dipenuhi tawa setiap harinya. Banyak orang mengatakan seorang putri akan jau
Huee…. Huee….Charlotte memuntahkan semua isi perutnya ke wastafel. Kepalanya memberat. Pandangannya sedikit buram. Charlotte memutar keran wastafel, lalu membasuh mulutnya dengan air bersih. Sesaat Charlotte memijat pelipisnya kala rasa sakit di kepalanya begitu menyerang. “Astaga, kenapa aku pusing sekali seperti ini. Ada apa denganku.” Charlotte bergumam pelan. “Sudahlah lebih baik aku istirahat saja.” Charlotte melangkah keluar dari kamar mandi, tetapi tatapannya teralih pada suara pintu terbuka. Seketika mata Charlotte tampak terkejut melihat Arsen yang membuka pintu kamar. Padahal tadi baru saja suaminya itu berpamitan untuk berangkat ke kantor. “Arsen? Kenapa kau kembali?” Charlotte hendak mendekat. Namun pandangan Charlotte semakin buram. Rasa sakit dikepalanya begitu menyerang. Tiba-tiba tubuh Charlotte tidak seimbang. Tepat di saat Charlotte terjatuh, Arsen langsung menangkap tubuhnya. “Sayang kau kenapa?” Arsen menjadi panik saat menangkap tubuh Charlotte yang hampir te
Di ruang persalinan, suasana begitu mencekam. Suara jeritan dan rintihan sakit Miracle membuat Mateo semakin panik. Berkali-kali Mateo membiarkan istrinya itu menggigit lengannya dan menarik rambutnya hanya demi sang istri bisa mengurangi rasa sakitnya. Sekitar satu jam lalu dokter baru saja memeriksa Miracle. Sang dokter mengatakan harus menunggu sebentar karena kepala bayi masih belum terlihat. Mateo sudah menawarkan Miracle untuk melakukan proses persalinan dengan operasi sesar. Sayangnya Miracle menolak itu dengan tegas. Miracle berkali-kali menekankan pada Mateo bahwa ingin melahirkan secara normal. Well… Keras kepala Miracle membuat jantung Mateo ingin berhenti. Bagaimana tidak? Sudah cukup lama mereka di rumah sakit tapi dokter masih memgatakan harus menunggu. Sedangkan Mateo tidak tega melihat Miracle yang sejak tadi merintih kesakitan. “Mateo…” Miracle menatap sang suami dengan wajah yang masih pucat. “Iya, Sayang. Aku di sini. Bertahanlah.” Mateo menghapus keringat sang
Kandungan Miracle mulai memasuki tiga puluh delapan minggu. Perutnya kian membesar. Mateo sudah melarang Miracle berpergian. Hari demi hari, Miracle lewati dengan bersantai di rumah. Atau kalau pun bosan, biasa Miracle menonton film di rumah dan emminta Charlotte untuk menemaninya. Miracle sungguh bersyukur karena di Milan tidak tinggal seorang diri. Ada Charlotte—sepupunya yang selalu menemani dirinya. Seperti saat ini, Miracle pun tengah duduk di sofa empuk kamarnya sembari menonton film action kesukaannya. Tadi pagi Mateo mengatakan akan pulang terlambat hari ini. Mengingat banyaknya tanggung jawab Mateo, membuat Miracle paling tidak mengerti. Lagi pula Miracle pun masih belum merasakan apa apa. Terakhir saat konsultasi dengan dokter, kandungan Miracle sehat dan baik-baik saja. Kelahiran bayinya diperkirakan baru minggu depan. Itu kenapa Miracle masih duduk bersantai di rumah. “Ah, kenapa wanita itu lemah sekali. Harusnya dia menghajarnya dari sisi kiri. Gunakan pisaumu dengan b
Miracle melihat sebuah gaun indah berwarna merah yang sangat cantik. Baru saja anak buah suaminya mengantarkan gaun untuknya. Gaun yang tepat untuk wanita hamil. Bagian perut terlihat longgar, membuat Miracle yakin dirinya akan merasa nyaman. Jujur, Miracle masih bingung ke mana Mateo akan membawanya. Biasanya kalau ada jamuan makan malam maka suaminya itu akan mengatakan padanya. Namun kenyataannya Mateo tidak mengatakan apa pun. Membuat dirinya benar-benar semakin penasaran. Miracle menghela napas panjang. Dia mengalihkan pandangannya ke jam dinding—waktu menunjukan pukul lima sore. Sudah waktunya, dia untuk bersiap-siap. Kini Miracle memilih untuk merias wajahnya. Semenjak hamil, Miracle memang menyukai bersolek. Bahkan kemampuan Miracle dalam merias wajah sangatlah hebat. Seperti saat ini, nyatanya Miracle begitu hebat merias wajahnya dengan riasan bold. Dia memadukan make up bold dengan gaun warna merah yang diantarkan oleh anak buah suaminya itu. Setelah selesai berias, Mira