"Tuan Mateo..." sapa seorang pelayan seraya menundukan kepalanya kala melihat Mateo masuk ke dalam rumah."Apa Miracle sudah tidur?" tanya Mateo dingin pada sang pelayan yang berdiri di hadapannya."Nyonya tadi berada di ruang perpustakaan. Terakhir saya lihat Nyonya memainkan piano," jawab sang pelayan memberitahu."Memainkan piano?" Alis Mateo bertautan, dan menatap dingin sang pelayan. "Miracle bisa bermain piano?"Sang pelayan mengangguk. "Bisa, Tuan. Saya mendengar permainan piano Nyonya Miracle sangat indah.""Aku akan ke sana." Mateo melangkahkan kakinya, menuju ruang perpustakaan yang berada di lantai tiga. Sesaat dia melirik arloji, kini sudah pukul 12 malam. Ya, sejak pertengkarannya terakhir dengan Miracle, Mateo memilih untuk tidak langsung pulang ke rumah. Dia memilih untuk menenangkan dirinya sejenak. Hanya saja, entah kenapa jika dia sudah berada di rumah, dia selalu ingin menanyakan tentang Miracle.Saat tiba di depan ruang perpustakaan, Mateo langsung membuka pintu da
Miracle menatap malas berkas-berkas yang diberikan Gustav dan harus segera dia pelajari. Kini Miracle berada di ruang kerjanya yang telah disiapkan oleh Mateo. Ruang kerja cukup nyaman, meski ukurannya tidak terlalu besar. Setidaknya Miracle tidak harus bekerja di ruang yang sama dengan Mateo. Dia lebih baik seperti ini, mempelajari pekerjaannya di ruangannya sendiri."Ah, kenapa banyak sekali!" gerutu Miracle yang mulai lelah membaca berkas-berkas di hadapannya. "Sepertinya pria itu bukan ini mengajariku, tapi dia mengerjaiku. Benar-benar menyebalkan. Kepalaku sakit membaca semua ini."Ya, Miracle sudah tiga jam mempelajari berkas-berkas di hadapannya. Dia pun sudah berkeliling perusahaan Mateo. Dia mengakui De Luca Group, patut dikatakan sebagai perusahan terbesar di Milan, pasalnya sistem bekrja di sini sangatlah ketat. Setiap orang begitu disiplin mengejarkan pekerjaannya."Sudahlah, aku ke kantin saja. Aku sangat lapar." Miracle beranjak berdiri, dia mengambil ponsel dan dompetny
Miracle mematut cermin. Dia baru saja selesai berias. Pagi ini Miracle sengaja untuk bangun lebih awal. Banyak hal yang mengganggu pikiran Miracle, hingga membuatnya tadi malam tidak bisa tidur nyenyak.Miracle mengalihkan pandangannya pada sebuah kartu nama yang terletak di atas meja riasnya. Dia mengambil kartu nama itu dan terus menatapnya. Sesaat Miracle mengembuskan napas perlahan, dia tampak begitu ragu.Miracle tengah memegang kartu nama Arsen. Jujur saja, Miracle ingin sekali menghubungi Arsen dari kemarin. Hanya saja, entah kenapa hatinya merasa tidak enak. Tapi jika dia hanya diam dan tidak bertanya pada Arsen, itu akan membuat beban dipikirannya semakin bertambah."Aku harus tetap menghungunginya." Miracle menepis keraguan dalam hatinya, dia langsung mengambil ponselnya dan menghubungi nomor Arsen."Hallo?" sapa Miracle saat panggilan terhubung."Ya? Ini siapa?" tanya Arsen dari seberang line."Arsen, ini aku Miracle. Apa hari ini kau memilki waktu?""Aku berada di kantor.
"M-Meninggal? Dia meninggal saat Mateo dan Selena bertunangan? Maksudmu Mateo telah berselingkuh dari Selena?" Seketika wajah Miracle berubah. Terlihat wajahnya yang tampak begitu terkejut. Dibenaknya muncul ribuan pertanyaan tentang sosok wanita yang bernama Heera. Berkali-kali Miracle menggelengkan kepalanya, meyakinkan apa yang dia dengar ini salah. Tapi tidak, dia tidak salah. Semuanya dia dengar begitu jelas."Mateo tidak berselingkuh." Arsen menjeda, dia menghembuskan napas kasar dan melanjutkan perkataanya, "Mateo lebih dulu menjalin hubungan dengan Heera. Tapi keluarga Mateo tidak menyukai Heera. Dan Mateo terpaksa menerima perjodohan yang diatur oleh kedua orang tua kalian karena memang sejak awal, Mateo sudah dijodohkan oleh Selena. Pertunangan Mateo dan Selena bisa terjadi karena kedua orang tuanya memaksa. Satu hari sebelum pertunangan, Mateo mengatakan padaku dia berjanji pada Heera perjodohannya haanya pura-pura. Tapi aku tahu, tidak mudah menjadi Heera. Dia tidak mungki
Miracle duduk di sofa kamar dengan pikiran yang menerawang ke depan. Setelah mengetahui semuanya dia berusaha untuk bersikap seperti biasa. Tapi nyatanya, dia tidak bisa. Ada rasa yang mengganjal di hatinya. Jujur, hatinya begitu terluka. Tidak pernah Miracle sangka, hidupnya akan seperti ini. Dia bagaikan hidup dalam sebuah mimpi buruk. Hanya saja, dia tidak pernah tahu kapan mimpi buruk ini berakhir."Miracle? Hari ini kau tidak ke kantor? Apa kau ingin aku panggilan dokter?" Mateo berdiri di ambang pintu, dia mengerutkan keningnya kala melihat Miracle tengah melamun. Kemudian, dia mendekat ke arah Miracle. "Kau sakit?" tanyanya dengan nada sedikit khawatir namun tetap menunjukan sikap dinginnya."Kau belum berangkat?" Miracle sedikit terkejut melihat Mateo berdiri di hadapannya. Pria itu sudah mengenakan jas formal kantor. Miracle pikir, dia sudah berangkat. Tapi kenyataanya, Mateo masih belum berangkat."Apa kau sakit?" tanya Mateo lagi."Tidak, aku tidak apa-apa. Aku hanya butuh
Suara detuman musik terdengar memekak telinga. Suasana di Venus Milano night klub begitu ramai pengunjung. Tampak dua wanita cantik yang duduk di hadapan bartender tengah menimun vodka yang ada di tangan mereka. Salah satu dari wanita di sana, terlihat begitu memiliki beban yang berat. Bahkan berkali-kali wanita itu meminta bartender memberikannya vodka."Miracle, bisakah kau berhenti minum? Kenapa kau menyiksa dirimu sendiri?" Charlotte yang duduk di samping Miracle, dia hampir frustasi pada sepupunya itu. Ya, malam ini Miracle meminta dirinya untuk menemani ke klub malam. Tapi yang didapatkan Charlotte hanya melihat sepupunya menangis dan meminum banyak alkohol. Bahkan Charlotte sudah tidak bisa lagi menghitung berapa banyak alkohol yang sudah diminum oleh Miracle."Charlotte." Miracle meletakan gelas sloki di tangannya ke atas meja. Dengan wajah yang tampak begitu kacau dan mata yang memerah, dia menatap Charlotte. "Menurutmu, apa kurangnya diriku? Apa aku ini tidak cantik? Apa aku
BrakkkkMateo membanting tubuh Miracle ke ranjang. Tatapannya terus menatap tajam Miracle. Bahka dia tidak memedulikan Miracle yang merintih kesakitan. Mateo sengaja membawa Miracle ke sebuah hotel terdekat dengan klub malam. Tidak mungkin dia membawa istrinya itu ke rumah, mengingat jarak klub malam dan rumah mereka cukup jauh."Mateo, apa kau sudah kehilangan akal sehatmu! Kenapa kau membawaku ke sini?" Miracle mengelus lengannya, menahan sakit kala Mateo membanting tubuhnya di ranjang."Kau yang sudah kehilangan akal sehatmu!" seru Mateo meninggikan suaranya.Dengan susah payah, Miracle beranjak berdiri. Meski dia sedikit mabuk tapi dia masih cukup kuat untuk berdiri. Kini Miracle menatap Mateo dengan tatapan yang tajam. "Kenapa kau marah? Katakan padaku kenapa kau selalu marah tidak jelas seperti ini? Jangan membuatku bingung, Mateo! Sebenarnya apa yang kau inginkan?""Aku berhak marah! Aku adalah suamimu! Kau keluar semalam ini, bagaimana jika ayahmu tahu, Miracle? Bukankah aku m
Sinar matahari pagi menembus jendela, menyentuh wajah Miracle. Perlahan Miracle yang tengah tertidur pulas, mulai membuka matanya kala merasakan silaunya matahari yang menyentuh wajahnya. Kini Miracle mengerjapkan matanya beberapa kali, dia menyitkan matanya kala melihat dirinya berada di sebuah kamar asing. Miracle hendak bergerak, namun tiba-tiba saat Miracle bergerak dia merasa ada tangan kokoh yang melingkar dipinggangnya. Miracle langsung menoleh ke samping. Raut wajah Miracle berubah kala melihat sosok pria yang tertidur di sampingnya dengan tubuh polos yang terbalut oleh selimut tebal."Akh-" Miracle menjerit keras. Wajahnya berubah menjadi panik. Terlebih dia melihat tubuhnya pun tidak memakai sehelai benangpun. Dia hanya terbalut oleh selimut tebal. Dan dada yang dipenuhi dengan bercak kemerahan."Mateo, sialan! Kau apakan aku!" Miarcle kembali berteriak seraya memukul lengan kekar Mateo."Kenapa kau berisik sekali, Miracle! Ini masih pagi!" Terpaksa Mateo membuka matanya, d
Paris, Prancis. Beberapa bulan kemudian… “Marcel… Moses… Jangan berlari terlalu kencang. Kasihan kakakmu.” Suara Miracle berseru pada kedua putra kembarnya yang terus berlari kencang. “Sayang. Kau tidak perlu khawatir. Anak buahku selalu mengikuti anak kita. Lebih baik kita duduk.” Mateo menarik tangan Miracle, mengajaknya untuk duduk seraya menikmati keindahan kota Paris. Musim semi salah satu musim yang terbaik. Cuaca dingin yang menyejukan. Miracle mengembuskan napas kasar. “Marcel dan Moses itu sering sekali berlari-lari. Aku tidak ingin mereka terjatuh, Sayang. Ditambah mereka mengajak Michaela berlari,” ujarnya kala sudah duduk di samping sang suami. “Marcel dan Moses pasti akan menjaga kakak mereka. Aku ingin memberikan mereka tanggung jawab menjaga Michaela. Sebagai anak laki-laki, mereka harus melindungi kakak perempuan mereka,” ujar Mateo menjelaskan. Miracle mencoba mengerti. Dia menyandarkan kepalanya di dada bidang sang suami. Memeluk suaminya itu dengan erat. “Mate
“Mommy….” Suara bocah laki-laki dan perempuan berlari menghampiri Charlotte yang tengah menata foto-foto di ruang keluarga. Charlotte langsung mengalihkan pandangannya kala mendengar suara yang begitu dia kenal. Seketika senyuman di wajah Charlotte terukir melihat kedua anaknya melangkah mendekat padanya. Charlotte segera memberikan pelukan hangat pada kedua anaknya itu. “Sayang, kalian sudah pulang.” Charlotte bersimpuh, mensejajarkan tubuhnya pada kedua anaknya itu. Dia tersenyum hangat melihat kedua anaknya yang masih lengkap dengan seragam sekolah. “Bagaimana hari kalian di sekolah? Apa menyenangkan?” tanyanya dengan tatapan kelembutan seorang ibu dan tersirat penuh kasih sayang. Austin Geovan Romano dan Carmella Geovan Romano adalah anak kembar Charlotte dan Arsen. Sungguh, Charlotte tidak menyangka akan memiliki anak kembar laki-laki dan perempuan. Persis seperti dirinya dan Kelvin yang kembar. Kehidupan Charlotte dan Arsen kini benar-benar sempurna. Kehadiran buah cinta mere
Lima tahun kemudian… “Mommy….” Dua anak laki-laki berusia empat tahun berlari menghampiri Mirale yang tengah menata bunga-bunga di taman megah mansionnya itu. Miracle mengalihkan pandangannya kala mendengar suara kedua putranya. Benar saja. Kedua putranya itu tengah berlari menghampirinya. Miracle langsung menundukan tubuhnya, memeluk erat kedua putranya itu. “Sayang… Kalian sudah pulang? Mommy pikir kalian masih menginap di rumah Grandpa dan Grandma,” ujar Miracle seraya mengurai pelukannya dan mengelus lembut pipi kedua putranya itu.Ya, Imanuel Marcellino Geovan De Luca dan Imanuel Moses Geovan De Luca adalah kedua anak laki-laki kembar Mateo dan Miracle. Kehamilan kedua, Miracle mengandung bayi laki-laki kembar. Namun, Moses dan Marcel tidak kembar indentik. Keduanya memiliki wajah yang berbeda. Sama seperti Miracle dan Selena yang tidak kembar identik. “Kami sudah pulang, Mommy. Tadi sopir mengantar kami. Daddy bilang katanya hari ini kita akan makan diluar bersama,” ujar Mar
Katedral Milano, Milan, Italia. “Sayang… Ayo berfoto lagi. Aku ingin kita memiliki banyak foto bersama,” seru Charlotte dengan riang. Tampak raut wajahnya begitu bahagia. Arsen menghela napas panjang. “Sayang, apa kau tidak lelah? Fotografer sudah memotret ratusan foto kita hari ini. Nanti juga kau pasti hanya memajang dinding hanya beberapa saja. Tidak semuanya,” katanya yang mulai kesal. Bibir Charlotte tertekuk. Dia mengusap perut Charlotte yang membuncit itu. “Ini keinginan anak kita, Sayang. Kau tega tidak menuruti keinginan anak kita?” Arsen berdecak kesal. Semua keinginan istrinya itu selalu saja mengatas namakan keinginan anak mereka. Kandungan Charlotte memasuki minggu ke tiga puluh lima. Tepatnya hari ini Charlotte ingin melakukan fotoshoot dengan Arsen. Mengingat perut Charlotte kini sudah semakin membesar, tentu saja Charlotte ingin mengabadikan moment itu. Namun, bayangkan saja Charlotte tidak pernah lelah sedikit pun. Sudah banyak mereka berpindah-pindah tempat di M
“Sayang… Lapar, ya? Anak Mommy yang cantik pintar sekali.” Miracle berucap lembut pada putri kecilnya seraya memberikan ASI pada putri kecilnya itu. “Michaela, Namamu sangat indah. Daddy-mu memang yang terbaik. Dia memberikan nama yang indah untukmu, Nak.” Miracle tengah duduk di sofa kamar seraya memberikan ASI untuk putri kecilnya. Saat itu, Kini Miracle dan Mateo telah pindah ke mansion baru mereka yang megah. Seperti apa yang direncanakan oleh Miracle, bahwa mereka akan pindah jika sudah melahirkan. Saat ini usia Michaela sudah tiga bulan. Waktu berjalan begitu cepat. Miracle seperti baru saja melahirkan putri kecilnya. Namun, kenyataan putrinya ini sudah berusia tiga bulan. Tubuh Michaela gemuk. Kulit putih. Rambut cokelat tebal. Ditambah mata biru, membuat Michaela seperti boneka barbie hidup. Setiap harinya Michaela begitu menggemaskan. Tingkah-tingkah gemas Michaela membuat Mateo dan Miracle selalu dipenuhi tawa setiap harinya. Banyak orang mengatakan seorang putri akan jau
Huee…. Huee….Charlotte memuntahkan semua isi perutnya ke wastafel. Kepalanya memberat. Pandangannya sedikit buram. Charlotte memutar keran wastafel, lalu membasuh mulutnya dengan air bersih. Sesaat Charlotte memijat pelipisnya kala rasa sakit di kepalanya begitu menyerang. “Astaga, kenapa aku pusing sekali seperti ini. Ada apa denganku.” Charlotte bergumam pelan. “Sudahlah lebih baik aku istirahat saja.” Charlotte melangkah keluar dari kamar mandi, tetapi tatapannya teralih pada suara pintu terbuka. Seketika mata Charlotte tampak terkejut melihat Arsen yang membuka pintu kamar. Padahal tadi baru saja suaminya itu berpamitan untuk berangkat ke kantor. “Arsen? Kenapa kau kembali?” Charlotte hendak mendekat. Namun pandangan Charlotte semakin buram. Rasa sakit dikepalanya begitu menyerang. Tiba-tiba tubuh Charlotte tidak seimbang. Tepat di saat Charlotte terjatuh, Arsen langsung menangkap tubuhnya. “Sayang kau kenapa?” Arsen menjadi panik saat menangkap tubuh Charlotte yang hampir te
Di ruang persalinan, suasana begitu mencekam. Suara jeritan dan rintihan sakit Miracle membuat Mateo semakin panik. Berkali-kali Mateo membiarkan istrinya itu menggigit lengannya dan menarik rambutnya hanya demi sang istri bisa mengurangi rasa sakitnya. Sekitar satu jam lalu dokter baru saja memeriksa Miracle. Sang dokter mengatakan harus menunggu sebentar karena kepala bayi masih belum terlihat. Mateo sudah menawarkan Miracle untuk melakukan proses persalinan dengan operasi sesar. Sayangnya Miracle menolak itu dengan tegas. Miracle berkali-kali menekankan pada Mateo bahwa ingin melahirkan secara normal. Well… Keras kepala Miracle membuat jantung Mateo ingin berhenti. Bagaimana tidak? Sudah cukup lama mereka di rumah sakit tapi dokter masih memgatakan harus menunggu. Sedangkan Mateo tidak tega melihat Miracle yang sejak tadi merintih kesakitan. “Mateo…” Miracle menatap sang suami dengan wajah yang masih pucat. “Iya, Sayang. Aku di sini. Bertahanlah.” Mateo menghapus keringat sang
Kandungan Miracle mulai memasuki tiga puluh delapan minggu. Perutnya kian membesar. Mateo sudah melarang Miracle berpergian. Hari demi hari, Miracle lewati dengan bersantai di rumah. Atau kalau pun bosan, biasa Miracle menonton film di rumah dan emminta Charlotte untuk menemaninya. Miracle sungguh bersyukur karena di Milan tidak tinggal seorang diri. Ada Charlotte—sepupunya yang selalu menemani dirinya. Seperti saat ini, Miracle pun tengah duduk di sofa empuk kamarnya sembari menonton film action kesukaannya. Tadi pagi Mateo mengatakan akan pulang terlambat hari ini. Mengingat banyaknya tanggung jawab Mateo, membuat Miracle paling tidak mengerti. Lagi pula Miracle pun masih belum merasakan apa apa. Terakhir saat konsultasi dengan dokter, kandungan Miracle sehat dan baik-baik saja. Kelahiran bayinya diperkirakan baru minggu depan. Itu kenapa Miracle masih duduk bersantai di rumah. “Ah, kenapa wanita itu lemah sekali. Harusnya dia menghajarnya dari sisi kiri. Gunakan pisaumu dengan b
Miracle melihat sebuah gaun indah berwarna merah yang sangat cantik. Baru saja anak buah suaminya mengantarkan gaun untuknya. Gaun yang tepat untuk wanita hamil. Bagian perut terlihat longgar, membuat Miracle yakin dirinya akan merasa nyaman. Jujur, Miracle masih bingung ke mana Mateo akan membawanya. Biasanya kalau ada jamuan makan malam maka suaminya itu akan mengatakan padanya. Namun kenyataannya Mateo tidak mengatakan apa pun. Membuat dirinya benar-benar semakin penasaran. Miracle menghela napas panjang. Dia mengalihkan pandangannya ke jam dinding—waktu menunjukan pukul lima sore. Sudah waktunya, dia untuk bersiap-siap. Kini Miracle memilih untuk merias wajahnya. Semenjak hamil, Miracle memang menyukai bersolek. Bahkan kemampuan Miracle dalam merias wajah sangatlah hebat. Seperti saat ini, nyatanya Miracle begitu hebat merias wajahnya dengan riasan bold. Dia memadukan make up bold dengan gaun warna merah yang diantarkan oleh anak buah suaminya itu. Setelah selesai berias, Mira