Suara detuman musik terdengar memekak telinga. Suasana di Venus Milano night klub begitu ramai pengunjung. Tampak dua wanita cantik yang duduk di hadapan bartender tengah menimun vodka yang ada di tangan mereka. Salah satu dari wanita di sana, terlihat begitu memiliki beban yang berat. Bahkan berkali-kali wanita itu meminta bartender memberikannya vodka."Miracle, bisakah kau berhenti minum? Kenapa kau menyiksa dirimu sendiri?" Charlotte yang duduk di samping Miracle, dia hampir frustasi pada sepupunya itu. Ya, malam ini Miracle meminta dirinya untuk menemani ke klub malam. Tapi yang didapatkan Charlotte hanya melihat sepupunya menangis dan meminum banyak alkohol. Bahkan Charlotte sudah tidak bisa lagi menghitung berapa banyak alkohol yang sudah diminum oleh Miracle."Charlotte." Miracle meletakan gelas sloki di tangannya ke atas meja. Dengan wajah yang tampak begitu kacau dan mata yang memerah, dia menatap Charlotte. "Menurutmu, apa kurangnya diriku? Apa aku ini tidak cantik? Apa aku
BrakkkkMateo membanting tubuh Miracle ke ranjang. Tatapannya terus menatap tajam Miracle. Bahka dia tidak memedulikan Miracle yang merintih kesakitan. Mateo sengaja membawa Miracle ke sebuah hotel terdekat dengan klub malam. Tidak mungkin dia membawa istrinya itu ke rumah, mengingat jarak klub malam dan rumah mereka cukup jauh."Mateo, apa kau sudah kehilangan akal sehatmu! Kenapa kau membawaku ke sini?" Miracle mengelus lengannya, menahan sakit kala Mateo membanting tubuhnya di ranjang."Kau yang sudah kehilangan akal sehatmu!" seru Mateo meninggikan suaranya.Dengan susah payah, Miracle beranjak berdiri. Meski dia sedikit mabuk tapi dia masih cukup kuat untuk berdiri. Kini Miracle menatap Mateo dengan tatapan yang tajam. "Kenapa kau marah? Katakan padaku kenapa kau selalu marah tidak jelas seperti ini? Jangan membuatku bingung, Mateo! Sebenarnya apa yang kau inginkan?""Aku berhak marah! Aku adalah suamimu! Kau keluar semalam ini, bagaimana jika ayahmu tahu, Miracle? Bukankah aku m
Sinar matahari pagi menembus jendela, menyentuh wajah Miracle. Perlahan Miracle yang tengah tertidur pulas, mulai membuka matanya kala merasakan silaunya matahari yang menyentuh wajahnya. Kini Miracle mengerjapkan matanya beberapa kali, dia menyitkan matanya kala melihat dirinya berada di sebuah kamar asing. Miracle hendak bergerak, namun tiba-tiba saat Miracle bergerak dia merasa ada tangan kokoh yang melingkar dipinggangnya. Miracle langsung menoleh ke samping. Raut wajah Miracle berubah kala melihat sosok pria yang tertidur di sampingnya dengan tubuh polos yang terbalut oleh selimut tebal."Akh-" Miracle menjerit keras. Wajahnya berubah menjadi panik. Terlebih dia melihat tubuhnya pun tidak memakai sehelai benangpun. Dia hanya terbalut oleh selimut tebal. Dan dada yang dipenuhi dengan bercak kemerahan."Mateo, sialan! Kau apakan aku!" Miarcle kembali berteriak seraya memukul lengan kekar Mateo."Kenapa kau berisik sekali, Miracle! Ini masih pagi!" Terpaksa Mateo membuka matanya, d
Suara dering ponsel memecahkan keheningan di dalam mobil. Mateo yang tengah fokus menyetir, dia mengalihkan pandangannya pada ponsel yang terus berdering itu. Awalnya dia mengabaikan telepon itu, namun Miracle langsung memintanya untuk menjawab. Dengan malas Mateo mengambil ponselnya—dia menatap ke layar. Seketika raut wajah Mateo berubah menjadi kesal kala melihat nomor Orina, Ibunya yang muncul di layar ponselnya. Tidak ada pilihan lain, jika dia tidak menjawab telepon itu maka Ibunya akan terus menghubunginya. Kini Mateo menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan."Ya, ada apa?" jawab Mateo dingin saat panggilannya terhubung."Mateo, kau di mana? Tadi Mommy mencoba menghubungi Miracle tapi ponselnya tidak aktif. Apa dia bersama denganmu?" ujar Orina dengan nada cemas dari seberang line."Miracle bersama denganku.""Ah, begitu, Baguslah. Mommy senang mendengarnya. Mommy menghubungimu karena Mommy ingin kau dan Miracle ke rumah. Ada hal yang Mommy ingin sampaikan padamu dan Mira
"Selesai," ucap Miracle seraya menutup koper miliknya. Sesaat dia menatap koper-koper yang sebelumnya telah dikemasi oleh pelayan. Hari ini dia dan Mateo akan terbang ke Paris. Karena paksaan dari mertuanya untuk berbulan madu, akhirnya Miracle pun tidak memiliki pilihan lain selain menurutinya. Walau sebenarnya, Miracle tidak menginginkan itu tapi dia tidak memiliki pilihan. Namun, meski demikian Miracle tidak mau mengambil pusing. Dia menganggap kepergiannya ke Paris untuk berlibur. Lebih tepatnya, Miracle telah merancang liburannya selama di Paris. Dia tidak peduli Mateo nanti mengikutinya atau tidak."Miracle, apa kau sudah siap?" Mateo memasang arloji di tangannya seraya melangkah melangkah menghampiri Miracle."Sudah." Miracle mengalihkan pandnaganya, menatap Mateo yang kini sudah selesai mengganti pakaiannya. "Kita pesawat jam berapa?""Jam 10," jawab Mateo dingin dengan raut wajah datar."Kalau begitu kita berangkat sekarang." Mircle mengambil tasnya yang berada di atas meja d
Miracle mematut cermin. Dia memoles wajahnya dengan make up tipis. Kini tubuh Miracle telah terbalut oleh dress berwarna merah dengan model tali spaghetti. Hari ini Miracle terpaksa menemani Mateo untuk bertemu dengan rekan bisnisnya. Meski sebenarnya dia sangat malas, tapi dia tidak memiliki pilihan lain."Mateo, kita berangkat jam berapa?" tanya Miracle tanpa melihat ke arah Mateo yang tengah duduk di sofa berkutat pada iPad di tangannya."Setelah kau selesai, kita langsung berangkat," jawab Mateo dingin dengan raut wajah datar."Mateo." Miracle mulai melangkahkan kakinya mendekat ke arah Mateo."Ada apa?" Mateo terus fokus pada iPad ditangannya, tanpa melihat ke arah Miracle yang sudah berdiri di hadapannya."Apa kau yakin memintaku menemanimu? Aku sangat bosan kalau menunggu orang yang sedang meeting," ujar Miracle yang berusaha membujuk Mateo."Kau hanya menungguku satu jam, Miracle. Bukan sepuluh jam," jawab Mateo dingin.Miracle mencebikan bibirnya. "Satu jam juga menunggu, Mat
"Kau tahu aku paling membenci orang yang datang tidak tepat waktu." Mateo melirik arlojinya sekilas. Raut wajahnya berubah menjadi dingin dan tatapan yang tajam. Ya, sudah hampir dua puluh menit Mateo menunggu salah satu rekan bisninys. Tapi tak kunjung datang. Hingga membuat dirinya tidak mungkin bisa bersabar. Sejak dulu Mateo membenci jika ada orang yang bertemu dengannya dan tidak tepat waktu."Tuan Mateo, saya mohon berikan waktu lima menit lagi untuk Tuan Dalton datang. Tadi sebelumnya belia mengatakan sebentar lagi akan tiba," ujar Calder, rekan bisnis Mateo yang lainnya."Lima menit sangat berharga untukku. Istriku sudah menungguku. Aku tidak ingin membuatnya terlalu lama menunggu." Mateo beranjak dari tempat duduknya, dia menatap dingin Calder yang terlihat wajahnya begitu tidak enak pada Mateo. "Aku tidak mmeiliki waktu banyak di Paris. Katakan padanya, dia bisa bertemu denganku saat aku kembali ke Milan," lanjutnya dengan tegas."Baik, Tuan. Saya minta maaf atas keterlembat
Kini Mateo dan Miracle telah tiba di hotel dan sudah membersihkan diri. Luka Miracle yang masih basah, membuat dirinya harus berhati-hati. Sebelum pulang, Mateo menuruti keinginan Miracle untuk makan siang di restoran sekitar menara Eiffel.Tidak hanya itu, Miracle pun mengajak Mateo untuk berfoto seraya menikmati sore di menara Eiffel. Meski Mateo masih marah pada Miracle karena tidak mematuhinya, tapi Mateo berusaha untuk menuruti semua permintaan Miracle yang kekanakan itu.Seperti makan siang di Menara Eiffel dan berfoto di sana adalah hal yang tidak pernah Mateo lakukan dihidupnya. Jika bisanya Mateo selesai makan siang segera kembali ke hotel. Tapi karena dia berada di Paris bersama dengan Miracle, mau tidak mau dia harus mengikuti keinginan istrinya itu. Mengingat sifat Miracle yang keras kepala, dia tidak ingin hal tadi harus terulang kembali."Mateo, apa kau masih sibuk? Malam ini kita tidak kemana-mana? Hanya di hotel saja?" Wajah Miracle cemberut, menatap Mateo yang duduk d
Paris, Prancis. Beberapa bulan kemudian… “Marcel… Moses… Jangan berlari terlalu kencang. Kasihan kakakmu.” Suara Miracle berseru pada kedua putra kembarnya yang terus berlari kencang. “Sayang. Kau tidak perlu khawatir. Anak buahku selalu mengikuti anak kita. Lebih baik kita duduk.” Mateo menarik tangan Miracle, mengajaknya untuk duduk seraya menikmati keindahan kota Paris. Musim semi salah satu musim yang terbaik. Cuaca dingin yang menyejukan. Miracle mengembuskan napas kasar. “Marcel dan Moses itu sering sekali berlari-lari. Aku tidak ingin mereka terjatuh, Sayang. Ditambah mereka mengajak Michaela berlari,” ujarnya kala sudah duduk di samping sang suami. “Marcel dan Moses pasti akan menjaga kakak mereka. Aku ingin memberikan mereka tanggung jawab menjaga Michaela. Sebagai anak laki-laki, mereka harus melindungi kakak perempuan mereka,” ujar Mateo menjelaskan. Miracle mencoba mengerti. Dia menyandarkan kepalanya di dada bidang sang suami. Memeluk suaminya itu dengan erat. “Mate
“Mommy….” Suara bocah laki-laki dan perempuan berlari menghampiri Charlotte yang tengah menata foto-foto di ruang keluarga. Charlotte langsung mengalihkan pandangannya kala mendengar suara yang begitu dia kenal. Seketika senyuman di wajah Charlotte terukir melihat kedua anaknya melangkah mendekat padanya. Charlotte segera memberikan pelukan hangat pada kedua anaknya itu. “Sayang, kalian sudah pulang.” Charlotte bersimpuh, mensejajarkan tubuhnya pada kedua anaknya itu. Dia tersenyum hangat melihat kedua anaknya yang masih lengkap dengan seragam sekolah. “Bagaimana hari kalian di sekolah? Apa menyenangkan?” tanyanya dengan tatapan kelembutan seorang ibu dan tersirat penuh kasih sayang. Austin Geovan Romano dan Carmella Geovan Romano adalah anak kembar Charlotte dan Arsen. Sungguh, Charlotte tidak menyangka akan memiliki anak kembar laki-laki dan perempuan. Persis seperti dirinya dan Kelvin yang kembar. Kehidupan Charlotte dan Arsen kini benar-benar sempurna. Kehadiran buah cinta mere
Lima tahun kemudian… “Mommy….” Dua anak laki-laki berusia empat tahun berlari menghampiri Mirale yang tengah menata bunga-bunga di taman megah mansionnya itu. Miracle mengalihkan pandangannya kala mendengar suara kedua putranya. Benar saja. Kedua putranya itu tengah berlari menghampirinya. Miracle langsung menundukan tubuhnya, memeluk erat kedua putranya itu. “Sayang… Kalian sudah pulang? Mommy pikir kalian masih menginap di rumah Grandpa dan Grandma,” ujar Miracle seraya mengurai pelukannya dan mengelus lembut pipi kedua putranya itu.Ya, Imanuel Marcellino Geovan De Luca dan Imanuel Moses Geovan De Luca adalah kedua anak laki-laki kembar Mateo dan Miracle. Kehamilan kedua, Miracle mengandung bayi laki-laki kembar. Namun, Moses dan Marcel tidak kembar indentik. Keduanya memiliki wajah yang berbeda. Sama seperti Miracle dan Selena yang tidak kembar identik. “Kami sudah pulang, Mommy. Tadi sopir mengantar kami. Daddy bilang katanya hari ini kita akan makan diluar bersama,” ujar Mar
Katedral Milano, Milan, Italia. “Sayang… Ayo berfoto lagi. Aku ingin kita memiliki banyak foto bersama,” seru Charlotte dengan riang. Tampak raut wajahnya begitu bahagia. Arsen menghela napas panjang. “Sayang, apa kau tidak lelah? Fotografer sudah memotret ratusan foto kita hari ini. Nanti juga kau pasti hanya memajang dinding hanya beberapa saja. Tidak semuanya,” katanya yang mulai kesal. Bibir Charlotte tertekuk. Dia mengusap perut Charlotte yang membuncit itu. “Ini keinginan anak kita, Sayang. Kau tega tidak menuruti keinginan anak kita?” Arsen berdecak kesal. Semua keinginan istrinya itu selalu saja mengatas namakan keinginan anak mereka. Kandungan Charlotte memasuki minggu ke tiga puluh lima. Tepatnya hari ini Charlotte ingin melakukan fotoshoot dengan Arsen. Mengingat perut Charlotte kini sudah semakin membesar, tentu saja Charlotte ingin mengabadikan moment itu. Namun, bayangkan saja Charlotte tidak pernah lelah sedikit pun. Sudah banyak mereka berpindah-pindah tempat di M
“Sayang… Lapar, ya? Anak Mommy yang cantik pintar sekali.” Miracle berucap lembut pada putri kecilnya seraya memberikan ASI pada putri kecilnya itu. “Michaela, Namamu sangat indah. Daddy-mu memang yang terbaik. Dia memberikan nama yang indah untukmu, Nak.” Miracle tengah duduk di sofa kamar seraya memberikan ASI untuk putri kecilnya. Saat itu, Kini Miracle dan Mateo telah pindah ke mansion baru mereka yang megah. Seperti apa yang direncanakan oleh Miracle, bahwa mereka akan pindah jika sudah melahirkan. Saat ini usia Michaela sudah tiga bulan. Waktu berjalan begitu cepat. Miracle seperti baru saja melahirkan putri kecilnya. Namun, kenyataan putrinya ini sudah berusia tiga bulan. Tubuh Michaela gemuk. Kulit putih. Rambut cokelat tebal. Ditambah mata biru, membuat Michaela seperti boneka barbie hidup. Setiap harinya Michaela begitu menggemaskan. Tingkah-tingkah gemas Michaela membuat Mateo dan Miracle selalu dipenuhi tawa setiap harinya. Banyak orang mengatakan seorang putri akan jau
Huee…. Huee….Charlotte memuntahkan semua isi perutnya ke wastafel. Kepalanya memberat. Pandangannya sedikit buram. Charlotte memutar keran wastafel, lalu membasuh mulutnya dengan air bersih. Sesaat Charlotte memijat pelipisnya kala rasa sakit di kepalanya begitu menyerang. “Astaga, kenapa aku pusing sekali seperti ini. Ada apa denganku.” Charlotte bergumam pelan. “Sudahlah lebih baik aku istirahat saja.” Charlotte melangkah keluar dari kamar mandi, tetapi tatapannya teralih pada suara pintu terbuka. Seketika mata Charlotte tampak terkejut melihat Arsen yang membuka pintu kamar. Padahal tadi baru saja suaminya itu berpamitan untuk berangkat ke kantor. “Arsen? Kenapa kau kembali?” Charlotte hendak mendekat. Namun pandangan Charlotte semakin buram. Rasa sakit dikepalanya begitu menyerang. Tiba-tiba tubuh Charlotte tidak seimbang. Tepat di saat Charlotte terjatuh, Arsen langsung menangkap tubuhnya. “Sayang kau kenapa?” Arsen menjadi panik saat menangkap tubuh Charlotte yang hampir te
Di ruang persalinan, suasana begitu mencekam. Suara jeritan dan rintihan sakit Miracle membuat Mateo semakin panik. Berkali-kali Mateo membiarkan istrinya itu menggigit lengannya dan menarik rambutnya hanya demi sang istri bisa mengurangi rasa sakitnya. Sekitar satu jam lalu dokter baru saja memeriksa Miracle. Sang dokter mengatakan harus menunggu sebentar karena kepala bayi masih belum terlihat. Mateo sudah menawarkan Miracle untuk melakukan proses persalinan dengan operasi sesar. Sayangnya Miracle menolak itu dengan tegas. Miracle berkali-kali menekankan pada Mateo bahwa ingin melahirkan secara normal. Well… Keras kepala Miracle membuat jantung Mateo ingin berhenti. Bagaimana tidak? Sudah cukup lama mereka di rumah sakit tapi dokter masih memgatakan harus menunggu. Sedangkan Mateo tidak tega melihat Miracle yang sejak tadi merintih kesakitan. “Mateo…” Miracle menatap sang suami dengan wajah yang masih pucat. “Iya, Sayang. Aku di sini. Bertahanlah.” Mateo menghapus keringat sang
Kandungan Miracle mulai memasuki tiga puluh delapan minggu. Perutnya kian membesar. Mateo sudah melarang Miracle berpergian. Hari demi hari, Miracle lewati dengan bersantai di rumah. Atau kalau pun bosan, biasa Miracle menonton film di rumah dan emminta Charlotte untuk menemaninya. Miracle sungguh bersyukur karena di Milan tidak tinggal seorang diri. Ada Charlotte—sepupunya yang selalu menemani dirinya. Seperti saat ini, Miracle pun tengah duduk di sofa empuk kamarnya sembari menonton film action kesukaannya. Tadi pagi Mateo mengatakan akan pulang terlambat hari ini. Mengingat banyaknya tanggung jawab Mateo, membuat Miracle paling tidak mengerti. Lagi pula Miracle pun masih belum merasakan apa apa. Terakhir saat konsultasi dengan dokter, kandungan Miracle sehat dan baik-baik saja. Kelahiran bayinya diperkirakan baru minggu depan. Itu kenapa Miracle masih duduk bersantai di rumah. “Ah, kenapa wanita itu lemah sekali. Harusnya dia menghajarnya dari sisi kiri. Gunakan pisaumu dengan b
Miracle melihat sebuah gaun indah berwarna merah yang sangat cantik. Baru saja anak buah suaminya mengantarkan gaun untuknya. Gaun yang tepat untuk wanita hamil. Bagian perut terlihat longgar, membuat Miracle yakin dirinya akan merasa nyaman. Jujur, Miracle masih bingung ke mana Mateo akan membawanya. Biasanya kalau ada jamuan makan malam maka suaminya itu akan mengatakan padanya. Namun kenyataannya Mateo tidak mengatakan apa pun. Membuat dirinya benar-benar semakin penasaran. Miracle menghela napas panjang. Dia mengalihkan pandangannya ke jam dinding—waktu menunjukan pukul lima sore. Sudah waktunya, dia untuk bersiap-siap. Kini Miracle memilih untuk merias wajahnya. Semenjak hamil, Miracle memang menyukai bersolek. Bahkan kemampuan Miracle dalam merias wajah sangatlah hebat. Seperti saat ini, nyatanya Miracle begitu hebat merias wajahnya dengan riasan bold. Dia memadukan make up bold dengan gaun warna merah yang diantarkan oleh anak buah suaminya itu. Setelah selesai berias, Mira