Kini Mateo dan Miracle telah tiba di hotel dan sudah membersihkan diri. Luka Miracle yang masih basah, membuat dirinya harus berhati-hati. Sebelum pulang, Mateo menuruti keinginan Miracle untuk makan siang di restoran sekitar menara Eiffel.Tidak hanya itu, Miracle pun mengajak Mateo untuk berfoto seraya menikmati sore di menara Eiffel. Meski Mateo masih marah pada Miracle karena tidak mematuhinya, tapi Mateo berusaha untuk menuruti semua permintaan Miracle yang kekanakan itu.Seperti makan siang di Menara Eiffel dan berfoto di sana adalah hal yang tidak pernah Mateo lakukan dihidupnya. Jika bisanya Mateo selesai makan siang segera kembali ke hotel. Tapi karena dia berada di Paris bersama dengan Miracle, mau tidak mau dia harus mengikuti keinginan istrinya itu. Mengingat sifat Miracle yang keras kepala, dia tidak ingin hal tadi harus terulang kembali."Mateo, apa kau masih sibuk? Malam ini kita tidak kemana-mana? Hanya di hotel saja?" Wajah Miracle cemberut, menatap Mateo yang duduk d
"Mateo, hari ini kau tidak meeting, kan? Jika kau tidak meeting, aku ingin kita Sungai Siene." Miracle mematut cermin, memoles wajahnya dengan moisturizer. Sesaat dia melirik Mateo yang duduk di sofa dengan membaca koran di tangannya."Aku tidak ada jadwal meeting hari ini," jawab Mateo dingin dengan raut wajah datar."Baiklah, tapi kau mau, kan menemaniku ke Sungai Siene?" Miracle melangkah menghampiri Mateo kala dirinya telah selesai make up. Kemudian dia duduk tepat di samping Mateo."Ya, kita akan ke sana." Mateo mengambil cangkir yang berisikan kopi. Lalu menyesapnya perlahan. "Bagaimana lukamu? Besok kita harus ke dokter memeriksa kondisi kulitmu. Jika berbekas, aku akan meminta Dokter untuk mengopersi bekas lukamu saat kita sudah kembali ke Milan.""Kau tenang saja." Miracle mengambil sandwich yang ada di atas meja dan memakannya perlahan. "Aku juga tidak menyukai bekas luka ditubuhku. Jika bekas jahitan ini belum hilang, nanti aku akan ke dokter. Tapi aku rasa, ini pasti hilan
Tanpa terasa sudah tiga hari Mateo dan Miracle berada di Paris. Lusa mereka akan kembali Milan. Sejak awal Mateo memang memutuskan untuk tidak berlama-lama di Paris. Meski hanya liburan singkat, tapi Mateo dan Miracle hampir setiap harinya mengunjungi tempat-tempat yang indah."Mateo, hari ini aku akan berbelanja. Apa kau mau menemaniku?" tanya Miracle sambil menatap Mateo yang baru saja selesai mengganti pakaiannya."Apa yang ingin kau beli? Aku bisa meminta anak buahku menyiapkan yang kau inginkan." Mateo berjalan melewati Miracle. Dia duduk di sofa seraya mengambil lopi espresso yang diantar oleh pelayan dan disesapnya perlahan."Aku tidak suka, Mateo." Miracle mendekat, dia memilih duduk di atas meja dengan santai. "Aku lebih suka memilih barang-barang yang aku inginkan sendiri. Lagi pula Charlotte banyak menitipkan barang-barang yang dia inginkan. Aku ingin memilihnya sendiri. Kalau sampai aku salah beli, nanti dia pasti akan berisik."Mateo membuang napas kasar. "Jam berapa kau
Raut wajah malas Miracle menatap koper yang berisikan oleh-oleh untuk keluarganya serta keluarga Mateo.Tentu Miracle tidak hanya membelikan oleh-oleh untuk keluarganya saja. Tapi dia juga membelikan untuk mertuanya.Hari ini Miracle dan Mateo akan kembali ke negara mereka. Berutung perjalanan dari Paris ke Milan hanya membutuhkan waktu tidak sampai dua jam. Setidaknya, Miracle ingin segera beristirahat di rumah. Liburanya dengan Mateo memang begitu singkat. Mengingat banyak pekerjaan yang Mateo harus selesaikan. Itu yang membuat mereka tidak bisa berlama-lama liburan."Miracle, apa kau sudah siap?" tanya Mateo saat melangkah masuk ke dalam kamar."Sudah," jawab Miracle dingin dan raut wajah yang datar."Kau ingin kita sarapan di sini atau di pesawat?" Mateo mendekat. Sesaat dia melihat wajah Miracle yang masih kesal. Sejak saat dia melarang Miracle memiliki hubungan dengan Gerald, istrinya itu hanya berbicara seperlunya saja."Di pesawat saja. Aku sedang tidak ingin makan." Miracle be
Mateo bergerak gelisah tepat di hadapan ruang rawat Miracle. Terlihat wajahnya begitu cemas dan panik. Dia terus menunggu Dokter yang tengah memeriksa keadaan Miracle.Ceklek.Suara pintu terbuka. Mateo yang melihat Dokter keluar dari ruang rawat Miracle, dengan cepat dia berjalan menghampiri Sang Dokter."Bagaimana keadaan istriku?" Mateo bertanya dengan nada yang terdengar begitu cemas."Tuan, istri anda kelelahan. Saya minta untuk dia lebih banyak beristiarahat," ujar Sang Dokter memberitahu.Mateo menghembuskan napas kasar. Hatinya jauh lebih tenang kala mendengar perkataan Sang Dokter. "Tapi istriku baik-baik saja, kan?" tanyanya memastikan.Sang Dokter mengangguk. "Istri anda baik-baik saja, Tuan. Dia hanya terlalu lelah dan banyak hal yang menjadi beban pikirannya. Lebih baik dia beristiarahat dan jangan memikirkan beban berat.""Apa aku bisa menemui isriku?" tanya Mateo dengan raut wajah yang begitu serius."Silahkan, Tuan. Anda bisa menemui istri anda," jawab Sang Dokter.Tan
Keesokan hari saat pagi hari menyapa Miracle tersenyum ketika dia baru saja mendapat kabar dari pelayan bahwa Mateo sudah mengizinkannya keluar dari rumah sakit. Jujur saja, Miracle tidak betah tinggal teralu lama di rumah sakit.Jika hanya kelelahan, dia lebih baik beristirahat di rumah. Sebenarnya Mateo memang belum mengizinkan Miracle untuk keluar dari rumah sakit. Namun, karena Miracle yang terus merajuk meminta agar bisa keluar dari rumah sakit, akhirnya Mateo pun mengizinkannya saat dokter mengatakan kondisi Miracle memungkinkan untuk pulang ke rumah."Nyonya Miracle," Seorang pelayan melangkah menghampiri Miracle."Ya? Ada apa?" Miracle mengalihkan pandangannya, menatap pelayan yang berdiri di hadapannya."Nyonya, apa anda ingin makan sesuatu?" tanya sang pelayan dengan sopan."Tidak. Aku tidak lapar. Terima kasih," jawab Miracle. "Oh, ya. Apa kau melihat Mateo? Tadi aku hanya melihatnya sebentar, dia bilang ingin bertemu Dokter tapi kenapa dia belum kembali?""Tuan Mateo sedan
Suara dering ponsel terdengar. Miracle yang tengah tertidur pulas, dia langsung terbangun. Ketika dia sudah membuka matanya, dia sedikit terkejut melihat dirinya yang tertidur dalam dekapan Mateo. Dia baru saja ingat tadi malam Mateo menemaninya setelah selesai minum obat.Miracle mengabaikan dering ponsel itu, dia menatap Mateo yang masih tertidur lelap. Rahang tegas, hidung mancung, membuat Miracle mengakui wajah pria yang sering mambuatnya kesal itu benar-benar sangat tampan. Hingga tanpa sadar, Miracle membawa tangannya menelusuri wajah Mateo."Aku tahu kau mengagumiku, tapi angkat teleponmu itu." Suara Mateo sontak membuat Miracle terkejut."M-Mateo? K-Kau sudah bangun?" Miracle menjauhkan tangannya. Dia gelagapan karena Mateo mengetahui dirinya mengabaikan telepon hanya karena ingin menyentuh wajah pria itu."Aku sudah bangun sejak ponselmu tidak henti berdering." Mateo membuka matanya. Dia tersenyum misterius, membuat Miracle menjadi salah tingkah."Aku harus menjawab teleponk
"Well, sayangnya Miracle sudah menjadi milikku. Tidak akan ada yang bisa mengambilnya dariku," jawab Mateo dengan seringai di wajahnya.Sean tersenyum sinis mendengar perkayaan Mateo. Kini dia menyandarkan punggungnya di kurs dan tatapnnya terus menatap Mateo dingin. "Jangan terlalu percaya diri. Aku bisa saja mengambil adikku darimu. Aku rasa kau juga tidak pernah mencintai Miracle. Bukankah sejak awal Miracle hanya pengganti Selena yang melarikan diri dari pernikahan kalian.""Meski dia pengganti, tapi dia adalah istriku. Kau suka atau tidak suka dia adalah milikku." Mateo mengambil gelas sloki di hadapannya yang bersikan wine, lalu menyesapnya perlahan. "Jadi lebih baik kau jangan pernah berpikir untuk mengambil istriku.""Mateo De Luca." Sean menjeda, dia tersenyum mengejek ke arah Mateo. "Apa sekarang kau ingin mengatakan padaku kau telah jatuh hati pada adikku? Ternyata, kau begitu mudah melepas Selena, dan jatuh hati pada Miracle. Itu bisa disimpulkan, kau tidak pernah mencinta
Paris, Prancis. Beberapa bulan kemudian… “Marcel… Moses… Jangan berlari terlalu kencang. Kasihan kakakmu.” Suara Miracle berseru pada kedua putra kembarnya yang terus berlari kencang. “Sayang. Kau tidak perlu khawatir. Anak buahku selalu mengikuti anak kita. Lebih baik kita duduk.” Mateo menarik tangan Miracle, mengajaknya untuk duduk seraya menikmati keindahan kota Paris. Musim semi salah satu musim yang terbaik. Cuaca dingin yang menyejukan. Miracle mengembuskan napas kasar. “Marcel dan Moses itu sering sekali berlari-lari. Aku tidak ingin mereka terjatuh, Sayang. Ditambah mereka mengajak Michaela berlari,” ujarnya kala sudah duduk di samping sang suami. “Marcel dan Moses pasti akan menjaga kakak mereka. Aku ingin memberikan mereka tanggung jawab menjaga Michaela. Sebagai anak laki-laki, mereka harus melindungi kakak perempuan mereka,” ujar Mateo menjelaskan. Miracle mencoba mengerti. Dia menyandarkan kepalanya di dada bidang sang suami. Memeluk suaminya itu dengan erat. “Mate
“Mommy….” Suara bocah laki-laki dan perempuan berlari menghampiri Charlotte yang tengah menata foto-foto di ruang keluarga. Charlotte langsung mengalihkan pandangannya kala mendengar suara yang begitu dia kenal. Seketika senyuman di wajah Charlotte terukir melihat kedua anaknya melangkah mendekat padanya. Charlotte segera memberikan pelukan hangat pada kedua anaknya itu. “Sayang, kalian sudah pulang.” Charlotte bersimpuh, mensejajarkan tubuhnya pada kedua anaknya itu. Dia tersenyum hangat melihat kedua anaknya yang masih lengkap dengan seragam sekolah. “Bagaimana hari kalian di sekolah? Apa menyenangkan?” tanyanya dengan tatapan kelembutan seorang ibu dan tersirat penuh kasih sayang. Austin Geovan Romano dan Carmella Geovan Romano adalah anak kembar Charlotte dan Arsen. Sungguh, Charlotte tidak menyangka akan memiliki anak kembar laki-laki dan perempuan. Persis seperti dirinya dan Kelvin yang kembar. Kehidupan Charlotte dan Arsen kini benar-benar sempurna. Kehadiran buah cinta mere
Lima tahun kemudian… “Mommy….” Dua anak laki-laki berusia empat tahun berlari menghampiri Mirale yang tengah menata bunga-bunga di taman megah mansionnya itu. Miracle mengalihkan pandangannya kala mendengar suara kedua putranya. Benar saja. Kedua putranya itu tengah berlari menghampirinya. Miracle langsung menundukan tubuhnya, memeluk erat kedua putranya itu. “Sayang… Kalian sudah pulang? Mommy pikir kalian masih menginap di rumah Grandpa dan Grandma,” ujar Miracle seraya mengurai pelukannya dan mengelus lembut pipi kedua putranya itu.Ya, Imanuel Marcellino Geovan De Luca dan Imanuel Moses Geovan De Luca adalah kedua anak laki-laki kembar Mateo dan Miracle. Kehamilan kedua, Miracle mengandung bayi laki-laki kembar. Namun, Moses dan Marcel tidak kembar indentik. Keduanya memiliki wajah yang berbeda. Sama seperti Miracle dan Selena yang tidak kembar identik. “Kami sudah pulang, Mommy. Tadi sopir mengantar kami. Daddy bilang katanya hari ini kita akan makan diluar bersama,” ujar Mar
Katedral Milano, Milan, Italia. “Sayang… Ayo berfoto lagi. Aku ingin kita memiliki banyak foto bersama,” seru Charlotte dengan riang. Tampak raut wajahnya begitu bahagia. Arsen menghela napas panjang. “Sayang, apa kau tidak lelah? Fotografer sudah memotret ratusan foto kita hari ini. Nanti juga kau pasti hanya memajang dinding hanya beberapa saja. Tidak semuanya,” katanya yang mulai kesal. Bibir Charlotte tertekuk. Dia mengusap perut Charlotte yang membuncit itu. “Ini keinginan anak kita, Sayang. Kau tega tidak menuruti keinginan anak kita?” Arsen berdecak kesal. Semua keinginan istrinya itu selalu saja mengatas namakan keinginan anak mereka. Kandungan Charlotte memasuki minggu ke tiga puluh lima. Tepatnya hari ini Charlotte ingin melakukan fotoshoot dengan Arsen. Mengingat perut Charlotte kini sudah semakin membesar, tentu saja Charlotte ingin mengabadikan moment itu. Namun, bayangkan saja Charlotte tidak pernah lelah sedikit pun. Sudah banyak mereka berpindah-pindah tempat di M
“Sayang… Lapar, ya? Anak Mommy yang cantik pintar sekali.” Miracle berucap lembut pada putri kecilnya seraya memberikan ASI pada putri kecilnya itu. “Michaela, Namamu sangat indah. Daddy-mu memang yang terbaik. Dia memberikan nama yang indah untukmu, Nak.” Miracle tengah duduk di sofa kamar seraya memberikan ASI untuk putri kecilnya. Saat itu, Kini Miracle dan Mateo telah pindah ke mansion baru mereka yang megah. Seperti apa yang direncanakan oleh Miracle, bahwa mereka akan pindah jika sudah melahirkan. Saat ini usia Michaela sudah tiga bulan. Waktu berjalan begitu cepat. Miracle seperti baru saja melahirkan putri kecilnya. Namun, kenyataan putrinya ini sudah berusia tiga bulan. Tubuh Michaela gemuk. Kulit putih. Rambut cokelat tebal. Ditambah mata biru, membuat Michaela seperti boneka barbie hidup. Setiap harinya Michaela begitu menggemaskan. Tingkah-tingkah gemas Michaela membuat Mateo dan Miracle selalu dipenuhi tawa setiap harinya. Banyak orang mengatakan seorang putri akan jau
Huee…. Huee….Charlotte memuntahkan semua isi perutnya ke wastafel. Kepalanya memberat. Pandangannya sedikit buram. Charlotte memutar keran wastafel, lalu membasuh mulutnya dengan air bersih. Sesaat Charlotte memijat pelipisnya kala rasa sakit di kepalanya begitu menyerang. “Astaga, kenapa aku pusing sekali seperti ini. Ada apa denganku.” Charlotte bergumam pelan. “Sudahlah lebih baik aku istirahat saja.” Charlotte melangkah keluar dari kamar mandi, tetapi tatapannya teralih pada suara pintu terbuka. Seketika mata Charlotte tampak terkejut melihat Arsen yang membuka pintu kamar. Padahal tadi baru saja suaminya itu berpamitan untuk berangkat ke kantor. “Arsen? Kenapa kau kembali?” Charlotte hendak mendekat. Namun pandangan Charlotte semakin buram. Rasa sakit dikepalanya begitu menyerang. Tiba-tiba tubuh Charlotte tidak seimbang. Tepat di saat Charlotte terjatuh, Arsen langsung menangkap tubuhnya. “Sayang kau kenapa?” Arsen menjadi panik saat menangkap tubuh Charlotte yang hampir te
Di ruang persalinan, suasana begitu mencekam. Suara jeritan dan rintihan sakit Miracle membuat Mateo semakin panik. Berkali-kali Mateo membiarkan istrinya itu menggigit lengannya dan menarik rambutnya hanya demi sang istri bisa mengurangi rasa sakitnya. Sekitar satu jam lalu dokter baru saja memeriksa Miracle. Sang dokter mengatakan harus menunggu sebentar karena kepala bayi masih belum terlihat. Mateo sudah menawarkan Miracle untuk melakukan proses persalinan dengan operasi sesar. Sayangnya Miracle menolak itu dengan tegas. Miracle berkali-kali menekankan pada Mateo bahwa ingin melahirkan secara normal. Well… Keras kepala Miracle membuat jantung Mateo ingin berhenti. Bagaimana tidak? Sudah cukup lama mereka di rumah sakit tapi dokter masih memgatakan harus menunggu. Sedangkan Mateo tidak tega melihat Miracle yang sejak tadi merintih kesakitan. “Mateo…” Miracle menatap sang suami dengan wajah yang masih pucat. “Iya, Sayang. Aku di sini. Bertahanlah.” Mateo menghapus keringat sang
Kandungan Miracle mulai memasuki tiga puluh delapan minggu. Perutnya kian membesar. Mateo sudah melarang Miracle berpergian. Hari demi hari, Miracle lewati dengan bersantai di rumah. Atau kalau pun bosan, biasa Miracle menonton film di rumah dan emminta Charlotte untuk menemaninya. Miracle sungguh bersyukur karena di Milan tidak tinggal seorang diri. Ada Charlotte—sepupunya yang selalu menemani dirinya. Seperti saat ini, Miracle pun tengah duduk di sofa empuk kamarnya sembari menonton film action kesukaannya. Tadi pagi Mateo mengatakan akan pulang terlambat hari ini. Mengingat banyaknya tanggung jawab Mateo, membuat Miracle paling tidak mengerti. Lagi pula Miracle pun masih belum merasakan apa apa. Terakhir saat konsultasi dengan dokter, kandungan Miracle sehat dan baik-baik saja. Kelahiran bayinya diperkirakan baru minggu depan. Itu kenapa Miracle masih duduk bersantai di rumah. “Ah, kenapa wanita itu lemah sekali. Harusnya dia menghajarnya dari sisi kiri. Gunakan pisaumu dengan b
Miracle melihat sebuah gaun indah berwarna merah yang sangat cantik. Baru saja anak buah suaminya mengantarkan gaun untuknya. Gaun yang tepat untuk wanita hamil. Bagian perut terlihat longgar, membuat Miracle yakin dirinya akan merasa nyaman. Jujur, Miracle masih bingung ke mana Mateo akan membawanya. Biasanya kalau ada jamuan makan malam maka suaminya itu akan mengatakan padanya. Namun kenyataannya Mateo tidak mengatakan apa pun. Membuat dirinya benar-benar semakin penasaran. Miracle menghela napas panjang. Dia mengalihkan pandangannya ke jam dinding—waktu menunjukan pukul lima sore. Sudah waktunya, dia untuk bersiap-siap. Kini Miracle memilih untuk merias wajahnya. Semenjak hamil, Miracle memang menyukai bersolek. Bahkan kemampuan Miracle dalam merias wajah sangatlah hebat. Seperti saat ini, nyatanya Miracle begitu hebat merias wajahnya dengan riasan bold. Dia memadukan make up bold dengan gaun warna merah yang diantarkan oleh anak buah suaminya itu. Setelah selesai berias, Mira