Dorr … Dorr …
“Good job, Miracle. Kau memang hebat,” Miracle tersenyum puas kala tembakannya tidak meleset pada papan. Sejak dulu Miracle selalu diajarkan oleh sang ayah untuk menjaga dirinya sendiri. Setiap hari Miracle selalu berlatih menembak dan menggunakan pisau. Lama tinggal di Roma sendiri, membuatnya harus mampu melindungi dirinya. Meski banyak pengawal yang menjaganya, tapi Miracle selalu waspada demi kebaikannya.
Miracle berbalik, dia hendak mengambil minuman yang terletak di atas meja. Namun, langkahnya terhenti kala melihat sosok pria berdiri tegap dan terus menatapnya dengan begitu lekat. “Mateo? Kau sudah pulang? Sejak kapan kau di sini?” tanyanya terkejut melihat Mateo berada di hadapannya. Pasalnya, tidak biasanya pria itu pulang lebih awal. Bahkan hampir setiap harinya Mateo selalu pulang larut malam.
“Hari ini aku pulang lebih awal,” jawab Mateo dingin dengan raut wajah datar. Dia melangkah mendekat ke arah Miracle seraya melanjutkan perkataanya, “Siapa yang mengajarimu menggunakan pistol? Bukannya para wanita selalu takut memegang benda itu?”
“Aku tinggal sendiri di Roma dan jauh dari keluargaku. Meski ayahku meminta anak buahnya menjagaku, tapi paling tidak aku bisa menjaga diriku sendiri,” balas Miracle dengan nada acuh.
Mateo tersenyum misterius, dia semakin mendekat ke arah Miracle. Sontak Miracle menjadi panik di kala Mateo berjarak begitu dekat padanya. Pria itu mendekatkan bibirnya ke telinga Miracle, seraya berbisik serak, “Sasaranmu masih belum tepat.”
Kening Miracle mengerut mendengar apa yang dikatakan oleh Mateo. Detik selanjutnya yang dilakukan pria itu adalah menganbil pistol yang ada ditangan Miracle—mengarahkan pistol ke papan. Suara tembakan terdengar begitu keras.
Miracle terkejut melihat tembakan Mateo tepat sasaran. Dia tak mengira Mateo ternyata hebat dalam menembak. Namun, tetap saja dia jengkel pastinya Mateo meremehkan dirinya. Itu sangat menyebalkan! Miracle langsung mendengkus tak suka.
“Apa kau ingin meremehkanku dan menganggap kau jauh lebih hebat dariku?” seru Miracle jengkel.
Mateo mengedikan bahunya acuh, tak acuh. “Well, kau bisa lihat sendiri dan menilai tanpa harus aku menjawab pertanyaanmu.”
‘Menyebalkan sekali pria itu. Lihat saja kalau aku lebih hebat darinya, aku tembak kepalanya!’ gerutu Mircle dalam hati.
Mateo tersenyum samar puas membuat Miracle kesal padanya. Lantas, dia berbalik dan hendak meninggalkan Miracle, tetapi langkah Mateo terhenti kala melihat seorang pelayan yang berjalan menghampirinya.
“Tuan Mateo, Nyonya Miracle,” panggil pelayan berjalan cepat ke arah Mateo dan Miracle.
“Ada apa?” tanya Mateo dingin pada pelayan yang berdiri di hadapannya.
“Tuan, Nyonya Orina datang,” jawab pelayan memberi tahu.
“Mom Orina datang?” tanya Miracle memastikan.
“Benar, Nyonya,” jawab sang pelayan.
Miracle tersenyum. “Aku dan Mateo akan menemui Mom Orina.”
“Baik, Nyonya. Saya permisi, Tuan, Nyonya.” Sang pelayan menundukkan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Mateo dan Miracle.
Mateo menatap dingin Miracle. “Kau tidak ingin menggganti pakaianmu?”
Miracle berdecak mendengar pertanyaan Mateo. “Memangnya apa yang salah dengan pakaianku?”
Miracle merasa taka da yang salah dengan pakaiannya. Wanita cantik itu sekarang memakai celana pendek dan tube top yang sangat seksi. Pakaian ini tentu sangat membuatnya tampak cantik. Bukan dia tidak menyukai memakai dress, tapi saat berlatih menembak tidak mungkin dirinya memakai dress.
“Aku hanya khawatir ibuku terkejut melihat penampilanmu yang sama sekali tidak ada anggunnya,” jawab Mateo pedas, dan sontak membuat mata Miracle mendelik tajam.
“Aku menyukai Miracle dengan cara dia membawa dirinya.” Sosok wanita paruh baya, yang masih sangat cantik melangkah dengan anggun mendekat ke arah Miracle dan Mateo.
“Mom Orina?” sapa Miracle kala melihat Orina, ibu mertuanya berdiri di hadapannya.
“Hai, Sayang. Bagaimana kabarmu?” Orina langsung memberikan pelukan hangat pada Miracle.
“Aku baik, Mom. Bagaimana dengamu sendiri, Mom?” balas Miracle hangat.
“Mom juga baik, Sayang,” jawab Orina seraya melirik pistol yang ada di atas meja. “Kalian berdua sedang latihan menembak?”
Miracle tersenyum kaku. “Ya, Mom. Hari ini Mateo pulang lebih awal.”
“Hebat, Mommy tidak menyangka kau sangat pemberani, Miracle,” ucap Orina yang tersenyum bangga ke arah Miracle. “Biasanya para wanita akan takut pada pistol, tapi kau sangat berani.”
Miracle tetap tersenyum ke arah ibu mertuanya. Meski sebenarnya, dia tidak terlalu suka mendapatkan pujian. Sebab menurutnya hal yang disukainya bukan hal yang harus dipuja-puja. Dia belajar berlatih menembak tentu untuk dirinya sendiri.
“Mateo, apa kau tidak ingin mengajak Miracle berbulan madu? Atau jika kau sibuk, kau bisa mengambil weekend-mu. Kalian bisa menghabiskan waktu bersama dan saling mengenal lebih dekat,” kata Orina memberikan saran pada putranya untuk mengajak Miracle berbulan madu.
“Aku sibuk. Banyak pekerjaan yang tidak bisa aku tinggalkan,” jawab Mateo dan raut wajah yang datar. Kali ini dia harus kembali bersabar menahan emosinya. Jika kemarin sang ayah yang menanyakan tentang bulan madu, kali ini ibunya yang bertanya.
“Mateo, kau tidak bisa—”
“Mom, saat ini Mateo sedang sibuk. Aku juga masih ada pekerjaan yang harus aku selesaikan. Sebelumnya aku tinggal di Roma dan sekarang aku menetap tinggal di Milan. Aku harus mengurus banyak hal di sini,” sambung Miracle yang berusaha memberikan pengertian. Tidak ada pilihan lain, dia harus membela Mateo di hadapan mertuanya. Sebab, dia pun enggan bulan madu dengan pria menyebalkan itu.
“Baiklah, tapi Mommy harap kalian bisa meluangkan banyak waktu bersama.” Orina memilih untuk mengalah. “Wait, kalian tidak ada niat untuk menunda memiliki anak, kan?” lanjutnya di kala otaknya mengingat sesuatu hal yang penting.
Miracle sedikit terkejut mendengar pertanyaan yang terlontar dari ibu mertuanya. Entah dia harus berkata apa jika membahas tentang anak. Terpikir memiliki anak dari Mateo saja tidak pernah muncul dalam benaknya. Sesaat Miracle mengalihkan pandangannya, menatap wajah dingin Mateo. Dia menunggu Mateo yang menjawab peratanyaan Orina.
“Aku dan Miracle masih baru menikah. Banyak hal yang harus kita pahami satu sama lain. Aku harap kau mengerti, Mom,” ucap Mateo menegaskan.
Miracle mendesah lega di kala Mateo menjawab pertanyaan Orina dengan baik.
“Baiklah, Mommy mengerti. Kalian baru menikah. Butuh waktu untuk kalian saling mengenal satu sama lain. Ya sudah, Mommy masuk dulu. Kalian teruskan saja latihan kalian,” jawab Orina memilih mengalah. Wanita paruh baya itu tak ingin memaksa. Sebab, bagaimanapun pernikahan Mateo dan Miracle adalah hal yang tak disangka-sangka.
Miracle mengangguk. “Kami juga nanti akan segera masuk, Mom.”
Orina tersenyum seraya mengecup pipi Miracle. Lantas, dia segera berjalan meninggalkan Mateo dan Miracle.
Saat Orina sudah pergi, tatapan Miracle teralih pada Mateo. “Ada hal yang ingin aku tanyakan padamu.”
Mateo menatap dingin Miracle. “Ada apa?”
Miracle terdiam sejenak, memikirkan kembali apa yang muncul di pikirannya secara tiba-tiba. “Aku hanya bertanya, kau jangan salah paham.”
Kening Mateo mengerut dalam. “Katakan, apa yang ingin kau tanyakan?”
“Kau mengatakan padaku, kita harus berpura-pura menjadi suami istri yang baik di depan kedua orang taumu.”
“Ya, lalu?”
“Tapi kenapa kau menolak permintaan ibumu yang meminta kita untuk berbulan madu?”
Bukan ingin bulan madu dengan Miracle, dia hanya ingin memastikan ucapan Mateo di awal. Dia mengingat di mana Mateo memintanya untuk memainkan peran menjadi pasangan yang baik. Namun, lepas dari itu tentu saja Miracle bahagia karena Mateo tak memikirkan tentang bulan madu.
Mateo tersenyum sinis mendengar pertanyaan Miracle. Pria tampan itu mendekat, dan menarik dagu Miracle dengan jari telunjuknya. “Apa kau begitu menginginkan bulan madu denganku?”
Raut wajah Miracle berubah terkejut. “Keinginanku? Tentu tidak! Aku tidak mau sama sekali! Aku hanya bertanya kenapa kau menolak?! Apa kau tidak takut ibumu curiga? Satu lagi, jika kau tanya aku, tentu saja aku bahagia kita tidak bulan madu!”
Mateo tersenyum sinis. “Kau takut ibuku curiga, atau memang kau menginginkannya? Ah, jangan-jangan kau ingin mendapatkan sentuhan dariku? Apa kau tidak pernah mendapatkannya, hingga kau sampai meminta seperti ini?"
Miracle langsung mendorong dada Mateo dengan keras. Tatapannya berubah menjadi tajam ke arah pria itu. “Jangan macam-macam kau, Mateo! Kau berani menyentuhku sedikit saja, aku pastikan akan membunuhmu! Sudahlah, berbicara denganmu selalu membuatku kesal. Lama-lama aku bisa menua, jika terus berbicara denganmu!”
Tanpa lagi berkata, Miracle berjalan meninggalkan Mateo yang masih tidak bergeming dari tempatnya. Tampak tatapan Mateo terus menatap Miracle dengan tatapan penuh arti. Seringai muncul di wajahnya membayangkan wajah kesal wanita itu.
“Miracle, ini adalah makanan kesukaan Mateo. Nanti, Mommy akan mengajarkanmu lagi. Sekarang kau dan Mateo makanlah.” Orina memberikan Ossobuco pada Miracle dan Mateo untiuk segera memakan makanan yang dia buat.Sebelumnya Orina sudah mengajarkan membuat makanan kesukaan Mateo. Hanya saja, terlihat wajah Miracle yang tampak begitu enggan. Bagaimana tidak? Miracle memang tidak hebat dalam memasak. Selama ini, dia tidak memiliki waktu untuk belajar memasak.“Ya, Mom,” jawab Miracle dengan raut wajah yang terpaksa. Tidak ada jawaban selain ‘Ya’, dia tak mungkin mengutarakan isi hatinya yang tak ingin membuatkan makanan untuk Mateo.“Jika kau lemah dalam memasak, lebih baik kau tidak perlu melakukannya,” sambung Mateo dingin, tanpa melihat ke arah Miracle.Miracle mendengus tak suka. “Kau ini memangnya tahu apa? Lihat saja, nanti aku akan membuktikan masakanku!” Mateo mengangkat bahu acuh, tak acuh. Dia tidak memedulikan perkataan Miracle. Pria tampan itu memilih menikmati Ossobuco yang
“Miracle?” Mateo menjauhkan wajahnya, menatap Miracle yang berada dibawahnya. Seketika dia terkejut melihat Miracle yang memejamkan mata. Dengan panik, Mateo menepuk pelan pipi Miracle, tapi wanita itu tetap juga tidak sadar.Hingga kemudian, tatapan Mateo teralih pada kepala Miracle yang mulai meneteskan darah. Wajahnya semakin panik melihat darah yang menetes di kepala Miracle. Pria tampan itu langsung menutup luka Miracle dengan tangannya, guna menghentikan darah yang keluar.“Shit! Buka matamu, Miracle!” Mateo kembali berusaha membangunkan Miracle, tapi wanita itu tetap memejamkan matanya dengan keadaan wajah yang semakin pucat. “Mateo, ada apa dengan Miracle?” tanya Orina menghampiri, dengan raut wajah yang dilingkupi rasa panik.“Dia terluka. Minta pelayan panggilkan dokter.” Mateo bangkit berdiri seraya membopong tubuh Miracle dengan gaya bridal menuju kamar.Orina yang sangat panik mendengar Miracle terluka, langsung meminta pelayan untuk memanggil dokter keluarga De Luca. W
Suara dering ponsel terdengar. Miracle yang tengah tertidur pulas harus terbangun karena dering ponselnya tak kunjung berhenti. Wanita cantik mengumpat kasar kala ponselnya mengganggu tidurnya. Padahal dia masih ingin beristirahat. Dalam keadaan kesal, dia menyambar ponselnya dan langsung menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan—tanpa lebih dulu melihat ke layar.“Halo?” jawab Miracle dengan nada begitu kesal saat panggilan terhubung.“Miracle! Katakan pada penjagamu berikan aku masuk ke dalam rumahmu! Kurang ajar sekali penjagamu itu tidak memberikan akses untukku masuk! Cepat aku tidak tahan menunggu lama seperti ini!” Suara seorang wanita begitu nyaring dari seberang line yang sontak membuat Miracle terkejut. Miracle langsung menjauhkan ponselnya dari telinganya, lalu menatap ke layar ponselnya itu. Seketika dia menghembuskan napas kasar kala nama Charlotte, sepupunya muncul di layar ponselnya. Pantas saja dia begitu mengenali suara nyaring itu. Dia kembali meletakan ponsel
Mateo mengisap rokoknya dengan kuat dan mengembuskan asapnya keudara. Suara interkom masuk membuat Mateo yang bersantai langsung mengalihkan pandangannya pada telepon yang tak kunjung berhenti.Mateo membuang napas kasar. Dia paling membenci ada yang mengganggunya ketika sedang bersantai. Dengan raut wajah kesal, Mateo menekan tombol hijau untuk menerima panggilan dan menjawab dingin, “Kenapa kau menggangguku?”“Tuan Maaf, saya hanya ingin memberi tahu, Tuan Arsen datang ingin bertemu dengan anda,” ujar Gustav, sang asisten dari seberang line. “Untuk apa dia ke sini? Katakan padanya aku sibuk!”“Tapi, Tuan, Anda tentu tahu Tuan Arsen tidak akan mungkin pergi jika belum bertemu dengan Anda.” Mateo berdecak seraya mengumpat dalam hati. Arsen, sahabatnya mengganggu di waktu yang tidak tepat. Dia ingin bersantai sejenak, tapi malah harus mendapatkan gangguan.“Fine, suruh dia masuk, tapi katakan padanya, aku tidak memiliki banyak waktu!” Mateo langsung menutup panggilan secara sepihak.
Miracle berjalan dengan pelan di taman belakang rumah. Sesekali dia berputar memastikan rasa sakit di kakinya sudah tidak lagi ada. Tiga hari belakangan Miracle selalu berlatih berjalan. Dia tidak pernah lagi bergantung dengan kursi roda. Beruntung pemulihan kakinya jauh lebih cepat dari perkiraan Dokter. Setidaknya, Miracle sudah lebih bebas dan tidak memerlukan bantuan pelayan.“Nyonya,” Seorang pelayan melangkah mendekat ke arah Miracle.“Ya, ada apa?” Miracle menatap pelayan yang berdiri di hadapannya.“Nyonya, maaf mengganggu Anda, tapi di depan ada Nona Esme. Beliau designer yang diminta oleh Tuan Mateo bertemu dengan Anda, Nyonya,” ujar sang pelayan memberi tahu.Miracle menghela nepas dalam. “Undangan makan malamnya malam ini, tapi designer-nya baru datang sekarang. Bagaimana kalau gaunnya tidak cocok untukku?”Miracle tak mengerti dengan jalan pikiran Mateo. Undangan makan malam akan diadakan malam ini, tapi malah perancang busana baru datang sekarang. Hal yang menjadi masala
“Arsen? Kenapa kau hanya sendiri?” Mateo langsung bertanya pada Arsen, sahabatnya, yang melangkah menghampirinya. Ya, yang memanggil Mateo adalah Arsen.“Well, kau tenang saja. Nanti aku akan mengenalkannya padamu,” jawab Arsen santai, lalu tatapannya teralih pada sosok wanita cantik yang berdiri di samping Mateo. “Kau pasti Miracle,” tebaknya sangat yakin.Miracle tersenyum anggun, dan mengangguk. “Ya, aku Miracle. Senang bertemu dengamu, Tuan.”“Kau bisa memanggilku Arsen. Aku sahabat Mateo sejak kecil,” jawab Arsen yang juga tersenyum. “Aku tidak menyangka wajahmu jauh lebih cantik, dari pada foto.”“Thanks, Arsen,” balas Miracle hangat. “Lebih baik kita masuk ke dalam,” ajak Arsen pada Mateo dan Miracle.Mateo mengangguk singkat, setuju dengan ucapan Arsen.“Mateo, tunggu.” Miracle mencegah Mateo untuk masuk ke dalam.“Ada apa?” tanya Mateo dingin seraya menatap Miracle.Miracle sedikit berjinjit, membisikkan sesuatu di telinga Mateo, “Aku ingin ke toilet sebentar.”“Ingin aku a
Suara ketukan pintu terdengar membuat Miracle yang tertidur pulas harus terbangun. Dengan raut wajah kesal, Miracle langsung memerintahkan orang yang mengetuk pintu untuk masuk. Tak selang lama, seorang pelayan melangkah masuk ke dalam kamar Miracle.“Selamat pagi, Nyonya Miracle,” sapa seorang pelayan seraya menundukkan kepalanya di hadapan Miracle.Miracle membuka matanya, mengalihkan pandangannya pada pelayan yang sudah berdiri di hadapannya. “Ada apa kau sepagi ini sudah menggangguku? Aku masih mengantuk!”“Maaf, saya mengganggu Anda, Nyonya. Tapi Tuan Meteo meminta saya untuk memanggil Anda untuk sarapan,” jawab sang pelayan hati-hati.Miracle membuang napas kasar. “Dia belum berangkat ke kantor?”Sang pelayan menggelengkan kepalanya. “Belum, Nyonya. Tuan Mateo belum berangkat ke kantor.”Miracle mendengkus tak suka. Padahal dia berharap Mateo sudah berangkat bekerja. Jadi, pagi ini dia tak harus bertemu dengannya. Sungguh! Miracle masih kesal pada Mateo karena kejadian tadi mala
Hujan turun begitu deras membasahi kota Milan. Suara kilatan petir yang cukup keras membuat Miracle terbangun dari tidurnya. Wanita cantik itu mengerjapkan matanya beberapa kali, menguap sebentar, lalu tatapannya teralih pada jendela yang terbuka. Decakan pelan lolos di bibirnya. Angin kencang membuat jendela terbuka. Benar-benar menyebalkan! Detik itu juga, Miracle beranjak dari ranjang, melangkah menuju jendela yang terbuka itu.Namun, ketika Miracle tiba di depan jendela, tatapannya terpaku melihat parkiran khusus mobil Mateo kosong. Hal tersebut menandakan Mateo belum pulang. Tunggu! Kenapa dia harus memikirkan pria itu?! Buru-buru, Miracle menepis pikiran yang mengusik ketenangannya.Miracle memilih untuk kembali membaringkan tubuhnya di ranjang, tetapi rasa haus ditenggorokan membuatnya berbalik dan mengambil gelas di atas meja. Umpatan pelan lolos di bibirnya melihat teko yang berada di atas meja sudah kosong. Tidak ada pilihan lain, dia mengambil sendiri minumannya di dapur. S
Paris, Prancis. Beberapa bulan kemudian… “Marcel… Moses… Jangan berlari terlalu kencang. Kasihan kakakmu.” Suara Miracle berseru pada kedua putra kembarnya yang terus berlari kencang. “Sayang. Kau tidak perlu khawatir. Anak buahku selalu mengikuti anak kita. Lebih baik kita duduk.” Mateo menarik tangan Miracle, mengajaknya untuk duduk seraya menikmati keindahan kota Paris. Musim semi salah satu musim yang terbaik. Cuaca dingin yang menyejukan. Miracle mengembuskan napas kasar. “Marcel dan Moses itu sering sekali berlari-lari. Aku tidak ingin mereka terjatuh, Sayang. Ditambah mereka mengajak Michaela berlari,” ujarnya kala sudah duduk di samping sang suami. “Marcel dan Moses pasti akan menjaga kakak mereka. Aku ingin memberikan mereka tanggung jawab menjaga Michaela. Sebagai anak laki-laki, mereka harus melindungi kakak perempuan mereka,” ujar Mateo menjelaskan. Miracle mencoba mengerti. Dia menyandarkan kepalanya di dada bidang sang suami. Memeluk suaminya itu dengan erat. “Mate
“Mommy….” Suara bocah laki-laki dan perempuan berlari menghampiri Charlotte yang tengah menata foto-foto di ruang keluarga. Charlotte langsung mengalihkan pandangannya kala mendengar suara yang begitu dia kenal. Seketika senyuman di wajah Charlotte terukir melihat kedua anaknya melangkah mendekat padanya. Charlotte segera memberikan pelukan hangat pada kedua anaknya itu. “Sayang, kalian sudah pulang.” Charlotte bersimpuh, mensejajarkan tubuhnya pada kedua anaknya itu. Dia tersenyum hangat melihat kedua anaknya yang masih lengkap dengan seragam sekolah. “Bagaimana hari kalian di sekolah? Apa menyenangkan?” tanyanya dengan tatapan kelembutan seorang ibu dan tersirat penuh kasih sayang. Austin Geovan Romano dan Carmella Geovan Romano adalah anak kembar Charlotte dan Arsen. Sungguh, Charlotte tidak menyangka akan memiliki anak kembar laki-laki dan perempuan. Persis seperti dirinya dan Kelvin yang kembar. Kehidupan Charlotte dan Arsen kini benar-benar sempurna. Kehadiran buah cinta mere
Lima tahun kemudian… “Mommy….” Dua anak laki-laki berusia empat tahun berlari menghampiri Mirale yang tengah menata bunga-bunga di taman megah mansionnya itu. Miracle mengalihkan pandangannya kala mendengar suara kedua putranya. Benar saja. Kedua putranya itu tengah berlari menghampirinya. Miracle langsung menundukan tubuhnya, memeluk erat kedua putranya itu. “Sayang… Kalian sudah pulang? Mommy pikir kalian masih menginap di rumah Grandpa dan Grandma,” ujar Miracle seraya mengurai pelukannya dan mengelus lembut pipi kedua putranya itu.Ya, Imanuel Marcellino Geovan De Luca dan Imanuel Moses Geovan De Luca adalah kedua anak laki-laki kembar Mateo dan Miracle. Kehamilan kedua, Miracle mengandung bayi laki-laki kembar. Namun, Moses dan Marcel tidak kembar indentik. Keduanya memiliki wajah yang berbeda. Sama seperti Miracle dan Selena yang tidak kembar identik. “Kami sudah pulang, Mommy. Tadi sopir mengantar kami. Daddy bilang katanya hari ini kita akan makan diluar bersama,” ujar Mar
Katedral Milano, Milan, Italia. “Sayang… Ayo berfoto lagi. Aku ingin kita memiliki banyak foto bersama,” seru Charlotte dengan riang. Tampak raut wajahnya begitu bahagia. Arsen menghela napas panjang. “Sayang, apa kau tidak lelah? Fotografer sudah memotret ratusan foto kita hari ini. Nanti juga kau pasti hanya memajang dinding hanya beberapa saja. Tidak semuanya,” katanya yang mulai kesal. Bibir Charlotte tertekuk. Dia mengusap perut Charlotte yang membuncit itu. “Ini keinginan anak kita, Sayang. Kau tega tidak menuruti keinginan anak kita?” Arsen berdecak kesal. Semua keinginan istrinya itu selalu saja mengatas namakan keinginan anak mereka. Kandungan Charlotte memasuki minggu ke tiga puluh lima. Tepatnya hari ini Charlotte ingin melakukan fotoshoot dengan Arsen. Mengingat perut Charlotte kini sudah semakin membesar, tentu saja Charlotte ingin mengabadikan moment itu. Namun, bayangkan saja Charlotte tidak pernah lelah sedikit pun. Sudah banyak mereka berpindah-pindah tempat di M
“Sayang… Lapar, ya? Anak Mommy yang cantik pintar sekali.” Miracle berucap lembut pada putri kecilnya seraya memberikan ASI pada putri kecilnya itu. “Michaela, Namamu sangat indah. Daddy-mu memang yang terbaik. Dia memberikan nama yang indah untukmu, Nak.” Miracle tengah duduk di sofa kamar seraya memberikan ASI untuk putri kecilnya. Saat itu, Kini Miracle dan Mateo telah pindah ke mansion baru mereka yang megah. Seperti apa yang direncanakan oleh Miracle, bahwa mereka akan pindah jika sudah melahirkan. Saat ini usia Michaela sudah tiga bulan. Waktu berjalan begitu cepat. Miracle seperti baru saja melahirkan putri kecilnya. Namun, kenyataan putrinya ini sudah berusia tiga bulan. Tubuh Michaela gemuk. Kulit putih. Rambut cokelat tebal. Ditambah mata biru, membuat Michaela seperti boneka barbie hidup. Setiap harinya Michaela begitu menggemaskan. Tingkah-tingkah gemas Michaela membuat Mateo dan Miracle selalu dipenuhi tawa setiap harinya. Banyak orang mengatakan seorang putri akan jau
Huee…. Huee….Charlotte memuntahkan semua isi perutnya ke wastafel. Kepalanya memberat. Pandangannya sedikit buram. Charlotte memutar keran wastafel, lalu membasuh mulutnya dengan air bersih. Sesaat Charlotte memijat pelipisnya kala rasa sakit di kepalanya begitu menyerang. “Astaga, kenapa aku pusing sekali seperti ini. Ada apa denganku.” Charlotte bergumam pelan. “Sudahlah lebih baik aku istirahat saja.” Charlotte melangkah keluar dari kamar mandi, tetapi tatapannya teralih pada suara pintu terbuka. Seketika mata Charlotte tampak terkejut melihat Arsen yang membuka pintu kamar. Padahal tadi baru saja suaminya itu berpamitan untuk berangkat ke kantor. “Arsen? Kenapa kau kembali?” Charlotte hendak mendekat. Namun pandangan Charlotte semakin buram. Rasa sakit dikepalanya begitu menyerang. Tiba-tiba tubuh Charlotte tidak seimbang. Tepat di saat Charlotte terjatuh, Arsen langsung menangkap tubuhnya. “Sayang kau kenapa?” Arsen menjadi panik saat menangkap tubuh Charlotte yang hampir te
Di ruang persalinan, suasana begitu mencekam. Suara jeritan dan rintihan sakit Miracle membuat Mateo semakin panik. Berkali-kali Mateo membiarkan istrinya itu menggigit lengannya dan menarik rambutnya hanya demi sang istri bisa mengurangi rasa sakitnya. Sekitar satu jam lalu dokter baru saja memeriksa Miracle. Sang dokter mengatakan harus menunggu sebentar karena kepala bayi masih belum terlihat. Mateo sudah menawarkan Miracle untuk melakukan proses persalinan dengan operasi sesar. Sayangnya Miracle menolak itu dengan tegas. Miracle berkali-kali menekankan pada Mateo bahwa ingin melahirkan secara normal. Well… Keras kepala Miracle membuat jantung Mateo ingin berhenti. Bagaimana tidak? Sudah cukup lama mereka di rumah sakit tapi dokter masih memgatakan harus menunggu. Sedangkan Mateo tidak tega melihat Miracle yang sejak tadi merintih kesakitan. “Mateo…” Miracle menatap sang suami dengan wajah yang masih pucat. “Iya, Sayang. Aku di sini. Bertahanlah.” Mateo menghapus keringat sang
Kandungan Miracle mulai memasuki tiga puluh delapan minggu. Perutnya kian membesar. Mateo sudah melarang Miracle berpergian. Hari demi hari, Miracle lewati dengan bersantai di rumah. Atau kalau pun bosan, biasa Miracle menonton film di rumah dan emminta Charlotte untuk menemaninya. Miracle sungguh bersyukur karena di Milan tidak tinggal seorang diri. Ada Charlotte—sepupunya yang selalu menemani dirinya. Seperti saat ini, Miracle pun tengah duduk di sofa empuk kamarnya sembari menonton film action kesukaannya. Tadi pagi Mateo mengatakan akan pulang terlambat hari ini. Mengingat banyaknya tanggung jawab Mateo, membuat Miracle paling tidak mengerti. Lagi pula Miracle pun masih belum merasakan apa apa. Terakhir saat konsultasi dengan dokter, kandungan Miracle sehat dan baik-baik saja. Kelahiran bayinya diperkirakan baru minggu depan. Itu kenapa Miracle masih duduk bersantai di rumah. “Ah, kenapa wanita itu lemah sekali. Harusnya dia menghajarnya dari sisi kiri. Gunakan pisaumu dengan b
Miracle melihat sebuah gaun indah berwarna merah yang sangat cantik. Baru saja anak buah suaminya mengantarkan gaun untuknya. Gaun yang tepat untuk wanita hamil. Bagian perut terlihat longgar, membuat Miracle yakin dirinya akan merasa nyaman. Jujur, Miracle masih bingung ke mana Mateo akan membawanya. Biasanya kalau ada jamuan makan malam maka suaminya itu akan mengatakan padanya. Namun kenyataannya Mateo tidak mengatakan apa pun. Membuat dirinya benar-benar semakin penasaran. Miracle menghela napas panjang. Dia mengalihkan pandangannya ke jam dinding—waktu menunjukan pukul lima sore. Sudah waktunya, dia untuk bersiap-siap. Kini Miracle memilih untuk merias wajahnya. Semenjak hamil, Miracle memang menyukai bersolek. Bahkan kemampuan Miracle dalam merias wajah sangatlah hebat. Seperti saat ini, nyatanya Miracle begitu hebat merias wajahnya dengan riasan bold. Dia memadukan make up bold dengan gaun warna merah yang diantarkan oleh anak buah suaminya itu. Setelah selesai berias, Mira