Share

Bab 6. Apa Kalian Tidak Ingin Berbulan Madu?

Dorr … Dorr …

Good job, Miracle. Kau memang hebat,” Miracle tersenyum puas kala tembakannya tidak meleset pada papan. Sejak dulu Miracle selalu diajarkan oleh sang ayah untuk menjaga dirinya sendiri. Setiap hari Miracle selalu berlatih menembak dan menggunakan pisau. Lama tinggal di Roma sendiri, membuatnya harus mampu melindungi dirinya. Meski banyak pengawal yang menjaganya, tapi Miracle selalu waspada demi kebaikannya.

Miracle berbalik, dia hendak mengambil minuman yang terletak di atas meja. Namun, langkahnya terhenti kala melihat sosok pria berdiri tegap dan terus menatapnya dengan begitu lekat. “Mateo? Kau sudah pulang? Sejak kapan kau di sini?” tanyanya terkejut melihat Mateo berada di hadapannya. Pasalnya, tidak biasanya pria itu pulang lebih awal. Bahkan hampir setiap harinya Mateo selalu pulang larut malam.

“Hari ini aku pulang lebih awal,” jawab Mateo dingin dengan raut wajah datar. Dia melangkah mendekat ke arah Miracle seraya melanjutkan perkataanya, “Siapa yang mengajarimu menggunakan pistol? Bukannya para wanita selalu takut memegang benda itu?”

“Aku tinggal sendiri di Roma dan jauh dari keluargaku. Meski ayahku meminta anak buahnya menjagaku, tapi paling tidak aku bisa menjaga diriku sendiri,” balas Miracle dengan nada acuh.

Mateo tersenyum misterius, dia semakin mendekat ke arah Miracle. Sontak Miracle menjadi panik di kala Mateo berjarak begitu dekat padanya. Pria itu mendekatkan bibirnya ke telinga Miracle, seraya berbisik serak, “Sasaranmu masih belum tepat.”

Kening Miracle mengerut mendengar apa yang dikatakan oleh Mateo. Detik selanjutnya yang dilakukan pria itu adalah menganbil pistol yang ada ditangan Miracle—mengarahkan pistol ke papan. Suara tembakan terdengar begitu keras.

Miracle terkejut melihat tembakan Mateo tepat sasaran. Dia tak mengira Mateo ternyata hebat dalam menembak. Namun, tetap saja dia jengkel pastinya Mateo meremehkan dirinya. Itu sangat menyebalkan! Miracle langsung mendengkus tak suka.

“Apa kau ingin meremehkanku dan menganggap kau jauh lebih hebat dariku?” seru Miracle jengkel.

Mateo mengedikan bahunya acuh, tak acuh. “Well, kau bisa lihat sendiri dan menilai tanpa harus aku menjawab pertanyaanmu.”

‘Menyebalkan sekali pria itu. Lihat saja kalau aku lebih hebat darinya, aku tembak kepalanya!’ gerutu Mircle dalam hati.

Mateo tersenyum samar puas membuat Miracle kesal padanya. Lantas, dia berbalik dan hendak meninggalkan Miracle, tetapi langkah Mateo terhenti kala melihat seorang pelayan yang berjalan menghampirinya.

“Tuan Mateo, Nyonya Miracle,” panggil pelayan berjalan cepat ke arah Mateo dan Miracle.

“Ada apa?” tanya Mateo dingin pada pelayan yang berdiri di hadapannya.

“Tuan, Nyonya Orina datang,” jawab pelayan memberi tahu.

“Mom Orina datang?” tanya Miracle memastikan.

“Benar, Nyonya,” jawab sang pelayan.

Miracle tersenyum. “Aku dan Mateo akan menemui Mom Orina.”

“Baik, Nyonya. Saya permisi, Tuan, Nyonya.” Sang pelayan menundukkan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Mateo dan Miracle.

Mateo menatap dingin Miracle. “Kau tidak ingin menggganti pakaianmu?”

Miracle berdecak mendengar pertanyaan Mateo. “Memangnya apa yang salah dengan pakaianku?”

Miracle merasa taka da yang salah dengan pakaiannya. Wanita cantik itu sekarang memakai celana pendek dan tube top yang sangat seksi. Pakaian ini tentu sangat membuatnya tampak cantik. Bukan dia tidak menyukai memakai dress, tapi saat berlatih menembak tidak mungkin dirinya memakai dress.

“Aku hanya khawatir ibuku terkejut melihat penampilanmu yang sama sekali tidak ada anggunnya,” jawab Mateo pedas, dan sontak membuat mata Miracle mendelik tajam.

“Aku menyukai Miracle dengan cara dia membawa dirinya.” Sosok wanita paruh baya, yang masih sangat cantik melangkah dengan anggun mendekat ke arah Miracle dan Mateo.

“Mom Orina?” sapa Miracle kala melihat Orina, ibu mertuanya berdiri di hadapannya.

“Hai, Sayang. Bagaimana kabarmu?” Orina langsung memberikan pelukan hangat pada Miracle.

“Aku baik, Mom. Bagaimana dengamu sendiri, Mom?” balas Miracle hangat.

“Mom juga baik, Sayang,” jawab Orina seraya melirik pistol yang ada di atas meja. “Kalian berdua sedang latihan menembak?”

Miracle tersenyum kaku. “Ya, Mom. Hari ini Mateo pulang lebih awal.”

“Hebat, Mommy tidak menyangka kau sangat pemberani, Miracle,” ucap Orina yang tersenyum bangga ke arah Miracle. “Biasanya para wanita akan takut pada pistol, tapi kau sangat berani.”  

Miracle tetap tersenyum ke arah ibu mertuanya. Meski sebenarnya, dia tidak terlalu suka mendapatkan pujian. Sebab menurutnya hal yang disukainya bukan hal yang harus dipuja-puja. Dia belajar berlatih menembak tentu untuk dirinya sendiri.

“Mateo, apa kau tidak ingin mengajak Miracle berbulan madu? Atau jika kau sibuk, kau bisa mengambil weekend-mu. Kalian bisa menghabiskan waktu bersama dan saling mengenal lebih dekat,” kata Orina memberikan saran pada putranya untuk mengajak Miracle berbulan madu.

“Aku sibuk. Banyak pekerjaan yang tidak bisa aku tinggalkan,” jawab Mateo dan raut wajah yang datar. Kali ini dia harus kembali bersabar menahan emosinya. Jika kemarin sang ayah yang menanyakan tentang bulan madu, kali ini ibunya yang bertanya.

“Mateo, kau tidak bisa—”

“Mom, saat ini Mateo sedang sibuk. Aku juga masih ada pekerjaan yang harus aku selesaikan. Sebelumnya aku tinggal di Roma dan sekarang aku menetap tinggal di Milan. Aku harus mengurus banyak hal di sini,” sambung Miracle yang berusaha memberikan pengertian. Tidak ada pilihan lain, dia harus membela Mateo di hadapan mertuanya. Sebab, dia pun enggan bulan madu dengan pria menyebalkan itu.

“Baiklah, tapi Mommy harap kalian bisa meluangkan banyak waktu bersama.” Orina memilih untuk mengalah. “Wait, kalian tidak ada niat untuk menunda memiliki anak, kan?” lanjutnya di kala otaknya mengingat sesuatu hal yang penting.

Miracle sedikit terkejut mendengar pertanyaan yang terlontar dari ibu mertuanya. Entah dia harus berkata apa jika membahas tentang anak. Terpikir memiliki anak dari Mateo saja tidak pernah muncul dalam benaknya. Sesaat Miracle mengalihkan pandangannya, menatap wajah dingin Mateo. Dia menunggu Mateo yang menjawab peratanyaan Orina.  

“Aku dan Miracle masih baru menikah. Banyak hal yang harus kita pahami satu sama lain. Aku harap kau mengerti, Mom,” ucap Mateo menegaskan.

Miracle mendesah lega di kala Mateo menjawab pertanyaan Orina dengan baik.

“Baiklah, Mommy mengerti. Kalian baru menikah. Butuh waktu untuk kalian saling mengenal satu sama lain. Ya sudah, Mommy masuk dulu. Kalian teruskan saja latihan kalian,” jawab Orina memilih mengalah. Wanita paruh baya itu tak ingin memaksa. Sebab, bagaimanapun pernikahan Mateo dan Miracle adalah hal yang tak disangka-sangka.

Miracle mengangguk. “Kami juga nanti akan segera masuk, Mom.”

Orina tersenyum seraya mengecup pipi Miracle. Lantas, dia segera berjalan meninggalkan Mateo dan Miracle.

Saat Orina sudah pergi, tatapan Miracle teralih pada Mateo. “Ada hal yang ingin aku tanyakan padamu.”

Mateo menatap dingin Miracle. “Ada apa?”

Miracle terdiam sejenak, memikirkan kembali apa yang muncul di pikirannya secara tiba-tiba. “Aku hanya bertanya, kau jangan salah paham.”

Kening Mateo mengerut dalam. “Katakan, apa yang ingin kau tanyakan?”

“Kau mengatakan padaku, kita harus berpura-pura menjadi suami istri yang baik di depan kedua orang taumu.”

“Ya, lalu?”

“Tapi kenapa kau menolak permintaan ibumu yang meminta kita untuk berbulan madu?”

Bukan ingin bulan madu dengan Miracle, dia hanya ingin memastikan ucapan Mateo di awal. Dia mengingat di mana Mateo memintanya untuk memainkan peran menjadi pasangan yang baik. Namun, lepas dari itu tentu saja Miracle bahagia karena Mateo tak memikirkan tentang bulan madu.

Mateo tersenyum sinis mendengar pertanyaan Miracle. Pria tampan itu mendekat, dan menarik dagu Miracle dengan jari telunjuknya. “Apa kau begitu menginginkan bulan madu denganku?”

Raut wajah Miracle berubah terkejut. “Keinginanku? Tentu tidak! Aku tidak mau sama sekali! Aku hanya bertanya kenapa kau menolak?! Apa kau tidak takut ibumu curiga? Satu lagi, jika kau tanya aku, tentu saja aku bahagia kita tidak bulan madu!”

Mateo tersenyum sinis.  “Kau takut ibuku curiga, atau memang kau menginginkannya? Ah, jangan-jangan kau ingin mendapatkan sentuhan dariku? Apa kau tidak pernah mendapatkannya, hingga kau sampai meminta seperti ini?"

Miracle langsung mendorong dada Mateo dengan keras. Tatapannya berubah menjadi tajam ke arah pria itu. “Jangan macam-macam kau, Mateo! Kau berani menyentuhku sedikit saja, aku pastikan akan membunuhmu! Sudahlah, berbicara denganmu selalu membuatku kesal. Lama-lama aku bisa menua, jika terus berbicara denganmu!”

Tanpa lagi berkata, Miracle berjalan meninggalkan Mateo yang masih tidak bergeming dari tempatnya. Tampak tatapan Mateo terus menatap Miracle dengan tatapan penuh arti. Seringai muncul di wajahnya membayangkan wajah kesal wanita itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status