Nadiar menatap tampilan dirinya di cermin dengan mata berbinar senang. Ditubuhnya, melekat sebuah kemeja berwarna putih yang dilapisi blazzer hitam dan rok hitamnya yang berjarak sedikit di atas lutut. Sambil tersenyum, Nadiar merapikan rambutnya dan menyimpan gumpalan rambutnya melewati bahu. Senyum Nadiar melebar melihat tampilan dewasanya. "Aduhh, cantiknya ciptaanmu, Ya Allah ..." ucapnya sambil mendesah, kagum pada dirinya sendiri.
Setelah bercermin beberapa menit, Nadiar lalu menggunakan sedikit bedak dipipinya. Setelah itu, memoleskan lipstik berwarna merah tebal dibibirnya. Melihat tampilan tante-tantenya, Nadiar cekikikan sendiri. "Aaa! Nadiar udah gede!"
Tak tahan berlama-lama mengagumi diri sendiri, Nadiar mengambil tas di kasurnya, lalu memilih satu heels berwarna hitam di rak sepatunya. Ia kemudian keluar dari kamar dengan senyum yang memenuhi pipinya. Sampai di lantai 1 rumahnya, ia memasuki ruang makan dimana seluruh anggota keluarganya sedang sarapan. "Pagi semuanya!! Pagi ini, pagi yang cerah di mana Nadiar udah dapet kerjaan dan pertama kali Nadiar masuk kerja. Ayo! Ayo! Beri Nadiar semangat!!"
Sementara Alden menatap malas sambil meneruskan makannya, Ayah dan Bunda Nadiar tersenyum cerah sambil mengucap, "Semangat sayang!!" dengan semangat menggebu, dan di tambah tepuk tangan sang Bunda.
Nadiar menangkup pipinya yang memerah akibat semangatnya yang terlalu menggebu. Tangan Nadiar lalu menyelipkan rambutnya di belakang telinga dengan gerakan slow motion. Setelah itu, Nadiar berjalan dengan dagu yang diangkat tinggi-tinggi dan langkahnya yang di buat tegas dan berwibawa.
Nadiar tidak tahu bahwa pagi itu lantai baru saja di pel dan dengan langkahnya yang tergolong kagok, Nadiar terpeleset saat itu juga di dekat kursi ruang makannya.
Hening.
Tidak ada komentar, tidak ada reaksi saat Nadiar nyungsep ke lantai dengan tidak elitnya.
"BUAHAHAHAHAHAHAH!" Tawa Alden pecah saat Nadiar mengangkat kepalanya dari lantai dengan wajah merah padam hingga ke telinga.
Sementara Nadiar cemberut, Alden tidak berhenti tertawa dan Ayah-Bunda Nadiar yang mengulum bibir agar tidak tertawa.
Merasa harinya hancur karena terjatuh, Nadiar terisak pelan, lalu setelah itu menangis kencang sambil terduduk di lantai. "HUA!! HUE!! ABANG JAHAT!!" Teriaknya di sela-sela tangis kejer.
Alden tertawa kencang, Nadiar menangis kencang.
Pagi itu, di kediaman keluarga Pak Sultan selaku ayah dari Nadiar dan Alden, sangat ramai dengan tangis dan tawa dari kedua anaknya.
"Alden."
Suara itu membuat Alden memelankan tawanya sambil menatap sang Ayah yang masih menahan tawa, tapi berusaha menatap tajam pada Alden.
Kepala Pak Sultan kemudian mengedik pada anak perempuannya yang masih menangis kejer di lantai. "Bantuin adek kamu."
Tawa Alden masih tersisa saat ia menatap pada sang adik yang masih menangis. Alden kemudian berdiri dari duduknya, dan berjongkok di depan Nadiar yang masih menangis. Alden memberikan senyum lebar, tapi terlalu lebar karena dia menahan tawa. "Cup, cup, cup. Udah, jangan nangis. Ntar lo telat ke kantornya. Aduuhh, make up lo luntur, tuh!"
Nadiar buru-buru menghentikan tangisnya. Matanya melotot, dan tangan Nadiar dengan cepat mengambil ponsel di saku untuk berkaca di layar ponselnya yang gelap. Mengetahui wajahnya sudah tak sesegar tadi, Nadiar kembali menangis kencang. "HUA!! HUE!! GARA-GARA ABANG!!"
Alden tertawa sebentar, lalu mengusap kepala Nadiar dengan lembut. "Sstt, ini hari pertama lo kerja! Jangan nangis dong! Semangat!!"
"ABANG NGESELIN!! HUE!!"
"Ssttt, berisik ah! Masih pagi, ini!!"
"GAMAU TAU!! GUE GAK JADI KERJA!!"
"Kok ngomong gitu, sih? Semangatnya yang tadi mana?"
"BUTA YA LO?! GUE MASIH WARAS UNTUK TETAP MELANJUTKAN HARI GUE YANG GAK LANCAR INI! GUE BAKAL SIAL, PASTI! GARA-GARA LO!! HUEE!!"
"Kok nyalahin gue?"
"TRUS SALAH SIAPA? SALAH GUE? KOK LO NYALAHIN GUE, SIH?!"
"Lo yang nyalahin gue!!"
"ELO EMANG SALAH!"
"Lo tuh yang jalannya sok princes!"
"LO NGETWAIN GUE!"
"ELO KOK NYALAIN GUE?!"
"LO KOK TERIAKIN GUE?!"
"ELO YANG DULUAN NERIAKIN GUE!"
"ENGGAK!"
"IYA!"
"ENGGAK!"
"CUKUP!!" Teriakan keduanya terhenti saat sang Ayah ikutan teriak sambil menatap keduanya tajam. Mama yang berada di samping sang Ayah menggeleng pelan. Napas Ayah memburu dengan dadanya yang naik turun. "Kalian ini sudah besar! Sampai kapan kalian mau terus berdebat, hah?!"
Nadiar sesegukan. Air matanya semakin deras dan ia kembali meraung. "Ayah jahat! Ayah kok malah marahin Diar, sih?"
"Iya," Alden menyetujui sambil mengelus punggung sang adik dengan pelan. "Ayah kok marah-marah, sih?"
Ayahnya mengedip cepat. Bahunya yang tadi tegang kini melemas dan matanya yang tadi tajam kini menatap kedua anaknya dengan gelagapan. "Eh, Ayah gak maksud, sayang," ucapnya, lalu menghampiri kedua anaknya dan mengelus kepala Nadiar dengan lembut. "Tadi Ayah itu gak maksud marah. Ayah cuma nanya. Nadiar mau nggak ntar Ayah ajarin ngendarain mobil?"
Tangis Nadiar terhenti. Nadiar menatap sang Ayah dengan matanya yang berbinar. "Serius?"
Pak Sultan mengangguk cepat. "Iya dong!"
"Oke deh! Nadiar mau!!"
"Oohh, jadi, tadi itu marahin Alden aja, ya?" tanya Alden dengan sedih.
Pak Sultan menggeleng cepat. "Enggak, kok. Tadi itu, Ayah cuma mau tanya, kamu mau ganti mobil, gak? Soalnya, mobil kamu udah ketinggalan zaman gitu. Ayah cuma nawarin, kok!"
Senyum Alden terkembang lebar. "Mau dong, Yah! Kapan?! Kapan?! Besok? Atau kapan?"
"Nanti ya, nak."
Disaat mereka berbahagia di lantai, sang Bunda menghela napas panjang, lalu mengusap wajahnya dengan kasar. "Ya Allah, kapan ketiga anak itu dewasa?"
***
Alvis melangkah memasuki kantornya dengan langkahnya yang tegas. Ia lalu mencengkram dasinya, dan menggerakan sedikit kepalanya agar mendapat kenyamanan dilehernya. Alvis kemudian berbelok, dan beberapa karyawan yang berada di koridor sedikit menganggukan kepalanya dengan sopan, sambil berucap, "Selamat Pagi, Pak!"
Alvis hanya menatap, lalu kembali melanjutkan langkahnya. Sampai di depan lift, Alvis lalu menekan tombol yang terdapat di dinding. Kepalanya terangkat, menatap sebuah layar yang terdapat di atas pintu lift. Layar itu berisikan angka yang silih berganti. Dan saat lift terbuka, Alvis masuk bersamaan dengan seorang karyawan yang keluar sambil mengangguk sopan pada Alvis.
Alvis tidak menanggapinya, lalu menyentuh tombol teratas di mana ruangannya berada. Baru saja pintu lift tertutup sedikit, suara langkah cepat dan teriakan, "Tungguin gue!!" yang tergesa, di susul dengan kaki berheels yang muncul di bingkai pintu lift, membuat pintu lift berhenti menutup, dan malah kembali terbuka.
Seorang perempuan dengan bibir yang berlapis lipstik merah tebal lalu masuk ke dalam lift dengan dagu di angkat tinggi, juga langkahnya yang pelan dan di buat arogan.
Melihatnya, Alvis mengerutkan alisnya sekilas. Entah orang itu tidak menatap wajahnya atau bagaimana, tapi perempuan itu seolah tidak mengenal Alvis. Padahal, Alvis kan bos di sini.
Pintu lift pun kembali tertutup rapat. Tangan gadis itu terulur pada papan tombol angka di lift. Namun kemudian, terhenti dan tangannya kembali turun. Gadis itu menghela napas panjang. "Aahhh!! Gila! Gue, hampir aja telat!"
Suara heels yang beradu dengan lantai terdengar.
Alvis menoleh, dan melihat gadis itu mundur dan menyenderkan tubuhnya di dinding lift. Sumpah! Alvis ingin berteriak pada gadis itu kalau Alvis adalah bos di sini! Tidak mungkin, kan, dia lupa pada wajah Alvis? Padahal, wajah Alvis kan terpampang di pintu masuk kantor.
"Gila, hari ini adalah pagi yang bener-bener melelahkan. Semoga, si gendut belum dateng. Amiiinn!" Gadis itu terus berucap ngelantur, namun tetap tidak mengatakan apapun pada Alvis. Ayolah! Kapan sadar, sih?!
Baru kali ini Alvis menginginkan sapaan dan anggukan sopan dari karyawannnya.
Alvis menghela napas panjang. Saat tatapannya mengarah ke atas untuk melihat angka di layar, sebuah guncangan terasa, di susul dengan cahaya di dalam lift yang kian meredup, lalu menyala lagi, kemudian mati total.
Suara pekikan terdengar. Sedangkan Alvis tetap tenang. Namun, ia sukses membeku saat sebuah tangan memeluknya dari belakang.
"Sori! Biarin gue meluk lo bentar! Gue takut!!"
Alvis hanya diam membeku ditempatnya, membiarkan perempuan itu memeluk tubuhnya dengan erat.
Untuk pertama kalinya, ada karyawan yang berani memeluk Alvis.
__
Gaje part againNadiar menghela napas untuk menenangkan dirinya. Ia lalu melepaskan pelukannya dari laki-laki yang kini bersamanya di dalam lift. Tangan Nadiar menarik jas lelaki itu, sedangkan ia melangkah mundur dan kembali menyandarkan tubuhnya di dinding lift. "Hey, sini dong! Gue takut, tau!!" suruhnya saat sadar tubuh lelaki itu masih terpaku di tempat."Lepas."Nadiar cemberut mendengar suara dingin itu. Ia lalu menghempaskan pegangannya di jas lelaki itu dengan sebal. Mata Nadiar kemudian menatap sekelilingnya yang gelap, membuatnya berdecak sebal. "Ini lift kenapa, sih? Perusahaannya elit, tapi liftnya gak elit."Sesaat setelah mengatakan hal tersebut, cahaya muncul saat lelaki yang bersama Nadiar menyalakan ponsel dan terlihat mengutak atik layarnya. Nadiar lalu mengambil ponsel di tasnya, kemudian menyalakan flash agar mendapat cahaya lebih banyak."Halo?"Tatapan Nadiar beralih pada lelaki
Nadiar menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Kepalanya tertunduk dalam saat Alvis membawanya masuk dan berhenti tepat di sebuah meja di luar ruangan lain dalam pintu tersebut."Di sini meja kamu," ucap Alvis dingin. "Kamu boleh masuk ke ruangan saya kalau saya yang suruh. Selebihnya, kalau ada apa-apa, telfon saja. Mengerti?"Sambil menelan ludahnya, Nadiar mengangguk cepat. "Me-mengerti, Bos."Alvis mengangguk. "Bagus," katanya. "Kalau begitu, saya masuk dulu. Nanti saya beri kamu tugas."Nadiar mengangguk cepat, bersamaan dengan Alvis yang langsung berlalu dihadapannya. Akhirnya, Nadiar bisa bernapas. Ia lalu menghela napas lega, mencoba menetralkan detak jantungnya yang meloncat gila-gilaan.Benar, kan? Hari ini akan sial. Soalnya, tadi Nadiar sudah terpeleset dengan tidak elitnya.Nadiar jadi ingin menangis. Matanya sudah berkaca-kaca dan bibir bawahnya sudah maju ke depan. "I
Alvis menutup pintu ruangannya, lalu menatap Nadiar yang sedang sibuk dengan komputer didepannya. Melihatnya, membuat Alvis mendengus pelan. "Saya ada pertemuan siang ini."Nadiar mendongak, lalu mengangguk. "Ya, bos. Di kafe dekat kantor ini.""Iya."Lalu hening. Keduanya saling menatap. Dan Alvis menunggu. Menunggu reaksi Nadiar selanjutnya. Namun, Nadiar tetap duduk dan menatap Alvis datar, lalu mengedip. Terus melakukan hal tersebut, dan Alvis terus menatap Nadiar."Bos?""Hm?""Bos ngapain masih di sini?" tanya Nadiar dengan alis yang bertautan."Kamu sendiri, ngapain masih duduk?""Saya kan kerja, bos.""Kamu gak akan menemani saya?""Hah?" Alis Nadiar bertaut dalam. Tangannya terangkat lalu menggaruk tengkuknya pelan. "Harus, ya, bos?"Alvis mendelik sebal. "Ya kamu pikir saja. Gunanya kamu ap
Alvis baru saja keluar dari gedung perusahannya saat melihat Nadiar yang berdiri di halaman perusahaan sambil memeluk dirinya sendiri. Alvis mengerutkan alis. Ia memperhatikan dengan seksama saat ada mobil sedan berwarna merah yang terparkir tepat di depan Nadiar. Pengemudi sedan itu lalu keluar, dan menatap Nadiar dengan wajah berbinar senang.Nadiar buru-buru lari ke arah lelaki itu, lalu mereka berpelukan di sana. Si lelaki kemudian mengecup puncak kepala Nadiar, lalu mengelus pelan rambut perempuan itu.Walaupun dari jauh, Alvis masih dapat mendengar laki-laki itu bersuara. "Gimana kerjanya, sayang? Lancar?"Nadiar mengangguk cepat. "Lancar, tapi capek.""Capek banget?" tanya lelaki itu lagi.Nadiar kembali mengangguk, lalu menenggelamkan wajahnya di dada lelaki itu. "Kangen kamu."Lelaki yang di peluk Nadiar itu tertawa, lalu kembali mengecup puncak kepala Nadiar. "Kalo git
"Psst! Cewek! Godain abang, dong~""Abang! Apaansih! Minggir, ah!""Godain abang, dong, cantik!""Abang!! Jangan ganggu!!""Psst, neng, godain abang, dong!!"Nadiar mengeraskan rahangnya. Tangannya kemudian mengambil bantal sofa, lalu melemparnya pada Alden yang sedang berdiri menghalangi tv. Dan sialnya, Alden berhasil menangkap bantal tersebut dan menatap Nadiar dengan seringai mengejek. Sekali lagi, Nadiar mengambil bantal dan melempar kembali ke kepala Alden. Kali ini, bantal tersebut malah melayang melewati kepala Alden. Dan sekali lagi, Alden memberi seringai mengejek dengan tatapan segitu-doang-kemampuan-lo?Nadiar menggeram kesal, lalu mengambil seluruh bantal di sofa untuk melempar pada Alden dengan membabi buta. Alden kabur, sedangkan Nadiar terus mengejar sambil melempar dan berteriak, "Harus kena, abang!! Ngalah dikit ama adek!!"Alden hanya
No edit.Ternyata, Alvis tidak mati.Sesaat setelah Nadiar menangis kencang, Alden datang dengan mobilnya dan menghampiri Nadiar yang masih sesegukan. Sadar ada orang lain di sana, Nadiar mengangkat kepalanya, dan tangisnya semakin kencang. "Abang!! Bos Diar meninggal, Bang!"Alden lalu berjongkok dan mengulurkan jarinya ke bawah hidung Alvis. "Dia masih hidup!" ucap Alden sambil berdecak dan menjitak kepala Nadiar kencang. "Lo kenapa lama banget, sih?! Gue di marahi nyokap, tau!"Nadiar sesegukan dan menyedot ingusnya kuat-kuat. "Abang mau marahin Diar? Sedangkan di sini ada orang yang lagi sekarat gara-gara Diar."Alden berdecak, lalu menarik tangan Alvis, kemudian menopang tubuh Alvis dengan punggungnya. Kepala Alden mengedik pada mobil yang ternyata sudah terparkir di sisi jalan. "Masuk!"Nadiar mengangguk, lalu buru-buru masuk ke dalam mobil.
"AYAH!!" Nadiar berteriak kencang mendengar pertanyaan Ayahnya yang sangat membuat Nadiar ingin menenggelamkan diri sekarang juga. Apa-apaan itu?! Kenapa Ayahnya bertanya seperti itu kepada bos Nadiar? Dan pertanyaannya tidak melihat situasi dan kondisi.Itu anak orang sedang babak belur, dan baru saja bangun dari pingsan. Bisa-bisanya bertanya hubungan Nadiar dan Alvis yang jelas sekali tidak penting di pagi ini.Pak Sultan menoleh sambil nyengir lebar pada Nadiar. "Bercanda, sayang," katanya, lalu kembali menatap pada Alvis. "Maafkan saya, dan terima kasih karena telah menolong anak saya kemarin."Alvis hanya tersenyum tipis. Amat tipis, lalu di susul anggukan kepalanya."Sombong amat," komentar Alden dengan suaranya yang pelan. Dan Nadiar yang berada di belakang Alden mendengar dengan jelas kalimat tersebut.Nadiar mendengus. "Iyalah! Makanya, gue blacklist dia."
Gaada inspirasi lain. Hampura pisan ie mahSudah lebih dari seminggu sejak kejadian di mana Alvis dipukuli oleh para brandalan dan berakhir di rumah keluarga Nadiar. Masih hangat di ingatan Alvis saat Bunda Nadiar menyuruh Alvis pergi ke toilet akibat air yang disemburkan oleh Pak Sultan ke wajah Alvis.Alvis tahu itu adalah reaksi yang tidak disengaja akibat kaget yang berlebihan. Jadi, Alvis tidak mempermasalahkannya. Namun, Pak Sultan terus saja meminta maaf pada Alvis dengan menyesal. Alvis mewajarkan sifat Pak Sultan, karena ternyata Pak Sultan merupakan Wakil Direktur di perusahaan besar yang merupakan sekutu perusahaan Alvis.Alvis hanya menenangkan dan terus berkata bahwa ia tak apa. Pak Sultan sudah memberi hormat pada Alvis, namun, Nadiar ternyata bermasalah juga.Alvis masih ingat saat ia keluar dari toilet dan menemukan Nadiar yang menunduk takut sambil berkata, "Jangan suruh s
Langit sudah gelap saat mobil yang Nadiar tumpangi kini berhenti di depan rumah milik Nadiar. Sisa tawa akibat celotehan Nadiar yang direspon menyebalkan oleh Alvis pun, perlahan terhenti. Nadiar tersenyum lebar pada Alvis. "Bye honey, sampai ketemu di kantor!"Baru saja tangan Nadiar menyentuh gagang pintu mobil, suara Alvis yang berseru, "Tunggu!" membuat Nadiar membatalkan niatnya dan menoleh pada Alvis."Kenapa?" tanya Nadiar dengan alis yang terangkat sebelah.Alvis melepaskan sabuk pengamannya, lalu tersenyum miring pada Nadiar. Dan sial, ketampanan Alvis berlipat-lipat! "Aku yang bukain pintunya," ucapnya sambil mengedipkan sebelah mata.BUNUH GUE!! Nadiar tidak bisa merespon kelakuan Alvis sedikitpun. Ia hanya diam saat Alvis keluar dan mengelilingi mobil. Sifat Alvis yang amat sangat jarang Nadiar lihat kini seketika membuat darah Nadiar berdesir. Dan harus Nadiar akui. Untu
Mulut Nadiar menganga lebar, sedangkan matanya mengedip cepat. Apa tadi? Apakah Alvis baru saja ..., menembak Nadiar? Be my baby, katanya? Nadiar melotot pada Alvis. "Bos ..., tadi, Bos nembak saya?"Alvis tersenyum, lalu menjauhkan wajahnya dari wajah Nadiar. Ia mengangguk mantap. "Ya, saya ingin kamu jadi pacar saya. Kenapa? Kamu menolak?"Nadiar tertawa hambar. "Saya bego kalo saya nolak Bos. Tapi ...," jeda, Nadiar mengubah raut wajahnya menjadi ekspresi tidak mengerti. "Kayaknya, Bos yang bego deh, mau-maunya sama saya. Kenapa? Terpukau sama teori penjahat berhak bahagia, ya? Wah, kalo emang itu penyebabnya, saya udah ngomong kayak gitu di depan Justin Bibier.""Kamu meledek saya?"Nadiar menggeleng cepat sambil menggoyakan tangannya di depan tubuh. "Bukan! Bukan gitu, Bos! Tapi, aneh aja. Kok, Bos bisa-bisanya nembak saya? Kalo saya yang suka Bos rasanya gak aneh. Tapi, saya gak nyangka
"Bos, kita sebenernya, mau kemana, sih?"Pertanyaan itu membuat Alvis melirik sejenak ke arah Nadiar yang tengah duduk di kursi samping pengemudi. Matanya berkedip heran, dan bibirnya mengerut akibat penasaran. Ya, setelah mereka menghabiskan makanan dan saling bertukar sapaan selamat tinggal pada Devan-Dizi, Alvis dan Nadiar langsung pergi ke tempat yang ingin dikunjungi oleh Alvis. Dan disinilah mereka. Dalam perjalanan menggunakan mobil untuk sampai ke pantai."Bos, kok perasaan, gak nyampe-nyampe, ya?" Nadiar kembali bertanya, namun, belum juga Alvis menjawab, Nadiar kembali membuka suara. "Bos, saya pengen dengerin lagu lewat radio mobil ini, boleh? Biar gak terlalu sepi, hehe.""Hm," balas Alvis sambil mengangguk pelan. Alvis melihat Nadiar yang mengaduk tasnya, lalu mengeluarkan ponsel dan kabel data.Nadiar langsung menghubungkan radio mobil dan ponselnya dengan menggunakan kabel data. "Mobil Bos bagus
"Mana coba mulutnya? Sini ..., am nyam, nyam, nyam. Enak?"Lelaki itu menelan makanannya, lalu nyengir lebar. "Enak!"Mereka tertawa lalu kembali melanjutkan makan.Alvis dan Nadiar kompak menggeleng melihat kelakuan mereka. Sesuai keputusan, Alvis dan Nadiar meluangkan waktu mereka untuk makan sebentar. Namun ternyata, walaupun mereka mengajak Alvis dan Nadiar makan bersama, dunia seolah milik mereka berdua. Sedari tadi, mereka saling suap, lalu saling menghapus remah di bibir pasangannya tanpa mempedulikan orang lain yang menjadi obat nyamuk keduanya.Nadiar menghela napas panjang. "Plis, deh, Dizi, gue yang banyak mantan aja gak pernah, tuh, yang namanya suap-suapan di depan lo."Dizi seolah tersentak. Matanya melotot, sedangkan mulutnya terbuka lebar. "Ya ampyun, gue lupa ada lo di sini! Omaygat! Maaf, ya, sayang."Nadiar ha
Baga$kara : sayangBaga$kara : kita putus aja yaBaga$kara : aku gak tahan pacaran sama kamu πΏπππNadiar GP : serah lu, nyetNadiar GP : waktu putus aja lu manggil aku-kamuNadiar GP : waktu masih pacaran, lu sering banget nistain gueBaga$kara : dihBaga$kara : lu emang nista, kaliBaga$kara : jadi, kita putus nih, yang?πππNadiar GP : itu tolong panggilan dan emotnya di kondisikanNadiar GP : yaiyalah, kita putusNadiar GP : mana tahan gue pacaran ama loNadiar GP : ini adalah awal menuju kebahagiaanNadiar GP : BUAHAHAHAHHABaga$kara : kamu emang mantan teranjingBaga$kara : mantan ternista
Basah, dan berat. Nadiar merasa tidak mampu membuka matanya. Ia merasa dirinya sudah bangun dari tidur, namun matanya sulit untuk di buka. Perlahan, Nadiar membuka kelopak matanya sedikit, lalu kembali menutup matanya saat cahaya menyerobot masuk memenuhi penglihatannya. Sekali lagi, Nadiar berusaha membuka matanya saat ada panggilan dari sana sini. Nadiar penasaran, suara siapa dan berapa banyak orang yang memanggilnya. Mengapa terdengar banyak? Ada berapa kira-kira?Mata Nadiar akhirnya sepenuhnya terbuka. Awalnya, penglihatan Nadiar buram, namun setelah berkedip beberapa kali dan melihat siluet yang menutupi cahaya, pandangan Nadiar menjadi jelas dan ia dapat melihat wajah khawatir Bundanya yang berlinang air mata."Nadiar! Syukurlah ..." ucap sang Bunda, lalu memeluk Nadiar dengan erat, hingga Nadiar merasa tubuh bagian atasnya sedikit terangkat. Bunda lalu melepaskan pelukannya, kemudian mengelus pipi Nadiar penuh haru. "Kamu tidak apa-
Kasih aku satu alasan, kenapa kalian pengen banget Alvis sama Nadiar bersatu?Alvis duduk lesu di tempatnya sambil membiarkan Devan berjalan mondar mandir dengan bahu yang bergetar hebat akibat tertawa, menertawakan Alvis. Ya, menertawakan kebodohan Alvis, dan entahlah. Kenapa juga Devan harus tertawa selama itu hanya untuk menertawakan kebodohan Alvis? Ayolah, ini sudah 5 menit terjadi."Oke," Devan berhenti mondar mandir dan mulai bersuara dengan nada orang menahan tawa. Devan lalu mengembuskan napas panjang, dan mencoba untuk tidak membiarkan bibirnya melengkung ke atas. "Coba lo ulangi? Apa tadi? Lo? Lepasin si Andra demi Nadiar?""Lo salah paham-""Lo sendiri yang bilang kalo 2 hari ini Nadiar gak seceria dulu, dan bikin lo terpaksa lepas si Andra," Devan memotong cepat, membuat Alvis bungkam dengan rahang yang mengeras. Devan kembali tertawa. "Ayolah, dude. Lo akui aja kalo lo d
Ada yang aneh dengan Nadiar 2 hari ini. Ya, 2 hari ini. Nadiar terlihat jadi lebih diam, dan sering melamun menatap ponsel atau layar komputer. Setelah itu, Nadiar hanya diam lesu di tempatnya dengan bahu yang merosot. Nadiar juga jadi tidak fokus dalam pekerjaannya. Alvis yang merasa agak aneh pun langsung memanggil detektif swasta yang waktu itu ia sewa. Namun, laporan mengatakan bahwa tidak ada yang salah dengan kegiatan Nadiar dan semuanya sama saja. Sehabis bekerja, gadis itu langsung pulang dan tidak keluar lagi ataupun kemana-mana lagi. Lalu, kenapa? Apa yang membuat Nadiar tidak seceria biasanya? Apa yang membuat Nadiar tidak menampilkan senyumnya lagi?Alvis mendengus karenanya. Ia lalu mengangkat gagang telfonnya, kemudian menekan satu nomor di sana. Lama, namun tidak ada jawaban di sebrang sana. Mata Alvis memincing, menatap Nadiar yang ternyata sedang duduk diam menatap kosong ke depan. Alvis menghela napas panjang melihatnya. Ia kemudian berdir
Alden memarikirkan mobilnya di depan rumah kediaman keluarga Inandra, saat ternyata tidak ada satpam yang sigap dan biasanya langsung membuka pagar untuk kendaraan masuk. Mereka lalu keluar dari mobil dengan tangan Alden yang menggenggam erat tangan Nadiar. Alden berjalan perlahan ke arah pagar, dan ternyata pagar tersebut tidak tertutup. Alden menggeram karena keteledoran satpam rumah tersebut.Alden berjalan masuk dengan tangannya yang semakin erat mengenggam tangan Nadiar. Dapat Alden rasakan tangan Nadiar panas dingin dan embusan napas Nadiar yang juga terasa bergerak cepat akibat takut. Alden menelan ludah, lalu menghampiri pos satpam. Dan Alden terlonjak saat kepala satpam tersebut tepat berada di satu jengkal ujung sepatunya."ABANG!" Nadiar memekik, lalu langsung menutup mulutnya saat Alden menatap Nadiar dengan mata tajamnya.Mereka kembali meneruskan langkah saat melihat perut satpam itu bergerak dan menunjukan bahw