Nadiar menghela napas untuk menenangkan dirinya. Ia lalu melepaskan pelukannya dari laki-laki yang kini bersamanya di dalam lift. Tangan Nadiar menarik jas lelaki itu, sedangkan ia melangkah mundur dan kembali menyandarkan tubuhnya di dinding lift. "Hey, sini dong! Gue takut, tau!!" suruhnya saat sadar tubuh lelaki itu masih terpaku di tempat.
"Lepas."
Nadiar cemberut mendengar suara dingin itu. Ia lalu menghempaskan pegangannya di jas lelaki itu dengan sebal. Mata Nadiar kemudian menatap sekelilingnya yang gelap, membuatnya berdecak sebal. "Ini lift kenapa, sih? Perusahaannya elit, tapi liftnya gak elit."
Sesaat setelah mengatakan hal tersebut, cahaya muncul saat lelaki yang bersama Nadiar menyalakan ponsel dan terlihat mengutak atik layarnya. Nadiar lalu mengambil ponsel di tasnya, kemudian menyalakan flash agar mendapat cahaya lebih banyak.
"Halo?"
Tatapan Nadiar beralih pada lelaki itu. Ternyata, lelaki itu sedang menelfon. Nadiar lalu mendekat dan berdiri tepat di samping lelaki itu.
"Saya terjebak di lift," ucap lelaki itu dengan dingin dan tegas. "Bereskan."
Dingin banget, pak, batin Nadiar berkomentar. Omong-omong, Nadiar belum memperhatikan lelaki itu dengan seksama. Jadi, ia kemudian mengangkat wajahnya agar dapat melihat wajah lelaki itu.
Dan Nadiar terpaku melihat betapa tegas rahang lelaki itu. Kulitnya putih dan bersih. Tidak ada kumis, ataupun jenggot. Alisnya tebal dan matanya sempurna dengan bulu mata lelaki itu yang panjang. Satu kalimat yang dapat mendeskripsikan lelaki yang baru di temui Nadiar itu, "Ganteng bangett."
Wajah yang sedang di tatap Nadiar itu menoleh dan balik menatap Nadiar. Dingin.
Nadiar tidak menghentikan pandangannya. Begitupun sebaliknya. Mengetahui lelaki itu terpaku pada Nadiar, Nadiar mengedipkan sebelah matanya dengan genit.
Mata lelaki itu mengedip cepat, sedangkan bahunya sedikit terangkat dengan kaget.
Melihatnya, Nadiar tertawa kencang. "Lo lucu banget, sih!"
Lelaki itu menatap Nadiar dingin, lalu menyimpan ponselnya di saku jas.
Nadiar berdecak sebal. "Tapi, sayang dingin," ucapnya, di balas dengan dengusan sinis. "Eum, ngomong-ngomong, gue karyawan baru disini," Nadiar kembali menambah topik pembicaraan, dan respon yang diberikan lelaki itu hanya menoleh,lalu kembali membuang pandangannya. Nadiar tidak menyerah. Ia lalu tersenyum lebar. "Lo tau? Jabatan gue lumayan lohh."
Respon sekali lagi dari lelaki itu. Yaitu, mengedikan bahu dengan acuh.
"Hey, gue ntar jadi sekertaris Presdir lo!" Nadiar berucap semangat. Namun, reaksi lelaki itu hanya diam. Tidak ada kaget-kagetnya. Nadiar mendengus. "Nama gue Nadiar Gabriela Putri. Kalo lo?"
"Alvis."
Nadiar cemberut lagi mendengar kedinginan lelaki itu. "Nama panjangnya apa? Jangan jawab Alviiiiiissss. Karna gue tau itu cuma lawakan."
"Lucifer Gideon." jawab lelaki itu sambil menatap Nadiar lekat, seolah menunggu respon yang di tunggu dan diharapkan lelaki itu.
Mata Nadiar membulat kaget. "Alvis Lucifer Gideon, gitu?" tanyanya, dan Alvis masih menatap Nadiar lekat. Mulut Nadiar menganga lebar. "Gila!! Lo kebalikan nama tengah gue, ya? Kalo Gabriel adalah malaikat terkuat, Lucifer itu iblis terkuat. Bener, kan?"
Tatapan Alvis yang tadinya ada sepercik binar penasaran kini kembali datar dan Alvis kembali membuang pandangannya dari Nadiar.
Nadiar cemberut karena tidak mendapatkan respon yang di harapkan. Padahal, Nadiar ingin lelaki itu excited dan bilang, "Oh ya? Oh, gue baru tau lohh. Lo tau darimana? Ih, kok bisa tau gitu, sih?? Kok nama kita bisa gitu sih??" Atau yang lainnya. Lah ini? Cih, dingin!
Namun, Nadiar tidak menyerah. Ia memutar otak, mencari topik lainnya yang bisa membuat lelaki itu merespon. "Lo tau, gak, kenapa gue meluk lo barusan?"
"Gelap."
Nadiar menggeleng cepat. "Salah," balasnya, dan berhasil membuat lelaki itu menoleh pada Nadiar. Hal itu sukses membuat Nadiar tersenyum lebar. "Karna kaget, lah! Semisal, nih, ya, kalo gue ngeliat film horor, trus tiba-tiba ada setannya, kan gue teriak, tuh! Nah itu karna kaget, bukan takut."
Alvis mendelik, lalu kembali membuang pandangannya.
Nadiar mendengus sebal. Keterlaluan! Nadiar dulu punya mantan yang sifatnya dingin. Tapi, gak gini-gini amat, ah. Seenggaknya, si mantannya itu masih bisa senyum walaupun semilidetik dan sepercik. Lah ini? Mendelik, buang muka, trus mendengus doang. Apa Nadiar kurang manis, ya? Apa karena dadanannya yang tante, lelaki ini jadi malas respon?
Nadiar cemberut karena pemikirannya itu. Nadiar lalu menatap ponselnya, dan menyadari bahwa ini sudah 10 menit. Dan Nadiar, telat 3 menit. Mengetahuinya, Nadiar menghela napas panjang. "Gue telat 3 menit nih," ucapnya, lalu berdecak. "Si gendut marah, gak, ya?"
Dan pertanyaan itu, sukses membuat Alvis menoleh dengan raut penasaran.
Nadiar tersenyum. "Gue lagi ngomongin bos kita. Menurut abang gue, yang namanya bos itu pasti gendut, kumisnya tebel, punya jenggot panjang, dan mukanya nyeremin. Kalo ngomong, pasti muncrat dan kalo marah pasti omongannya pedes dan seenak udel. Apa bos di sini kaya gitu juga?"
"Internet."
Nadiar sempat diam beberapa saat sebelum mencerna ucapan Alvis. "Maksud lo, gue harus searching, gitu?"
Alvis menganggukan kepalanya sekali.
Nadiar nyengir. "Gue gak punya aplikasi browser. Hape gue penuh aplikasi kekinian sama medsos," ujarnya, namun Alvis tetap diam tak merespon. "Apa dia punya IG?"
Nadiar lalu memutuskan untuk membuka aplikasi Instagram miliknya. Ia kemudian menekan simbol eksplor. Setelah itu, dia terdiam karena tidak tahu kata apa yang harus dia ketik.
Nadiar lalu menoleh pada Alvis. "Al, lo tau gak nama bos kita?"
Alvis tidak menjawab. Hanya menatap Nadiar lekat-lekat dengan matanya yang agak memincing. Dan Nadiar baru sadar jika mata Alvis benar-benar bagus. Dalam artian, indah. Warnanya coklat kemerahan, dan Nadiar baru saja berpikir bahwa lelaki dihadapannya kini adalah lelaki yang paling sempurna di dunia. Dan hal itu, membuat Nadiar mengingat Jungkook.
Kalau Jungkook dulu Nadiar pikir adalah lelaki yang paling sempurna di dunia, Alvis adalah lelaki paling sempurna di muka bumi.
"Gila, ganteng banget lo," ucap Nadiar gemas sambil menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Tahan gue, tahan! Siapapun, tahan gue supaya gak bawa anak orang balik!!, batinnya berteriak.
Guncangan dalam lift membuat tatapan keduanya beralih. Lift kembali bercahaya dan naik menuju lantai yang mereka tuju. Pintu lift terbuka, dan Nadiar langsung berucap hamdallah dalam hati.
Alvis merapikan jasnya, lalu melangkah keluar lift. Nadiar ikutan melangkah keluar, lalu celingukan karena tidak tahu di mana ruang CEO di sini. Nadiar lalu memutuskan untuk berlari menyusul Alvis dan berjalan di samping lelaki itu. "Al, lo tau, gak, ruangan bos lo di mana?"
Alvis tidak menjawab dan malah mempercepat langkahnya. Nadiar mencoba menyamakan langkah agar bisa sejajar dengan Alvis.
"Al, jawab dong," ucap Nadiar agak terengah karena kesusahan menyamakan langkah panjang Alvis dengan langkah pendek Nadiar karena memakai heels. "Al, ih!"
Alvis lalu berhenti di sebuah ruangan dengan pintu panjang. Lelaki itu menoleh pada Nadiar. Tatapannya dingin saat berucap, "Selamat bergabung di perusahaan kami, Nadiar. Perkenalkan, saya Alvis Lucifer Gideon, CEO sekaligus Presdir perusahaan ini."
Jantung Nadiar berhenti saat itu juga. Matanya melotot sedangkan mulutnya menganga lebar. Satu kalimat yang dapat ia ucapkan mendapati kesialan ini, "Mampus gue."
Nadiar menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Kepalanya tertunduk dalam saat Alvis membawanya masuk dan berhenti tepat di sebuah meja di luar ruangan lain dalam pintu tersebut."Di sini meja kamu," ucap Alvis dingin. "Kamu boleh masuk ke ruangan saya kalau saya yang suruh. Selebihnya, kalau ada apa-apa, telfon saja. Mengerti?"Sambil menelan ludahnya, Nadiar mengangguk cepat. "Me-mengerti, Bos."Alvis mengangguk. "Bagus," katanya. "Kalau begitu, saya masuk dulu. Nanti saya beri kamu tugas."Nadiar mengangguk cepat, bersamaan dengan Alvis yang langsung berlalu dihadapannya. Akhirnya, Nadiar bisa bernapas. Ia lalu menghela napas lega, mencoba menetralkan detak jantungnya yang meloncat gila-gilaan.Benar, kan? Hari ini akan sial. Soalnya, tadi Nadiar sudah terpeleset dengan tidak elitnya.Nadiar jadi ingin menangis. Matanya sudah berkaca-kaca dan bibir bawahnya sudah maju ke depan. "I
Alvis menutup pintu ruangannya, lalu menatap Nadiar yang sedang sibuk dengan komputer didepannya. Melihatnya, membuat Alvis mendengus pelan. "Saya ada pertemuan siang ini."Nadiar mendongak, lalu mengangguk. "Ya, bos. Di kafe dekat kantor ini.""Iya."Lalu hening. Keduanya saling menatap. Dan Alvis menunggu. Menunggu reaksi Nadiar selanjutnya. Namun, Nadiar tetap duduk dan menatap Alvis datar, lalu mengedip. Terus melakukan hal tersebut, dan Alvis terus menatap Nadiar."Bos?""Hm?""Bos ngapain masih di sini?" tanya Nadiar dengan alis yang bertautan."Kamu sendiri, ngapain masih duduk?""Saya kan kerja, bos.""Kamu gak akan menemani saya?""Hah?" Alis Nadiar bertaut dalam. Tangannya terangkat lalu menggaruk tengkuknya pelan. "Harus, ya, bos?"Alvis mendelik sebal. "Ya kamu pikir saja. Gunanya kamu ap
Alvis baru saja keluar dari gedung perusahannya saat melihat Nadiar yang berdiri di halaman perusahaan sambil memeluk dirinya sendiri. Alvis mengerutkan alis. Ia memperhatikan dengan seksama saat ada mobil sedan berwarna merah yang terparkir tepat di depan Nadiar. Pengemudi sedan itu lalu keluar, dan menatap Nadiar dengan wajah berbinar senang.Nadiar buru-buru lari ke arah lelaki itu, lalu mereka berpelukan di sana. Si lelaki kemudian mengecup puncak kepala Nadiar, lalu mengelus pelan rambut perempuan itu.Walaupun dari jauh, Alvis masih dapat mendengar laki-laki itu bersuara. "Gimana kerjanya, sayang? Lancar?"Nadiar mengangguk cepat. "Lancar, tapi capek.""Capek banget?" tanya lelaki itu lagi.Nadiar kembali mengangguk, lalu menenggelamkan wajahnya di dada lelaki itu. "Kangen kamu."Lelaki yang di peluk Nadiar itu tertawa, lalu kembali mengecup puncak kepala Nadiar. "Kalo git
"Psst! Cewek! Godain abang, dong~""Abang! Apaansih! Minggir, ah!""Godain abang, dong, cantik!""Abang!! Jangan ganggu!!""Psst, neng, godain abang, dong!!"Nadiar mengeraskan rahangnya. Tangannya kemudian mengambil bantal sofa, lalu melemparnya pada Alden yang sedang berdiri menghalangi tv. Dan sialnya, Alden berhasil menangkap bantal tersebut dan menatap Nadiar dengan seringai mengejek. Sekali lagi, Nadiar mengambil bantal dan melempar kembali ke kepala Alden. Kali ini, bantal tersebut malah melayang melewati kepala Alden. Dan sekali lagi, Alden memberi seringai mengejek dengan tatapan segitu-doang-kemampuan-lo?Nadiar menggeram kesal, lalu mengambil seluruh bantal di sofa untuk melempar pada Alden dengan membabi buta. Alden kabur, sedangkan Nadiar terus mengejar sambil melempar dan berteriak, "Harus kena, abang!! Ngalah dikit ama adek!!"Alden hanya
No edit.Ternyata, Alvis tidak mati.Sesaat setelah Nadiar menangis kencang, Alden datang dengan mobilnya dan menghampiri Nadiar yang masih sesegukan. Sadar ada orang lain di sana, Nadiar mengangkat kepalanya, dan tangisnya semakin kencang. "Abang!! Bos Diar meninggal, Bang!"Alden lalu berjongkok dan mengulurkan jarinya ke bawah hidung Alvis. "Dia masih hidup!" ucap Alden sambil berdecak dan menjitak kepala Nadiar kencang. "Lo kenapa lama banget, sih?! Gue di marahi nyokap, tau!"Nadiar sesegukan dan menyedot ingusnya kuat-kuat. "Abang mau marahin Diar? Sedangkan di sini ada orang yang lagi sekarat gara-gara Diar."Alden berdecak, lalu menarik tangan Alvis, kemudian menopang tubuh Alvis dengan punggungnya. Kepala Alden mengedik pada mobil yang ternyata sudah terparkir di sisi jalan. "Masuk!"Nadiar mengangguk, lalu buru-buru masuk ke dalam mobil.
"AYAH!!" Nadiar berteriak kencang mendengar pertanyaan Ayahnya yang sangat membuat Nadiar ingin menenggelamkan diri sekarang juga. Apa-apaan itu?! Kenapa Ayahnya bertanya seperti itu kepada bos Nadiar? Dan pertanyaannya tidak melihat situasi dan kondisi.Itu anak orang sedang babak belur, dan baru saja bangun dari pingsan. Bisa-bisanya bertanya hubungan Nadiar dan Alvis yang jelas sekali tidak penting di pagi ini.Pak Sultan menoleh sambil nyengir lebar pada Nadiar. "Bercanda, sayang," katanya, lalu kembali menatap pada Alvis. "Maafkan saya, dan terima kasih karena telah menolong anak saya kemarin."Alvis hanya tersenyum tipis. Amat tipis, lalu di susul anggukan kepalanya."Sombong amat," komentar Alden dengan suaranya yang pelan. Dan Nadiar yang berada di belakang Alden mendengar dengan jelas kalimat tersebut.Nadiar mendengus. "Iyalah! Makanya, gue blacklist dia."
Gaada inspirasi lain. Hampura pisan ie mahSudah lebih dari seminggu sejak kejadian di mana Alvis dipukuli oleh para brandalan dan berakhir di rumah keluarga Nadiar. Masih hangat di ingatan Alvis saat Bunda Nadiar menyuruh Alvis pergi ke toilet akibat air yang disemburkan oleh Pak Sultan ke wajah Alvis.Alvis tahu itu adalah reaksi yang tidak disengaja akibat kaget yang berlebihan. Jadi, Alvis tidak mempermasalahkannya. Namun, Pak Sultan terus saja meminta maaf pada Alvis dengan menyesal. Alvis mewajarkan sifat Pak Sultan, karena ternyata Pak Sultan merupakan Wakil Direktur di perusahaan besar yang merupakan sekutu perusahaan Alvis.Alvis hanya menenangkan dan terus berkata bahwa ia tak apa. Pak Sultan sudah memberi hormat pada Alvis, namun, Nadiar ternyata bermasalah juga.Alvis masih ingat saat ia keluar dari toilet dan menemukan Nadiar yang menunduk takut sambil berkata, "Jangan suruh s
Tolong kasih gue recommended cerita yang rame dan memorable dongs~Happy reading~Suara ketukan di pintu membuat Alvis mengalihkan pandangan dari laporan di dokumennya, lalu mendongak untuk menatap pintu ruangannya yang barusan diketuk dari luar. "Masuk." seru Alvin pada siapapun yang ada di balik pintu itu.Pintu terbuka sedikit demi sedikit dan berjalan lambat saat celahnya menampilkan kepala menunduk Nadiar yang terlihat gugup. "B-bos ..." cicitnya.Alvis hanya berdeham untuk membalasnya.Nadiar terlihat menggigit bibir bawahnya saat mencoba masuk lebih dalam dengan kepala yang masih menunduk dalam. "B-bos ...," panggilnya lagi.Alvis harus menahan diri untuk tidak mendengus sebal pada Nadiar. "Ada apa?""S-saya ...," ucap Nadiar gugup, dan Alvis tetap diam tanpa menjawab saat Nadiar bergerak tidak nyaman ditempatnya. "S-saya
Langit sudah gelap saat mobil yang Nadiar tumpangi kini berhenti di depan rumah milik Nadiar. Sisa tawa akibat celotehan Nadiar yang direspon menyebalkan oleh Alvis pun, perlahan terhenti. Nadiar tersenyum lebar pada Alvis. "Bye honey, sampai ketemu di kantor!"Baru saja tangan Nadiar menyentuh gagang pintu mobil, suara Alvis yang berseru, "Tunggu!" membuat Nadiar membatalkan niatnya dan menoleh pada Alvis."Kenapa?" tanya Nadiar dengan alis yang terangkat sebelah.Alvis melepaskan sabuk pengamannya, lalu tersenyum miring pada Nadiar. Dan sial, ketampanan Alvis berlipat-lipat! "Aku yang bukain pintunya," ucapnya sambil mengedipkan sebelah mata.BUNUH GUE!! Nadiar tidak bisa merespon kelakuan Alvis sedikitpun. Ia hanya diam saat Alvis keluar dan mengelilingi mobil. Sifat Alvis yang amat sangat jarang Nadiar lihat kini seketika membuat darah Nadiar berdesir. Dan harus Nadiar akui. Untu
Mulut Nadiar menganga lebar, sedangkan matanya mengedip cepat. Apa tadi? Apakah Alvis baru saja ..., menembak Nadiar? Be my baby, katanya? Nadiar melotot pada Alvis. "Bos ..., tadi, Bos nembak saya?"Alvis tersenyum, lalu menjauhkan wajahnya dari wajah Nadiar. Ia mengangguk mantap. "Ya, saya ingin kamu jadi pacar saya. Kenapa? Kamu menolak?"Nadiar tertawa hambar. "Saya bego kalo saya nolak Bos. Tapi ...," jeda, Nadiar mengubah raut wajahnya menjadi ekspresi tidak mengerti. "Kayaknya, Bos yang bego deh, mau-maunya sama saya. Kenapa? Terpukau sama teori penjahat berhak bahagia, ya? Wah, kalo emang itu penyebabnya, saya udah ngomong kayak gitu di depan Justin Bibier.""Kamu meledek saya?"Nadiar menggeleng cepat sambil menggoyakan tangannya di depan tubuh. "Bukan! Bukan gitu, Bos! Tapi, aneh aja. Kok, Bos bisa-bisanya nembak saya? Kalo saya yang suka Bos rasanya gak aneh. Tapi, saya gak nyangka
"Bos, kita sebenernya, mau kemana, sih?"Pertanyaan itu membuat Alvis melirik sejenak ke arah Nadiar yang tengah duduk di kursi samping pengemudi. Matanya berkedip heran, dan bibirnya mengerut akibat penasaran. Ya, setelah mereka menghabiskan makanan dan saling bertukar sapaan selamat tinggal pada Devan-Dizi, Alvis dan Nadiar langsung pergi ke tempat yang ingin dikunjungi oleh Alvis. Dan disinilah mereka. Dalam perjalanan menggunakan mobil untuk sampai ke pantai."Bos, kok perasaan, gak nyampe-nyampe, ya?" Nadiar kembali bertanya, namun, belum juga Alvis menjawab, Nadiar kembali membuka suara. "Bos, saya pengen dengerin lagu lewat radio mobil ini, boleh? Biar gak terlalu sepi, hehe.""Hm," balas Alvis sambil mengangguk pelan. Alvis melihat Nadiar yang mengaduk tasnya, lalu mengeluarkan ponsel dan kabel data.Nadiar langsung menghubungkan radio mobil dan ponselnya dengan menggunakan kabel data. "Mobil Bos bagus
"Mana coba mulutnya? Sini ..., am nyam, nyam, nyam. Enak?"Lelaki itu menelan makanannya, lalu nyengir lebar. "Enak!"Mereka tertawa lalu kembali melanjutkan makan.Alvis dan Nadiar kompak menggeleng melihat kelakuan mereka. Sesuai keputusan, Alvis dan Nadiar meluangkan waktu mereka untuk makan sebentar. Namun ternyata, walaupun mereka mengajak Alvis dan Nadiar makan bersama, dunia seolah milik mereka berdua. Sedari tadi, mereka saling suap, lalu saling menghapus remah di bibir pasangannya tanpa mempedulikan orang lain yang menjadi obat nyamuk keduanya.Nadiar menghela napas panjang. "Plis, deh, Dizi, gue yang banyak mantan aja gak pernah, tuh, yang namanya suap-suapan di depan lo."Dizi seolah tersentak. Matanya melotot, sedangkan mulutnya terbuka lebar. "Ya ampyun, gue lupa ada lo di sini! Omaygat! Maaf, ya, sayang."Nadiar ha
Baga$kara : sayangBaga$kara : kita putus aja yaBaga$kara : aku gak tahan pacaran sama kamu πΏπππNadiar GP : serah lu, nyetNadiar GP : waktu putus aja lu manggil aku-kamuNadiar GP : waktu masih pacaran, lu sering banget nistain gueBaga$kara : dihBaga$kara : lu emang nista, kaliBaga$kara : jadi, kita putus nih, yang?πππNadiar GP : itu tolong panggilan dan emotnya di kondisikanNadiar GP : yaiyalah, kita putusNadiar GP : mana tahan gue pacaran ama loNadiar GP : ini adalah awal menuju kebahagiaanNadiar GP : BUAHAHAHAHHABaga$kara : kamu emang mantan teranjingBaga$kara : mantan ternista
Basah, dan berat. Nadiar merasa tidak mampu membuka matanya. Ia merasa dirinya sudah bangun dari tidur, namun matanya sulit untuk di buka. Perlahan, Nadiar membuka kelopak matanya sedikit, lalu kembali menutup matanya saat cahaya menyerobot masuk memenuhi penglihatannya. Sekali lagi, Nadiar berusaha membuka matanya saat ada panggilan dari sana sini. Nadiar penasaran, suara siapa dan berapa banyak orang yang memanggilnya. Mengapa terdengar banyak? Ada berapa kira-kira?Mata Nadiar akhirnya sepenuhnya terbuka. Awalnya, penglihatan Nadiar buram, namun setelah berkedip beberapa kali dan melihat siluet yang menutupi cahaya, pandangan Nadiar menjadi jelas dan ia dapat melihat wajah khawatir Bundanya yang berlinang air mata."Nadiar! Syukurlah ..." ucap sang Bunda, lalu memeluk Nadiar dengan erat, hingga Nadiar merasa tubuh bagian atasnya sedikit terangkat. Bunda lalu melepaskan pelukannya, kemudian mengelus pipi Nadiar penuh haru. "Kamu tidak apa-
Kasih aku satu alasan, kenapa kalian pengen banget Alvis sama Nadiar bersatu?Alvis duduk lesu di tempatnya sambil membiarkan Devan berjalan mondar mandir dengan bahu yang bergetar hebat akibat tertawa, menertawakan Alvis. Ya, menertawakan kebodohan Alvis, dan entahlah. Kenapa juga Devan harus tertawa selama itu hanya untuk menertawakan kebodohan Alvis? Ayolah, ini sudah 5 menit terjadi."Oke," Devan berhenti mondar mandir dan mulai bersuara dengan nada orang menahan tawa. Devan lalu mengembuskan napas panjang, dan mencoba untuk tidak membiarkan bibirnya melengkung ke atas. "Coba lo ulangi? Apa tadi? Lo? Lepasin si Andra demi Nadiar?""Lo salah paham-""Lo sendiri yang bilang kalo 2 hari ini Nadiar gak seceria dulu, dan bikin lo terpaksa lepas si Andra," Devan memotong cepat, membuat Alvis bungkam dengan rahang yang mengeras. Devan kembali tertawa. "Ayolah, dude. Lo akui aja kalo lo d
Ada yang aneh dengan Nadiar 2 hari ini. Ya, 2 hari ini. Nadiar terlihat jadi lebih diam, dan sering melamun menatap ponsel atau layar komputer. Setelah itu, Nadiar hanya diam lesu di tempatnya dengan bahu yang merosot. Nadiar juga jadi tidak fokus dalam pekerjaannya. Alvis yang merasa agak aneh pun langsung memanggil detektif swasta yang waktu itu ia sewa. Namun, laporan mengatakan bahwa tidak ada yang salah dengan kegiatan Nadiar dan semuanya sama saja. Sehabis bekerja, gadis itu langsung pulang dan tidak keluar lagi ataupun kemana-mana lagi. Lalu, kenapa? Apa yang membuat Nadiar tidak seceria biasanya? Apa yang membuat Nadiar tidak menampilkan senyumnya lagi?Alvis mendengus karenanya. Ia lalu mengangkat gagang telfonnya, kemudian menekan satu nomor di sana. Lama, namun tidak ada jawaban di sebrang sana. Mata Alvis memincing, menatap Nadiar yang ternyata sedang duduk diam menatap kosong ke depan. Alvis menghela napas panjang melihatnya. Ia kemudian berdir
Alden memarikirkan mobilnya di depan rumah kediaman keluarga Inandra, saat ternyata tidak ada satpam yang sigap dan biasanya langsung membuka pagar untuk kendaraan masuk. Mereka lalu keluar dari mobil dengan tangan Alden yang menggenggam erat tangan Nadiar. Alden berjalan perlahan ke arah pagar, dan ternyata pagar tersebut tidak tertutup. Alden menggeram karena keteledoran satpam rumah tersebut.Alden berjalan masuk dengan tangannya yang semakin erat mengenggam tangan Nadiar. Dapat Alden rasakan tangan Nadiar panas dingin dan embusan napas Nadiar yang juga terasa bergerak cepat akibat takut. Alden menelan ludah, lalu menghampiri pos satpam. Dan Alden terlonjak saat kepala satpam tersebut tepat berada di satu jengkal ujung sepatunya."ABANG!" Nadiar memekik, lalu langsung menutup mulutnya saat Alden menatap Nadiar dengan mata tajamnya.Mereka kembali meneruskan langkah saat melihat perut satpam itu bergerak dan menunjukan bahw