Alvis menutup pintu ruangannya, lalu menatap Nadiar yang sedang sibuk dengan komputer didepannya. Melihatnya, membuat Alvis mendengus pelan. "Saya ada pertemuan siang ini."
Nadiar mendongak, lalu mengangguk. "Ya, bos. Di kafe dekat kantor ini."
"Iya."
Lalu hening. Keduanya saling menatap. Dan Alvis menunggu. Menunggu reaksi Nadiar selanjutnya. Namun, Nadiar tetap duduk dan menatap Alvis datar, lalu mengedip. Terus melakukan hal tersebut, dan Alvis terus menatap Nadiar.
"Bos?"
"Hm?"
"Bos ngapain masih di sini?" tanya Nadiar dengan alis yang bertautan.
"Kamu sendiri, ngapain masih duduk?"
"Saya kan kerja, bos."
"Kamu gak akan menemani saya?"
"Hah?" Alis Nadiar bertaut dalam. Tangannya terangkat lalu menggaruk tengkuknya pelan. "Harus, ya, bos?"
Alvis mendelik sebal. "Ya kamu pikir saja. Gunanya kamu apa?" tanyanya dingin.
Nadiar terlihat menelan ludahnya, lalu membereskan barangnya, kemudian berdiri dengan cepat. "Ayo, bos!"
Alvis meresponnya dengan berjalan terlebih dahulu, sedangkan Nadiar mengikutinya dari belakang.
***
Alvis berdiri dari duduknya, dan klien didepannya langsung berdiri dan membungkuk cepat pada Alvis.
"Terima kasih, Pak! Terima kasih!"
"Ya."
Disampingnya, Nadiar memutar bola mata dengan sebal karena kedinginan Alvis. Padahal, matahari menyorot terik siang ini. Tapi, Alvis masih saja tidak mengurangi kadar kedinginannya. Klien Alvis yang satu ini adalah seorang pemilik kafe yang meminta investasi dari perusahaannya Alvis. Pemilik kafe itu tentu saja berterima kasih karena Alvis sudah menandatangai kontrak yang dibuat.
Klien di depan Alvis tersenyum lebar, lalu mengangguk sopan. "Terima kasih atas kerjasamanya, Pak," ucap klien itu lagi dengan senyum lebar, dan di balas dehaman pelan dari Alvis. "Mari, saya antar keluar."
Alvis kembali berdeham, lalu mulai melangkahkan kakinya keluar dari meja. Matanya melirik pada Nadiar yang sedang meminum milk shakenya dengan cepat. "Ayo."
Nadiar menoleh sejenak, lalu meneruskan minumnya hingga tandas. Setelah itu, Nadiar berdiri dan merapikan penampilannya. Sebuah cengiran memenuhi pipinya saat berucap, "Maaf, bos. Kalo minumnya gak abis, ntar mubazir. Hehe."
Alvis hanya melirik Nadiar sekilas, lalu kembali melangkahkan kakinya keluar kafe. Di belakangnya, Nadiar menggerutu panjang lebar atas kejudesan Alvis.
Alvis itu, sebenarnya dingin, cerewet, atau judes, sih? Kenapa sifatnya cepat sekali berubah? Nadiar jadi sebal. Alvis sepertinya orang yang moodyan. Dan hal itu, merugikan kenyamanan Nadiar di kantor. Bisa-bisanya Nadiar punya bos seperti Alvis. Cih.
"Kalau begitu, saya permisi dulu." Alvis kembali bersuara.
Karena sibuk menggerutu dalam hati, Nadiar tidak sadar jika mereka sudah berada di depan mobil. Alvis sendiri sekarang bersifat sopan saat kliennya kembali membungkuk sopan.
"Sekali lagi, terima kasih, Pak!"
Alvis lagi-lagi hanya bergumam menjawabnya, membuat Nadiar gedek sendiri.
Si klien laki-laki itu membukakan pintu Alvis, dan kembali membungkuk. "Terima kasih, Pak. Sekali lagi."
"Sama-sama!"
Balasan itu bukan dari Alvis, melainkan dari Nadiar yang tersenyum lebar pada klien Alvis.
Alvis hanya diam, dan menatap datar pada Nadiar yang masih tetap pada cengirannya. Alvis mendengus melihatnya. Ia kemudian kembali menatap pada kliennya yang malah tersenyum pada Nadiar. "Ya," balas Alvis, membuat klien itu kembali menatap Alvis. "Kamu boleh pergi sekarang."
Sekali lagi, klien Alvis membungkuk sopan lalu pergi dari hadapan keduanya. Alvis kemudian menekan remot kunci mobil miliknya. "Ayo masuk."
Nadiar mengangguk semangat, lalu berjalan mengelilingi mobil Alvis dan membuka kursi samping pengemudi. Nadiar duduk di kursi bersamaan dengan Alvis yang juga baru akan duduk di kursi. Setelahnya, mereka lalu pergi dari kafe tersebut menggunakan mobil. Di dalam mobil, Nadiar melamun kembali, melanjutkan lamunannya tentang Alvis.
Penasaran, Nadiar lalu menatap Alvis yang sedang fokus menyetir. "Bos."
"Hm?"
"Bos kok gitu banget, sih, sama orang?"
Alvis melirik sekilas pada Nadiar, lalu kembali menatap ke depan. "Huh?"
"Iyaa, bos itu dingin banget kalo bukan tentang kerjaan."
"Intinya."
Nadiar mendengus. Jika berbicara dengan Alvis yang sifatnya berubah-ubah, Nadiar harus menggunakan otak. Masa Nadiar berucap se-kalimat, Alvis malah berucap se-kata saja? Nadiar jadi harus menerjemahkan dalam otaknya. "Yaa gitu," ucapnya kemudian. "Harusnya, orang bilang makasih itu jawab!"
"Udah."
"Udah dari mananya?!" pekik Nadiar sebal. "Masa cuma hem-hem doang? Kosakata bos dikit banget, ih! Padahal, bos kan CEO. Kalo di ajak debat gimana? Masa pas mereka ngajak debat, bos cuma hem-hem trus ngasih se-kata doang. Gitu? Sumpah! Itu debat ter-gak-lucu yang pernah saya bayangin!"
"Salah?"
"Ya salah, lah!" seru Nadiar kencang. Terlalu terbawa emosi sampai Nadiar meloncat di kursinya. "Bos ini dikit-dikit cerewet. Kebanyakannya dingin. Sekalinya cerewet, malah bikin murka umat."
"Hm."
Mulut Nadiar menganga lebar mendapat respon dari Alvis. Gila, benar saja jika debat, Alvis hanya menjawab, "Hem," saja. Dan hal itu, membuat Nadiar mendengus kencang. "Bos ih! Kalo saya ntar bilang sorry, gimana?"
"Hm."
"Kalo saya bilang thank's, responnya gimana?"
"Hm."
"Kalo please atau help me?"
"Hm."
"Kalo I love you?"
Seketika, mobil Alvis terhenti. Memang, sih, karena kaget. Tapi, karena lagi lampu merah juga. Makanya Alvis mengerem langsung. Alvis lalu menoleh ke sampingnya di mana di sana ada Nadiar yang nyengir lebar pada Alvis. Respon Alvis hanya mengangkat sebelah alis, lalu mendengus sinis. "Gak butuh."
Nadiar menggerutu karenanya. Ia lalu bersidekap, dan menatap ke depan di mana di trotoar sana ada banyak orang yang lewat. Saat mata Nadiar menemukan dua sejoli yang sedang berangkulan, Nadiar menjerit. "Gila!"
Alvis menoleh pada Nadiar dengan malas, masih mengira jika Nadiar hanya tebak-tebak respon. Namun, Nadiar hanya menatap ke depan dengan wajahnya yang shock. Alis Alvis bertautan melihatnya. "Kenapa?"
"Itu! Itu! Itu!" Nadiar berseru sambil menunjuk ke depan dengan panik. "Mereka, gay!"
Alvis menatap horror pada Nadiar yang sekarang malah tertawa kencang sambil memukul dashboard mobil. "Gay?"
"Iya!" jawab Nadiar semangat sambil menangguk cepat. "Tadinya, mereka keliatan kaya cuma temenan gitu. Tapi, pas saya liat-liat, ternyata cowok yang satunya malah meluk pinggang si cowok, trus turun, trus malah remas-remas pantat gitu!" Nadiar kembali tertawa sesaat setelah mengucapkan kalimatnya.
Alvis menatap horror ke jalanan, lalu bergidik ngeri. "Gila. Untung saya gak liat. Dengernya aja jijik."
Tawa Nadiar terhenti. Ia menatap pada Alvis dengan tatapan tajamnya.
Alvis yang merasa di tatap tajam seperti itu malah menatap heran pada Nadiar. "Apa?"
"Ooohh, bos gitu, ya? Bakal nge-respon panjang kalo ada yang homoan."
Alvis melotot horror, lalu kembali bergidik ngeri. Nadiar tertawa kencang, sedangkan Alvis menjalankan mobilnya masih dengan bergidik.
Alvis baru saja keluar dari gedung perusahannya saat melihat Nadiar yang berdiri di halaman perusahaan sambil memeluk dirinya sendiri. Alvis mengerutkan alis. Ia memperhatikan dengan seksama saat ada mobil sedan berwarna merah yang terparkir tepat di depan Nadiar. Pengemudi sedan itu lalu keluar, dan menatap Nadiar dengan wajah berbinar senang.Nadiar buru-buru lari ke arah lelaki itu, lalu mereka berpelukan di sana. Si lelaki kemudian mengecup puncak kepala Nadiar, lalu mengelus pelan rambut perempuan itu.Walaupun dari jauh, Alvis masih dapat mendengar laki-laki itu bersuara. "Gimana kerjanya, sayang? Lancar?"Nadiar mengangguk cepat. "Lancar, tapi capek.""Capek banget?" tanya lelaki itu lagi.Nadiar kembali mengangguk, lalu menenggelamkan wajahnya di dada lelaki itu. "Kangen kamu."Lelaki yang di peluk Nadiar itu tertawa, lalu kembali mengecup puncak kepala Nadiar. "Kalo git
"Psst! Cewek! Godain abang, dong~""Abang! Apaansih! Minggir, ah!""Godain abang, dong, cantik!""Abang!! Jangan ganggu!!""Psst, neng, godain abang, dong!!"Nadiar mengeraskan rahangnya. Tangannya kemudian mengambil bantal sofa, lalu melemparnya pada Alden yang sedang berdiri menghalangi tv. Dan sialnya, Alden berhasil menangkap bantal tersebut dan menatap Nadiar dengan seringai mengejek. Sekali lagi, Nadiar mengambil bantal dan melempar kembali ke kepala Alden. Kali ini, bantal tersebut malah melayang melewati kepala Alden. Dan sekali lagi, Alden memberi seringai mengejek dengan tatapan segitu-doang-kemampuan-lo?Nadiar menggeram kesal, lalu mengambil seluruh bantal di sofa untuk melempar pada Alden dengan membabi buta. Alden kabur, sedangkan Nadiar terus mengejar sambil melempar dan berteriak, "Harus kena, abang!! Ngalah dikit ama adek!!"Alden hanya
No edit.Ternyata, Alvis tidak mati.Sesaat setelah Nadiar menangis kencang, Alden datang dengan mobilnya dan menghampiri Nadiar yang masih sesegukan. Sadar ada orang lain di sana, Nadiar mengangkat kepalanya, dan tangisnya semakin kencang. "Abang!! Bos Diar meninggal, Bang!"Alden lalu berjongkok dan mengulurkan jarinya ke bawah hidung Alvis. "Dia masih hidup!" ucap Alden sambil berdecak dan menjitak kepala Nadiar kencang. "Lo kenapa lama banget, sih?! Gue di marahi nyokap, tau!"Nadiar sesegukan dan menyedot ingusnya kuat-kuat. "Abang mau marahin Diar? Sedangkan di sini ada orang yang lagi sekarat gara-gara Diar."Alden berdecak, lalu menarik tangan Alvis, kemudian menopang tubuh Alvis dengan punggungnya. Kepala Alden mengedik pada mobil yang ternyata sudah terparkir di sisi jalan. "Masuk!"Nadiar mengangguk, lalu buru-buru masuk ke dalam mobil.
"AYAH!!" Nadiar berteriak kencang mendengar pertanyaan Ayahnya yang sangat membuat Nadiar ingin menenggelamkan diri sekarang juga. Apa-apaan itu?! Kenapa Ayahnya bertanya seperti itu kepada bos Nadiar? Dan pertanyaannya tidak melihat situasi dan kondisi.Itu anak orang sedang babak belur, dan baru saja bangun dari pingsan. Bisa-bisanya bertanya hubungan Nadiar dan Alvis yang jelas sekali tidak penting di pagi ini.Pak Sultan menoleh sambil nyengir lebar pada Nadiar. "Bercanda, sayang," katanya, lalu kembali menatap pada Alvis. "Maafkan saya, dan terima kasih karena telah menolong anak saya kemarin."Alvis hanya tersenyum tipis. Amat tipis, lalu di susul anggukan kepalanya."Sombong amat," komentar Alden dengan suaranya yang pelan. Dan Nadiar yang berada di belakang Alden mendengar dengan jelas kalimat tersebut.Nadiar mendengus. "Iyalah! Makanya, gue blacklist dia."
Gaada inspirasi lain. Hampura pisan ie mahSudah lebih dari seminggu sejak kejadian di mana Alvis dipukuli oleh para brandalan dan berakhir di rumah keluarga Nadiar. Masih hangat di ingatan Alvis saat Bunda Nadiar menyuruh Alvis pergi ke toilet akibat air yang disemburkan oleh Pak Sultan ke wajah Alvis.Alvis tahu itu adalah reaksi yang tidak disengaja akibat kaget yang berlebihan. Jadi, Alvis tidak mempermasalahkannya. Namun, Pak Sultan terus saja meminta maaf pada Alvis dengan menyesal. Alvis mewajarkan sifat Pak Sultan, karena ternyata Pak Sultan merupakan Wakil Direktur di perusahaan besar yang merupakan sekutu perusahaan Alvis.Alvis hanya menenangkan dan terus berkata bahwa ia tak apa. Pak Sultan sudah memberi hormat pada Alvis, namun, Nadiar ternyata bermasalah juga.Alvis masih ingat saat ia keluar dari toilet dan menemukan Nadiar yang menunduk takut sambil berkata, "Jangan suruh s
Tolong kasih gue recommended cerita yang rame dan memorable dongs~Happy reading~Suara ketukan di pintu membuat Alvis mengalihkan pandangan dari laporan di dokumennya, lalu mendongak untuk menatap pintu ruangannya yang barusan diketuk dari luar. "Masuk." seru Alvin pada siapapun yang ada di balik pintu itu.Pintu terbuka sedikit demi sedikit dan berjalan lambat saat celahnya menampilkan kepala menunduk Nadiar yang terlihat gugup. "B-bos ..." cicitnya.Alvis hanya berdeham untuk membalasnya.Nadiar terlihat menggigit bibir bawahnya saat mencoba masuk lebih dalam dengan kepala yang masih menunduk dalam. "B-bos ...," panggilnya lagi.Alvis harus menahan diri untuk tidak mendengus sebal pada Nadiar. "Ada apa?""S-saya ...," ucap Nadiar gugup, dan Alvis tetap diam tanpa menjawab saat Nadiar bergerak tidak nyaman ditempatnya. "S-saya
Nadiar sedang duduk dengan pipinya yang di simpan di permukaan meja kerjanya, membuat Nadiar harus membungkuk agar kepalanya tersimpan di atas meja. Mulutnya terus berkomat-kamit, sedangkan tangannya mengelus perut rampingnya dengan miris. Nadiar lapar. Nadiar butuh makan. Waktu sudah menunjukan pukul 12 lebih 46 menit, dan sudah seharusnya cacing-cacing di perut Nadiar diberi makan. Namun, apalah daya. Nadiar mempunyai bos yang kepekaannya amat sangat rendah. Lebih rendah dari hanya sekedar kata rendah. Jika ada kata yang lebih rendah daripada kata rendah, itulah kata yang tepat untuk kepekaan Alvis pada keadaan Nadiar.Nadiar merasa ingin menangis sekarang juga. Kejam sekali ketidakpekaan Alvis.Membuat Nadiar lapar adalah kejahatan.Makanan adalah hal yang amat sangat tidak boleh alfa di hidup Nadiar. Jika harus memilih antara ditikung atau tidak di beri makan, Nadiar lebih memilih ditikung daripada tidak
Alvis sedang memakan potongan terakhir pizza yang dipesannya. Disampingnya, Nadiar sedang mencoba berbagai gorengan yang baru saja dibeli oleh satpam kantor Alvis. Jujur saja, Alvis baru sekali melihat perempuan yang amat sangat demen makan. Seharusnya, Alvis sudah dapat menebak dari camilan di belanjaan Nadiar yang sangat banyak pada malam itu. Tapi memang benar apa yang di katakan Nadiar jika Alvis tidak pekaan orangnya."Bos, ini kamsathank's gazaimuch banget loh yah," Nadiar berucap sambil tersenyum pada Alvis. Kepalanya terangguk sopan. "Sering-sering ya bos. Hehe."Alvis mengerutkan alisnya mendengar kalimat awal Nadiar. "Tadi kamu ngomong apaan?""Sering-sering, hehehe," Nadiar menjawab asal sambil nyengir lagi. Bibirnya agak berminyak, dan lipstik merahnya sudah tidak terlihat di bibir Nadiar.Alvis menggeleng pelan. "Bukan yang itu. Sebelumnya.""Kamsathank's goza
Langit sudah gelap saat mobil yang Nadiar tumpangi kini berhenti di depan rumah milik Nadiar. Sisa tawa akibat celotehan Nadiar yang direspon menyebalkan oleh Alvis pun, perlahan terhenti. Nadiar tersenyum lebar pada Alvis. "Bye honey, sampai ketemu di kantor!"Baru saja tangan Nadiar menyentuh gagang pintu mobil, suara Alvis yang berseru, "Tunggu!" membuat Nadiar membatalkan niatnya dan menoleh pada Alvis."Kenapa?" tanya Nadiar dengan alis yang terangkat sebelah.Alvis melepaskan sabuk pengamannya, lalu tersenyum miring pada Nadiar. Dan sial, ketampanan Alvis berlipat-lipat! "Aku yang bukain pintunya," ucapnya sambil mengedipkan sebelah mata.BUNUH GUE!! Nadiar tidak bisa merespon kelakuan Alvis sedikitpun. Ia hanya diam saat Alvis keluar dan mengelilingi mobil. Sifat Alvis yang amat sangat jarang Nadiar lihat kini seketika membuat darah Nadiar berdesir. Dan harus Nadiar akui. Untu
Mulut Nadiar menganga lebar, sedangkan matanya mengedip cepat. Apa tadi? Apakah Alvis baru saja ..., menembak Nadiar? Be my baby, katanya? Nadiar melotot pada Alvis. "Bos ..., tadi, Bos nembak saya?"Alvis tersenyum, lalu menjauhkan wajahnya dari wajah Nadiar. Ia mengangguk mantap. "Ya, saya ingin kamu jadi pacar saya. Kenapa? Kamu menolak?"Nadiar tertawa hambar. "Saya bego kalo saya nolak Bos. Tapi ...," jeda, Nadiar mengubah raut wajahnya menjadi ekspresi tidak mengerti. "Kayaknya, Bos yang bego deh, mau-maunya sama saya. Kenapa? Terpukau sama teori penjahat berhak bahagia, ya? Wah, kalo emang itu penyebabnya, saya udah ngomong kayak gitu di depan Justin Bibier.""Kamu meledek saya?"Nadiar menggeleng cepat sambil menggoyakan tangannya di depan tubuh. "Bukan! Bukan gitu, Bos! Tapi, aneh aja. Kok, Bos bisa-bisanya nembak saya? Kalo saya yang suka Bos rasanya gak aneh. Tapi, saya gak nyangka
"Bos, kita sebenernya, mau kemana, sih?"Pertanyaan itu membuat Alvis melirik sejenak ke arah Nadiar yang tengah duduk di kursi samping pengemudi. Matanya berkedip heran, dan bibirnya mengerut akibat penasaran. Ya, setelah mereka menghabiskan makanan dan saling bertukar sapaan selamat tinggal pada Devan-Dizi, Alvis dan Nadiar langsung pergi ke tempat yang ingin dikunjungi oleh Alvis. Dan disinilah mereka. Dalam perjalanan menggunakan mobil untuk sampai ke pantai."Bos, kok perasaan, gak nyampe-nyampe, ya?" Nadiar kembali bertanya, namun, belum juga Alvis menjawab, Nadiar kembali membuka suara. "Bos, saya pengen dengerin lagu lewat radio mobil ini, boleh? Biar gak terlalu sepi, hehe.""Hm," balas Alvis sambil mengangguk pelan. Alvis melihat Nadiar yang mengaduk tasnya, lalu mengeluarkan ponsel dan kabel data.Nadiar langsung menghubungkan radio mobil dan ponselnya dengan menggunakan kabel data. "Mobil Bos bagus
"Mana coba mulutnya? Sini ..., am nyam, nyam, nyam. Enak?"Lelaki itu menelan makanannya, lalu nyengir lebar. "Enak!"Mereka tertawa lalu kembali melanjutkan makan.Alvis dan Nadiar kompak menggeleng melihat kelakuan mereka. Sesuai keputusan, Alvis dan Nadiar meluangkan waktu mereka untuk makan sebentar. Namun ternyata, walaupun mereka mengajak Alvis dan Nadiar makan bersama, dunia seolah milik mereka berdua. Sedari tadi, mereka saling suap, lalu saling menghapus remah di bibir pasangannya tanpa mempedulikan orang lain yang menjadi obat nyamuk keduanya.Nadiar menghela napas panjang. "Plis, deh, Dizi, gue yang banyak mantan aja gak pernah, tuh, yang namanya suap-suapan di depan lo."Dizi seolah tersentak. Matanya melotot, sedangkan mulutnya terbuka lebar. "Ya ampyun, gue lupa ada lo di sini! Omaygat! Maaf, ya, sayang."Nadiar ha
Baga$kara : sayangBaga$kara : kita putus aja yaBaga$kara : aku gak tahan pacaran sama kamu πΏπππNadiar GP : serah lu, nyetNadiar GP : waktu putus aja lu manggil aku-kamuNadiar GP : waktu masih pacaran, lu sering banget nistain gueBaga$kara : dihBaga$kara : lu emang nista, kaliBaga$kara : jadi, kita putus nih, yang?πππNadiar GP : itu tolong panggilan dan emotnya di kondisikanNadiar GP : yaiyalah, kita putusNadiar GP : mana tahan gue pacaran ama loNadiar GP : ini adalah awal menuju kebahagiaanNadiar GP : BUAHAHAHAHHABaga$kara : kamu emang mantan teranjingBaga$kara : mantan ternista
Basah, dan berat. Nadiar merasa tidak mampu membuka matanya. Ia merasa dirinya sudah bangun dari tidur, namun matanya sulit untuk di buka. Perlahan, Nadiar membuka kelopak matanya sedikit, lalu kembali menutup matanya saat cahaya menyerobot masuk memenuhi penglihatannya. Sekali lagi, Nadiar berusaha membuka matanya saat ada panggilan dari sana sini. Nadiar penasaran, suara siapa dan berapa banyak orang yang memanggilnya. Mengapa terdengar banyak? Ada berapa kira-kira?Mata Nadiar akhirnya sepenuhnya terbuka. Awalnya, penglihatan Nadiar buram, namun setelah berkedip beberapa kali dan melihat siluet yang menutupi cahaya, pandangan Nadiar menjadi jelas dan ia dapat melihat wajah khawatir Bundanya yang berlinang air mata."Nadiar! Syukurlah ..." ucap sang Bunda, lalu memeluk Nadiar dengan erat, hingga Nadiar merasa tubuh bagian atasnya sedikit terangkat. Bunda lalu melepaskan pelukannya, kemudian mengelus pipi Nadiar penuh haru. "Kamu tidak apa-
Kasih aku satu alasan, kenapa kalian pengen banget Alvis sama Nadiar bersatu?Alvis duduk lesu di tempatnya sambil membiarkan Devan berjalan mondar mandir dengan bahu yang bergetar hebat akibat tertawa, menertawakan Alvis. Ya, menertawakan kebodohan Alvis, dan entahlah. Kenapa juga Devan harus tertawa selama itu hanya untuk menertawakan kebodohan Alvis? Ayolah, ini sudah 5 menit terjadi."Oke," Devan berhenti mondar mandir dan mulai bersuara dengan nada orang menahan tawa. Devan lalu mengembuskan napas panjang, dan mencoba untuk tidak membiarkan bibirnya melengkung ke atas. "Coba lo ulangi? Apa tadi? Lo? Lepasin si Andra demi Nadiar?""Lo salah paham-""Lo sendiri yang bilang kalo 2 hari ini Nadiar gak seceria dulu, dan bikin lo terpaksa lepas si Andra," Devan memotong cepat, membuat Alvis bungkam dengan rahang yang mengeras. Devan kembali tertawa. "Ayolah, dude. Lo akui aja kalo lo d
Ada yang aneh dengan Nadiar 2 hari ini. Ya, 2 hari ini. Nadiar terlihat jadi lebih diam, dan sering melamun menatap ponsel atau layar komputer. Setelah itu, Nadiar hanya diam lesu di tempatnya dengan bahu yang merosot. Nadiar juga jadi tidak fokus dalam pekerjaannya. Alvis yang merasa agak aneh pun langsung memanggil detektif swasta yang waktu itu ia sewa. Namun, laporan mengatakan bahwa tidak ada yang salah dengan kegiatan Nadiar dan semuanya sama saja. Sehabis bekerja, gadis itu langsung pulang dan tidak keluar lagi ataupun kemana-mana lagi. Lalu, kenapa? Apa yang membuat Nadiar tidak seceria biasanya? Apa yang membuat Nadiar tidak menampilkan senyumnya lagi?Alvis mendengus karenanya. Ia lalu mengangkat gagang telfonnya, kemudian menekan satu nomor di sana. Lama, namun tidak ada jawaban di sebrang sana. Mata Alvis memincing, menatap Nadiar yang ternyata sedang duduk diam menatap kosong ke depan. Alvis menghela napas panjang melihatnya. Ia kemudian berdir
Alden memarikirkan mobilnya di depan rumah kediaman keluarga Inandra, saat ternyata tidak ada satpam yang sigap dan biasanya langsung membuka pagar untuk kendaraan masuk. Mereka lalu keluar dari mobil dengan tangan Alden yang menggenggam erat tangan Nadiar. Alden berjalan perlahan ke arah pagar, dan ternyata pagar tersebut tidak tertutup. Alden menggeram karena keteledoran satpam rumah tersebut.Alden berjalan masuk dengan tangannya yang semakin erat mengenggam tangan Nadiar. Dapat Alden rasakan tangan Nadiar panas dingin dan embusan napas Nadiar yang juga terasa bergerak cepat akibat takut. Alden menelan ludah, lalu menghampiri pos satpam. Dan Alden terlonjak saat kepala satpam tersebut tepat berada di satu jengkal ujung sepatunya."ABANG!" Nadiar memekik, lalu langsung menutup mulutnya saat Alden menatap Nadiar dengan mata tajamnya.Mereka kembali meneruskan langkah saat melihat perut satpam itu bergerak dan menunjukan bahw