Semangkok soto panas dengan uapnya masih mengepul tampak sedap dan nikmat dengan suwiran ayam dan rajangan daun bawang di atasnya. Dua sendok penuh sambal ditambahkan, lalu jari lentik memeras dua iris jeruk nipis, baskom berisi aneka sate ditarik mendekat lalu beberapa sendok kuah sate ditambahkan sebagai ganti kecap agar soto tidak terlalu manis. Dengan perlahan Handa mulai mengaduk soto racikannya. Belum sempat ia menyuap tiba-tiba ponselnya bergetar. Handa terkejut seakan tak percaya saat membaca nama di ponselnya.
"Papa." Handa bergumam pelan, lalu segera menjawab panggilan tersebut.
"Papa!" Handa meletakkan kembali sendoknya. Damar sepupu Handa, anak kedua Gunawan mendatangi Handa, dan dengan jahilnya tanpa sepengetahuan Handa, Damar menambahkan satu sendok sambal.
"Handa, makan dulu! Main HP-nya nanti!" Lasmi istri Gunawan teriak memperingatkan Handa.
Handa mengerakkan bibirnya seperti bahasa isyarat "PAPA" memberi tahu Lasmi siapa orang yang sedang meneleponnya.
"Aku kira mereka sudah lupa sama Handa," ujar Lasmi sambil merapikan sisa-sisa dangangannya.
"Hanin mau nikah, kita semua disuruh datang ke sana." Damar yang baru saja datang segera membantu Lasmi beres-beres warung.
"Tahu dari mana?" tanya Lasmi seakan tak percaya pada anaknya.
"Bapak, tadi Lik Adi nelpon bapak. Bapak bilang biar Handa berangkat dulu, nanti kita nyusul. Cari sangu dulu kata bapak."
"Handanya mau?" Lasmi mengerakkan dagunya ke arah Handa, Damar segera mengalihkan pandangannya mengikuti isyarat yang diberikan sang ibu.
Damar membuang nafas kasar, menatap wajah sendu Handa. "Makan dulu Han! Nanti kita bicarakan bersama."
Handa mengangguk pelan lalu mulai menyuapkan soto ke dalam mulutnya. Tak lama setelah makanan masuk kedalam mulutnya, Handa segera meraih es teh didepannya.
"Mas Damar!" Handa mendelik menantap Damar yang justru hanya tersenyum sambil mengangkat tanganya sambil menunjukkan jari telunjuk dan jari tengah.
***
Setelah beberapa kali papanya menelepon dan juga nasihat dari Gunawan dan Lasmi, akhirnya Handa tidak bisa menolak untuk menghadiri pernikahan saudaranya. Handa harus ke Jakarta, kembali ke rumah di mana ia menghabiskan masa kecilnya dulu, kenangan-kenangan buruk seakan kembali membayangi setiap detik hidup Handa. Tetapi Handa sudah bertekad akan menghadapinya, hanya sebentar, ya hanya sebentar ia akan berada di rumah itu.
Kereta Api Argo Anggrek tampak memasuki Stasiun Tawang Semarang dari arah Pasar Turi. Mengenakan celana jeans, jaket bomber warna hitam andalannya, tas ransel di punggungnya serta rambut diikat ekor kuda, Handa melangkahkan kaki memasuki peron stasiun bersama Damar. Ada perasaan bahagia, namun perasaan gundah pun terbersit di wajahnya. Damar yang menemaninya berusaha menghilangkan kegundahan hatinya dengan mengengam erat tangan Handa. Mereka berpandangan lalu saling melemparkan senyum.
"Mikirin apa sih Han?" tanya Damar singkat.
Handa hanya mendengkus pelan, "Ga ada mas."
"Han, kamu itu mau bertemu bapak, ibu sama mbakyumu, apa yang kamu takutkan? Mereka keluargamu Han."
"Beli tiketnya mengapa yang kelas eksekutif sih mas? Mahal!" Handa berusaha mengalihkan topik pembicaraan.
"Hahaha...koyo wong susah, Han." Damar tertawa terbahak. "Apa...duit? Tenang saja, mas lagi ada kerjaan. Han, kamu kesana mau ada acara penting, jangan sampai wajah kamu jelek, kamu itu sudah ga cantik lho Han, masak harus jelek juga."
Handa tersenyum mendengar ucapan Damar. Damar mengusap-usap pucuk kepala Handa, tampak mampu memberi sedikit ketenangan pada Handa.
"Kalau kangen mas, telpon saja!" Damar tersenyum genit pada Handa. "Kalau nggak krasan, setelah acara selesai segera pulang, nggak ada yang perlu kamu khawatirkan. Jakarta-Semarang masih Indonesia juga Han, gak butuh visa sama pasport"
Handa tersenyum dengan sikap genit Damar, Handa dan Damar mempercepat jalannya menuju gerbong kereta yang tertera di tiket Handa.
"Kami nyusulnya mepet, masih ada kerjaan, tenang saja!" Kembali Damar berusaha menenangkan Handa.
Handa dan Damar sudah berada di depan gerbong kereta, tampak berat Damar melepaskan gengaman tangannya. Mereka saling berpandangan dan melempar senyum.
"Sini!" Damar segera meraih tubuh Handa dan memeluknya. "Kami akan selalu ada untukmu." Diciumnya pucuk kepala Handa dalam-dalam sambil memejamkan mata.
Handa melepas pelukan Damar, "Tampaknya yang bakalan kangen bukan Handa deh. Cuma seminggu mas." Handa tersenyum lebar memandang Damar.
Damar membalas senyum Handa sambil mengibaskan tangannya, memberi kode agar Handa segera memasuki kereta. Handa melambaikan tangan dan tersenyum kepada Damar, lalu segera memasuki gerbong kereta.
Tak lama kemudian kereta mulai berjalan, setelah kereta menghilang dari pandangan Damar, Damar pun segera melangkah meninggalkan peron stasiun.
Satu minggu kata Handa, untuk dirinya sendiri, Damar berharap hanya satu minggu Handa pergi. Tetapi untuk Handa, Damar berharap bisa lebih lama, karena itu berarti hubungan Handa dengan keluarganya menjadi lebih baik. Damar berharap Handa kembali ke Semarang tanpa air mata seperti yang sudah-sudah.
***
Pemandangan Laut Jawa yang indah, deburan ombak yang menghantam bebatuan dan hutan bakau di tepian laut menemani perjalanan Handa. Handa menatap keluar jendela, menarik nafas panjang sambil memijit dahinya. Ingatan masa lalu membuat pemandangan indah di sampingnya tak mampu menghilangkan kegundahan di hati.
Sebuah keluarga kecil yang tidak ia ketahui sebabnya harus bercerai berai, tanpa ia ketahui kesalahan apa yang telah ia perbuat hingga ia harus dititipkan di rumah saudara yang jauh tempatnya. Bahkan hati kecilnya kadang teriak bahwa dirinya tidak diinginkan oleh keluarganya, dirinya telah dibuang oleh keluarganya.
Flashback :
Seorang gadis 12 tahun dan seorang lelaki dewasa memasuki kamar yang kurang lebih berukuran 2 x 3 meter, mereka adalah Handa dan Gunadi ayahnya. Pandangannya menyapu seisi kamar yang hanya ada sebuah lemari kecil dan kasur busa di lantai tanpa dipan. Handa meletakkan tasnya di sudut ruangan, Gunadi menatap nanar punggung anaknya.
"Handa di sini dulu ya? Sama Pakdhe."
"Papa ga sayang Handa?" Tanya Handa dengan suara yang sedikit serak.
Gunadi tak ingin terlihat cengeng di depan anaknya, tetapi ia tak sanggup menahan air matanya menetes. Gunadi berjalan mendekati Handa, setelah jarak terpangkas Gunadi segera memeluk Handa dengan erat, punggungnya tampak bergetar.
"Papa sayang Handa, percayalah nak! Papa sangat sayang Handa."
Handa melingkarkan tangannnya di pinggang Gunadi.
"Kalau papa sayang Handa, mengapa Handa harus di sini, mengapa Handa dititipkan? Handa ingin selalu bersama papa, mama, dan Mbak Hanin. Nggak apa-apa Handa dimarahi terus, asal kita selalu bersama, Pa."
Handa mulai menangis, dan semakin erat pula pelukan antara ayah dan anak tersebut.
"Apa salah Handa, Pa? Mengapa mama sama Mbak Hanin nggak sayang Handa?"
Gunadi melepas pelukannya, dengan lembut Gunadi menyentuh bahu Handa. Gunadi menggelengkan kepalanya sambil mengusap air matanya.
"Handa ga salah, yang harus Handa ketahui setiap keluarga memiliki masalah yang berbeda-beda, doakan papa bisa segera menyelesaikan masalah ini nak." Gunadi berusaha menenangkan anaknya.
"Apa kita tidak bisa menyelesaikan bersama?" tanya Handa dengan wajah memelas.
Gunadi hanya menggelengkan kepala, dan segera memeluk Handa dengan erat. Punggungnya pun kembali bergetar dengan hebat.
"Papa sayang Handa, papa selalu sayang Handa."
Flashback off
Handa mengalihkan pandangannya dan menarik nafas dalam-dalam. Dia menundukkan kepalanya, bulir-bulir bening air mata menetes di pahanya. Handa mengusap air mata di pahanya, dengan sedikit gerakan maju tangannya sudah mengepal, lalu memukul pelan pahanya berusaha memberi kekuatan pada dirinya sendiri. Handa mengangkat kepalanya sambil menarik nafas dalam-dalam, dengan punggung tangannya Handa menyeka air mata yang telah membasahi pipinya, lalu pandangannya kembali beralih keluar jendela menyaksikan pemandangan alam Laut Jawa yang indah. Handa melepas ikatan rambutnya lalu menggunakan ikat rambutnya sebagai gelang di tangan kirinya, ia mulai menyandarkan kepalanya lalu melemparkan pandangan ke Laut Jawa yang indah. Handa mencoba menikmati perjalanan dan menghilangkan ketakutan di hatinya.
Handa sudah tiba di Stasiun Gambir, pandangan Handa menyapu seisi stasiun sejak keluar dari Kereta Api Argo Bromo Anggrek. Hingga pandangannya berhenti pada seorang lelaki paruh baya yang berbadan kurus, tetapi kulit bersih dan pakaiannya yang rapi membuatnya masih terlihat tampan, dia adalah Gunadi ayah kandung Handa.Ayah dan anak itu saling melempar senyum, lalu Handa dan Gunadi berjalan perlahan saling mendekat untuk memangkas jarak di antara mereka, tapi tak lama kemudian karena rasa rindu yang sangat mendalam membuat Handa kehilangan kesabaran dan segera berlari menghambur ke pelukan Gunadi sang ayah."Papa." Erat Handa memeluk Gunadi sambil memejamkan matanya.Ayah dan anak itu saling berpelukan melepas rindu, rasa hangat dari pelukan seorang ayah yang sudah lam
"Aku tidak mengundangnya, aku tidak ingin dia ada di acaraku pa, aku tidak ingin melihat dia ada di sini." Dengan penuh amarah dan menatap tajam ke arah Handa, Hanin melontarkan kata-kata penolakan atas kehadiran adiknya.Handa mendengus kasar dan membalas tatapan mata Hanin. Nafasnya mulai tak beraturan menahan emosi. Bisa saja saat ini juga Handa berbalik dan kembali lagi ke Semarang, tetapi ketika dialihkannya pandangan ke arah Gunadi dan Marini yang tampak sedih dan kecewa, Handa mengurungkan niatnya tersebut. Hingga mulai terdengar suara isak tangis Marini yang membuat suasana terasa semakin mencekam."Aku baru tiba ... lelah. Aku mau istirahat," ucap Handa, seakan tidak mempedulikan kata-kata yang baru saja keluar dari mulut Hanin.Handa memberanikan diri melangkahkan
Makan malam dalam suasana yang dingin mencekam, hanya suara dentingan sendok yang bergesekan dengan piring yang mengisi ruangan. Handa sangat menikmati makan malam, karena hanya itu yang dia inginkan malam ini, menikmati makan malam. Berbeda dengan Hanin, dia hanya mengaduk-aduk makanannya sambil menatap tajam Handa yang tampak lahap menikmati makananya. Hanin tidak pernah ingin melihat Handa bahagia, bahkan menyaksikan Handa menikmati makanannya pun sangat menyakitkan bagi Hanin. "Makan Nin!" Suara lembut Marini membuat suasana makan malam yang dingin tampak semakin mencekam. "Nggak nafsu, Ma, melihat ada orang makan dengan rakusnya seperti orang kelaparan," jawab Hanin dengan tatapan mata yang tak pernah lepas dari Handa. Handa yang makan tanpa sendok,
Pernikahan Hanin kurang dari satu minggu lagi akan dilaksanakan, tetapi setelah keributan saat makan malam itu Hanin belum pulang. Di kamarnya, dengan perasaan cemas Marini berusaha menghubungi Hanin. Sepertinya Hanin mematikan ponselnya sehingga tidak bisa dihubungi. Dari jendela, Marini menyaksikan kedekatan Gunadi dengan Handa yang sedang menikmati kopi di taman. Keduanya tampak bahagia melepas kerinduan yang telah lama terpendam dan merasa tidak ada yang mengganggu kebersamaan mereka. Marini kembali meneteskan air mata menyaksikan suami dan anaknya seakan tidak mempedulikan keberadaan Hanin sekarang. "Mengapa kau hadir dan menghancurkan kebahagiaan kami?" Gumam Marini sambil mengenggam erat ponselnya. Kembali Marini mencoba menghubungi Hanin "Angkat nak! Ini mama." Punggung Marini bergetar, suara isak tangisnya mengisi ruangan yang menjadi saksi kesedihan yang ia harus rasakan sendiri. Bahkan Gunadi sang suami justru terlihat sangat bahagia bersama Handa, putri bungsunya. ***
Satria menatap tajam ke arah Handa yang sedang menuruni tangga, baginya perempuan di depannya itu adalah orang yang membuat dia harus menghadapi masalah yang rumit saat ini. Perempuan yang akan menghancurkan pernikahannya. Handa pun membalas dengan tatapan mata yang tajam pula, baginya tatapan mata Satria hampir sama dengan tatapan mata Hanin selama ini kepadanya, tatapan mata penuh kebencian. Dalam hatinya bertanya, apa saja yang telah dikatakan kakaknya pada calon suaminya tersebut, melihat gelagat yang ditunjukkan oleh Satria. sepertinya bukan sesuatu yang baik. Setelah Gunadi mempersilahkan mereka duduk, Handa segera menuju dapur untuk membuat minum. Tak bisa dipungkiri dalam hati Handa mengakui bahwa calon suami kakaknya memang mempesona dan seperti apa yang diungkapkan Marini bahwa mereka adalah orang kaya. Tapi tatapan matanya membuat Handa berpikir untuk tidak berurusan dengannya. Setelah selesai membuat minuman Handa bergegas membawanya ke ruang tamu untuk disajikan. Handa
Suasana malam yang sunyi, keheningan di pekarangan sebuah rumah bergaya klasik nan mewah dan besar dengan halamannya yang luas terusik oleh suara deru mobil. Dua mobil mewah pun segera terparkir dengan rapi. Setelah mesin mobil dimatikan, Satria keluar dari mobil diikuti Harris dan Lisa yang keluar dari mobil yang satunya. Memasuki rumah, mereka segera menuju ke ruang keluarga. Lalu mereka bertiga duduk di sofa, Satria duduk berseberangan dengan kedua orang tuanya yang duduk berdampingan. Tangan Satria meraih remote dan menyalakan tv, tapi tak lama kemudian mematikan tv itu lagi dan meletakkan remote dengan kasar, Satria terlihat sangat bingung akan berbuat apa saat ini. Dalam waktu yang tidak lama, Satria sudah beberapa kali mendengus kasar dan pandangan yang nanar. Harris dan Lisa saling berpandangan, menyadari ada masalah berat yang sedang dihadapi oleh putra mereka. Tak ada orang tua yang senang melihat anaknya menderita begitu juga dengan Harris dan Lisa. Sejenak mereka memilih
Handa mengambil beberapa potong pakaian dari ransel yang sudah ia rapikan dari beberapa hari yang lalu. Handa sudah siap untuk kembali ke Semarang, tetapi Gunadi menahanya sampai Hanin ditemukan atau mereka menemukan jalan keluar dari masalah yang sedang mereka hadapi. Sebenarnya Handa merasa tidak betah dan tidak nyaman, apalagi setelah Satria masuk ke kamarnya. Handa masuk ke kamar mandi, tak lama kemudian ia sudah keluar dan berganti kaos oblong lengan pendek dan celana jeans butut serta rambut yang dibalut dengan handuk. Handa berdiri di depan jendela melihat pemandangan di luar sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk. Seakan tak percaya melihat mobil mewah yang semalam datang memasuki pekarangan rumah mereka. Handa melihat ke jam tangannya, waktu menunjukkan belum genap pukul enam sudah ada yang bertamu ke rumah mereka. Handa sudah di dapur menemui Marini yang sedang membuat sarapan. "Ada tamu Ma, biar Handa yang nglanjutin bikin nasi gorengnya." Belum sempat Marini menj
Setelah Satria dan kedua orang tuanya pergi suasana rumah Ginadi menjadi hening. Marini memilih segera memasuki kamarnya untuk menghindari percakapan dengan Handa dan Gunadi. Seperti ada sesuatu yang disembunyikan oleh Marini.Handa masih terdiam di tempatnya, Gunadi memandangi putri bungsunya dengan penuh rasa bersalah. Sejak Handa masih kecil Gunadi tidak bisa memberikan kasih sayang dan perlindungan padanya. Handa harus meninggalkan rumah dan dia tidak bisa berbuat apa-apa. Saat Handa meminta pulang agar bisa kuliah di Jakarta pun tak bisa ia penuhi, semua itu ia lakukan hanya agar Hanin tidak marah dan ngamuk. Dan kini, Handa diminta mempertanggungjawabkan sesuatu yang bukanlah kesalahannya, lebih tepatnya kesalahan Hanin yang kabur menjelang hari pernikahan. Dalam hatinya Gunadi menghitung Aset dan tabungannya tak akan cukup mengantikan biaya yang sudah dikeluarkan Satria untuk acara pernikahan yang akan digelar. Tetapi Gunadi tidak ingin mengorbankan Handa sekali lagi, dia siap
Handa ditemani Satria, Dharma, Gunawan dan juga Lasmi berdiri di depan sebuah pusara. Sungguh Handa tidak pernah menduga jika ternyata dia adalah anak dari Arumi, adik bungsu Lasmi yang pernah dititipkan di rumah Gunadi untuk menuntut ilmu di Jakarta.Saat itu Gunadi dan Marini membawa pulang jasad Arumi yang katanya mengalami kecelakaan saat pulang kuliah. Gunadi menyimpan rapat rahasia itu, bahkan Marini pun baru mengetahuinya bersamaan dengan Handa. Kala itu Marini yang melihat gelagat mencurigakan antara Gunadi dan Arumi, langsung meminta kepada Arumi untuk segera mencari kost. Tetapi, keadaan itu justru menjadi peluang bagi Gunadi dan Arumi untuk bisa bersama tanpa sepengetahuan Marini.Hingga saat Gunadi memberitahukan jika Arumi meninggal karena kecelakaan, Marini justru dihinggapi rasa bersalah karena tidak mampu menjaga Arumi yang dititipkan kepadanya. Mulai saat itulah ada perang dingin antara Marini dan Lasmi yang membuat Marini enggan untuk bersilaturahim ke Semarang.“Bag
Setelah kepulangan Harris dan Lisa dari perjalanan umrah, Handa tampak lebih tenang menantikan hari persalinan yang sudah dijadwalkan dari pihak rumah sakit. Dan kini tampak kesibukan di rumah keluarga Argawinata yang akan membawa Handa ke rumah sakit untuk menjalani proses persalinan.Karena memang sudah dijadwalkan sebelumnya, sehingga tidak menunggu Handa merasakan kontraksi. Bahkan untuk menuju ke mobil Handa masih bisa berjalan dengan biasa. Meskipun terjebak macet di beberapa titik jalan raya, tetapi tidak ada kepanikan pada Handa maupun Satria, karena jadwal operasi masih esok hari.Setelah bertaruh nyawa di meja operasi, akhirnya Handa melahirkan bayi perempuan yang cantik. Ketegangan selama beberapa hari terakhir kini berganti dengan rasa lega saat dokter menyataka jika ibu dan bayi dalam keadaan sehat.Dengan senyum lebar Satria menghampiri Harris dan Lisa yang sudah menunggunya sejak Handa masuk ruang operasi. Pelukan hangat sudah menyambut Satria, pria yang kini telah mend
“Mungkin memang saya harus meminum air bekas cuci kaki mama,” ucap Handa dengan sendu setelah mendengar penjelasan dari dokter.“Apa tidak ada jalan lain?” tanya Satria kepada dokter yang menangani Handa. Digenggamnya tangan Handa dengan erat berharap istrinya bisa lebih tenang dalam menghadapi proses persalinan yang semakin dekat.Tentu Satria tidak akan membiarkan Handa meminum air bekas cuci kaki Marini. Sampai saat ini Satria belum bisa mempercayai ibu mertuanya tersebut, dia tidak ingin mengambil risiko jika Marini sudah memberi sesuatu di kakinya yang bisa membahayakan Handa dan juga anak mereka. Jika yang disebut mama adalah Lisa, Satria yakin sang mama pasti akan menolak permintaan Handa.“Bu Handa memiliki panggul yang kecil, akan sangat berisiko jika dipaksakan melahirkan secara normal.”Penjelasan dari dokter yang baru saja mereka dengar sepertinya membuat Handa menjadi down. Karena selama ini Handa ingin melahirkan secara normal, menikmati setiap proses untuk menjadi seora
“Syukurlah!” ucap Nadia yang karena kehamilannya terlihat kesulitan memeluk Handa.“Ini karena doa Mbak Dia juga … terima kasih atas doanya,” balas Handa dengan senyum lebar yang menggambarkan kebahagiaan.Nadia tersenyum tersipu malu, dia masih ingat saat mengucapkan kata-kata tersebut dalam keadaan tersulut emosi mendengar niat Satria yang mengadopsi anak sulungnya. tetapi apa pun itu Nadia tetap bahagia karena Tuhan mengabulkan doanya, bukan hanya bahagia untuk pasangan Handa dan Satria yang akhirnya akan memiliki anak, tetapi juga bahagia karena dia tidak perlu takut lagi Satria akan mengadopsi Rio.“Nanti kita bisa senam hamil bersama,” ajak Nadia sungguh-sungguh, karena senang akan memiliki teman di tempat tersebut.Handa yang belum mengetahui seluk beluk tentang kehamilan pun mengalihkan pandangan pada Lisa, seolah bertanya dan meminta persetujuan. Anggukan dan senyum hangat yang diberikan oleh ibu mertuanya adalah jawaban yang membuat Handa yakin untuk menerima ajakan dari Nad
“Han!” Dengan perlahan Satria semakin mendekat ke arah brankar tempat Handa berada. “Bisa diulang? Aku takut salah dengar.” “Ya, Mas! Apa yang telah lama kita tunggu akhirnya datang juga. Aku hamil, Mas!” Handa pun tidak bisa menahan air mata bahagianya. Satria segera memeluk erat tubuh istrinya untuk mengungkapkan rasa bahagianya. Penantian panjang itu akhirnya berakhir bahagia, kala Tuhan telah berkehendak memberikan karunianya pada Handa dan Satria. “Terima kasih, terima kasih atas pengorbananmu yang bersedia mengalah untuk selalu di bawah ….” Tiba-tiba terdengar suara Hanin yang sedang berdehem. Wanita yang sedang mengandung bayi kembar itu merasa tidak nyaman mendengar kata-kata Satria. Handa dan Satria pun kembali tersadar jika saat ini mereka tidak sedang berdua. Ada Hanin yang masih bersama mereka. “Aku keluar dulu, ya!” Tidak bisa dipungkiri, rasa canggung itu masih ada kala Hanin harus berdekatan dengan Satria. Selain itu Hanin ingin memberi kesempatan kepada adik dan i
“Mas Dharma nggak ikut? Mbak Hanin kan sedang hamil, apa tidak khawatir?” cecar Handa kepada Hanin. “Apalagi Mbak Hanin kan hamil kembar?”“Hamil nggak harus membuat kita jadi manja. Mas Dharma banyak kerjaan di sana, anaknya sudah mau lima, Han! Harus kerja lebih keras lagi. Sebelum ke sini, periksa ke dokter dulu, dan katanya aman untuk perjalanan jauh, ya sudah,” jawab Hanin dengan santai.Sejak Hanin menikah dengan Dharma, hubungan Handa dengan kakaknya itu semakin lama semakin membaik. Tidak ada lagi amarah di hati Hanin saat bertemu dengan adiknya, bahkan sekarang mereka bisa berbincang dengan begitu akrab seolah sudah melupakan masa lalu yang kelam. Dharma benar-benar mampu meluluhkan hati Hanin yang keras karena kebencian yang tertanam sejak kecil.“Han!” Hanin terlihat ragu untuk melanjutkan kalimatnya. Ada rasa takut jika apa yang akan dia katakan berakibat terjadi sebuah kesalahpahaman.“Ada apa, Mbak?” tanya Handa yang justru terlihat semakin penasaran.“Dandan ya! Biar ng
“Saat ini kami sedang butuh modal, jadi saya akan menjual rumah itu,” ucap Hanin di hadapan kedua orang tuanya.Setelah menikah dengan Dharma Hanin menetap di Semarang, dan hanya sesekali mendatangi kedua orang tuanya di Jakarta. Bahkan jika Marini merasakan rindu yang sangat pada cucunya, dia dan Gunadi yang berkunjung ke Semarang.“Kenapa tidak pinjam bank saja, kan bisa dicicil?” tanya Marini yang merasa sayang untuk menjual rumah milik Hanindya.Sedangkan Gunadi baru mengetahui jika selama ini putrinya memiliki rumah di pinggiran kota Jakarta. Padahal rumah itu sudah lama dimiliki oleh putri sulungnya, bahkan sejak mereka masih tinggal bersama. Ingin rasanya bertanya kepada Hanin, tetapi tampaknya Gunadi lebih memilik untuk menunggu kejujuran dari putri sulungnya tersebut.“Sebenarnya Mas Dharma juga berpikiran seperti itu, tetapi kebutuhan kami sudah terlalu banyak. Anak-anak sudah sekolah semua, kalau kami mengajukan pinjaman lagi, takutnya justru membuat kami tidak bisa fokus d
“Mbak Dia!” panggil Handa kepada wanita yang sudah hampir memasuki mobilnya. “Maafkan, Mas Satria! Dia tidak sungguh-sungguh dengan ucapannya,” sambung Handa berusaha untuk menenangkan hati salah satu tamunya.Wanita yang bernama Nadia itu hanya menganggukkan kepala sambil memeluk erat Rio, seolah takut kehilangan putranya. Bukan untuk pertama kalinya dia mendengar jika Satria ingin mengadopsi Rio. Apalagi setelah Nadia hamil anak ke tiga, Satria semakin dekat Rio.“Tidak apa-apa.” Nadia terlihat berat untuk berbicara di depan Handa. “Semoga kalian segera diberi momongan,” sambung Nadia dengan wajah yang sendu.“Amin, terima kasih atas doanya.” Handa hanya bisa mengaminkan doa baik yang terucap dari mulut Nadia, meskipun terdengar tidak tulus.Handa merasa, Nadia mengucapkannya sebagai bentuk rasa tidak sukanya dengan Satria yang terlalu dekat dengan putra sulungnya. Dan juga sikap Satria yang secara terang-terangan ingin mengadopsi Rio.“Kami pamit dulu, terima kasih atas undangannya
“Tidak!” jawab Satria dengan tegas. “Aku yakin kau akan memberi keturunan kepada keluarga Argawinata, jangan kau bunuh keyakinanku itu!” sambung Satria di akhiri dengan kecupan lembut di kening Handa.Satria memiliki alasan lain tidak ingin mengadopsi Arjuna Palguna Gunawan. Meskipun sudah tidak memiliki rasa cinta kepada Hanindya, tetapi tidak mudah bagi Satria untuk melupakan begitu saja kebersamaan mereka yang pernah terjalin dahulu.Mengingat masa-masa kebersamaannya dengan Hanin membuat Satria merasa bersalah kepada Handa. Hubungannya dengan Hanin yang sudah melampaui batas kadang membuatnya merasa menjadi lelaki yang tidak layak untuk Handa, apalagi saat dia teringat dengan rencananya bersama Hanin untuk menghancurkan hidup Handa kala itu, benar-benar membuat Satria merasa menjadi lelaki yang jahat karena memiliki niat untuk menghancurkan hidup istrinya.“Ayo bangun! Mama dan papa pasti sudah menunggu kita untuk sarapan bersama mereka!” ajak Satria kepada istrinya. “Apa mau dige