Beranda / Romansa / Handa / 4. Apa Dosa Papa?

Share

4. Apa Dosa Papa?

Penulis: Henny Djayadi
last update Terakhir Diperbarui: 2022-04-19 18:55:07

"Aku tidak mengundangnya, aku tidak ingin dia ada di acaraku pa, aku tidak ingin melihat dia ada di sini." Dengan penuh amarah dan menatap tajam ke arah Handa, Hanin melontarkan kata-kata penolakan atas kehadiran adiknya.

Handa mendengus kasar dan membalas tatapan mata Hanin. Nafasnya mulai tak beraturan menahan emosi. Bisa saja saat ini juga Handa berbalik dan kembali lagi ke Semarang, tetapi ketika dialihkannya pandangan ke arah Gunadi dan Marini yang tampak sedih dan kecewa, Handa mengurungkan niatnya tersebut. Hingga mulai terdengar suara isak tangis Marini yang membuat suasana terasa semakin mencekam.

"Aku baru tiba ... lelah. Aku mau istirahat," ucap Handa, seakan tidak mempedulikan kata-kata yang baru saja keluar dari mulut Hanin.

Handa memberanikan diri melangkahkan kaki menaiki tangga, bahkan ia pun berusaha tidak memandang Hanin agar tidak terpancing emosinya. Handa pulang karena Gunadi dan Marini memintanya pulang di acara penikahan Hanin. Handa pulang bukan untuk Hanin tapi untuk Gunadi dan Marini, kedua orang tuanya. Sudah cukup bagi Handa menyaksikan kesedihan Gunadi dan Marini, bahkan saat belum setengah jam dia memasuki rumah. Handa harus segera mengakhiri perbincangan dengan Hanin yang terasa sangat tidak berfaedah, karena perbincangan yang terjadi di antara mereka mungkin lebih tepat jika disebut dengan pertengkaran.

"Mau kemana kamu?" Hanin menghalangi langkah Handa, "Untuk apa kau di sini?" cecar Hanin.

"Mengunjungi keluargaku." Jawab Handa dengan suara bergetar.

"Aku bukan keluargamu." Hanin menegaskan perasaan tidak senangnya terhadap Handa.

"Aku mengunjungi keluargaku." Handa mengulangi jawabanya dengan suara yang lebih tenang. "Jika ada saudara yang tidak menerimaku, aku masih punya orang tua yang menyanyangiku. Aku pulang untuk mereka, aku di sini untuk mereka. Minggir!"

Handa dan Hanin saling berhadapan, tatapan tajam keduanya membuat suasana menjadi sangat tegang. Handa mendengus kasar berusaha menghentikan suasana yang sangat tidak nyaman tersebut.

"Ku harap kau paham dengan apa yang ku katakan. Dan sekarang, beri aku jalan."

"Hanin!" Suara lembut Marini, mampu mengalihkan perhatian Hanin. Suara lembut seorang ibu yang mampu meluruhkan kekerasan hati anaknya. Hanin segera bergeser ke tepian tangga, tangannya mencengkeram erat handgrib railling tangga di sampingnya.

Setelah mendapatkan jalan, Handa segera melangkahkan kakinya menaiki tangga dan bergegas memasuki kamarnya setelah sampai lantai dua rumah tersebut.

Suasana menjadi hening, tampak Hanin berusaha mengendalikan emosi yang hampir meledak. Bahkan sampai saat Handa sudah tak terlihat karena telah memasuki kamarnya pun Hanin tampak belum bisa mengendalikan dirinya.

"Bagaimanapun dia tetap adikmu." Suara Marini memecah keheningan.

"Aku ti..."

"CUKUP!" Bentak Marini memotong pembicaraan Hanin. Marini tidak suka jika apa yang dia katakan dibantah oleh anak-anaknya.

"Ma!"

Hanin mencoba menjelaskan isi hatinya pada sang ibu. Tetapi Marini memilih segera melangkahkan kaki menuju kamarnya, tampak ia berjalan sambil menyeka air mata yang membasahi pipinya. Hanin masih berdiri ditempatnya, ditatapnya wajah memelas Gunadi dengan penuh amarah dan kebencian.

***

Handa berada di kamar yang sudah lima tahun tidak ia masuki. Kamar yang sebenarnya tidak besar, tapi tampak sangat lega karena tidak banyak benda di dalamnya. Hanya ada tempat tidur dengan ukuran single bed, nakas dan lemari pakaian kecil. Handa meletakkan tas punggungnya di atas nakas, lalu duduk di tepian tempat tidur, melepas sepatu dan memasukkannya ke bawah tempat tidur.

Handa berjalan menuju ke arah jendela. Beberapa saat ia berdiri di dekat jandela, dan disibakkannya gorden hingga ia bisa memandang keluar jendela. Tak lama kemudian ia kembali ke tempat tidurnya dan membaringkan tubuh untuk istirahat. Handa memiringkan tubuhnya dan menggunakan kedua tangannya menjadi bantal. Ingatan masa lalu mengganggu istirahanya.

Flashback:

Handa kecil duduk bersandar railling di lantai dua, dipeluknya erat kedua kakinya dan bulir-bulir bening jatuh bercucuran dengan deras kala Handa mendengar pertengkaran Gunadi dan Marini. Suara pertengkaran masih begitu jelas terdengar oleh telinga Handa, meskipun kejadiannya berada di lantai satu.

"Aku mohon pengertianmu, Mar!" Suara memelas Gunadi memohon.

"Kurang pengertian apa aku selama ini, Mas?" Marini justru balik bertanya dengan nada dengan tegas.

"Aku menerimamu apa adanya, aku menerima dosa-dosamu, aku menerima dosamu di rumah ini."Ucap Marini lagi tetapi dengan nada yang lebih tinggi.

PLAK

"Papa!" Teriak Hanin yang baru saja memasuki rumah dengan mengenakan seragam putih abu-abu.

Hanin berlari menghampiri Marini yang menangis sambil memegangi pipi kirinya.

"Mengapa papa tega memukul mama? Apa salah mama pa?" Hanin memeluk Marini dengan air mata mulai membasahi pipinya.

Tangan Gunadi masih bergetar setelah menampar Marini, Gunadi hanya diam kala hatinya dipenuhi dengan penyesalan.

"Papa memukul mama hanya untuk menutupi kesalahan papa, papa sangat egois, keterlaluan!" Caci maki keluar dari mulut Hanin, seolah dia lupa jika lelaki yang berada di depannya adalah ayah yang selama ini memenuhi nafkah untuknya. Gunadi pun semakin merasa bersalah, dia hanya berdiri mematung seakan tak bisa menggerakkan tubuhnya.

"Jangan menangis lagi ma, siapa pun yang membuat mama menangis harus merasakan penderitaan yang sama seperti mama, dia harus menangis seperti mama. Hanin tidak akan membiarkan dia bahagia di atas tangisan mama." Janji Hanin pada Marini sambil memeluk erat dengan air mata yang seakan tak mau berhenti membasahi pipinya.

Flashback off

Handa yang berbaring miring di tempat tidurnya dengan menggunakan kedua tangannya sebagai bantal segera bangun dan duduk bersandar dikepala dipan.

"Apa dosa papa? Mengapa aku harus pergi? Apakah aku dosa papa?" Handa berbicara dengan dirinya sendiri, lalu memeluk kedua kakinya dan menundukkan kepala hingga menyentuh lututnya.

***

Marini menyiapkan makan malam dibantu Handa. Handa tampak senang Marini memasak makanan kesukaannya, ikan bumbu kuning masakan yang sudah lama tak ia nikmati, karena di Semarang masakannya lebih banyak yang dominan rasa manis. Hidup menumpang membuat Handa menerima setiap makanan yang disajikan tanpa berani protes meskipun tidak sesuai dengan selera lidahnya, dalam keadaan seperti itu pun Handa harus tetap bersyukur karena masih ada yang bisa ia makan, gratis pula.

"Terima kasih ma, mama masih ingat makanan kesukaan Handa." Handa memeluk Marini dari belakang.

"Semua sudah siap, kamu panggil papa, mama panggil Mbak Hanin." Marini tersenyum sambil menepuk punggung tangan Handa.

Handa mengangguk, bergegas ke kamar orang tuanya. Marini menaiki tangga menuju kamar kamar Hanin di lantai dua.

"Makan dulu Nin, makan malam sudah mama siapkan." Marini memanggil Hanin sambil mengetuk pintu.

"Aku masih kenyang ma, aku tidak makan." Jawab Hanin dari dalam kamarnya.

"Makan Nin, jaga kesehatanmu! Jangan sampai kau ambruk di hari pernikahanmu nanti." Marini memaksa Hanin untuk makan, karena ia sangat mengkhawatirkan kesehatan putrinya.

Akhirnya pintu dibuka, dan Hanin muncul dari balik pintu dengan wajah cemberut.

"Aku tidak mau makan bersamanya, ma." 

"Bersabarlah! Seperti biasanya Handa tidak akan lama di sini." Marini berusaha menyakinkan Hanin.

"Fokuslah pada pernikahanmu, jangan kau kacaukan dengan kedatangan Handa. Masa depanmu lebih berarti dari pada sakit hatimu." Nasihat Marini pada sang putri.

"Bagaimana mama bisa menerima semua ini?" Hanin justru balik bertanya dengan nada kesal.

Marini mendengus kasar mendengar pertanyaan Hanin yang seakan mengingatkan pada luka dimasa lalunya.

"Mama hanya berjuang demi keluarga mama, setidaknya sampai sekarang kita memiliki keluarga yang utuh. Keluarga yang utuh tanpa Handa seperti yang kita mau. Biarkan dia sesekali hadir sebagai selingan layaknya iklan, yang penting keluarga kita tetap utuh." Marini meraih tangan Hanin, seakan menariknya keluar dari kamar.

Hanin menutup pintu kamarnya dan mengikuti Marini menuju ruang makan.

Di ruang makan tampak Handa dan Gunadi duduk berdekatan sudah menunggu di meja makan.

Hanin dan Marini segera duduk di salah satu kursi di ruang makan. Hanin menatap tajam ke arah Handa. Marini menyentuh tangan Hanin untuk menenangkannya. Handa berusaha untuk tidak menatap Hanin, bukan karena ia merasa bersalah atau takut, tetapi lebih karena ia menghindari provokasi Hanin. Handa hanya ingin menikmati makan malam dengan tenang, makan malam bersama keluarganya, apalagi menu yang dihidangkan Marini malam ini adalah masakan kesukaannya yang sudah lama tidak ia nikmati.

Bab terkait

  • Handa   5. Makan Malam yang Kacau

    Makan malam dalam suasana yang dingin mencekam, hanya suara dentingan sendok yang bergesekan dengan piring yang mengisi ruangan. Handa sangat menikmati makan malam, karena hanya itu yang dia inginkan malam ini, menikmati makan malam. Berbeda dengan Hanin, dia hanya mengaduk-aduk makanannya sambil menatap tajam Handa yang tampak lahap menikmati makananya. Hanin tidak pernah ingin melihat Handa bahagia, bahkan menyaksikan Handa menikmati makanannya pun sangat menyakitkan bagi Hanin. "Makan Nin!" Suara lembut Marini membuat suasana makan malam yang dingin tampak semakin mencekam. "Nggak nafsu, Ma, melihat ada orang makan dengan rakusnya seperti orang kelaparan," jawab Hanin dengan tatapan mata yang tak pernah lepas dari Handa. Handa yang makan tanpa sendok,

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-22
  • Handa   6. Kekacauan

    Pernikahan Hanin kurang dari satu minggu lagi akan dilaksanakan, tetapi setelah keributan saat makan malam itu Hanin belum pulang. Di kamarnya, dengan perasaan cemas Marini berusaha menghubungi Hanin. Sepertinya Hanin mematikan ponselnya sehingga tidak bisa dihubungi. Dari jendela, Marini menyaksikan kedekatan Gunadi dengan Handa yang sedang menikmati kopi di taman. Keduanya tampak bahagia melepas kerinduan yang telah lama terpendam dan merasa tidak ada yang mengganggu kebersamaan mereka. Marini kembali meneteskan air mata menyaksikan suami dan anaknya seakan tidak mempedulikan keberadaan Hanin sekarang. "Mengapa kau hadir dan menghancurkan kebahagiaan kami?" Gumam Marini sambil mengenggam erat ponselnya. Kembali Marini mencoba menghubungi Hanin "Angkat nak! Ini mama." Punggung Marini bergetar, suara isak tangisnya mengisi ruangan yang menjadi saksi kesedihan yang ia harus rasakan sendiri. Bahkan Gunadi sang suami justru terlihat sangat bahagia bersama Handa, putri bungsunya. ***

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-01
  • Handa   7. Jumpa Pertama

    Satria menatap tajam ke arah Handa yang sedang menuruni tangga, baginya perempuan di depannya itu adalah orang yang membuat dia harus menghadapi masalah yang rumit saat ini. Perempuan yang akan menghancurkan pernikahannya. Handa pun membalas dengan tatapan mata yang tajam pula, baginya tatapan mata Satria hampir sama dengan tatapan mata Hanin selama ini kepadanya, tatapan mata penuh kebencian. Dalam hatinya bertanya, apa saja yang telah dikatakan kakaknya pada calon suaminya tersebut, melihat gelagat yang ditunjukkan oleh Satria. sepertinya bukan sesuatu yang baik. Setelah Gunadi mempersilahkan mereka duduk, Handa segera menuju dapur untuk membuat minum. Tak bisa dipungkiri dalam hati Handa mengakui bahwa calon suami kakaknya memang mempesona dan seperti apa yang diungkapkan Marini bahwa mereka adalah orang kaya. Tapi tatapan matanya membuat Handa berpikir untuk tidak berurusan dengannya. Setelah selesai membuat minuman Handa bergegas membawanya ke ruang tamu untuk disajikan. Handa

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-01
  • Handa   8. Rencana Satria

    Suasana malam yang sunyi, keheningan di pekarangan sebuah rumah bergaya klasik nan mewah dan besar dengan halamannya yang luas terusik oleh suara deru mobil. Dua mobil mewah pun segera terparkir dengan rapi. Setelah mesin mobil dimatikan, Satria keluar dari mobil diikuti Harris dan Lisa yang keluar dari mobil yang satunya. Memasuki rumah, mereka segera menuju ke ruang keluarga. Lalu mereka bertiga duduk di sofa, Satria duduk berseberangan dengan kedua orang tuanya yang duduk berdampingan. Tangan Satria meraih remote dan menyalakan tv, tapi tak lama kemudian mematikan tv itu lagi dan meletakkan remote dengan kasar, Satria terlihat sangat bingung akan berbuat apa saat ini. Dalam waktu yang tidak lama, Satria sudah beberapa kali mendengus kasar dan pandangan yang nanar. Harris dan Lisa saling berpandangan, menyadari ada masalah berat yang sedang dihadapi oleh putra mereka. Tak ada orang tua yang senang melihat anaknya menderita begitu juga dengan Harris dan Lisa. Sejenak mereka memilih

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-01
  • Handa   9. Mempelai Pengganti

    Handa mengambil beberapa potong pakaian dari ransel yang sudah ia rapikan dari beberapa hari yang lalu. Handa sudah siap untuk kembali ke Semarang, tetapi Gunadi menahanya sampai Hanin ditemukan atau mereka menemukan jalan keluar dari masalah yang sedang mereka hadapi. Sebenarnya Handa merasa tidak betah dan tidak nyaman, apalagi setelah Satria masuk ke kamarnya. Handa masuk ke kamar mandi, tak lama kemudian ia sudah keluar dan berganti kaos oblong lengan pendek dan celana jeans butut serta rambut yang dibalut dengan handuk. Handa berdiri di depan jendela melihat pemandangan di luar sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk. Seakan tak percaya melihat mobil mewah yang semalam datang memasuki pekarangan rumah mereka. Handa melihat ke jam tangannya, waktu menunjukkan belum genap pukul enam sudah ada yang bertamu ke rumah mereka. Handa sudah di dapur menemui Marini yang sedang membuat sarapan. "Ada tamu Ma, biar Handa yang nglanjutin bikin nasi gorengnya." Belum sempat Marini menj

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-01
  • Handa   10. Hati Seorang Ayah

    Setelah Satria dan kedua orang tuanya pergi suasana rumah Ginadi menjadi hening. Marini memilih segera memasuki kamarnya untuk menghindari percakapan dengan Handa dan Gunadi. Seperti ada sesuatu yang disembunyikan oleh Marini.Handa masih terdiam di tempatnya, Gunadi memandangi putri bungsunya dengan penuh rasa bersalah. Sejak Handa masih kecil Gunadi tidak bisa memberikan kasih sayang dan perlindungan padanya. Handa harus meninggalkan rumah dan dia tidak bisa berbuat apa-apa. Saat Handa meminta pulang agar bisa kuliah di Jakarta pun tak bisa ia penuhi, semua itu ia lakukan hanya agar Hanin tidak marah dan ngamuk. Dan kini, Handa diminta mempertanggungjawabkan sesuatu yang bukanlah kesalahannya, lebih tepatnya kesalahan Hanin yang kabur menjelang hari pernikahan. Dalam hatinya Gunadi menghitung Aset dan tabungannya tak akan cukup mengantikan biaya yang sudah dikeluarkan Satria untuk acara pernikahan yang akan digelar. Tetapi Gunadi tidak ingin mengorbankan Handa sekali lagi, dia siap

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-01
  • Handa   11. Bersama Pakdhe

    Di dalam kamarnya, Handa ­­sedang membuka­­ pon­­selnya, dilihatnya kiriman foto-foto tanda pembayaran segala keperluan pernikahan Hanin dan ­­Satria­­.­­ Handa menggaruk rambutnya meskipun tidak gatal­­, mengusap wajahnya dengan kasar, lalu ia melempar pon­­­­selnya di kasur dan terdiam duduk di tepian ranjang.­­ Dalam keheningan kamarnya terdengar suara Gunawan yang mengelegar membuatnya segera bangkit dan keluar dari kamarnya."Pakdhe!" gumam Handa kala melihat Gunawan di ruang tamu, Handa bergegas berlari menghambur ke pelukan Guna­­­­wan.­­ Handa tampak damai dalam pelukan pria paruh baya yang merupakan saudara tua papanya. Dalam dekapan sang pakdhe, Handa merasa terlindungi dan disayangi. Gunadi yang menyaksikan merasa teriris hatinya, seh­­­­arusnya dia yang memeluk Handa di saat seperti ini­­­­­, seharusnya dia yang menjadi tempat Handa berlari, seharusnya dia yang menjadi tempat Handa berbagi dan seharusnya dia yang menjadi tempat Handa berlindung. Tetapi kenyataan yang terj

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-02
  • Handa   12. Perjudian Handa dan Satria

    Di kantornya, Satria berdiri menatap keluar jendela. Tatapan mata yang tampak sangat lelah penuh kekecewaan dan amarah. Saat segala yang dia miliki menjadi tak berguna karena tak mampu untuk membeli kebahagiaan. Perempuan yang dia cintai dan telah bersedia untuk bersatu dalam ikatan janji suci pernikahan memilih untuk meninggalkanya di saat-saat terakhir. Sedangkan seorang gadis biasa pun tak mudah ia dapatkan untuk menjadi pengganti, meskipun sudah diancam dan dia telah menunjukkan kekayaan yang dia miliki sebagai iming-iming.Tiba-tiba terdengar suara dering ponsel Satria. Satria melihat ke layar ponselnya, terpampang nama kontak "Handa". "Halo!""....""Baiklah, aku segera ke sana."Satria menuju ke meja kerjanya, mematikan laptopnya dan merapikan berkas-berkas yang berserakan di atas meja kerjanya. Lalu ia bergegas pergi meninggalkan ruangannya.***Mobil Satria memasuki pekarangan rumah Gunadi, tak lama kemudian Satria turun dari mobilnya. Satria terkejut saat melihat Gunawan ya

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-02

Bab terbaru

  • Handa   75. Menua Bersama

    Handa ditemani Satria, Dharma, Gunawan dan juga Lasmi berdiri di depan sebuah pusara. Sungguh Handa tidak pernah menduga jika ternyata dia adalah anak dari Arumi, adik bungsu Lasmi yang pernah dititipkan di rumah Gunadi untuk menuntut ilmu di Jakarta.Saat itu Gunadi dan Marini membawa pulang jasad Arumi yang katanya mengalami kecelakaan saat pulang kuliah. Gunadi menyimpan rapat rahasia itu, bahkan Marini pun baru mengetahuinya bersamaan dengan Handa. Kala itu Marini yang melihat gelagat mencurigakan antara Gunadi dan Arumi, langsung meminta kepada Arumi untuk segera mencari kost. Tetapi, keadaan itu justru menjadi peluang bagi Gunadi dan Arumi untuk bisa bersama tanpa sepengetahuan Marini.Hingga saat Gunadi memberitahukan jika Arumi meninggal karena kecelakaan, Marini justru dihinggapi rasa bersalah karena tidak mampu menjaga Arumi yang dititipkan kepadanya. Mulai saat itulah ada perang dingin antara Marini dan Lasmi yang membuat Marini enggan untuk bersilaturahim ke Semarang.“Bag

  • Handa   74. Ishana Aylanajla Argawinata

    Setelah kepulangan Harris dan Lisa dari perjalanan umrah, Handa tampak lebih tenang menantikan hari persalinan yang sudah dijadwalkan dari pihak rumah sakit. Dan kini tampak kesibukan di rumah keluarga Argawinata yang akan membawa Handa ke rumah sakit untuk menjalani proses persalinan.Karena memang sudah dijadwalkan sebelumnya, sehingga tidak menunggu Handa merasakan kontraksi. Bahkan untuk menuju ke mobil Handa masih bisa berjalan dengan biasa. Meskipun terjebak macet di beberapa titik jalan raya, tetapi tidak ada kepanikan pada Handa maupun Satria, karena jadwal operasi masih esok hari.Setelah bertaruh nyawa di meja operasi, akhirnya Handa melahirkan bayi perempuan yang cantik. Ketegangan selama beberapa hari terakhir kini berganti dengan rasa lega saat dokter menyataka jika ibu dan bayi dalam keadaan sehat.Dengan senyum lebar Satria menghampiri Harris dan Lisa yang sudah menunggunya sejak Handa masuk ruang operasi. Pelukan hangat sudah menyambut Satria, pria yang kini telah mend

  • Handa   73. Ingin Bertemu Ibu

    “Mungkin memang saya harus meminum air bekas cuci kaki mama,” ucap Handa dengan sendu setelah mendengar penjelasan dari dokter.“Apa tidak ada jalan lain?” tanya Satria kepada dokter yang menangani Handa. Digenggamnya tangan Handa dengan erat berharap istrinya bisa lebih tenang dalam menghadapi proses persalinan yang semakin dekat.Tentu Satria tidak akan membiarkan Handa meminum air bekas cuci kaki Marini. Sampai saat ini Satria belum bisa mempercayai ibu mertuanya tersebut, dia tidak ingin mengambil risiko jika Marini sudah memberi sesuatu di kakinya yang bisa membahayakan Handa dan juga anak mereka. Jika yang disebut mama adalah Lisa, Satria yakin sang mama pasti akan menolak permintaan Handa.“Bu Handa memiliki panggul yang kecil, akan sangat berisiko jika dipaksakan melahirkan secara normal.”Penjelasan dari dokter yang baru saja mereka dengar sepertinya membuat Handa menjadi down. Karena selama ini Handa ingin melahirkan secara normal, menikmati setiap proses untuk menjadi seora

  • Handa   72. Kebiasaan Aneh

    “Syukurlah!” ucap Nadia yang karena kehamilannya terlihat kesulitan memeluk Handa.“Ini karena doa Mbak Dia juga … terima kasih atas doanya,” balas Handa dengan senyum lebar yang menggambarkan kebahagiaan.Nadia tersenyum tersipu malu, dia masih ingat saat mengucapkan kata-kata tersebut dalam keadaan tersulut emosi mendengar niat Satria yang mengadopsi anak sulungnya. tetapi apa pun itu Nadia tetap bahagia karena Tuhan mengabulkan doanya, bukan hanya bahagia untuk pasangan Handa dan Satria yang akhirnya akan memiliki anak, tetapi juga bahagia karena dia tidak perlu takut lagi Satria akan mengadopsi Rio.“Nanti kita bisa senam hamil bersama,” ajak Nadia sungguh-sungguh, karena senang akan memiliki teman di tempat tersebut.Handa yang belum mengetahui seluk beluk tentang kehamilan pun mengalihkan pandangan pada Lisa, seolah bertanya dan meminta persetujuan. Anggukan dan senyum hangat yang diberikan oleh ibu mertuanya adalah jawaban yang membuat Handa yakin untuk menerima ajakan dari Nad

  • Handa   71. Akhirnya

    “Han!” Dengan perlahan Satria semakin mendekat ke arah brankar tempat Handa berada. “Bisa diulang? Aku takut salah dengar.” “Ya, Mas! Apa yang telah lama kita tunggu akhirnya datang juga. Aku hamil, Mas!” Handa pun tidak bisa menahan air mata bahagianya. Satria segera memeluk erat tubuh istrinya untuk mengungkapkan rasa bahagianya. Penantian panjang itu akhirnya berakhir bahagia, kala Tuhan telah berkehendak memberikan karunianya pada Handa dan Satria. “Terima kasih, terima kasih atas pengorbananmu yang bersedia mengalah untuk selalu di bawah ….” Tiba-tiba terdengar suara Hanin yang sedang berdehem. Wanita yang sedang mengandung bayi kembar itu merasa tidak nyaman mendengar kata-kata Satria. Handa dan Satria pun kembali tersadar jika saat ini mereka tidak sedang berdua. Ada Hanin yang masih bersama mereka. “Aku keluar dulu, ya!” Tidak bisa dipungkiri, rasa canggung itu masih ada kala Hanin harus berdekatan dengan Satria. Selain itu Hanin ingin memberi kesempatan kepada adik dan i

  • Handa   70. Penyelamat

    “Mas Dharma nggak ikut? Mbak Hanin kan sedang hamil, apa tidak khawatir?” cecar Handa kepada Hanin. “Apalagi Mbak Hanin kan hamil kembar?”“Hamil nggak harus membuat kita jadi manja. Mas Dharma banyak kerjaan di sana, anaknya sudah mau lima, Han! Harus kerja lebih keras lagi. Sebelum ke sini, periksa ke dokter dulu, dan katanya aman untuk perjalanan jauh, ya sudah,” jawab Hanin dengan santai.Sejak Hanin menikah dengan Dharma, hubungan Handa dengan kakaknya itu semakin lama semakin membaik. Tidak ada lagi amarah di hati Hanin saat bertemu dengan adiknya, bahkan sekarang mereka bisa berbincang dengan begitu akrab seolah sudah melupakan masa lalu yang kelam. Dharma benar-benar mampu meluluhkan hati Hanin yang keras karena kebencian yang tertanam sejak kecil.“Han!” Hanin terlihat ragu untuk melanjutkan kalimatnya. Ada rasa takut jika apa yang akan dia katakan berakibat terjadi sebuah kesalahpahaman.“Ada apa, Mbak?” tanya Handa yang justru terlihat semakin penasaran.“Dandan ya! Biar ng

  • Handa   69. Bertemu dengan Hanin

    “Saat ini kami sedang butuh modal, jadi saya akan menjual rumah itu,” ucap Hanin di hadapan kedua orang tuanya.Setelah menikah dengan Dharma Hanin menetap di Semarang, dan hanya sesekali mendatangi kedua orang tuanya di Jakarta. Bahkan jika Marini merasakan rindu yang sangat pada cucunya, dia dan Gunadi yang berkunjung ke Semarang.“Kenapa tidak pinjam bank saja, kan bisa dicicil?” tanya Marini yang merasa sayang untuk menjual rumah milik Hanindya.Sedangkan Gunadi baru mengetahui jika selama ini putrinya memiliki rumah di pinggiran kota Jakarta. Padahal rumah itu sudah lama dimiliki oleh putri sulungnya, bahkan sejak mereka masih tinggal bersama. Ingin rasanya bertanya kepada Hanin, tetapi tampaknya Gunadi lebih memilik untuk menunggu kejujuran dari putri sulungnya tersebut.“Sebenarnya Mas Dharma juga berpikiran seperti itu, tetapi kebutuhan kami sudah terlalu banyak. Anak-anak sudah sekolah semua, kalau kami mengajukan pinjaman lagi, takutnya justru membuat kami tidak bisa fokus d

  • Handa   68. Doa Wanita Teraniaya

    “Mbak Dia!” panggil Handa kepada wanita yang sudah hampir memasuki mobilnya. “Maafkan, Mas Satria! Dia tidak sungguh-sungguh dengan ucapannya,” sambung Handa berusaha untuk menenangkan hati salah satu tamunya.Wanita yang bernama Nadia itu hanya menganggukkan kepala sambil memeluk erat Rio, seolah takut kehilangan putranya. Bukan untuk pertama kalinya dia mendengar jika Satria ingin mengadopsi Rio. Apalagi setelah Nadia hamil anak ke tiga, Satria semakin dekat Rio.“Tidak apa-apa.” Nadia terlihat berat untuk berbicara di depan Handa. “Semoga kalian segera diberi momongan,” sambung Nadia dengan wajah yang sendu.“Amin, terima kasih atas doanya.” Handa hanya bisa mengaminkan doa baik yang terucap dari mulut Nadia, meskipun terdengar tidak tulus.Handa merasa, Nadia mengucapkannya sebagai bentuk rasa tidak sukanya dengan Satria yang terlalu dekat dengan putra sulungnya. Dan juga sikap Satria yang secara terang-terangan ingin mengadopsi Rio.“Kami pamit dulu, terima kasih atas undangannya

  • Handa   67. Bocah Tampan Bermata Bening

    “Tidak!” jawab Satria dengan tegas. “Aku yakin kau akan memberi keturunan kepada keluarga Argawinata, jangan kau bunuh keyakinanku itu!” sambung Satria di akhiri dengan kecupan lembut di kening Handa.Satria memiliki alasan lain tidak ingin mengadopsi Arjuna Palguna Gunawan. Meskipun sudah tidak memiliki rasa cinta kepada Hanindya, tetapi tidak mudah bagi Satria untuk melupakan begitu saja kebersamaan mereka yang pernah terjalin dahulu.Mengingat masa-masa kebersamaannya dengan Hanin membuat Satria merasa bersalah kepada Handa. Hubungannya dengan Hanin yang sudah melampaui batas kadang membuatnya merasa menjadi lelaki yang tidak layak untuk Handa, apalagi saat dia teringat dengan rencananya bersama Hanin untuk menghancurkan hidup Handa kala itu, benar-benar membuat Satria merasa menjadi lelaki yang jahat karena memiliki niat untuk menghancurkan hidup istrinya.“Ayo bangun! Mama dan papa pasti sudah menunggu kita untuk sarapan bersama mereka!” ajak Satria kepada istrinya. “Apa mau dige

DMCA.com Protection Status