Beranda / Romansa / Handa / 1. Patah Hati

Share

Handa
Handa
Penulis: Henny Djayadi

1. Patah Hati

Penulis: Henny Djayadi
last update Terakhir Diperbarui: 2022-04-18 14:16:01

Pagi hari yang cerah di kota Semarang, seorang gadis berusia sekitar 22 tahun memasuki sebuah warung soto di pinggir jalan, hampir setiap pagi warung itu ramai oleh pengunjung yang hendak sarapan. Dia meletakkan tas ransel di kursi dekat gerobak, melepas jaket dan melipat asal lalu diletakkan di atas tas tersebut. Setumpuk mangkok kotor sudah menunggunya untuk segera dicuci. Karena memang sudah terbiasa, dengan gesit gadis itu mengerjakan pekerjaan tersebut, hingga tak butuh waktu yang lama pekerjaan tersebut sudah dia selesaikan.

Handayani Tunggadewi Gunadi yang biasa disapa Handa, setiap pagi membantu di warung soto tersebut. Warung soto milik Gunawan pakdhenya, orang yang merawat Handa selama ini. Tetapi karena hari ini Handa ada jadwal bimbingan skripsi dengan dosennya sehingga tidak bisa banyak membantu di warung tersebut seperti biasanya. Handa menatap ke jam dinding yang di pasang asal-asalan, lalu dia bergegas menuju tasnya berada.

"Han!" Gunawan meletakkan semangkok soto di atas meja. "Sarapan dulu, biar bisa mikir."

"Aduh," gumam Handa, pandangannya kembali ke arah jam dinding.

"Duduk! Makan! Cepet! Kebanyakan mikir nanti telat," perintah Gunawan, seakan tak ingin dibantah lagi.

Tak ada pilihan lain, akhirnya Handa duduk menikmati soto yang sudah dibuat Gunawan untuknya. Dengan segera Handa habiskan karena memang dia sudah hampir terlambat. Setelah selesai makan, Handa bergegas membereskan bekas makannya, lalu meraih tasnya dan berjalan menuju Gunawan untuk berpamitan sambil mencium punggung tangan sang pakdhe. Pria paruh baya yang sedang sibuk meracik soto dagangannya untuk melayani para pelanggan yang tampak masih banyak yang antri itu, melepas kepergian keponakannya dengan tatapan sendu.

***

Hari ini Handa ada bimbingan skripsi dengan Pak Alim dosen pembimbingnya, seorang dosen muda yang tampan dan masih lajang hidupnya pun sudah mapan. Perhatian Handa tampak tak fokus pada apa yang dijelaskan oleh sang dosen. Meskipun beberapa kali ia mengangguk dan mengatakan "Ya pak" tetapi matanya tampak lebih memperhatikan wajah Pak Alim yang tampak berwibawa dan penuh kharisma.

"Kita bisa lanjutkan bimbingan ini di kafe Han."

"Nggak usah Pak, nanti ganggu kerjaan." Handa menolak tawaran Pak Alim.

"Tapi saya bosnya," Jawab Pak Alim dengan sikap arogan, seakan ingin menunjukkan posisinya di kafe tempat Handa bekerja. "Biar cepat selesai Han." Nada bicara Pak Alim berubah lembut sambil tersenyum. "Atau jangan-jangan kamu sengaja biar bisa dekat dengan saya lebih lama?" Senyum Pak Alim menggoda Handa.

Handa tampak salah tingkah mendengar pertanyaan sang dosen dan hanya bisa menunduk menyembunyikan pipinya yang merona. Tak bisa dipungkiri jika selama ini Pak Alim sangat membantu Handa. Pak Alim bukan hanya dosen di kampus tetapi juga bos bagi Handa di kafe tempatnya bekerja. Bahkan biaya kuliah Handa sebagian besar Pak Alim yang membayar, meskipun dicatat sebagai kasbon karyawan dan dibayar dengan sistem potong gaji setiap bulannya.

Bukan hanya rupa yang membuat Handa tertarik dengan dosen pembimbingnya tersebut, tetapi kebaikan hati sang dosen yang sering memberi bantuan disaat menghadapi masalah, terutama masalah keuangan. Salahkah Handa berharap jika Pak Alim juga memiliki rasa yang sama dengan apa yang ia rasakan, apalagi dengan sikap Pak Alim yang sangat perhatian padanya selama ini, dan bagaimana tadi Pak Alim menggodanya dengan kata-kata yang sampai saat ini Handa bingung untuk menjawabnya.

"Kalau kamu cepat lulus, kita bisa seharian bersama Han, pastinya dengan status yang berbeda."

"Apa? M..maksudnya apa pak?" tanya Handa dengan tergagap, Handa tampak gugup menghadapi sikap Pak Alim yang terasa lebih agresif dari biasanya.

Tiba-tiba pintu ruangan Pak Alim terbuka, dan muncullah seorang wanita cantik nan elegan walaupun dengan dandanan yang sederhana. Dialah Bu Najwa, salah satu dosen yang juga merupakan anak dari pemilik yayasan. Dengan langkah yang anggun Bu Najwa berjalan memasuki ruangan sambil memamerkan senyumnya yang menawan.

Bukan hal yang mengejutkan bagi Handa, karena hampir setiap kali bimbingan dengan Pak Alim, Bu Najwa pasti datang seolah-olah tak rela jika melihat Pak Alim hanya berduaan bersama Handa. Bahkan pernah pada saat bimbingan, Bu Najwa memasuki ruangan bersamaan dengan Handa, dan dia hanya duduk manis menghabiskan waktu sambil memainkan ponselnya hingga bimbingan Handa selesai.

"Bagaimana skripsinya Han? Lancarkan? Bisa wisuda tahun ini?" Pertanyaan dari Bu Najwa yang bertubi-tubi membuat Handa bingung menjawabnya. "Setelah lulus rencananya mau kerja dimana Han?" Bu Najwa sudah memberi pertanyaan lagi meskipun pertanyaan sebelumnya belum dijawab Handa.

"Belum tahu Bu, fokus skripsi dulu." Jawab Handa sekenanya.

"Ayahku punya banyak kenalan, kalau kamu mau di luar Jawa ada banyak lowongon, dan untuk kedepannya sepertinya sangat menjanjikan."

Pak Alim terkejut dengan tawaran Bu Najwa kepada Handa, lalu mengalihkan pandangan kepada Handa hingga mereka saling berpandangan. Handa segera mengalihkan pandangannya, ia tampak canggung dan gugup menghadapi Bu Najwa yang seakan-akan ingin menjauhkan dirinya dari Pak Alim.

"Nanti saya pikirkan dan bicarakan dengan keluarga saya." Handa berusaha tersenyum kepada Bu Najwa.

"Masih banyak yang harus direvisi, saya mau ke perpustakaan dulu." Handa merapikan berkas-berkas dan memasukkan ke dalam tas ranselnya. "Permisi pak, bu!" Handa berpamitan dan segera pergi.

"Ya Han." Pak Alim tersenyum sambil menganggukkan kepalanya.

Pak Alim menatap Handa yang tampak tergesa-gesa meninggalkan ruangnya. Setelah Handa pergi, Pak Alim mengalihkan pandangannya ke Bu Najwa yang hanya membalas dengan menganggkat bahunya sambil menyebikkan bibirnya. Menarik nafas dalam-dalam lalu membuangnya dengan kasar, Pak Alim berusaha menenangkan hatinya.

***

Suasana perpustakaan yang tenang menjadi pelarian Handa dari suasana hatinya yang sedang kacau. Buku diktat tebal terbuka lebar di depannya, tetapi tatapan mata Handa tampak menerawang jauh entah kemana. Tangan kiri yang menyentuh dahi menyangga kepala, seakan menunjukkan beban berat yang dihadapi Handa.

Waktu berlalu dengan cepat, matahari sudah tinggi saat Handa keluar dari perpustakaan. Berjalan menuju pintu gerbang sendirian, tanpa sengaja mata Handa melihat kebersamaan Pak Alim dan Bu Najwa di dalam sebuah mobil mewah, mobil yang Handa ketahui sebagai mobil milik Bu Najwa. Saat mobil tersebut hampir mendekatinya, kaca jendela kiri seat depan tampak diturunkan, terpampang wajah cantik Bu Najwa dan tak lupa senyuman manisnya.

"Duluan ya Han!" Bu Najwa melambaikan tangannya pada Handa.

Handa hanya tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Logika Handa berkata bahwa Bu Najwa sedang menunjukkan bahwa dialah sang pemenang yang berhasil mendapatkan cinta Pak Alim. Dia berusaha untuk tidak berprasangka buruk terhadap dosennya tersebut, anggap saja Bu Najwa adalah seorang yang sangat beruntung hidupnya, selain lahir di keluarga kaya, mempunyai fisik sempurna, dan kecerdasan di atas rata-rata tetapi tetap rendah hati dan tidak sombong, sehingga tetap menyapa mahasiswanya yang merupakan kaum pedestrian yang sehat dan tetap semangat. Di mata Handa, Bu Najwa telah memonopoli segala kenikmatan dunia.

Tak bisa dipungkiri Handa jika ada perasaan yang berbeda dengan Pak Alim. Tetapi Handa berusaha tetap realistis mengenai siapa dirinya dan siapa Pak Alim, belum lagi Bu Najwa yang cantik yang menjadi saingannya. Harta, tahta, dan wanita yang katanya adalah ujian utama bagi seorang pria, dan kini Handa harus bersaing dengan seorang wanita yang mampu memberi harta dan tahta. Mundur teratur perlahan-lahan, sambil menata hati agar tidak berantakan saat semua rasa tak berbalas, itulah yang akhirnya menjadi pilihan Handa.

Memasuki bus kota, tampak dua anak kecil sedang mengais rejeki dengan cara mengamen. Menatap mereka Handa merasa lebih beruntung karena tak perlu hidup di jalanan saat masih belia, bahkan dia masih bisa mendapatkan pendidikan yang baik, meskipun harus dengan bekerja keras. 

"Aku ngalah dudu mergo aku wes ra sayang

Aku mundur dudu mergo tresnoku wes ilang

Nanging aku iki ngerteni

Yen dirimu lebih sayang arek kae

Aku mundur alon-alon mergo sadar aku sopo

Mung di goleki pas atimu perih

Aku mundur alon-alon mergo sadar aku sopo

Mung dibutuhno pas atimu loro

Aku ngalah dudu mergo aku wes ra sayang

Aku mundur dudu mergo tresnoku wes ilang

Nanging aku iki ngerteni

Yen dirimu lebih sayang arek kae

Aku mundur alon-alon mergo sadar aku sopo

Mung di goleki pas atimu perih

Aku mundur alon-alon mergo sadar aku sopo

Mung dibutuhno pas atimu loro

Aku mundur alon-alon mergo sadar aku sopo

Mung di goleki pas atimu perih

Aku mundur alon-alon mergo sadar aku sopo

Mung dibutuhno pas atimu loro"

Bukan menjual suara tetapi lebih mengharap simpati dari para penumpang, karena suaranya tak merdu, permainan kentrung yang asal-asalan. Handa berusaha menikmati lagu itu, tetapi setelah reff yang diulang-ulang pada lagu yang dinyanyikan membuat dada Handa terasa tersayat-sayat. 

Bukannya merasa ada yang telah menyuarakan isi hatinya, Handa justru merasa tersindir oleh lagu yang dipopulerkan oleh penyanyi Nella Kharisma tersebut. Hingga membuat Handa akhirnya menyimpan kembali uang receh yang tadi sudah ia siapkan, bahkan ia memilih untuk pura-pura tidur saat pengamen cilik tersebut menghampirinya. Rasa simpati yang tadinya ada seakan-akan menguap bersama cuaca panas kota Semarang.

Jiwa jomblo Handa meronta, seraya berdoa agar ada Satpol PP yang segera datang dan membawa kedua pengamen cilik tersebut ke Dinas Sosial. Tapi ternyata keberuntungan masih berpihak pada kedua pengamen cilik tersebut, karena sampai lagu selesai dan pengamen itu meminta imbalan pun tak tampak Satpol PP.

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Nisaaja Sabar
awal yg baik. Tokoh2nya gk ada yg super baik atau super jahat, super genit dll yg sering diluar nalar manusia. dosen lelaki dan perempuan sama-sama punya adab.
goodnovel comment avatar
Fahmi
Rasa penasaranku akhirnya terobati
goodnovel comment avatar
Siti Maryam
akhirnya rasa penasaran ku terobati. bs baca kisah handa & satria.. tinggal2 anak2 mereka nih sm anak2 nadia & gio
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Handa   2. Perjalanan Pulang

    Semangkok soto panas dengan uapnya masih mengepul tampak sedap dan nikmat dengan suwiran ayam dan rajangan daun bawang di atasnya. Dua sendok penuh sambal ditambahkan, lalu jari lentik memeras dua iris jeruk nipis, baskom berisi aneka sate ditarik mendekat lalu beberapa sendok kuah sate ditambahkan sebagai ganti kecap agar soto tidak terlalu manis. Dengan perlahan Handa mulai mengaduk soto racikannya. Belum sempat ia menyuap tiba-tiba ponselnya bergetar. Handa terkejut seakan tak percaya saat membaca nama di ponselnya."Papa." Handa bergumam pelan, lalu segera menjawab panggilan tersebut."Papa!" Handa meletakkan kembali sendoknya. Damar sepupu Handa, anak kedua Gunawan mendatangi Handa, dan dengan jahilnya tanpa sepengetahuan Handa, Damar menambahkan satu sendok sambal.

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-18
  • Handa   3. Setelah Lama tak Jumpa

    Handa sudah tiba di Stasiun Gambir, pandangan Handa menyapu seisi stasiun sejak keluar dari Kereta Api Argo Bromo Anggrek. Hingga pandangannya berhenti pada seorang lelaki paruh baya yang berbadan kurus, tetapi kulit bersih dan pakaiannya yang rapi membuatnya masih terlihat tampan, dia adalah Gunadi ayah kandung Handa.Ayah dan anak itu saling melempar senyum, lalu Handa dan Gunadi berjalan perlahan saling mendekat untuk memangkas jarak di antara mereka, tapi tak lama kemudian karena rasa rindu yang sangat mendalam membuat Handa kehilangan kesabaran dan segera berlari menghambur ke pelukan Gunadi sang ayah."Papa." Erat Handa memeluk Gunadi sambil memejamkan matanya.Ayah dan anak itu saling berpelukan melepas rindu, rasa hangat dari pelukan seorang ayah yang sudah lam

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-19
  • Handa   4. Apa Dosa Papa?

    "Aku tidak mengundangnya, aku tidak ingin dia ada di acaraku pa, aku tidak ingin melihat dia ada di sini." Dengan penuh amarah dan menatap tajam ke arah Handa, Hanin melontarkan kata-kata penolakan atas kehadiran adiknya.Handa mendengus kasar dan membalas tatapan mata Hanin. Nafasnya mulai tak beraturan menahan emosi. Bisa saja saat ini juga Handa berbalik dan kembali lagi ke Semarang, tetapi ketika dialihkannya pandangan ke arah Gunadi dan Marini yang tampak sedih dan kecewa, Handa mengurungkan niatnya tersebut. Hingga mulai terdengar suara isak tangis Marini yang membuat suasana terasa semakin mencekam."Aku baru tiba ... lelah. Aku mau istirahat," ucap Handa, seakan tidak mempedulikan kata-kata yang baru saja keluar dari mulut Hanin.Handa memberanikan diri melangkahkan

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-19
  • Handa   5. Makan Malam yang Kacau

    Makan malam dalam suasana yang dingin mencekam, hanya suara dentingan sendok yang bergesekan dengan piring yang mengisi ruangan. Handa sangat menikmati makan malam, karena hanya itu yang dia inginkan malam ini, menikmati makan malam. Berbeda dengan Hanin, dia hanya mengaduk-aduk makanannya sambil menatap tajam Handa yang tampak lahap menikmati makananya. Hanin tidak pernah ingin melihat Handa bahagia, bahkan menyaksikan Handa menikmati makanannya pun sangat menyakitkan bagi Hanin. "Makan Nin!" Suara lembut Marini membuat suasana makan malam yang dingin tampak semakin mencekam. "Nggak nafsu, Ma, melihat ada orang makan dengan rakusnya seperti orang kelaparan," jawab Hanin dengan tatapan mata yang tak pernah lepas dari Handa. Handa yang makan tanpa sendok,

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-22
  • Handa   6. Kekacauan

    Pernikahan Hanin kurang dari satu minggu lagi akan dilaksanakan, tetapi setelah keributan saat makan malam itu Hanin belum pulang. Di kamarnya, dengan perasaan cemas Marini berusaha menghubungi Hanin. Sepertinya Hanin mematikan ponselnya sehingga tidak bisa dihubungi. Dari jendela, Marini menyaksikan kedekatan Gunadi dengan Handa yang sedang menikmati kopi di taman. Keduanya tampak bahagia melepas kerinduan yang telah lama terpendam dan merasa tidak ada yang mengganggu kebersamaan mereka. Marini kembali meneteskan air mata menyaksikan suami dan anaknya seakan tidak mempedulikan keberadaan Hanin sekarang. "Mengapa kau hadir dan menghancurkan kebahagiaan kami?" Gumam Marini sambil mengenggam erat ponselnya. Kembali Marini mencoba menghubungi Hanin "Angkat nak! Ini mama." Punggung Marini bergetar, suara isak tangisnya mengisi ruangan yang menjadi saksi kesedihan yang ia harus rasakan sendiri. Bahkan Gunadi sang suami justru terlihat sangat bahagia bersama Handa, putri bungsunya. ***

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-01
  • Handa   7. Jumpa Pertama

    Satria menatap tajam ke arah Handa yang sedang menuruni tangga, baginya perempuan di depannya itu adalah orang yang membuat dia harus menghadapi masalah yang rumit saat ini. Perempuan yang akan menghancurkan pernikahannya. Handa pun membalas dengan tatapan mata yang tajam pula, baginya tatapan mata Satria hampir sama dengan tatapan mata Hanin selama ini kepadanya, tatapan mata penuh kebencian. Dalam hatinya bertanya, apa saja yang telah dikatakan kakaknya pada calon suaminya tersebut, melihat gelagat yang ditunjukkan oleh Satria. sepertinya bukan sesuatu yang baik. Setelah Gunadi mempersilahkan mereka duduk, Handa segera menuju dapur untuk membuat minum. Tak bisa dipungkiri dalam hati Handa mengakui bahwa calon suami kakaknya memang mempesona dan seperti apa yang diungkapkan Marini bahwa mereka adalah orang kaya. Tapi tatapan matanya membuat Handa berpikir untuk tidak berurusan dengannya. Setelah selesai membuat minuman Handa bergegas membawanya ke ruang tamu untuk disajikan. Handa

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-01
  • Handa   8. Rencana Satria

    Suasana malam yang sunyi, keheningan di pekarangan sebuah rumah bergaya klasik nan mewah dan besar dengan halamannya yang luas terusik oleh suara deru mobil. Dua mobil mewah pun segera terparkir dengan rapi. Setelah mesin mobil dimatikan, Satria keluar dari mobil diikuti Harris dan Lisa yang keluar dari mobil yang satunya. Memasuki rumah, mereka segera menuju ke ruang keluarga. Lalu mereka bertiga duduk di sofa, Satria duduk berseberangan dengan kedua orang tuanya yang duduk berdampingan. Tangan Satria meraih remote dan menyalakan tv, tapi tak lama kemudian mematikan tv itu lagi dan meletakkan remote dengan kasar, Satria terlihat sangat bingung akan berbuat apa saat ini. Dalam waktu yang tidak lama, Satria sudah beberapa kali mendengus kasar dan pandangan yang nanar. Harris dan Lisa saling berpandangan, menyadari ada masalah berat yang sedang dihadapi oleh putra mereka. Tak ada orang tua yang senang melihat anaknya menderita begitu juga dengan Harris dan Lisa. Sejenak mereka memilih

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-01
  • Handa   9. Mempelai Pengganti

    Handa mengambil beberapa potong pakaian dari ransel yang sudah ia rapikan dari beberapa hari yang lalu. Handa sudah siap untuk kembali ke Semarang, tetapi Gunadi menahanya sampai Hanin ditemukan atau mereka menemukan jalan keluar dari masalah yang sedang mereka hadapi. Sebenarnya Handa merasa tidak betah dan tidak nyaman, apalagi setelah Satria masuk ke kamarnya. Handa masuk ke kamar mandi, tak lama kemudian ia sudah keluar dan berganti kaos oblong lengan pendek dan celana jeans butut serta rambut yang dibalut dengan handuk. Handa berdiri di depan jendela melihat pemandangan di luar sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk. Seakan tak percaya melihat mobil mewah yang semalam datang memasuki pekarangan rumah mereka. Handa melihat ke jam tangannya, waktu menunjukkan belum genap pukul enam sudah ada yang bertamu ke rumah mereka. Handa sudah di dapur menemui Marini yang sedang membuat sarapan. "Ada tamu Ma, biar Handa yang nglanjutin bikin nasi gorengnya." Belum sempat Marini menj

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-01

Bab terbaru

  • Handa   75. Menua Bersama

    Handa ditemani Satria, Dharma, Gunawan dan juga Lasmi berdiri di depan sebuah pusara. Sungguh Handa tidak pernah menduga jika ternyata dia adalah anak dari Arumi, adik bungsu Lasmi yang pernah dititipkan di rumah Gunadi untuk menuntut ilmu di Jakarta.Saat itu Gunadi dan Marini membawa pulang jasad Arumi yang katanya mengalami kecelakaan saat pulang kuliah. Gunadi menyimpan rapat rahasia itu, bahkan Marini pun baru mengetahuinya bersamaan dengan Handa. Kala itu Marini yang melihat gelagat mencurigakan antara Gunadi dan Arumi, langsung meminta kepada Arumi untuk segera mencari kost. Tetapi, keadaan itu justru menjadi peluang bagi Gunadi dan Arumi untuk bisa bersama tanpa sepengetahuan Marini.Hingga saat Gunadi memberitahukan jika Arumi meninggal karena kecelakaan, Marini justru dihinggapi rasa bersalah karena tidak mampu menjaga Arumi yang dititipkan kepadanya. Mulai saat itulah ada perang dingin antara Marini dan Lasmi yang membuat Marini enggan untuk bersilaturahim ke Semarang.“Bag

  • Handa   74. Ishana Aylanajla Argawinata

    Setelah kepulangan Harris dan Lisa dari perjalanan umrah, Handa tampak lebih tenang menantikan hari persalinan yang sudah dijadwalkan dari pihak rumah sakit. Dan kini tampak kesibukan di rumah keluarga Argawinata yang akan membawa Handa ke rumah sakit untuk menjalani proses persalinan.Karena memang sudah dijadwalkan sebelumnya, sehingga tidak menunggu Handa merasakan kontraksi. Bahkan untuk menuju ke mobil Handa masih bisa berjalan dengan biasa. Meskipun terjebak macet di beberapa titik jalan raya, tetapi tidak ada kepanikan pada Handa maupun Satria, karena jadwal operasi masih esok hari.Setelah bertaruh nyawa di meja operasi, akhirnya Handa melahirkan bayi perempuan yang cantik. Ketegangan selama beberapa hari terakhir kini berganti dengan rasa lega saat dokter menyataka jika ibu dan bayi dalam keadaan sehat.Dengan senyum lebar Satria menghampiri Harris dan Lisa yang sudah menunggunya sejak Handa masuk ruang operasi. Pelukan hangat sudah menyambut Satria, pria yang kini telah mend

  • Handa   73. Ingin Bertemu Ibu

    “Mungkin memang saya harus meminum air bekas cuci kaki mama,” ucap Handa dengan sendu setelah mendengar penjelasan dari dokter.“Apa tidak ada jalan lain?” tanya Satria kepada dokter yang menangani Handa. Digenggamnya tangan Handa dengan erat berharap istrinya bisa lebih tenang dalam menghadapi proses persalinan yang semakin dekat.Tentu Satria tidak akan membiarkan Handa meminum air bekas cuci kaki Marini. Sampai saat ini Satria belum bisa mempercayai ibu mertuanya tersebut, dia tidak ingin mengambil risiko jika Marini sudah memberi sesuatu di kakinya yang bisa membahayakan Handa dan juga anak mereka. Jika yang disebut mama adalah Lisa, Satria yakin sang mama pasti akan menolak permintaan Handa.“Bu Handa memiliki panggul yang kecil, akan sangat berisiko jika dipaksakan melahirkan secara normal.”Penjelasan dari dokter yang baru saja mereka dengar sepertinya membuat Handa menjadi down. Karena selama ini Handa ingin melahirkan secara normal, menikmati setiap proses untuk menjadi seora

  • Handa   72. Kebiasaan Aneh

    “Syukurlah!” ucap Nadia yang karena kehamilannya terlihat kesulitan memeluk Handa.“Ini karena doa Mbak Dia juga … terima kasih atas doanya,” balas Handa dengan senyum lebar yang menggambarkan kebahagiaan.Nadia tersenyum tersipu malu, dia masih ingat saat mengucapkan kata-kata tersebut dalam keadaan tersulut emosi mendengar niat Satria yang mengadopsi anak sulungnya. tetapi apa pun itu Nadia tetap bahagia karena Tuhan mengabulkan doanya, bukan hanya bahagia untuk pasangan Handa dan Satria yang akhirnya akan memiliki anak, tetapi juga bahagia karena dia tidak perlu takut lagi Satria akan mengadopsi Rio.“Nanti kita bisa senam hamil bersama,” ajak Nadia sungguh-sungguh, karena senang akan memiliki teman di tempat tersebut.Handa yang belum mengetahui seluk beluk tentang kehamilan pun mengalihkan pandangan pada Lisa, seolah bertanya dan meminta persetujuan. Anggukan dan senyum hangat yang diberikan oleh ibu mertuanya adalah jawaban yang membuat Handa yakin untuk menerima ajakan dari Nad

  • Handa   71. Akhirnya

    “Han!” Dengan perlahan Satria semakin mendekat ke arah brankar tempat Handa berada. “Bisa diulang? Aku takut salah dengar.” “Ya, Mas! Apa yang telah lama kita tunggu akhirnya datang juga. Aku hamil, Mas!” Handa pun tidak bisa menahan air mata bahagianya. Satria segera memeluk erat tubuh istrinya untuk mengungkapkan rasa bahagianya. Penantian panjang itu akhirnya berakhir bahagia, kala Tuhan telah berkehendak memberikan karunianya pada Handa dan Satria. “Terima kasih, terima kasih atas pengorbananmu yang bersedia mengalah untuk selalu di bawah ….” Tiba-tiba terdengar suara Hanin yang sedang berdehem. Wanita yang sedang mengandung bayi kembar itu merasa tidak nyaman mendengar kata-kata Satria. Handa dan Satria pun kembali tersadar jika saat ini mereka tidak sedang berdua. Ada Hanin yang masih bersama mereka. “Aku keluar dulu, ya!” Tidak bisa dipungkiri, rasa canggung itu masih ada kala Hanin harus berdekatan dengan Satria. Selain itu Hanin ingin memberi kesempatan kepada adik dan i

  • Handa   70. Penyelamat

    “Mas Dharma nggak ikut? Mbak Hanin kan sedang hamil, apa tidak khawatir?” cecar Handa kepada Hanin. “Apalagi Mbak Hanin kan hamil kembar?”“Hamil nggak harus membuat kita jadi manja. Mas Dharma banyak kerjaan di sana, anaknya sudah mau lima, Han! Harus kerja lebih keras lagi. Sebelum ke sini, periksa ke dokter dulu, dan katanya aman untuk perjalanan jauh, ya sudah,” jawab Hanin dengan santai.Sejak Hanin menikah dengan Dharma, hubungan Handa dengan kakaknya itu semakin lama semakin membaik. Tidak ada lagi amarah di hati Hanin saat bertemu dengan adiknya, bahkan sekarang mereka bisa berbincang dengan begitu akrab seolah sudah melupakan masa lalu yang kelam. Dharma benar-benar mampu meluluhkan hati Hanin yang keras karena kebencian yang tertanam sejak kecil.“Han!” Hanin terlihat ragu untuk melanjutkan kalimatnya. Ada rasa takut jika apa yang akan dia katakan berakibat terjadi sebuah kesalahpahaman.“Ada apa, Mbak?” tanya Handa yang justru terlihat semakin penasaran.“Dandan ya! Biar ng

  • Handa   69. Bertemu dengan Hanin

    “Saat ini kami sedang butuh modal, jadi saya akan menjual rumah itu,” ucap Hanin di hadapan kedua orang tuanya.Setelah menikah dengan Dharma Hanin menetap di Semarang, dan hanya sesekali mendatangi kedua orang tuanya di Jakarta. Bahkan jika Marini merasakan rindu yang sangat pada cucunya, dia dan Gunadi yang berkunjung ke Semarang.“Kenapa tidak pinjam bank saja, kan bisa dicicil?” tanya Marini yang merasa sayang untuk menjual rumah milik Hanindya.Sedangkan Gunadi baru mengetahui jika selama ini putrinya memiliki rumah di pinggiran kota Jakarta. Padahal rumah itu sudah lama dimiliki oleh putri sulungnya, bahkan sejak mereka masih tinggal bersama. Ingin rasanya bertanya kepada Hanin, tetapi tampaknya Gunadi lebih memilik untuk menunggu kejujuran dari putri sulungnya tersebut.“Sebenarnya Mas Dharma juga berpikiran seperti itu, tetapi kebutuhan kami sudah terlalu banyak. Anak-anak sudah sekolah semua, kalau kami mengajukan pinjaman lagi, takutnya justru membuat kami tidak bisa fokus d

  • Handa   68. Doa Wanita Teraniaya

    “Mbak Dia!” panggil Handa kepada wanita yang sudah hampir memasuki mobilnya. “Maafkan, Mas Satria! Dia tidak sungguh-sungguh dengan ucapannya,” sambung Handa berusaha untuk menenangkan hati salah satu tamunya.Wanita yang bernama Nadia itu hanya menganggukkan kepala sambil memeluk erat Rio, seolah takut kehilangan putranya. Bukan untuk pertama kalinya dia mendengar jika Satria ingin mengadopsi Rio. Apalagi setelah Nadia hamil anak ke tiga, Satria semakin dekat Rio.“Tidak apa-apa.” Nadia terlihat berat untuk berbicara di depan Handa. “Semoga kalian segera diberi momongan,” sambung Nadia dengan wajah yang sendu.“Amin, terima kasih atas doanya.” Handa hanya bisa mengaminkan doa baik yang terucap dari mulut Nadia, meskipun terdengar tidak tulus.Handa merasa, Nadia mengucapkannya sebagai bentuk rasa tidak sukanya dengan Satria yang terlalu dekat dengan putra sulungnya. Dan juga sikap Satria yang secara terang-terangan ingin mengadopsi Rio.“Kami pamit dulu, terima kasih atas undangannya

  • Handa   67. Bocah Tampan Bermata Bening

    “Tidak!” jawab Satria dengan tegas. “Aku yakin kau akan memberi keturunan kepada keluarga Argawinata, jangan kau bunuh keyakinanku itu!” sambung Satria di akhiri dengan kecupan lembut di kening Handa.Satria memiliki alasan lain tidak ingin mengadopsi Arjuna Palguna Gunawan. Meskipun sudah tidak memiliki rasa cinta kepada Hanindya, tetapi tidak mudah bagi Satria untuk melupakan begitu saja kebersamaan mereka yang pernah terjalin dahulu.Mengingat masa-masa kebersamaannya dengan Hanin membuat Satria merasa bersalah kepada Handa. Hubungannya dengan Hanin yang sudah melampaui batas kadang membuatnya merasa menjadi lelaki yang tidak layak untuk Handa, apalagi saat dia teringat dengan rencananya bersama Hanin untuk menghancurkan hidup Handa kala itu, benar-benar membuat Satria merasa menjadi lelaki yang jahat karena memiliki niat untuk menghancurkan hidup istrinya.“Ayo bangun! Mama dan papa pasti sudah menunggu kita untuk sarapan bersama mereka!” ajak Satria kepada istrinya. “Apa mau dige

DMCA.com Protection Status