Janda Terhormat (14)
Pov Reina.
Aku masih menangis pilu ketika Nurma meninggalkan rumahku. Beberapa saat yang lalu dia datang kemari, menanyakan perihal keadaanku yang terlihat kacau. Memang, hidupku sedang kacau, terlebih setelah perpisahanku dengan Adit.
Kulihat dengan jelas bahu Adit yang naik turun menahan amarah. Mungkin dia sama terkejutnya dengan Nurma karena aku kini tengah mengandung anak dari Bang Dewa, kakak ipar Adit.
Kuremas perutku yang masih rata. Rasanya bayi yang ada di dalam sana sungguh pembawa sial. Andai saja dia tidak hadir di dalam rahimku, pasti semua tidak akan serunyam ini.
"Siapkan mentalmu, ayo ikut bersamaku menemui Bang Dewa," tutur Adit ketus saat Nurma telah melesat pergi dari rumahku.
Jantungku berdetak semakin cepat. Bisa-bisa aku dihabisi oleh Bang Dewa ataupun Kak Tiana kalau sampai mereka tahu tentang kehamilanku. Bagaimana aku bisa seceroboh ini, hamil dengan mantan kakak iparku sendiri. Bod*h!
Janda Terhormat (15).Malam harinya aku bersantai di ruang keluarga bersama kedua orang tuaku setelah siang tadi bertemu dengan Della. Dia mengatakan kalau Bagas, teman lamaku, mengalami sebuah musibah hingga saat ini harus duduk di atas kursi roda. Kasihan sekali hidupnya, hanya karena wanita dia bisa sampai seperti itu.“Nur, kenapa melamun?” tanya ibu ketika aku tidak fokus.Seketika aku menatapnya, lalu tersenyum tipis. “Em … tidak kenapa-kenapa, Bu. Capek aja,” jawabku asal.“Capek kenapa? Bukannya tadi jalan-jalan sama Adit?”Kedua mataku membola, jalan-jalan katanya? Padahal aku baru saja melewati hari yang sangat menyeramkan dengan Adit. Mungkin jika hari ini aku tidak ikut dengannya, semua kebenaran ini tidak akan terungkap. Setidaknya ada hal positif yang bisa kuambil dari kejadian hari ini. Semoga saja setelah ini Reina akan mendapa
Janda Terhormat (16)“Ha? Kamu bilang apa, Dit?” tanyaku pada Adit yang baru saja berkata konyol.“Ah? Apa? Hahaha … bukan apa-apa. Besok temenin Shima beli seragam baru, ya? Aku udah bilang sama Reina,” katanya yang aku yakin hanya berusaha mengalihkan pembicaraan saja.Kuputar bola mataku, berusaha mengingat acara besok. “Dit, sorry. Kayaknya aku nggak bisa, deh. Besok ada janji sama temenku,” jawabku begitu kuingat kalau besok ada janji dengan Della ingin mengunjungi Bagas.Terdengar samar Adit menghela nafas panjang khas orang yang tengah kecewa. “Yaudah, nggak apa-apa. Besok aku yang temenin aja kalau gitu,” ucapnya lesu.“Yaudah, aku istirahat dulu, ya,” kataku kemudian.Dia lantas memutuskan sambungan telepon begitu mengucap salam. Gegas kuletakkan ponselku di atas nakas, lalu naik ke ranjang. Hari ini terasa begitu penat, sepertinya aku perlu istirahat cepat mal
Janda Terhormat (17)..“Kak, tolong kembali ke rumah sekarang. Kak Bagas kambuh, dia teriak-teriak manggil nama Kakak,” ucap Della terburu-buru melalui sambungan telepon.Dahiku mengeryit, karena aku baru saja tiba di rumah setelah meninggalkan rumahnya tanpa sambutan yang baik. Aku rasa pertemuanku kali ini dengan Bagas bukan saat yang tepat, itulah sebabnya aku memilih pulang meski belum bertegur sapa dengannya.Della terdengar sangat panik, kudengar samar pula ada begitu banyak keributan di belakang teleponnya sana. Mungkin memang benar kalau saat ini Bagas sedang kambuh dan memang aku di butuhkan.Kusambar lagi kunci mobilku, lalu melesat ke ruma Della lagi. Untung saja jalanan tak terlalu ramai jadi aku bisa menginjak pedal gas sekuat tenaga.Jantungku berdegup kencang ketika mobilku telah terparkir lagi di halaman rumah Della. Suasana terasa mencekam, apalagi ketika salah satu asisten rumah tang
Janda Terhormat (18)...“Tadi Papa berangkatnya udah lama, Sayang?” tanyaku pada Shima ketika kami sedang asik bermain boneka.Shima mengangguk, “iya, Tante. Papa langsung pergi,” jawabnya singkat.Aku tersenyum tipis padanya, lalu mengusap lembut rambutnya yang halus. Kasihan sekali anak ini, seharusnya diusianya yang sekarang ini dia masih dikelilingi oleh kasih sayang yang utuh dari kedua orang tuanya.Namun tak apa, mungkin ini semua memang sudah jalan takdir dari Tuhan. Dan aku yakin, dibalik semua cobaan ini nantinya akan bisa menjadikan Shima sebagai anak yang pandai dan sangat mandiri.“Tante, kenapa Tante tidak tinggal di rumah ini saja,” ucapnya tiba-tiba membuatku seketika mendongak ke arahnya.Gadis sekecil ini, kenapa bisa berfikiran seperti itu?“Kenapa? Kok Shima tanyanya kayak gitu? Kan udah ada Papa, Suster, sama bibi yang lain,” jawabku dengan menatapnya lekat.
“Adit,” sapaku begitu tahu siapa yang berkunjung sepagi ini.Dia membalikkan badan, lalu tersenyum tipis padaku. Wajar Bi Atun tidak tahu kalau tamunya adalah Adit, karena beliau memang asisten rumah tangga baru di rumah ini.“Sudah siap? Berangkat bareng, yuk.”Aku masih terdiam mendengar ajakannya. Bukan aku tidak mau berangkat bersamanya. Hanya saja otakku seketika mengingat status yang di unggah oleh Reina tempo hari.Sejujurnya aku tidak ingin mengusik hidup mereka lagi. Terlebih, kemarin pula aku mendengar keluh kesah Shima mengenai kedua orang tuanya. Sedih memang, tapi mungkin ini jalan yang terbaik untukku demi kebahagiaan banyak orang.“Kok diem,” ucap Adit lagi ketika aku masih terdiam.Jantungku berdegup dua kali lipat dari sebelumnya karena aku sama sekali tidak menyiapkan jawaban da
“Bagaimana, Nurma? Kamu bersedia ‘kan jadi ibu sambung untuk Shima,” ucap Adit mengulangi pertanyaan sebelumnya yang bahkan belum aku jawab.Bukan aku tak mau menjawabnya, hanya saja saat ini aku benar-benar tidak tahu harus menjawab apa karena pertanyaan yang Adit lontarkan sangat membuatku tak berkutik.Sejenak aku masih terdiam, hingga pada akhirnya roda besi Adit trhenti di sebuah lampu lalu lintas di prempatan jalan. Aku kemudian membalikkan badan dan menghadap ke arahnya yang masih terlihat menunggu jawabanku.“Adit … bagaimana bisa kamu berkata seperti itu? memangnya apa yang dikatakan oleh anak gadismu itu?” kataku berbalik bertanya padanya.Namun, dia justru terkekeh kecil sembari menggelengkan kepalanya.“Nur … Nurma … Shima itu darah dagingku. Waktunya lebih banyak dia habiskan denganku daripada dengan ibunya. Sudah pasti aku tahu kalau memang itu yang dia ingingkan.&
Perseteruanku dengan Adit masih terjadi meski kejadian itu sudah lewat dari tiga hari. Ya, aku memang sengaja menjauh sedangkan dia mungkin masih marah akibat insiden yang terjadi beberapa hari yang lalu. Biar saja, sikapku yang seperti ini juga bukan karena semata-mata aku egois, melainkan ada seorang yang kubela di belakangnya, yaitu Shima.“Kamu maasih marahan sama Pak Adit?” tanya Mega tiba-tiba saat kami tengah makan siang brsama.Seketika aku mendongak kearahnya, lalu menghela nafas panjang. “Seperti yang kamu lihat.”Temanku itu terlihat menjatuhkan bahunya, dia memang paling peduli denganku setelah kedua orang tuaku. Memang hidupku merasa sangat beruntung karena memiliki teman sepertinya. Andai tidak ada orang seperti Mega di dunia ini mungkin aku sudah merasa sangat kesepian di dunia ini. Semenjak perpisahanku dengan Mas Bayu, hanya megalah yang selalu setia di sampingku.Astaga! Mas Bayu, Deva, apa kabarnya,
Kejadian ini sudah berlangsung cukup lama. Sekitar enam tahun yang lalu, jauh sebelum Adit menikahi Reina. Dulu, kisah cintaku dengan Deva harus kandas oleh sebuah kenyataan pahit bahwa ternyata dia adalah seorang kekasih perempuan bernama Yosi. Dan juga saat itu aku sengaja meninggalkannya sendiri adalam keadaan dia yang baru saja sadar dari sbuah tragedy kecelakaan yang harus membuatnya koma beberapa bulan. Aku yakin, dia bisa hidup bahagia dengan Yosi, tidak denganku.Jika mengingat itu rasanya aku ingin merutuki diriku sendiri karena sampai saat ini aku masih belum berutung dalam dunia percintaan. Bahkan sampai darah daging Adit kini telah tumbuh dewasa.“Nur, kok malah ngalamun,” tegur Ibu ketika aku masih terdiam diambang pintu kamar.Tak heran jika saat ini aku memang terlihat sangat terkejut karena kisah kelamku dengan Deva sudah kututup rapat enam tahun yang lalu. Entah bagaimana bisa saat ini dia kembali hadir dan mencariku? A