“Lalu, kenapa memangnya kalau dia mati? Dia ada atau tidak itu sama saja!” kata Kiran, seketika Marhen dan Yuna menoleh padanya.Yuna langsung mengangguk, memang benar ada atau tidaknya Tina, sama sekali tidak berpengaruh padanya. Namun, dari segi hati nurani ia masih menaruh simpati. Biar bagaimanapun juga, Tina pernah melahirkan dan membesarkannya. Aneh memang, kalau pihak rumah sakit yang tidak tahu ke mana perginya pasien itu.“Tapi—“ ucapan Yuna terputus.“Tenanglah, aku yakin dia baik-baik saja, atau mungkin pulang ke rumahnya, kalau Ibumu tiada, adikmu pasti mengabarkannya pada kita!” ujar Kiran dengan tenang.“Ya, kamu benar!” kata Marhen.Yuna begitu penasaran, hingga ia langsung beranjak dari duduknya, lalu pergi tanpa berpamitan pada Marhen atau Kiran. Ia mengendarai mobilnya sendiri menuju rumah lama kakeknya, yang dahulu pernah ditinggali oleh Riti dan ibunya. Namun, setelah sampai di sana ia hanya melihat rumah itu kosong. Suasananya sepi, tidak terurus, rumput
Tiba-tiba gerakan tangan Listi memfoto restoran dan makanan, terhenti di wajah Yuna.“Yuna! Kenapa aku pikir gadis itu mirip sekali denganmu, ya?” katanya.Yuna membeliakkan matanya dan tersenyum, lalu menggelengkan kepala. Pengendalian diri Yuna dalam menguasai perasaan sangat luar biasa, ia memang jago dalam berakting.“Ada-ada aja kamu, apa kamu punya fotonya biar aku bisa menyocokkannya dengan wajaku?”“Tidak, aku tidak punya, tapi wajah perempuan itu ada di otakku! Aku sama sekali tidak terpikirkan untuk merekam kejadian itu!”“Oh, syukurlah, untung saja tidak ada, bisa-bisa kamu buat gosip baru!”Dua wanita itu tertawa kecil, setelah selesai makan, mereka berpisah dan berjanji akan saling memberi kabar.Sementara itu di kota yang berbeda, Tama dan Riti sedang berbaring di sofa bed, dengan saling berpelukan. Tama tak henti-hentinya mencium Rti sambil memujinya, atas segala kelebihan Riti yang sebelumnya tidak ia ketahui.Riti hanya diam dan membiarkan kelakuan pria itu da
“Siapa sepupu sundal?” Tama bertanya dengan mengerutkan keningnya, karena membaca nama orang yang baru saja melakukan chatting dengan istrinya. “Dia sepupuku! Dia keras kepala dan angkuh, makanya aku sebut sundal!” jawab Riti setelah menguasai rasa gugupnya. “Oh!” Tama berkata sambil menyerahkan kembali handphone Riti. Saat itu, Delizah sudah menyiapkan diri dan kembali terlihat tua. Ia memakai rambut palsunya yang berwarna putih, hingga menyerupai uban. Waktu menikah dahuk, usia Delizah masih sangat muda, hingga saat Tama dewasa pun ia masih kuat dan bugar. Alasannya menyamar hanyalah alasan keamanan semata dan agar orang segan untuk menganiaya dirinya. Walaupun, ia memiliki pengawal yang baik, tapi tetap saja ia menutupi jati diri yang sebenarnya, untuk melihat ketulusan orang di sekitarnya. Tama sebagai anak pun tidak bisa berbuat banyak atas tindakan ibunya. Namun, dalam hati ia membenarkan juga. Selain karena keamanan, dalam posisi duduk di atas kursi roda bisa memungkinkan
Sekarang mereka sudah berada di depan ruang ICU. Tina sudah dipindahkan ke sana, di mana tidak ada orang yang boleh masuk kecuali, hanya yang berkepentingan saja.Selama menunggu Riti mengirim kabar kepada Yuna dan juga Dion, melalui pesan. Gadis itu merasa perlu untuk mengabarkannya, karena mengetahui keadaan Tina adalah hak dari saudaranya juga.Sementara hari sudah menjelang sore, baik Yuna maupun Dion tidak ada yang membaca pesannya, dikarenakan kesibukan mereka. “Tama, aku mengabarkan keadaan ibu kepada dua saudaraku, seandainya mereka ke sini, apa kamu mengizinkannya?” Riti bertanya pada Tama, sebelum mengirimkan alamat di mana rumah sakit itu berada.Walaupun, Tama tidak mengatakan secara langsung jika rumah sakit itu adalah miliknya, tapi Riti tidak bodoh. Ia bisa menyimpulkan sendiri—dari apa yang dilihatnya pada kamar Delizah dan juga ruangan ibunya—yang menunjukkan dengan jelas siapa pemiliknya.Oleh karena itu ia perlu meminta izin terlebih dahulu. Siapa tahu tempat
“ Apa mereka membalas pesanmu?” Tama bertanya karena melihat gelagat istrinya.“Tidak!”“Biarkan saja kalau begitu, apa pun yang terjadi pada Ibumu itulah yang terbaik untuk kita dan juga mereka!”Riti diam saja, ia beranjak tidur ke brankar yang kemarin di tempati oleh Tina. Ia seolah ingin merasakan tidur bersama dengan ibunya. Sementara itu, tanpa diketahui oleh anak dan menantunya, Delizah mengunjungi tempat di mana Tina berada. Ia melihat ruang ICU itu kosong, hanya ada Nela yang tertidur di kursi ruang tunggu sendirian saja. Tanpa menunggu izin dari siapa pun, wanita itu masuk dan membangunkannya.Delizah melihat Tina dan selembar foto yang ada di tangannya, secara bergantian. Tina memejamkan matanya seperti orang yang sudah tak bernyawa.“Tina Wasta Prapanca! Kamu, kah, itu? Ayo bangun dan kita harus bicara!” katanya.Mendengar ada sebuah suara, Tina pun bangun, karena sakit itu membuatnya tidak bisa tidur nyenyak. Begitu melihat Delizah di sisi-nya seketika ia membeli
“Bu Tina!” seru Nela, wanita yang semula tertidur di kursi itu, sudah terbangun karena mendengar suara tangisan. Selain itu ia juga mendengar suara radiogram yang berbunyi mencurigakan. Tanpa melihat ke dalam, ia langsung memanggil dokter dan saat itu pula, Delizah ke luar ruangan, untuk kembali ke kamarnya. Hatinya berdebar kencang, ia melihat Tina yang dalam keadaan sekarat, tubuhnya lemas dan nafasnya terdengar sangat berat di tenggorokan. Delizah merasa sangat terpukul dan kehilangan, sedih karena nasib yang mempertemukan mereka dalam keadaan demikian. Namun, ia tidak bisa berbuat apa-apa, yang bisa ia lakukan adalah melindungi anak dari sepupunya itu. Ia akan menyayanginya sepenuh hati dan menganggapnya seperti anaknya sendiri. Sekarang ia tahu, dari mana Riti mendapatkan keahlian bela dirinya itu. Kemungkinan, tahnik dasar dan jurus yang dimilikinya tidak berbeda jauh dengan Tama. Di dalam kamar, Delizah menangis sendirian. Saat berinisiatif mengunjungi kamar Tina, disebabkan
“Ibu, kenapa kamu pergi secepat itu?” gumam Riti beberapa kali. Matanya sudah bengkak karena terlalu banyak menangis.Ia terus sesenggukan selama perjalanan mengantarkan jenazah ke kota asalnya. Walaupun, Tama sudah menenangkan berulang kali tapi Riti tetap saja menangis. Nela juga sama, ia bersedih justru karena melihat Riti yang tampak begitu kehilangan ibunya—sosok penyemangat jiwa. Ia ikut di mobil Tama, dan duduk di samping Jasin yang memegang kemudi. Mereka berada di belakang mobil khusus jenazah, yang terus-menerus membunyikan sirene, demi mempercepat perjalanan.Saat itu telepon genggam Riti tiba-tiba berdering, saat itu pula ia menghentikan tangis ya untuk menerima panggilan.Ternyata, Yuna yang menelepon. Sejak semalaman gadis itu tidak juga membalas pesan dari adiknya. Namun, saat ini ia langsung menghubungi padahal, hari sudah hampir sore.“Apa maksud kamu ibu sekarang masih kritis, apa yang kamu lakukan padanya? Apa kamu tidak mengurus Ibu dengan baik selama ini?” Y
Yuna ada di sana dan melihat semua adegan itu dengan perasaan yang tidak menentu. “Hei, memangnya iya, harus bersedih itu, hanya karena kehilangan ibu?” katanya, sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Hilang sudah rasa sedih dan simpati Yuna pada Riti atas kematian ibunya. Setelah melihat kehangatan sikap Tama, yang ada di hatinya, hanyalah rasa iri dan benci, karena Riti mendapatkan keuntungan yang tidak ia miliki. Riti tidak menanggapi ucapan kakaknya itu, mereka memang sedarah tapi sekarang ikatan saudara itu benar-benar sudah terputus. Yuna sama sekali tidak peduli dan Riti kecewa karena hal ini. Apakah pantas seorang anak yang pernah di sayang dan di besarkan oleh seorang ibu, tapi begitu culas saat sang ibu pergi? Oh, dunia seperti tidak adil bagi orang seperti Riti yang diabaikan saudaranya sendiri. Riti hanya berlutut dan mengusap nisan ibunya dengan lembut. “Apa kamu masih mau di sini semua orang sudah pergi ...!” Tama berkata sambil mengikutinya duduk berlutut.