"Apa? Tidak mungkin itu suami saya, pak! Dia pamit padaku untuk pulang ke kampung halaman almarhum ibunya," ucap Bu Edith dengan perasaan tidak percaya. Jantungnya berdetak sangat cepat. "Kalau begitu, ibu bisa mengkonfirmasinya di rumah sakit. Mayat itu berada di rumah sakit," ucap Pak Clint dengan datar. Bu Edith segera mengikuti Pak Clint dan rombongan beberapa orang warga untuk melihat sendiri kebenarannya. Setibanya di kamar mayat, aroma busuk tercium memenuhi ruangan, yang membuat para warga ingin muntah, dan tidak sanggup untuk berada di ruangan itu untuk waktu yang lama. Mereka gegas keluar. Hanya tersisa Pak Clint, dan Bu Edith, juga salah seorang petugas rumah sakit yang menunjukkan mayat yang baru datang itu. Petugas membuka penutup kain yang menutupi seluruh tubuh mayat. Sementara itu Bu Edith memperhatikan secara detail mayat itu. Di jari manis tangan kanannya, terselip cincin perkawinan yang sama dengannya, yang membuat Bu Edith yakin bahwa itu adalah benar suaminya
Bu Edith menatap Nana yang terlihat sedang membersihkan meja makan setelah beberapa menit lalu meja itu dipakai untuk makan siang. Sorot matanya yang terlihat tajam, membuat Nana kikuk dan sedikit salah tingkah. Nana meletakkan piring-piring kotor ke dalam wastafel dengan sangat hati-hati. Kemudian, ia mulai mencuci piring-piring itu. "Berapa usia kamu?" tanya Bu Edith secara tiba-tiba, yang telah memecahkan keheningan yang berlangsung cukup lama. Nana menoleh, ia melihat wajah Bu Edith yang menatapnya tanpa ekspresi. Agak aneh. Nana tersenyum kaku. "Bukankah ibu sudah tahu? Usiaku 22 tahun," jawabnya dengan sedikit gugup."22 tahun?" ulang wanita itu dengan rasa tidak percaya. Nana hanya menganggukkan kepalanya dengan pelan, menjawab pertanyaan ibu mertuanya. ***Bu Edith duduk di hadapan Kadita yang menatapnya dengan serius, menunggu wanita tua itu memberikan kabar baik padanya. "Sebentar lagi malam Jumat Kliwon. Apakah kamu sudah menemukan wanita yang aku minta?" tanya Kadi
Nana menggelengkan kepalanya pelan, melihat ujung keris itu semakin dekat dengan tubuhnya. Kemudian ia berteriak histeris. Teriakannya terdengar melengking panjang, sebelum darah muncrat membasahi seluruh wajah Kadita yang tampak tersenyum merasa puas. Sementara Bu Edith terlihat memejamkan kedua matanya karena tidak sanggup melihat pemandangan itu. Perlahan Kadita merobek dada Nana yang telah tewas dengan kedua matanya yang tampak melotot. Kemudian ia mengambil bagian organ tubuh wanita itu yang tampak lembek berwarna kecokelatan. Ya, itu adalah bagian hati Nana. Setelah berhasil mengeluarkan hati itu, Kadita tersenyum menyeringai. Senyumnya perlahan berubah menjadi tawa yang kian menggelegar.Kadita mendadak hening. Kedua matanya melotot, sebelum ia melahap dengan rakus hati yang telah ia dapatkan. Setelah habis, mulutnya terlihat penuh dengan darah. Kadita menjilat seluruh jarinya yang berlumuran darah. Sementara Bu Edith hanya menatapnya dengan jijik. Ia merasa mual, ingin mun
"Nanti malam, malam Jumat Kliwon kan?" Suara Martin terdengar nyaring setelah cukup lama saling diam.Aldous tidak langsung menjawab. Ia menatap sejenak wajah temannya yang masih menatap ke arahnya sambil berjalan membawa buku iqra di tangan masing-masing. "Hm." Bocah itu hanya menggumam pelan menjawab pertanyaan yang telah diajukan oleh temannya itu. "Memangnya kenapa?" tanya Aldous yang mulai terlihat penasaran. "Aku dengar, Mbak Kadita akan membuat ritual di pohon beringin itu," sahut Martin dengan antusias. "Ya, memangnya kenapa?" Aldous mengulang sekali lagi pertanyaan yang sebelumnya ia ajukan. "Memangnya kamu tidak tahu?" Martin menghentikan langkahnya. Ia menatap wajah Aldous dengan serius. Sementara bocah itu hanya menggelengkan kepalanya dengan lemah. "Apa?" tanyanya dengan heran. "Tujuan diadakan ritual itu adalah untuk makhluk itu supaya tidak mengganggu warga desa kita lagi," sahut Martin mencoba menjelaskan pada Aldous yang raut wajahnya tampak gelisah. Bocah it
Pak Clint mengerutkan kedua alisnya. Tatapan matanya tajam, menatap raut wajah Aldous yang masih memancarkan kekhawatiran. "Tapi kenapa?" tanyanya dengan penasaran. "Semalam, saat acara kenduri di rumah Martin, saya.... saya melihat makhluk itu, pak. Dia ada di belakang rumah Bu Florin. Dia sepertinya memperhatikan saya," ucap Aldous mencoba menjelaskan pada Pak Clint yang bungkam selama beberapa saat lamanya. "Kamu jangan khawatir ya? Dia tidak akan bisa mengganggu kamu," ucap Pak Clint mencoba menenangkan hati dan pikiran bocah itu. Kali ini, Aldous yang bungkam. Ia seperti tidak bisa percaya dengan kata-kata manis Pak Clint padanya. Pikirannya melayang, memikirkan bagaimana caranya agar ia bisa lepas dari incaran makhluk itu. ***"Aldous? Kamu nggak pergi mengaji?" Ibu membuka pintu kamar yang terbuat dari kayu. Ia bisa melihat putra tunggalnya itu sedang berbaring sambil bermain game. "Aku mau di rumah saja, Bu," sahut Aldous yang kedua matanya tidak beralih sama sekali dari
"Mama, kenapa kamu meninggalkan aku sendirian di sini?" Seorang bocah dengan tubuh yang penuh dengan bulu berwarna hitam legam, dengan kedua mata yang merah menyala, dan gigi taring yang panjang, berjalan perlahan mendekat ke arah wanita berambut panjang dan sedikit ikal itu. "Kamu siapa?" tanya Esmeralda gugup. Tubuhnya gemetar karena takut melihat bocah itu."Mama, aku adalah anakmu, anak yang telah kamu lahirkan ke dunia ini, kenapa kamu jahat padaku, ma? Kenapa kamu meninggalkan aku sendirian di sini? Kenapa kamu membiarkan orang-orang menyakitiku? Kenapa, ma? Kenapa kamu tidak kembali untuk mencariku? Apakah kamu membenciku?" Langkahnya terhenti tepat di hadapan wanita itu. Ia menjulurkan tangannya, mendekat ke arah kedua bola mata Esmeralda yang menatapnya dengan terbelalak. Ujung kuku bocah yang runcing itu terus mendekat hingga menusuk kedua bola mata Esmeralda yang spontan berteriak dengan keras. Crats! Darah segar muncrat membasahi lantai. Esmeralda histeris. Suara teria
"Ada apa, Es?" tanya Rafaela dengan wajah yang bingung saat melihat Esmeralda yang tiba-tiba terdiam saat melihat ponselnya. "Nggak apa-apa." Wanita itu tersenyum kecil sambil meletakkan kembali ponselnya di atas meja. Ia sedikit salah tingkah di hadapan temannya itu. Rafaela yang terlanjur penasaran, tidak percaya dengan jawaban Esmeralda yang mengatakan tidak terjadi apa-apa. Ia melirik ponsel milik temannya itu yang masih menyala. Sebuah pesan dari nomor tak dikenal, muncul di jendela notifikasi. [08123456xxx] Kamu di mana?"Itu siapa, Es?" Rafaela yang semakin terlihat penasaran, tidak bisa menahan dirinya untuk tidak bertanya pada temannya itu. "Aku juga nggak tahu siapa? Kan nomornya tidak ada di daftar kontakku," jawab Esmeralda sekenanya saja. Ia berpura-pura kembali mengerjakan pekerjaannya yang belum diselesaikan olehnya. "Kamu sibuk nggak?" tanya Esmeralda secara tiba-tiba pada Rafaela yang segera perhatiannya kembali tertuju pada wajah wanita itu. "Nggak, tuh. Meman
[08123456xxx] Dek, mas minta maaf atas kesalahan mas yang dulu. Maafin mas ya, dek? Karena telah menuding kamu selingkuh di belakang mas.Tring! Sebuah pesan kembali masuk. Esmeralda gegas membuka chat dari mantan suaminya itu yang sepertinya belum selesai dengan pembicaraannya. [08123456xxx] Mas sekarang sudah tahu kebenarannya dek. Mas sudah mendengar sendiri bahwa kehamilan kamu, bukanlah kehamilan biasa. Karena anak yang kamu kandung itu adalah anak Genderuwo.Kedua mata Esmeralda membelalak dengan lebar. Ia menutup mulutnya yang menganga dengan kedua telapak tangannya, sehingga ponsel yang sejak tadi ia pegang, terjatuh ke lantai. Saat Esmeralda tersadar, ia buru-buru mengambil ponsel yang telah terjatuh itu. Ia menjadi panik saat ia tahu bahwa ponsel itu mati. Ia gegas menyalakan tombol daya. Tapi sepertinya sia-sia saja. Ponsel itu tidak mau hidup. Tubuh Esmeralda gemetar. Ia menggigit ujung kukunya sambil mencoba untuk berpikir dengan jernih. Wanita itu melirik ke arah ja