Esmeralda termenung menatap langit-langit di kamarnya. Siang tadi, sebelum ia pergi ke warung, ia mampir sebentar ke rumah Bu Valentine untuk memastikan bahwa Bu Valentine baik-baik saja. Tapi, ia menemukan bendera berwarna kuning berkibar di depan rumahnya. Esmeralda yang merasa penasaran, terdorong untuk masuk ke dalam rumah Bu Valentine yang telah ramai orang berdatangan untuk mengurus jenazahnya. Esmeralda terpaku saat melihat sebuah peti mati yang dikerumuni orang-orang yang sedang membacakan doa. Wanita itu melihat dari kejauhan, Bu Valentine terbaring kaku dengan keadaan dada dan perutnya hancur. Kematiannya benar-benar mengerikan. Benar-benar seperti serangan hewan buas yang dibicarakan sekelompok ibu-ibu. Tubuh Esmeralda segera lemas. Ia cepat-cepat meninggalkan kediaman Bu Valentine. Ia gegas pergi ke warung untuk membeli bumbu dapur yang diminta ibu mertuanya, lalu ia cepat pulang. Lamunan Esmeralda terberai saat ia merasakan perutnya yang tiba-tiba terasa sangat sak
Esmeralda membuka kedua matanya secara perlahan. Penglihatannya tampak samar-samar. Semakin lama, penglihatannya mulai terlihat semakin jelas. Ia tersentak saat ia melihat bahwa ia telah terbaring di atas tempat tidurnya, dan dikelilingi oleh orang-orang yang tidak dikenal. Pandangannya beralih menatap perutnya yang sudah besar. Ternyata benar. Ia tidak bermimpi. Kehamilannya sungguh ajaib. "Kalian siapa?" Suara Esmeralda terdengar serak bertanya pada kedua wanita paruh baya yang tampak mengenakan kebaya jadul yang tampak lusuh, dengan rambut yang di sanggul berantakan. Tatapan mata Esmeralda bergantian menatap kedua wanita paruh baya yang berdiri di samping kanan dan kirinya dengan pancaran raut wajah yang terlihat gelisah. "Kami adalah orang yang ditugaskan untuk membantu proses kelahiran kamu," ucap wanita paruh baya yang mengenakan kebaya berwarna hijau stabilo. "Tapi, aku belum merasakan tanda-tanda bahwa aku akan melahirkan," sahut Esmeralda dengan tatapan yang heran. "Si
Dukun itu melahap habis ari-ari yang telah berada di tangannya. Mulutnya penuh dengan darah, yang membuat wanita kebaya hijau itu merasa mual dan ingin muntah. Ia segera keluar dari rumah Bu Edith untuk mengeluarkan isi perutnya yang masih kosong. Sementara itu, wanita kebaya merah muda yang telah selesai membersihkan bayi yang penuh dengan bulu hitam itu, keluar sambil membawa bayi tersebut. Ia tampak celingukan mencari rekannya yang tidak ada di depan kamar. Ia hanya melihat seorang lelaki sepuh dan juga wanita tua yang telah memanggilnya untuk datang ke rumah itu. "Di mana Karsinah, rekanku?" tanyanya dengan penasaran. Ia masih celingukan mencari sosok temannya. "Ada di luar," sahut Bu Edith datar sambil menunjuk ke arah pintu depan. "Berikan bayi itu!" Dukun Sartoni mengambil alih bayi yang telah dibungkus dengan kain bedong berwarna hijau, dari tangan wanita itu. "Ini! Berikan juga untuk temanmu. Ingat ya? Kalian harus tutup mulut jika kalian masih ingin hidup," ucap Bu Edi
Bu Edith menganggukkan kepalanya dengan cepat. "Ibu punya uang dari mana untuk beli jimat ini?" Lelaki tua itu menatap raut wajah istrinya dengan sorot mata yang tajam."Ibu membuat kesepakatan sama Si Mbah." "Kesepakatan apa, Bu?" Kedua alis Pak Agus tampak mengerut menatap wajah Bu Edith yang masih mengulas senyuman tipis di bibirnya. "Ibu mengijinkan Mbah Sartoni untuk meminjam rahim Esmeralda untuk benih bayi genderuwo," ucap Bu Edith dengan suara yang terdengar berbisik. Kedua mata Pak Agus membelalak dengan lebar. "Jadi, menantu kita hamil anak genderuwo, Bu?" tanya Pak Agus dengan perasaan tidak percaya. Bu Edith hanya menganggukkan kepalanya saja, menjawab pertanyaan yang telah diajukan oleh suaminya itu. "Kapan menantu kita akan melahirkan, Bu?" "Dia sudah melahirkan. Tapi dia belum sadarkan diri." "Tapi, Bu? Usia kehamilan dia bukannya baru beberapa bulan saja?" "Bapak jangan samakan kehamilan bayi manusia dengan bayi jin, donk!" Pak Agus terdiam selama beberapa sa
Esmeralda memberontak. Ia menendang pusaka bapak mertuanya dengan keras. Lelaki tua itu langsung berguling di atas tempat tidur sambil memegangi benda pusakanya, dan merintih merasakan sakit. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Esmeralda. Ia segera beranjak, dan bergegas keluar dari kamar. Lelaki tua itu yang masih merintih kesakitan sambil memegangi benda pusakanya, berjalan tertatih, keluar dari kamar menantunya. Esmeralda gegas keluar dari rumah. Ia cepat-cepat menuruni anak tangga. Karena ia tidak memperhatikan jalan, ia menabrak sesuatu hingga ia terjatuh. Esmeralda menatap sepasang kaki yang mengenakan sepatu yang sudah sangat familiar baginya. Pandangannya naik ke atas dan melihat wajah yang sudah cukup lama tidak ia lihat. "Mas Franky?" Suaranya terdengar lirih memanggil. "Siapa dia, mas?" Suara lembut dari seorang wanita yang berdiri di sebelah suaminya, telah menyita perhatian dari Esmeralda. "Kamu kok masih di sini?" Lelaki itu tampak gugup. Ia menatap wajah wani
Kedua mata Bu Edith melotot menatap Esmeralda yang balas menatapnya dengan sorot mata yang tajam. "Hei! Siapa yang kamu bilang bau tanah? Dasar wanita nggak tahu diri!" Baru saja tangan Bu Edith hendak menampar menantunya, dengan cepat Esmeralda menangkisnya. "Aku sudah sangat sabar menghadapi keluargamu, mas. Terutama bapakmu yang mesum yang berulang kali mencoba memperkosaku." Esmeralda tersenyum getir. Ia menarik nafas panjang, dan membuangnya secara perlahan. "Siapa yang kamu bilang mesum?" Bu Edith terbelalak setelah mendengar pernyataan Esmeralda yang hanya diam menatap wajah Nana yang tampak kebingungan. "Kamu wanita yang cantik. Berhati-hatilah dengan calon bapak mertuamu. Kamu bisa diperkosa olehnya. Jangan pernah percaya pada modusnya," ucap Esmeralda memberi peringatan dengan tegas, sebelum ia berlalu dari hadapan ketiganya. "Apa-apaan yang dibilang mantan istrimu, mas?" Franky bungkam. Ia tidak bisa menjawab karena ia tidak tahu menahu soal apa yang telah dibeberkan
Suara tangisan bayi pecah, saat ia mulai merasa lapar. Bayi yang memiliki kedua mata yang berwarna merah menyala. Mbah Sartoni gegas menghampiri bayi yang ia letakkan di dalam box bayi yang terbuat dari kayu rotan. Ia mengangkat bayi penuh bulu itu dengan sangat hati-hati, kemudian memberikan minum dari dot. Bukanlah susu formula yang diberikan oleh Mbah Sartoni, melainkan darah ayam cemani. .Bayi itu sangat lahap menghisap dot yang diberikan oleh dukun itu, hingga darahnya habis tak bersisa. Perlahan-lahan, bayi itu sedikit bertambah besar setelah meminum darah ayam cemani. Mbah Sartoni tersenyum merasa puas. Hanya menunggu beberapa minggu, sampai bayi itu tumbuh lebih besar lagi, dan akan melatih kekuatan bayi itu, hingga ia bisa menggunakannya untuk kepentingan Mbah Sartoni. *** "Baxia!" Suara Mbah Sartoni yang nyaring dan keras, terdengar memanggil bayi berbulu hitam yang kini sudah memasuki usia remaja. Pertumbuhannya sangat pesat. Hanya dalam hitungan beberapa minggu, ia
Baxia mengambil kesempatan saat Mbah Sartoni sedang melayani pelanggan untuk berkonsultasi seputar dunia pelet. Baxia berjalan mengendap, keluar dari rumah untuk melihat anak-anak seusianya bermain di taman yang berada tidak jauh dari rumahnya. Baxia bersembunyi di balik pohon, memperhatikan anak-anak yang terlihat ceria bermain bersama."Hei, lihat! Ada makhluk aneh!" teriak salah seorang bocah laki-laki saat ia menyadari keberadaan Baxia, yang membuat teman sebayanya, menoleh menatap Baxia yang berdiri di balik pohon dengan kebingungan. "Itu monster?" bocah lainnya memicingkan kedua mata. Ia mundur beberapa langkah karena merasa ketakutan. "Ada monster!" teriak yang lain, yang membuat kerumunan segera bubar. Beberapa bocah lelaki masih belum beranjak dari tempatnya. Mereka memunguti batu yang berserak di sekitar mereka. Kemudian mereka melemparkan batu yang telah mereka kumpulkan itu pada Baxia yang segera mundur, menghindari lemparan mereka. Para bocah lelaki itu terlalu bers