Suara tangisan bayi pecah, saat ia mulai merasa lapar. Bayi yang memiliki kedua mata yang berwarna merah menyala. Mbah Sartoni gegas menghampiri bayi yang ia letakkan di dalam box bayi yang terbuat dari kayu rotan. Ia mengangkat bayi penuh bulu itu dengan sangat hati-hati, kemudian memberikan minum dari dot. Bukanlah susu formula yang diberikan oleh Mbah Sartoni, melainkan darah ayam cemani. .Bayi itu sangat lahap menghisap dot yang diberikan oleh dukun itu, hingga darahnya habis tak bersisa. Perlahan-lahan, bayi itu sedikit bertambah besar setelah meminum darah ayam cemani. Mbah Sartoni tersenyum merasa puas. Hanya menunggu beberapa minggu, sampai bayi itu tumbuh lebih besar lagi, dan akan melatih kekuatan bayi itu, hingga ia bisa menggunakannya untuk kepentingan Mbah Sartoni. *** "Baxia!" Suara Mbah Sartoni yang nyaring dan keras, terdengar memanggil bayi berbulu hitam yang kini sudah memasuki usia remaja. Pertumbuhannya sangat pesat. Hanya dalam hitungan beberapa minggu, ia
Baxia mengambil kesempatan saat Mbah Sartoni sedang melayani pelanggan untuk berkonsultasi seputar dunia pelet. Baxia berjalan mengendap, keluar dari rumah untuk melihat anak-anak seusianya bermain di taman yang berada tidak jauh dari rumahnya. Baxia bersembunyi di balik pohon, memperhatikan anak-anak yang terlihat ceria bermain bersama."Hei, lihat! Ada makhluk aneh!" teriak salah seorang bocah laki-laki saat ia menyadari keberadaan Baxia, yang membuat teman sebayanya, menoleh menatap Baxia yang berdiri di balik pohon dengan kebingungan. "Itu monster?" bocah lainnya memicingkan kedua mata. Ia mundur beberapa langkah karena merasa ketakutan. "Ada monster!" teriak yang lain, yang membuat kerumunan segera bubar. Beberapa bocah lelaki masih belum beranjak dari tempatnya. Mereka memunguti batu yang berserak di sekitar mereka. Kemudian mereka melemparkan batu yang telah mereka kumpulkan itu pada Baxia yang segera mundur, menghindari lemparan mereka. Para bocah lelaki itu terlalu bers
Mbah Sartoni tampak kebingungan saat ia menyadari bahwa anak angkatnya tidak berada di dalam kamarnya. Ia gegas keluar untuk mencari Baxia, sebelum sesuatu yang buruk telah terjadi. Saat Mbah Sartoni hendak menuju ke pohon beringin, langkahnya mendadak terhenti. Tubuhnya yang sudah sepuh gemetaran melihat sosok tinggi besar dengan tubuh yang dipenuhi dengan bulu berwarna hitam. Mbah Sartoni memberanikan diri untuk mendongak ke atas, melihat wajah yang penuh amarah Sang Genderuwo. Sorot matanya menyala terang. Tubuh Mbah Sartoni mendadak ambruk, terkulai lemas. Ia bersujud pada Sang Genderuwo memohon ampun padanya. "Ampuni aku!" ucapnya lirih sambil mengusap kedua telapak tangannya. "Aku akan mencari putramu," sambungnya lagi dengan suara yang terdengar sedikit parau. Belum sempat ia beranjak, Sang Genderuwo yang penuh dengan amarah itu, langsung mengeluarkan kukunya yang panjang dan runcing. Ia merobek-robek dada Mbah Sartoni yang berteriak kesakitan. Seluruh organ dalamnya ia k
"Bu!" Suara Pak Agus telah memberaikan lamunan Bu Edith. Wanita tua itu segera menoleh, menatap wajah suaminya yang tampak diliputi rasa penasaran. "Kok ibu malah bengong?" Bu Edith tidak langsung menjawab. Ia menarik nafas panjang, kemudian menghembuskan kembali secara perlahan. "Pak, aku rasa.... ini adalah ulah genderuwo," ucap Bu Edith lirih yang membuat Pak Agus tampak tersentak mendengar berita itu. "Apa? G-genderuwo? Bagaimana bisa ibu berpikir seperti itu?" tanya Pak Agus dengan heran. Kedua alisnya tampak mengerut menatap wajah istrinya yang terlihat memancarkan keseriusan di wajahnya. "Entahlah, pak. Tapi aku rasa.... Ini adalah sebuah kutukan," ucap Bu Edith dengan keyakinan. "Kutukan? Ah, ibu ngomongnya semakin ngaco saja," ucap Pak Agus sambil geleng-geleng kepala, lalu beranjak pergi meninggalkan istrinya. ***Franky duduk termangu di toko yang telah didirikan oleh bapaknya selama setahun lebih ini. Toko mendadak sepi, tidak seperti biasanya. Toko seolah kembali
"Kamu kenapa, Nak?" tanya Pak Agus yang telah memberaikan lamunan Franky. Lelaki itu hanya menggelengkan kepalanya pelan. Ia beranjak dari tempatnya menuju ke dalam kamar. "Mas, kamu kok sudah pulang?" Nana yang saat itu sedang duduk di depan meja rias, segera menghampiri lelaki yang tampak linglung. Ia menyambar tangan suaminya untuk ia salami. "Mas kok tumben sudah pulang?" ulang Nana sekali lagi saat ia menyadari bahwa tidak ada jawaban dari lelaki itu. "Eh? Iya, dek. Toko sepi dan mas pikir mau turun hujan," jawab lelaki itu sekenanya. "Mas, kamu baik-baik saja kan? Kok muka mas pucat banget," tegur Nana yang segera menyadari ada yang aneh dalam diri suaminya. "Ah, nggak ada apa-apa, dek," sahut Franky sedikit gugup. Ia terlihat sedikit kikuk dan salah tingkah. "Mas capek, dek. Mas mau istirahat dulu ya?" pamit lelaki itu yang segera pergi menuju ke tempat tidur. "Iya, mas," sahut Nana masih menatap suaminya yang terlihat tidak seperti biasanya. ***Nana tersenyum saat ia
Harith menggigil ketakutan. Tanpa terasa air mengalir perlahan membasahi celana pendeknya. Ia tidak bisa berkata-kata. Kedua kakinya seolah terasa seperti kaku. Tidak bisa digerakkan meskipun otaknya menginginkan untuk berlari meninggalkan tempat itu. "Harith? Kamu belum pulang, nduk? Sudah malam." Suara yang sudah tidak asing itu terdengar lembut di telinga Harith. Saat bocah itu menoleh ke belakang, ia melihat neneknya telah berdiri agak jauh darinya. Nenek Harith tersenyum dengan penuh arti. Ia tidak pernah tahu bahwa cucunya sedang dalam bahaya. Belum sempat nenek Harith melangkah mendekati cucunya, ia terpaku saat melihat sosok bertubuh besar dan penuh dengan bulu berwarna hitam itu, keluar dari balik pohon beringin yang sangat besar, yang berada di hadapannya. Sosok Genderuwo itu mengeluarkan kukunya yang runcing. Jleb! Hanya sekali tusukan saja, salah satu kukunya menembus dada Harith hingga bocah itu terjatuh dan ambruk seketika. Kedua mata nenek Harith membelalak denga
"Mas, kamu sudah dengar desas-desus yang diceritakan warga sekitar?" tanya Nana dengan serius saat suaminya - Franky baru saja masuk ke dalam kamarnya. "Desas-desus apa, dek?" Lelaki itu balik bertanya pada Nana sambil mengeringkan rambutnya yang masih basah dengan menggunakan handuk kecil. "Tentang kampung ini yang dikutuk," jawab Nana dengan antusias. Ia menatap wajah Franky dengan serius, menunggu respon baik dari suaminya itu. "Dikutuk?" Kedua alis Franky tampak mengerut. Ia menatap wajah istrinya dengan tatapan yang dalam. Nana hanya mengangguk pelan, menjawab suaminya yang masih terlihat ragu-ragu. "Kenapa kamu bisa berpikir begitu?" tanya lelaki itu hendak memastikan. "Memangnya mas tidak tahu?" Kedua mata Nana membulat, menatap wajah suaminya dengan perasaan yang tidak percaya. Lelaki itu menggelengkan kepalanya dengan lemah. "Aku mendengar dari beberapa orang warga, penduduk di sini satu persatu tewas secara tidak wajar." Franky tidak langsung menjawab pernyataan ist
"Aaakhhhh!!!" Suara teriakan Cecilion terdengar menggema saat jemari besar yang memiliki ujung kuku runcing itu mencengkram erat tubuh mungil Cecilion. Crat! Darah segar mengalir memenuhi jalanan di taman, saat tubuh Cecilion remuk dan hancur. *** Suara sirine mobil polisi yang beriringan terdengar di sepanjang jalan, yang membuat orang-orang di sekitar tampak heran karena tidak biasanya di Desa Sukameneng didatangi polisi. Beberapa mobil polisi memarkirkan mobil mereka di dekat taman, di mana terdapat laporan penemuan mayat yang tewas secara tidak wajar. Polisi lokal yang sudah lebih dulu tiba di tempat kejadian perkara, telah memasang garis polisi agar penduduk yang berada di sekitar, tidak menerobos masuk hanya untuk melihat-lihat, dan mengganggu proses investigasi. Franky yang kebetulan lewat di sekitar jalan yang berada di dekat taman, merasa heran karena taman biasanya selalu tampak sepi. Bahkan jika ramai, biasanya hanya ada anak-anak kecil saja yang bermain di sana. Ra