Setelah akting yang melelahkan di acara yang diselenggarakan Nursyid untuk mempromosikan produk LighGlow cosmetics, Anindya akhirnya kembali ke kamarnya. Ia menjatuhkan diri di atas ranjang yang empuk, tetapi rasa lelah fisik tidak mampu meredam kegelisahan dan amarah yang berkecamuk di dalam hatinya. Tatapan matanya kosong menatap langit-langit, sementara suara hatinya terus bergemuruh.
"Anak itu benar-benar meresahkan!" gumam Anindya dengan nada geram, tangannya mengepal kuat hingga kuku-kukunya hampir menembus telapak tangannya. "Dia membantai habis-habisan peranku! Apa yang dia pikirkan, mempermalukan aku seperti itu?"Rasa frustasi membuatnya bangkit dengan kasar dari ranjang. Ia meraih ponselnya yang tergeletak di meja samping, berharap menemukan pelipur lara di antara komentar-komentar para penggemarnya di media sosial. Dengan cepat, ia membuka aplikasi favoritnya, dan benar saja—kolom komentarnya dipenuhi pujian."Kak Anindya sangat keren! MeskipunKeesokan harinya, panggung megah yang dipenuhi dengan ornamen kerajaan kembali dihiasi oleh ketiga pemerannya—Nursyid, Aisyah, dan Anindya. Kamera siaran langsung mulai merekam, menangkap momen ketika Nursyid, dengan penuh wibawa, berdiri di tengah panggung sebagai raja yang bijaksana. Suaranya menggema dengan nada serius namun tenang, membawa suasana yang segera menyita perhatian penonton.“Baiklah, istri-istriku tercinta,” katanya dengan nada mendalam, “bagaimana hasil rencana kalian untuk melawan negara seberang? Apakah persiapan kita sudah matang?”Anindya, yang memerankan permaisuri, melangkah maju dengan anggun. Wajahnya yang dihiasi senyum tipis menyembunyikan kelelahan luar biasa yang membayang di matanya. Ia berjongkok dengan penuh hormat, menyerahkan sebuah gulungan yang terlihat kuno ke tangan Nursyid.“Ini, yang mulia,” katanya lembut, suaranya penuh kesopanan.Nursyid menerima gulungan itu dengan kedua tangannya, mengangkatnya tinggi-
Setelah syuting berakhir, malam menyelimuti studio dengan keheningan yang kontras dengan keramaian beberapa jam sebelumnya. Anindya sudah lebih dulu pulang, meninggalkan lokasi dengan wajah lelah tapi penuh semangat untuk melanjutkan usahanya mengumpulkan vote. Sementara itu, Aisyah baru saja melangkah keluar dari studio, menghirup udara malam yang sejuk. Namun, langkahnya terhenti saat melihat sosok Nursyid yang berdiri di parkiran, terkekeh kecil sambil menatap ponselnya. Cahaya layar ponsel memantulkan kilatan matre di wajah pria itu, membuat Aisyah mendekat dengan rasa penasaran.“Banyak dapat uang, ya?” tanyanya dengan nada santai, namun terselip senyum nakal yang membuat Nursyid menoleh.Nursyid menatap Aisyah dengan senyum sombong, seperti seorang raja yang baru saja menaklukkan kerajaan lain. “Tentu saja!” jawabnya, suaranya penuh kebanggaan. “Sistem vote itu benar-benar ide jenius! Rekeningku dibanjiri uang. Aku kaya, Aisyah! Semakin kaya!”Aisyah
Di dalam kamar mewah dengan lampu-lampu hias yang memancarkan kehangatan, Anindya duduk di sofa empuknya, dikelilingi oleh perangkat makeup, kartu-kartu bank, dan ponsel yang tak pernah lepas dari tangannya. Suasana malam yang seharusnya menenangkan berubah menjadi ajang strategi pribadi yang penuh ketegangan. Dengan penuh semangat, jari-jarinya terus mengklik layar, memastikan setiap transaksi berjalan mulus untuk membeli produk LightGlow Cosmetics."Semuanya harus sempurna," gumamnya, wajahnya penuh tekad. Namun, di balik keanggunan geraknya, keringat mulai mengalir di pelipisnya. Ia tidak sekadar membeli untuk dirinya sendiri. Beberapa penggemarnya yang setia sudah diberi uang agar turut membantu vote untuk dirinya. Anindya tahu, memenangkan hati penggemar adalah kunci kemenangan dalam kompetisi ini.Namun, tiba-tiba, tangannya terhenti. Layar ponselnya memunculkan angka yang membuat matanya membelalak. Saldo rekeningnya… mendekati nol!"Hah? Apa-apaan
Panggung kembali dipenuhi nuansa megah ala kerajaan, lengkap dengan pernak-pernik yang membuat suasana terasa hidup. Gemerlap lampu berwarna emas menerangi setiap sudut, menambah aura dramatis pada momen penting itu. Di tengah-tengah panggung, berdiri Nursyid dengan pakaian kebesaran seorang raja, auranya penuh wibawa. Dalam genggamannya, sebuah gulungan keputusan yang akan menentukan senjata mana yang akan digunakan untuk menghadapi negara seberang."Istri-istriku…" Nursyid membuka suaranya, tegas namun penuh karisma. Ia melayangkan pandangannya ke arah Anindya dan Aisyah, kedua wanita yang berdiri di sisinya. "Kalian berdua adalah wanita hebat. Aku bangga pada kalian. Kalian telah mempersembahkan ide-ide luar biasa untuk masa depan kerajaan ini. Di tanganku sekarang ada hasil keputusan dari rapat para petinggi dan suara rakyat. Pilihan senjata untuk perang melawan negeri seberang akan segera diumumkan."Ia mengangkat gulungan itu tinggi-tinggi, membuat semua mata
Malam itu, suasana di ruang keluarga terasa sunyi meski lampu-lampu menerangi ruangan dengan hangat. Sulistyo duduk di sofa, memandang layar TV yang baru saja menayangkan acara siaran langsung produksi Nursyid. Tangannya menggenggam remote, namun tidak segera mematikannya. Napasnya terdengar berat, terhela berkali-kali, mencerminkan gejolak emosi yang tak terungkapkan. Setelah beberapa saat, Sulistyo akhirnya mematikan televisi. Ia meletakkan remote di atas meja dengan sedikit hentakan, lalu bersandar di sofa. Kepalanya menengadah, matanya menatap lampu-lampu yang tergantung di langit-langit. Hatinya terasa berat, dipenuhi perasaan yang sulit didefinisikan—campuran antara marah, kesal, dan rasa tidak percaya. Dalam keheningan itu, pikirannya berputar-putar, mencoba mencari logika di balik apa yang baru saja ia saksikan. "Nursyid... Apa-apaan orang itu? Dia berakting menjadi raja seolah-olah dunia ini miliknya. Dan lihat saja, permaisuri yang ia pilih ad
Hari itu, istana negara tampak lebih ramai dari biasanya. Kedatangan mantan presiden Jatmiko bersama istrinya, Ratri, menciptakan suasana yang kental dengan keseriusan. Agenda utama mereka adalah membahas pernikahan antara Sulistyo, putra mereka, dengan Anindya, wanita yang memiliki posisi penting dalam sejarah Dwipantara. Namun, ada satu kendala besar yang menjadi bayangan di balik pertemuan ini—Aisyah, istri sah Sulistyo, yang belum tentu menerima keputusan ini dengan baik.Di ruang utama istana, Jatmiko duduk dengan tenang, tetapi tatapannya penuh pertimbangan. Ratri, di sisi lain, menunjukkan senyum tipis, meski sorot matanya memperlihatkan ketegangan yang tersembunyi. Di seberang mereka, Anindya duduk tegak, mencoba mempertahankan ketenangan meski di dalam hatinya ia sedang bergulat dengan perasaan campur aduk.“Jadi, bagaimana, Nak?” tanya Ratri, tatapannya penuh harap. “Apa Anindya sudah siap menikah dengan Sulistyo dan menjadi istri keduanya?”Pert
Aisyah merebahkan diri di ranjangnya, tubuhnya terasa lelah setelah semua drama hari itu. Ia memejamkan mata, berharap bisa segera tenggelam dalam tidur. Namun, harapan itu musnah saat ponselnya berbunyi tiba-tiba, memecah keheningan malam. Layar ponsel menampilkan nomor yang tidak dikenal. Dengan napas berat, Aisyah menggeser layar, mengangkat panggilan itu.“Halo, ini siapa?” tanyanya dengan nada kesal. Tangan kanannya sibuk mengucek matanya yang berat karena kantuk.Suara tajam langsung terdengar dari seberang, menusuk telinga Aisyah dengan kemarahan yang tak terbendung. “Hey, wanita murahan! Ini aku, Anindya!”Aisyah mengangkat alis, lalu menyeringai penuh arti. Mendapatkan telepon dari calon istri suaminya sendiri adalah hiburan malam yang tidak ia sangka-sangka. Jiwa roasting yang terpendam dalam dirinya langsung bergolak. “Aku? Murahan? Lucu sekali. Sepertinya kau sedang membicarakan dirimu sendiri. Kamu adalah cerminan dari apa yang kamu tuduhkan p
Di sebuah taman sepi di tengah kota, Aisyah duduk di bangku kayu, kedua tangannya terlipat di depan dada. Tatapannya tenang namun tajam, menanti kedatangan seseorang. Tak lama, langkah sepatu Anindya terdengar memecah keheningan. Wanita itu mendekat dengan wajah tegang, pandangannya penuh dengan rasa penasaran yang bercampur amarah. Aisyah menoleh, menyunggingkan senyum tipis. "Ah, akhirnya kau datang juga. Aku hampir bosan menunggumu." Anindya berdiri di depan Aisyah, memandangnya tajam tanpa basa-basi. "Aisyah! Apa kau serius? Kau benar-benar menikah dengan wakil presiden karena diperkosa?" suaranya penuh nada tidak percaya, bahkan cenderung menuduh. Aisyah mengangkat bahu, seolah pertanyaan itu tidak berarti apa-apa baginya. "Tentu saja. Untuk apa aku berbohong padamu? Tidak ada untungnya." Nada bicaranya datar, namun sarat dengan ketegasan yang membuat Anindya semakin gelisah. Anindya mengepalkan tangan, matanya menatap
Malam mulai merayap ketika Aisyah dan Sulistyo kembali ke istana negara setelah kunjungan panjang ke rumah sakit. Langit kelam membayangi bangunan megah itu, dan suara gemuruh jauh dari aksi demonstrasi yang terus berlangsung, terasa seperti ancaman yang tak pernah benar-benar pergi.Mereka melangkah masuk ke kamar utama. Sulistyo melempar jasnya ke kursi dan duduk di tepi ranjang, matanya menatap kosong ke depan, pikirannya seolah terperangkap dalam sesuatu yang tak terlihat. Ia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan."Duduklah." Suaranya terdengar datar, namun perintah itu penuh kuasa, membuat Aisyah tanpa sadar menuruti dengan patuh. Ia duduk di samping suaminya, tangannya mengepal erat di atas pangkuannya, sementara perasaan tertekan membungkus tubuhnya seperti rantai yang tak terlihat.Sulistyo memutar tubuhnya sedikit, jemarinya yang besar dan dingin menyentuh kepala Aisyah, mengusapnya dengan sentuhan yang tampak lembut namun penuh pe
Pintu kamar terbuka perlahan, engselnya berderit seperti jeritan pelan yang menyeruak ke dalam keheningan. Sulistyo melangkah masuk dengan langkah tenang namun penuh kekuasaan, bayangannya yang panjang melintasi dinding seperti sosok kegelapan yang merayap mendekati mangsanya. Aisyah, yang sebelumnya tengah memegang ponselnya dengan tangan gemetar, dengan cepat menyembunyikan perangkat itu di bawah bantal dan membaringkan diri di ranjang. Matanya terpejam rapat, napasnya ditahan, seolah tidur adalah satu-satunya pelindung dari bencana yang berdiri di ambang pintu.Sulistyo mendekat, duduk di tepi ranjang, dan tangannya yang dingin terulur, mengusap rambut Aisyah dengan gerakan yang, di permukaan, tampak penuh kasih. Namun sentuhan itu bagaikan rantai besi yang melilit leher, menahan kebebasannya."Apa kau sudah memeriksanya?" Suaranya rendah, penuh tekanan yang terpendam. Setiap kata menembus jantung seperti pisau kecil yang perlahan menusuk. "Apa kau sudah hamil?"
Komentar-komentar di komunitas media sosial terus bergulir tanpa henti seperti arus sungai yang liar, semakin deras dan panas seiring dengan berlalunya siang. Aisyah terbaring diam di tempat tidur, cahaya ponsel memantul di wajahnya yang pucat. Jemarinya menggulir layar, matanya terpaku pada setiap kata yang muncul—setiap kalimat adalah ledakan kecil yang menghantam jiwanya, mengoyak rasa tenang yang berusaha ia pertahankan.“Tapi kau lihat sendiri apa yang terjadi pada orang-orang yang menentang Sulistyo, kan? Orang-orang sekelas Nursyid saja terancam bangkrut karena berani melawannya. Apalagi orang kecil seperti kita-kita ini?”Aisyah menelan ludah, telinganya seakan mendengar gema ketakutan yang diucapkan oleh pengguna anonim di layar.“Itu benar! Apa yang bisa kita lakukan? Lihat saja para pendemo kemarin! Dua orang mati, dan jika Sulistyo tidak berbelas kasihan, mungkin lebih banyak lagi yang akan tumbang!”“Berbelas kasihan?” pikir Aisyah de
Kolom komentar di media sosial yang selama ini menjadi arena bagi suara-suara terpendam kini dipenuhi gelombang kesedihan dan kemarahan. Ratusan pesan memenuhi layar, membentuk aliran panjang yang tak henti-hentinya bergerak, mencerminkan hati dan pikiran rakyat yang mendidih."Itu sangat mengerikan!""Benar juga, Aisyah ke mana ya? Dia sudah tidak terlihat lagi di TV atau media sosial mana pun."Setiap pesan seolah-olah menjadi sumbu yang membakar api kepedihan dan kepedulian. Mereka berbicara satu sama lain, menggema dengan rasa ingin tahu yang berbalut kecemasan."Pertanyaan bodoh! Pastinya dia sudah ditahan Sulistyo karena hampir membuatnya dihukum mati.""Aisyah yang malang… Dia hanya ingin membuka mata rakyat, menunjukkan keburukan Sulistyo. Tapi apa daya? Lawannya adalah monster yang menguasai segalanya."Nama Aisyah disebut-sebut dengan penuh kasih dan simpati, seakan-akan dia adalah simbol perjuangan yang terlupakan namu
Aisyah terbangun dari tidur siangnya dengan hati yang gelisah. Udara dalam kamar terasa berat, seolah sesak oleh rahasia dan ketakutan yang tak terlihat. Tangannya terjulur meraih ponsel di meja samping tempat tidur. Dengan jantung yang berdetak cepat, ia membuka layar dan langsung menelusuri beranda media sosial yang dipenuhi berita dan komentar panas tentang Sulistyo.Berita utama yang terpampang di layar membuat matanya melebar. “Tragedi Berdarah: Dua Mahasiswa Gugur di Tangan Presiden Sulistyo.” Setiap kata terasa seperti pukulan keras yang menghantam dadanya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengatur emosi yang berkecamuk, meski jauh di lubuk hati, ia sudah tahu bahwa hal seperti ini akan terjadi.Komentar-komentar dari netizen mengalir deras seperti arus sungai yang tak terbendung, penuh dengan kemarahan dan ketakutan:“Sulistyo benar-benar mengerikan! Dia membunuh dua orang mahasiswa!”“Apa dia sungguh manusia? Dia lebih seperti monste
Meja makan di aula megah itu dipenuhi makanan mewah, setiap piring tersaji dengan detail sempurna. Para pelayan bergerak seperti bayangan, menyajikan hidangan dengan penuh kehormatan. Di sekitar mereka, pejabat tinggi dan orang-orang berpengaruh bercakap-cakap, membicarakan nasib rakyat yang bagi mereka hanyalah angka-angka di atas kertas.Aisyah duduk dengan tenang di sisi Sulistyo, matanya memandang lurus ke depan, tapi pikirannya melayang jauh dari hiruk-pikuk. Orang-orang berlalu-lalang, wajah-wajah yang penuh tipu daya dan senyum palsu yang memuja kekuasaan. Sesekali ia menangkap mata yang menatapnya dengan iri, wajah-wajah wanita yang ingin berada di posisinya. Mereka tidak tahu. Mereka hanya melihat kemewahan dan kemuliaan, bukan rantai tak terlihat yang membelenggu jiwa.Sulistyo menoleh, menatap Aisyah dengan senyum yang tampak hangat, meski ada sesuatu yang dingin dan menguasai di balik matanya. Tangannya terulur, menyibakkan rambut Aisyah dengan lembut,
Sulistyo berdiri di tengah tempat yang dipenuhi teriakan dan jeritan mahasiswa. Tangannya terangkat perlahan, dan dari telapak tangannya, asap hitam mulai merayap keluar, bergerak dengan kehendak yang menyerupai makhluk hidup. Asap itu menyelubungi pintu-pintu dan jendela, menutup semua jalur keluar. Suasana yang sudah mencekam berubah menjadi horor murni."Cepat keluar!" teriaknya, suaranya bergema seperti guruh di langit malam. Mata gelapnya bersinar penuh kebencian. "Jangan membuatku berubah pikiran!"Dengan satu gerakan tegas, asap hitam itu surut, membuka jalan bagi para mahasiswa yang sudah pucat pasi. Mereka berlarian, berhamburan keluar seperti kawanan domba yang diterkam serigala. Tangisan dan teriakan ketakutan mereka menggema, menyayat udara malam yang dingin. Beberapa jatuh tersungkur, sementara yang lain mendorong tanpa ampun demi menyelamatkan nyawa sendiri.Di luar, kamera-kamera televisi tetap menyala, menangkap setiap momen dengan sempurna
Setelah prosesi pelantikan Sulistyo sebagai presiden dan Prasetya sebagai wakil presiden usai, gemuruh tepuk tangan memenuhi istana. Suara riuh itu memantul di dinding-dinding megah, membentuk simfoni kepalsuan yang memekakkan telinga. Para pejabat, tamu undangan, dan tokoh-tokoh penting berdiri dengan senyum penuh sanjungan, meski sebagian besar dari mereka menelan ketakutan yang tak mampu disembunyikan di balik topeng mereka.Di luar gerbang istana, barisan mahasiswa yang dulunya berdiri tegak dengan semangat perjuangan kini tertunduk lesu. Mata mereka kosong, menyimpan trauma dari kekejaman yang baru saja mereka saksikan. Dua dari mereka telah tergeletak tak bernyawa—korban terbaru dari tangan besi Sulistyo, presiden yang kini memegang kendali penuh atas kehidupan mereka. Suara perlawanan yang dulu membakar, kini sirna. Yang tersisa hanya rasa takut yang menggerogoti jiwa.Sulistyo menatap mereka. Senyum puas terpampang di wajahnya, sebuah senyuman yang lebih me
Di tengah kemegahan istana yang dipenuhi sorotan kamera dan kilauan lampu, Sulistyo berdiri dengan tegak di atas podium. Senyum liciknya terukir sempurna, menampilkan gigi-gigi yang seolah siap menerkam siapa saja. Suaranya menggema, mengisi setiap sudut dengan nada kemenangan yang menusuk hati."Hadirin sekalian… Kali ini kita kedatangan tamu yang sangat penting. Sekumpulan anak-anak mahasiswa. Calon-calon pemimpin negara ini di masa depan," katanya, suaranya tegas namun sarat dengan penghinaan terselubung. "Oleh karena itu, mari kita dengarkan pidato dari presiden kalian yang baru dengan saksama!"Dia mengangkat tangannya seolah memerintah dunia untuk tunduk di bawah kakinya. Sorak-sorai dari beberapa orang bayaran bergema, menciptakan ilusi bahwa Sulistyo benar-benar dihormati.Di barisan belakang, Ratri menyaksikan dengan tubuh gemetar. Matanya membelalak, ekspresinya penuh campuran antara ngeri dan tidak percaya. "Sulistyo…" bisiknya, suaranya bergeta