Mayra hanya mengabaikan pesan bundanya dan fokus menyetir namun teleponnya kembali berdering, dengan terpaksa Mayra mengangkat telepon dari bundanya.
[Halo Bun, ada apa?]
[May, kamu di mana sekarang? Tadi anak buah Revan ke sini cari kamu. Kamu bikin masalah apa?]
[Aduh ceritanya panjang Bun, May nggak bisa ceritain sekarang. Nay lagi di jalan ini.]
[Ya sudah kalau begitu. Pokoknya untuk sementara kamu harus pergi dulu dari kota ini Nak, pergi yang jauh demi keamanan kami. Bunda bakal usahain biar Ayah nggak tahu tentang masalah ini.]
[Tapi aku harus ke mana saat ini Bun? Aku bingung tidak punya tujuan!]
[Untuk sementara kamu sembunyi saja di rumah Bibi Nindi. Mereka nggak akan bisa melacak keberadaanmu. Bunda akan menghubungi Bibi Nindi untuk mengabari kedatanganmu, tapi rumahnya di pulau lain kamu nggak apa apa kan? Kamu masih ingat jalannya kan?]
[Iya Bun, aku masih ingat alamatnya. Nggak apa apa Bun yang penting aku aman dulu.]
Anjani mendongak melihat Revan dengan tatapan penuh tanya. "Memangnya ada apa Mas?"Revan menghembuskan nafas kencang. Dia sendiri sudah menantikan momen ini namun terpaksa harus menahannya."Beberapa hari lalu aku sempat melihat konten ceramah tentang pernikahan yang disebabkan karena kecelakaan. Dan tadi aku sempat bertanya pada Penghulu, katanya kita harus mengulang akad lagi setelah kamu melahirkan Jan. Karena jika tidak sama saja kita berbuat zina. Jadi mau tidak mau kita harus menahan dulu," ucapnya lesu.Anjani tersenyum pada Revan. "Tidak apa apa Mas, pernikahan bukan hanya tentang menyalurkan nafsu saja kan?""Terima kasih atas pengertiannya Anjani. Maafkan aku karena telah menikahimu di keadaan yang bahkan kamu sendiri tidak menginginkannya. Tapi aku berjanji akan selalu berusaha melindungi dan membahagiakanmu Anjani," ucap Revan tulus.Akhirnya mereka berdua menghabiskan malam pertama dengan berbagi cerita dan saling mengenal lebih dalam satu sama lain.***Sementara di rum
Raisa dan Arya duduk bersebrangan di meja makan dapur. Arya yang terbiasa sarapan sepagi ini sudah memasak nasi goreng dan telur ceplok. Tak lupa dia juga mengambilkan makanan itu untuk Raisa."Sebenarnya kamu ini siapa? Dan kenapa aku bisa ada di apartemen kamu?" tanya Raisa memecah keheningan. Dia mengamati Arya yang sedang menikmati nasi gorengnya sambil bermain hape."Kenalin, aku Arya. Tadi malam kamu mabuk berat dan aku pikir sebaiknya kamu kubawa ke sini dari pada membahayakan keselamatan kamu kalau aku tinggal di sana. Lagian kamu itu sepertinya wanita baik baik kenapa bisa sampai mampir ke bar? Bahkan sampai menenggak minuman beralkohol sampai mabuk berat. Kalau kamu namanya siapa?""Namaku Raisa. Sebenarnya aku lagi galau banget, lagi kecewa sama seseorang dan melampiaskannya dengan minum di bar," ucap Raisa sambil mengaduk nasi gorengnya."Memangnya kenapa?" tanya Arya yang sebenarnya sudah tahu sedikit saat Raisa mabuk tadi malam."Aku
Raisa masih terdiam mencerna setiap kalimat yang Arya lontarkan, dia berusaha mencari letak kesalahannya sendiri. Dia membenarkan ucapan Arya dalam hati tapi masih gengsi untuk mengakui dan selalu ingin menyangkalnya. "Aku merasa bahagia saja sejauh ini, selama apa yang kuinginkan bisa kugapai dengan uang kenapa tidak? Bahkan aku bisa memisahkan Revan dan Anjani dengan uang. Aku tinggal meminta Papaku melakukan itu." "Kamu itu wanita terhormat, tapi kenapa kamu malah memilih mengejar lelaki yang sudah jelas beristri?" Pertanyaan Arya sukses membungkam Raisa.Raisa hanya diam saja, egonya sangat tersentil dengan pertanyaan Arya barusan. Sedangkan Arya yang harus meeting segera menyelesaikan sarapannya."Renungkan semua pembicaraan kita pagi ini. Aku mau berangkat ke kantor dulu, kalau kau mau pulang silahkan kalau masih mau di sini juga tidak masalah. Ingat, berpikirlah sebelum kau bertindak dan jangan gegabah karena masa depanmu yang akan jadi taruhannya." Sesudah itu Arya meninggal
"Nak, Bibi mohon hentikan kegilaanmu sebelum kamu melangkah terlalu jauh," peringat bibi Nindi."Bibi tak perlu terlalu ikut campur masalahku. Bibi hanya perlu menampungku di sini sampai keadaan kembali aman," bantah Mayra.Bibi Nindi menghembuskan nafasnya kasar, keponakannya ini memang sangat keras kepala. "Ya sudah terserah kau mau berbuat apa, asal kau harus ingat jika penyesalan selalu datang terlambat, Nak!" "Aku tak pernah menyesal atas apa yang sudah aku lakukan!" ***Sementara di seberang sana, Fatma menangis tersedu sedu setelah mendengar percakapan Mayra dengan Nindi. Dia sengaja menelepon Nindi saat sedang bersama Mayra. "Aku gagal mendidik anak, aku gagal," ucapnya dalam kepiluan.Tiba tiba sang suami datang menghampirinya."Bun, kamu kenapa menangis seperti ini?" tanya Bekti sambil merangkul Fatma untuk duduk di sofa."Yah, kita gagal mendidik anak kita Yah. Anak kita sekarang salah jalan dan itu semua terjadi akibat kita memanjakannya.""Sudahlah, jangan disesali. K
Baik Revan maupun Anjani tak segera menjawab pertanyaan Hendra. Bagaimana mereka bisa memikirkan bulan madu kalau merasakan malam pertama saja belum mereka lakukan. Tiba tiba Linda datang dan memotong pembicaraan mereka. "Halah perut udah besar ngapain pakai bulan madu segala. Buang buang duit tahu nggak," ujar Linda ketus."Ma, uang Revan itu nggak akan habis walau mereka bulan madu keliling dunia. Lagian Papa tanyanya ke mereka kenapa Mama yang sewot?" ujar Hendra."Ihh siapa juga yang sewot. Dari pada buat bulan madu meningan noh sumbangjn buat panti asuhan. Lagian modelan miskin Anjani tuh nggak pantas diajak bulan madu," cerca Linda."Linda ...""Mah ... " ucap Hendra, Vina dan Revan bersamaan.Anjani yang sudah terbakar emosi langsung menyahut Linda. " Nyonya Linda yang terhormat, saya memang orang miskin. Saya juga tidak pantas untuk menginjakkan kaki di rumah semewah ini sebagai menantu anda, dan saya cukup sadar diri dengan posisi saya. Tapi maaf semiskin miskinnya saya, say
Sepanjang perjalanan Anjani hanya diam menyandarkan kepalanya ke belakang. Matanya tak henti menatap arah jalanan yang sudah lengang. Revan tahu Anjani sangat sedih dengan perkataan pedas mamanya. "Kita mampir ke taman sebentar mau nggak Jan?" tawar Revan."Ngapain?" tanya Anjani."Cuci mata bentar hehe ... ""Terserah kamu aja."Akhirnya mereka memutuskan mampir ke taman. Sesampainya di taman, mereka duduk di sebuah kursi bersisian. Mereka saling diam belum ada yang membuka percakapan."Aku pengen makan cilok!"Revan langsung menatap ke arah Anjani. "Coba ulangi sekali lagi kamu pengen apa?" tanya Revan mengulang."Aku pengen makan cilok Mas. Tolong cariin ya," ujar Anjani dengan mode puppy eyes."Kamu tahu nggak? Sebenarnya aku sangat membenci cilok tapi demi kamu dan calon bayi kita," ujar Revan mengelus perut Anjani."Jangan lupa yang pedas ya Mas hehe ... "Setelah beberapa saat akhirnya makanan yang diinginkan Anjani tiba. Dengan lahap dia memakan cilok itu hingga membuat Revan
Mata Anjani membelalak, dia ketakutan melihat kedatangan orang itu. "Dika, bukannya kamu sudah ditangkap polisi? Kenapa kamu masih berkeliaran di sini?" tanya Anjani kaget. "Tentu saja aku bisa bebas karena ada yang menjaminku Anjani. Jadi aku bisa terus mengejarmu," ujar Dika menyeringai. Tiba tiba dia dipanggil untuk masuk ke ruangan. Anjani bergegas meninggalkan sendirian di ruang tunggu. Setelah selesai memeriksakan kandungan, dia bergegas pulang. "Semoga Dika nggak ngikutin aku lagi,"gumamnya. Dia diantar oleh sopir utusan Revan. Di perjalanan, dia mengabari Revan kalau Dika sudah bebas. [Mas, tadi aku ketemu Dika waktu periksa. Katanya ada yang menjamin kebebasannya. Aku takut Mas!] [Kamu tenang saja Dek, biar aku yang mengurusnya. Kamu jangan banyak pikiran ya, miss you!] *** Sementara jauh di sana, Revan mengepalkan tangannya setelah tahu Dika bebas. "Kurang ajar, siapa yang berani membebaskan bajingan itu? Aku harus memperketat penjagaan di rumah Anjani." Dia bergeg
Anjani terkekeh mendengar tuduhan Dika. Dia sangat ingin mengikat mulut lemes Dika dengan karet jika dia bisa."Kau itu dari dulu tidak pernah berubah ya Dika, pandai sekali mengarang cerita. Kalau aku memang hanya menginginkan harta, pasti sudah dari dulu aku menjeratmu. Sayangnya aku bukan wanita picik yang gila harta semata." Dika kalah telak mendengar jawaban Anjani. Dia bungkam karena nyatanya Anjani memang wanita baik baik."Dan karena itulah aku menyesal pernah menduakanmu, jika anak dalam perutmu itu yang menjadi penghalangnya bersatunya kita maka aku akan melenyapkan anakmu itu. Tunggu saja waktunya tiba!" ancam Dika menyeringai."Jangan macam macam dengan anakku, Dika. Walau dia hadir karena sebuah tragedi yang tidak kami kehendaki, tapi aku menyayangi darah dagingku. Lebih baik kau pergi dari sini sekarang. Pak, usir dia menjauh dari sini!" Anjani lalu bergegas masuk ke dalam rumah.***Sedangkan Revan hari ini mengunju