Bencana yang tidak disadari
Setelah shalat maghrib di Masjid, Jiddan langsung kembali pulang, ingin mengatakan sesuatu pada istrinya, yang sedari sore tadi ia mencoba melatih dan memilih kata dalam fikirannya yang akan ia sampaikan..
Kini keduanya berada di ruang keluarga, lampu kuning menjadi latar suasana obrolan mereka, tidak ada televisi yang menyala atau HP yang sedang dimainkan. Keduanya santai saling menatap.
“Inda... maaf aku harus mengatakan ini,” Jiddan memulai pembicaraan.
Diambillah tangan putih halus di hadapannya itu, dan menggenggamnya dari punggung tangan. Insting Inda sudah melayang menerka perkataan yang akan diucapkan sang suami.
“Menurut saya, alangkah baiknya kita menuruti perintah Abi, sekarang beliau sudah tidak ada, kitalah yang menggantikannya,” lanjutnya dengan hati-hati.
Jiddan langsung membicarakan inti percakapannya malam ini. Wajah cantik Inda mulai menangkap segala isi dan maksud dari perkataan suaminya yang merupakan keinginan mertuanya.
“Apa itu artinya mimpi kita akan berhenti di sini?” tanyanya mengernyitkan dahi.
“Tidak begitu sayang, pesantren ini membutuhkan pemimpin, akulah yang dipinta Abi untuk menggantikannya, tidak mungkin aku meninggalkannya begitu saja, Umi pun sudah mulai tua,” jelasnya mendapati wajah istrinya yang berubah muram, ia sangat mengetahui sekali perasaan istrinya.
“Belum saatnya mas kita memimpin pesantren, Al-Hidayah itu terlalu besar untuk dipimpin seorang yang hanya lulusan S1 saja Mas, terlalu beresiko, aku tidak siap!” tolaknya
“Aku harus bagaimana? Memang ini yang Abi perintahkan padaku,” tegas Jiddan.
“Itu yang aku tidak suka darimu Mas, kamu tidak pernah teguh dalam prinsipmu, dari awal kita menikah, bukankah kita sudah saling menguatkan prinsip kita untuk tetap melanjutkan S2 di luar negri?” beber Inda yang kian kecewa dengan tanggapan Jiddan.
“Tapi sekarang keadaannya berbeda Nda, Abi yang berpesan begitu! aku tidak mampu untuk menolaknya, ini wasiatnya!” cecar Jiddan.
“Aku sudah menduga kamu akan terbawa arus keadaan tanpa memegang erat komitmen kita Mas,” keluhnya sambil memalingkan wajahnya ke samping dengan pelan.
“Oke kalau begitu, aku saja yang akan pergi melanjutkan S2, sendiri!” kekeh Inda lalu beranjak dari hadapan Jiddan.
Pukul 14: 20 sore, Inda sudah bersiap untuk pergi ke rumah sahabatnya, sekalian akan pergi ke toko buku.
TOK! TOK! TOK!
“Ren...!” suara lirih Inda terdengar dari balik pintu.
“Yaaa... Inda,” sahut Rena sahabatnya dan mempersilahkan Inda masuk.
Keduanya berada di ruang TV, menyeruput green tea kesukaan, dan bercerita. Rena mengetahui gelagat yang terpampang di wajah sahabatnya, ada kekecewaan yang baru saja terjadi dalam hatinya.
“Ren... sepertinya aku tidak bisa melanjutkan S2 ku di Mesir Ren,” desis Inda sedikit putus asa.
“Hah? kenapa bisa? Kamu sudah terdaftar di sana Nda!” sahut Naya terkejut.
“Kita, aku dan Mas Jiddan sudah terdaftar di sana. Tapi entahlah mertuaku berpesan agar Jiddan tetap di sini membimbing pesantren,” ujarnya kecewa.
Mereka menghela nafas panjang, karena melihat rancangan hidup Inda mulai kusut.
“Beasiswa di sana itu adalah keberuntungan Nda, apalagi kalian berdua yang diterima,” Rena memberi nasehat pada sahabatnya
“Tapi ya Nda, Istri itu harus ikut suami, meski keinginanmu besar ingin ke sana,” ujarnya kembali menasehati.
Inda hanya tertegun merenungi.
***
“Mas aku ingin bicara dengan Umi! Aku akan izin pada Umi untuk berangkat kuliah S2 ku di Mesir!” ucap Inda ketus.
Ia sadar bahwa keputusannya akan menimbulkan banyak resiko, terutama pernikahannya. Ia akan meninggalkan suami tercintanya. jika benar ia saja yang akan berangkat, lalu bagaimana kedepannya? inda tetap menjadi wanita yang keras kepala, kehidupan masa depan nanti ia fikirkan lagi, itulah kecerobohannya.
“Kamu akan meninggalkanku?” tanya Jiddan kecewa.
“Untuk ilmu, Mas, aku tidak bisa hanya sampai di sini, perjalananku masih cukup panjang, umurku masih 23 tahun!” balas Inda menangkis pertanyaan Jiddan yang seakan melarangnya.
“Nda, mengertilah, pernikahan tidak akan aman jika saling berjauhan, kamu tahu itu kan. Sementara menuntut ilmu bisa di mana saja, kita lanjutkan S2 di sini bersama,” suara Jiddan lirih, memahamkan wanita yang amat ia cintai di hadapannya.
“Kalau kamu pergi, siapa yang akan kuajak diskusi jika aku membutuhkan sesorang untuk itu. Jika kamu sendirian di sana, tanpa aku, siapa yang akan menjagamu di sana? Di negara Timur Tengah itu tidak mudah, kamu sudah hafal itu Nda, dengan tabi’at mereka dan hiruk pikuk kehidupannya,” lanjutnya mengingatkan istri tercintanya.
Ditataplah dalam-dalam wajah tampan nan bercahaya yang tepat berada dihadapannya , memberikan tatapan hangat dan meyakinkan. Ke dua tangan mengatup di wajah, lalu ibu jari menyeka pipi tanpa air mata tersebut.
“Sayang... aku akan baik-baik saja, aku akan kembali untukmu, percayakan aku hal itu oke? kita jalani sebagaimana sebelum kita menikah, itu akan lebih mudah,” pinta Inda seraya mengecup punggung tangan suaminya.
Sementara Jiddan masih tenggelam dalam sorot matanya yang dalam, dihiasi dengan bulu mata lentik nan tebal. Meluluhkan hati siapa pun yang menatapnya. Sungguh sempurna penciptaan wanita di hadapannya ini.
‘Inikah caramu Nda, membuat aku nyaris tidak bisa mengatakan tidak, bahkan untuk hal seberat ini. Tegakah kamu membuatku menunggu -lagi- seperti sebelum kita menikah?’ batin Jiddan.
Ada rasa tak yakin dengan keputusan ini, namun di sisi lain ia meridhoi istrinya untuk menuntut ilmu. Perasaan itu berkecamuk dalam dadanya.
“Aku akan berangkat bersama Rena bulan depan Mas, jika kamu mengizinkan. Dan tinggal bersama dia di rumah sewaannya. Aku juga akan segera pulang Mas, setelah ujian diploma selesai, aku akan mengerjakan tesis di Indonesia. Atau aku akan pulang sesuka yang Mas inginkan, setahun sekali juga bisa Mas,” kekeh Inda melanjutkan.
“Jangan berhubungan dengan lelaki lain meski itu untuk pelajaran ya! atau hal apapun itu!” seru Jiddan menampakkan aura ke setujuannya.
Inda tersenyum merekah, matanya mengedip lalu mendelik merespon bahagia perkataan yang memiliki aura ke setujuan suaminya itu. Yes Inda akan kembali belajar dan belajar.
Sebulan kemudian, pukul 6 pagi, hari ini adalah hari keberangkatan Inda ke negri Mesir bersama Rena sahabatnya. Meski keberangkatan Inda memunculkan banyak kontroversi di kalangan keluarganya, namun ini adalah suatu keputusan antara suami dan istri, antara prinsip dan tujuan bersama. Maka biarlah mereka yang menjalani semua, tanpa pengalaman sendiri mereka tidak akan percaya bahwa resiko setiap keputusan itu memang ada.
“Pak, agak cepat ya pak, kami take off jam 9!” Pinta Inda gugup karena perjalanan menuju bandara dari rumahnya memakan waktu 1 jam, belum lagi kena macet. Mereka bisa terlambat.
Benar sekali dugaan semua masyarakat, bahwa di antara jam itu kemungkinan besar mereka terjebak macet. Matahari mulai beranjak ke atas kepala, menghangatkan mereka yang bermotor, menyemburatkan cahaya melalui jendela mereka yang bermobil.
Inda mulai panik, celingak-celinguk dari jendela kanan dan kedepan, memastikan apakah kemacetan ini akan berlangsung lama. Bibir indahnya terus berdo’a, dadanya berdegup kecang.
Hari menunjukkan pukul 8:10, itu artinya kurang dari satu jam pesawat akan lepas landas. Tegang sekali, bukan hanya dirinya, tapi seisi mobil pun ikut dalam ketegangannya.“Tenang Nda, waktu masih lama, paling sebentar lagi sudah tidak macet,” suara lirih Jiddan dari kursi depan menenangkan Inda yang gugup setengah mati.“Memang ada apa sih di depan itu, ko sampai tidak bisa jalan sama sekali?” tanya mamah Inda yang duduk di sebelahnya. “Entah” lalu dijawab sama dengan supir dan umi Jiddan.20 menit berada dalam kemacetan, akhirnya mereka terbebas dan melaju dengan cepat seperti anak burung yang di lepas dari sangkarnya.“Oh ternyata truk angkutan barang yang mogok toh!” kata umi Jiddan, serempak sorot mata mereka tertuju pada truk yang di gerek dengan mobil lain di depannya.***Inda harus mempercepat langkahnya, ia hanya membawa 1 koper besar dan kecil untuk di bagasi dan 1 koper kecil lagi untuk di kabin, untuk mempermudah perjalanannya.Lima orang tersisa yang mengantri di sana, s
Mereka sudah sampai pada permukaan pukul 09: 45. Suasana airport selalu ramai, mereka berdiri di area masjid hendak memesan uber. Namun belum berhasil mereka memesan uber, datang laki-laki paruh baya menawarkan tumpangan.“Assalamu’alaikum,” bapak itu mengucapkan salam, dengan logat penduduk Mesir pada umumnya.“Wa'alaikumussalam,” jawab mereka sambil memandangi laki-laki paruh baya itu.“Apa kalian mau naik taxi saya? Hanya 30 pound saja untuk kalian,” lanjut bapak itu menawarkan taxinya dengan bayaran yang kurang masuk akal, karena hanya separuh yang diminta dari harga biasa yang ditarifkan oleh supir taxi lain.Inda dan Rena saling berpandangan, tidak yakin dengan bapak itu, mereka hanya tersenyum dan menolak halus tawaran laki-laki yang bertubuh tegap dan masih segar bugar itu.“tenang, kalian jangan takut, saya Amu Isom, saya biasa memberikan tumpangan pada orang asing seperti kalian ko,” bapak itu meyakinkan mereka karena bukan hanya mereka yang pernah menolaknya, kebanyakan ala
Di rumah umi, di meja makan, beberapa menu makan malam sudah lengkap tersaji. Hanya ada Jiddan, umi dan adik bungsunya di rumah megah itu. Ia kini tinggal bersama ibundanya, jika sebelumnya ia mengontrak bersama Inda di kawasan tak jauh dari pesantren.“Ayo makan dulu Nang, Sofia,” seru umi Rukoyyah pada Jiddan yang duduk di sofa ruang tamu sedang membaca buku, dan adiknya yang sedang bersantai dengan ponselnya.Mereka bergegas ke meja makan. Suasana terasa amat ganjil karena tidak adanya kyai Nur juga Inda yang sudah menjadi keluarga ini, kedua adik laki-lakinya pun tengah merantau di Jogja sejak 2 tahun lalu.“Pondok putri bagaimana Nang? Semua baik-baik saja?” tanya umi di sela-sela makan.“Aman Mi, Jiddan mendapat bimbingan penuh dari Pakde Khairul,” jawabnya diiringi suapan nasi ke mulutnya.“Besok pagi mereka mengadakan acara pentas seni, dihadiri oleh beberapa guru,” jelasnya.“Inda bagaimana? sudah menghubunginya belum?” tanya umi ingin mengetahui kabar menantunya.“Belum ada
“Ren... keamanan PPMI!” senggol Inda memberikan ponselnya pada Rena. Suara itu sungguh mengejutkan, hingga ia tak mampu untuk menjawabnya. “J 3251 nomor platnya ka, taxi putih, supirnya memakai rompi hitam. Kami berada di belakang mobil pribadi merah ka,” beber Rena, sambil menoleh ke arah belakang mencari sang penelpon. Beberapa menit kemudian muncul dua lelaki berhelm, dengan tubuh dibalut jaket kulit, memakai motor besar mencoba menyusul taxi mereka. Sadar mobil mereka diikuti, sang supir pun tidak tinggal diam, bereaksi menghalau setir ke kanan, searah dengan pengendara lain yang berada di sisi kanan. Mereka berhenti tepat di halaman toko pizza Abu Ali, berbarengan dengan motor dua pria di belakang. “Ada apa kalian mengikuti saya?” tanya bapak paruh baya itu yang sudah berada di hadapan mereka. Diikuti dengan keluarnya dua wanita dari dalam mobil. “Kami dari ketua keamanan mahasiswa Indonesia, telah dilaporkan bahwa bapak membawa dua mahasiswi kami dan memaksa meminjam paspo
Pria itu hanya terdiam menatap, mencerna apa yang dikatakan Inda.“Maaf, saya dari Singapur, saya hanya bisa berbahasa Inggris dan Arab saja,” pria itu tersenyum ramah pada Inda. Pria tampan, dengan lesung pipit di wajah itu, beberapa detik memamerkan sederet gigi putihnya, melihat perubahan wajah Inda yang mulai merona ke merahan karena malu.“Oh... maaf sekali, Saya kira kamu orang Indonesia,” wajahnya semakin merona.“Tidak apa-apa, Indonesia dan Singapur itu sama-sama Asia,” jawab pria itu mengakrabi dua wanita yang tersipu dihadapannya.“Kalau begitu kami pergi dulu, thank you ya,” izin Inda tidak mau berlama-lama malu di hadapan pria itu.Mereka membalikkan badan dan berlalu menyeberangi jalan. Rena masih terkekeh melihat tingkah Inda yang salah orang barusan. Sudah faham sahabatnya itu memang sembrono dalam memilih tindakan.“Hahaha... makannya Inda, tanya dulu, orang asing di kota ini kan bukan hanya Indonesia saja,” Rena menggoda dan tertawa lepas.“Ya mana ku tahu, lagian d
Bus merah melaju dengan kecepatan rata-rata, membawa Inda dan Rena ke suatu perkumpulan komunitas musik anak rantau yang berada jauh dari tempat tinggal mereka. Lagi-lagi hembusan angin menerpa wajah cantik di balik jendela, memandangi hiruk pikuk aktifitas penduduk di tepi jalan. Ada yang membawa sebongkah barang di atas punggungnya, yang sedang memilih-milih barang rumahtangga, hingga pejalan kaki yang hendak kembali ke rumahnya masing-masing. Rasa rindu tiba-tiba menyerbu kalbu, tembus mendobrak dinding kokoh hingga ambruk seluruh pertahanan rindu yang kian terjaga sempurna. [Mas... aku merinduimu] pesan chat sukses terkirim. [Bertahanlah, maksimalkan waktumu untuk menjemput keinginanmu] balas Jiddan menguatkan, namun sama rapuhnya dengan sang istri. Butiran bening tak sengaja terjatuh meninggalkan garis halus di pipi. Perjalanan malam kota ini selalu mengisahkan ke syahduan, samping jendela memang menjadi tempat favorit Inda saat menaiki bus, bukan hanya pemandangan dan angin
Waktu seakan berjalan melambat, memberi kesempatan untuk dua netra bertemu pada titik tengah pandangan. Ada desiran hebat dalam dada pria gagah itu. Bergemuruh meluncurkan kerinduan di setiap pori-pori tubuh. “Kakinya terkilir saat diinjak dari belakang oleh penjahat di bus tadi,” sahut Rena. “Naik motor saja bersama saya kalau begitu,” ajak Zein. “Eh? tidak-tidak, kami naik taxi saja Zein,” menolak tawaran Zein karena ia tidak bisa bebas seperti dulu, ada kepercayaan Jiddan yang harus ia jaga. Namun sepertinya Zein tidak tahu kalau dirinya sudah menikah dengan pria lain. “Oke saya akan mendampingi kalian di taxi, dan Firhan tolong kamu yang pakai motor ya,” pinta Zein menengahi. *** “Sepertinya aku tidak bisa tanpamu Mas,” air mata yang kian menggenang kini tumpah tak terbendung. “Istriku... apa yang menjadi kekhawatiranku kini telah terjadi. Bukankah aku telah memperingatimu?” lagi-lagi Jiddan berhasil meledakkan tangis seorang wanita meski dengan suara lembutnya. “Jika tida
“Mas, siapa yang duduk di kursi belakang Mas?” tanya Inda mengernyitkan dahi, karena tahu wanita itu bukanlah ibu mertuanya.“Ketua pondok putri, dia ikut rekaman siang tadi,” katanya mengenalkan Naya.“Ohh...,” jawabnya singkat tak peduli.“Tadi mau bicara apa?” lanjutnya.“Nanti saja kalau begitu, kalau sudah sampai rumah,” kilahnya.Mentari senja mulai terbenam, menyisakan segaris jingga di langit kelam. Mengiringi Fortuner yang memasuki gerbang pesantren.“Silahkan Pak Yai, saya sudah menyiapkan teh anget untuk Pak Yai,” sambut wanita ayu kala sang kyai telah memasuki rumah.“Terimakasih Kana,” ucap Jiddan sambil berlalu.‘Hah? beliau memanggil namaku tanpa sebutan Mbak? artinya Pak Yai sudah menganggapku seorang wanita yang berharga’ gumamnya bahagia.***“Festival music Nusantara dimajukan acaranya bulan September Mas,” ujarnya lirih.“Lalu bagaimana kepulanganmu?” selidik Jiddan“Aku bingung Mas, kalau pulang pasti tidak bisa lama di sana, awal November sudah harus balik ke sin
Jum’at, 13 maret 2023. Acara akad dan walimatul ‘ursy akan dilaksanakan. Semua persiapan selama tiga minggu lalu telah berbuah pada hari ini.Koordinasi pengurus yang sangat solit hingga terlihat begitu memuaskan. Mulai dari pengaturan para santri, tata letak dekorasi, serta sususan acara telah siap dimulai pada detik ini.Acara sakral, yaitu pengucapan janji suci, akan segera dimulai. Para tamu agung mulai berbondong menuju masjid dengan pelataran yang sangan indah. Dikhiasi bunga-bunga cantik bernuansa putih hijau, kursi-kursi yang berjejer rapi berselimutkan putih, karpet merah yang terbentang Panjang hingga tangga masjid yang sudah di dekor lengkungan bunga di depannya sebagai tempat penjemputan mempelai wanita saat ijab qabul telah dilantunkan. Semua tersusun rapi dan sangat khidmat.“Jidan sudah siap?” tanya penghulu.“Insyallah siap,” jawabnya mantap.“Ankahtuka wazawwajtuka Inayatu Shalihah binti H. Hasan Asy-Syadzuli bi mahril madzkur haaaalan,”“Qobiltu nikahaha wa tazwijaha
“Sofi,” panggil Inda yang sangat mengerti apa yang sedang terjadi pada Sofia.“Ya Ka,” Sofia menoleh masih dengan wajah lesunya.“Dengarlah apa yang dikatakan oleh hatimu,” titah Inda tiba-tiba.Sofia hanya mengangguk lalu kembali berlalu.“Banyak yang menderita hatinya di rumah ini karena aku,” ucap Inda menyesal.“Kalau saja Ustadzah Inda saat itu tidak berterus terang memberitahu perasaan Kana pada Pak Kyai. Mungkin sampai kapanpun Kana akan terjerat oleh rasa yang membingungkan itu, dan menjadi benalu di rumah tangga Ustadzah. Karena untuk pergi dari pesantren ini pun Kana tidak mampu. Ternyata, cinta Kana pada pesantren ini, ketulusan Kana pada Umi dan Abi lebih besar dari apapun,”Inda terdiam, tertegun mendengar ucapan Kana.“Hingga akhirnya, Kana menemukan hikmah saat Kana berada di kampung. Seorang pria yang selama ini hanya sibuk dalam mempertaruhkan nyawa seseorang datang untuk menyatakan perasaannya dan telah berhasil membuka fikiran Kana dan memberi ruang padanya,”“Janga
“Tapi…”“Kenapa?”“Naya malu Pak Kyai,”“Malu pada siapa?”“Anak santri. Mereka belum mengetahui acara ini. Dengan pergi berdua seperti ini, Naya khawatir ini akan menjadi fitnah,”Jidan menghela napas memperbaiki posisi duduknya berhadapan dengan Naya.“Kana,” panggil Jidan.“Baik Pak Kyai,” sahut Kana yang muncul dari ruang keluarga.“Tolong kumpulkan semua pengurus disini sekarang,”“Sekarang Pak Kyai?” tanya Kana memastikan.“Ya,”“Nggeh Pak Kyai,” angguk Kana lalu bergegas keluar mengerjakan perintah Jidan.Naya terbelalak mendengar ucapan Jidan yang tiba-tiba memanggil semua pengurus untuk berkumpul disini. Keputusan itu, pasti karena ucapannya barusan yang merasa malu karena para santri belum ada yang tahu.“Pak Kyai?” suaranya lirih tak percaya.“Kita cukup memberitahu pengurus saja kan?”“Kenapa tiba-tiba begini Pak Kyai? Pak Kyai semakin membuat Naya malu,” ujarnya mengerucutkan bibir manisnya.“Siap-siap saja dengan tanggapan mereka nanti,”Mendengar kalimat itu, wajah Naya
Dua hari kemudian, kondisi bayi dalam kandungan Inda dinyatakan normal, dan sudah diperbolehkan pulang.Sore hari, Inda dan Jidan sudah sampai di halaman pesantren. Suasana yang tenang, beberapa kegiatan masih berlangsung. Ada yang sedang menghafal di gazebo, ada yang sedang gotong royong membersihkan kamar masing-masing, dan ada juga yang sedang mengikuti ekstrakulikuler karena hari ini adalah hari minggu, dimana kegiatan kesenian dijadwalkan pada hari itu sebagai waktu refreshing bagi para santri.Juga, di area lahan kosong yang terletak di samping rumah pengasuh terlihat Pak Maman sedang mengkordinasi para pegawai yang mulai merancang Pembangunan sebuah rumah yang akan dihadiahkan untuk Naya nanti.“Apa Naya sudah memilih desain interiornya Mas?” tanya Inda yang melihat-lihat area tersebut.“Dia masih melihat-lihat katalog yang diberikan arsitek kemarin Sayang,” jawab Jidan santai.“Assalamu’alaikum Ustadzah?” sapa para santri yang berlalu didekatnya dan tak lupa mereka menyalami J
Sungguh ingin ia mempertahankan sang mantan agar dapat kembali padanya. Sudah sejauh ini ia memperjuangkan sang kekasih, berharap masih ada ruang baginya untuk mendapat cinta yang selama ini telah ia pupuk hanya untuk wanita pemilik wajah anggun nan cantik, yang matanya mampu meluluh lantakkan hati yang memandangnya, yang senyumnya mampu meruntuhkan benteng pertahanan.‘In, siapa yang akan menutup luka yang tergores dalam di hati ini In? Aku masih menyayangimu bahkan entah sampai kapan. Bisakah kamu melihat itu In? aku akan selalu menunggumu’ Pemandangan di balik jendela bus menuju kota Jakarta terasa sedang mengiba ikut merasakan pilunya cinta seorang pria yang baru saja menerobos masuk dalam kehidupan sang mantan. Dengan penuh resiko dan bahaya.KLING KLINGPonsel Zein berbunyi. Panggilan dari Firhan sang wakil keamanan.“Halo assalamu’alaikum Han,”“wa’alaikumussalam Zein,” jawab Firhan tergesa. “Zein gawat Zein. Ada pengeroyokan antar kekeluargaan di distrik 10 Zein,”Zein terteg
TAK TAK TAKLangkah kaki terdengar gagah mendekat memasuki ruang tunggu.“Sofi. Bagaimana keadaan Kakak?” panik Jidan.“Kak Inda masih harus istirahat Kak,” jawab Sofia.Zein hanya melirik sinis pada Jidan dan Naya yang baru saja sampai di ruangan itu. Jidan melangkah sampai di depan Zein yang hanya duduk tak menghiraukan kedatangan Jidan.“Silahkan tinggalkan ruangan ini,” perintah Jidan pada Zein.Zein beranjak dari kursinya dan memandang tajam pada lawan bicaranya.“Jika kamu tidak bisa membahagiakannya. Lepaskan dia dari jerat hidupmu yang rumit itu!” ucapannya penuh penekanan dan mengintimidasi.“Apa hak kamu berbicara seperti itu hah?” cecar Jidan.“Aku. Tidak akan pernah menyerah untuk ini! Ingat itu!”“CUKUP!” teriak Sofia menghentikan perdebatan keduanya. “Jika masih ada yang belum selesai antara kalian, kenapa kamu meminta aku untuk memulai suatu hubungan Kak Zein? Kenapa?” derai air mata tak sanggup untuk dibendung. Kenyataan itu cukup menyakitkan bagi Sofia yang hanya menj
Pagi yang segar di hari sabtu, Inda memutuskan untuk memulai harinya dengan menyirami tanaman bunga di halaman depan rumah. Para santri pun yang hendak masuk ke kelas berlalu Lalang menyapanya dengan santun, beberapa mereka menyalami Inda dengan takzim.“Kamu tau gak Ser? Kemarin Pak Kyai pergi sama Ka Naya loh!”“Kemana ya kira-kita?”“Kalo akau perhatiin ya, akhir-akhir ini Ka Naya selalu dipanggil ke rumah pengasuh tau,”Tak sengaja Inda mendengar percakapan segerombol santriwati sedang membicarakan suaminya dengan ketua putri. Rasanya tidak etis sekali ada pembicaraan seperti itu di pesantren ini, terlebih itu menjurus kepada fitnah nantinya.Larut dalam fikiran, seketika perut Inda terasa nyeri seperti ada yang meremasnya dengan kuat. Inda merintih kesakitan, wajahnya memucat, tubuhnya membungkuk menahan sakit. Selang air yang semula di tangan, ia jatuhkan seketika.Dua oran santriwati yang melihat Inda hampir terjatuh di tanah, segera berlari untuk menopang tubuh Inda. Seluruh s
“Kyai?” panggil Naya.“Ya?” sahut Jidan.“Apa Ustadzah Inda telah menyiapkan semua isi tas Pak Kyai?” tanya Naya yang masih terkesima dengan ketelatenan Inda dalam menyiapkan perjalanan Jidan.“Iya. Kenapa?”“Masyaallah sekali Pak Kyai, sangat lengkap dan rapi,” puji Naya.“Kamu sudah membuka semua bagian?” tanya Jidan memastikan. Naya menggeleng.“Di bagian paling besar, itu berisi pakaian, termasuk handuk kecil dan sapu tangan, di bagian ke tiga, ada perlengkapan untuk perawatan mulut. Dan yang paling kecil ini, Inda berpesan,”kalau ada receh kembalian, taruh disini ya Mas, biar dompet Mas tidak gembung” Begitu katanya,”Naya tersenyum mendengar penjelasan Jidan, kemudian menunduk merasa insecure denga napa yang dilakukan Inda untuk Jidan. Dia tidak yakin bahwa dirinya akan seperfeksionis Inda atau malah menyusahkan mereka.“Kamu, tetaplah jadi dirimu sendiri. Aku akan mencintaimu dengan apa adanya dirimu,” kata Jidan melihat perubahan sikap Naya.“Terimakasih Pak Kyai,” ucap Naya
Waktu itu telah tiba. Hari dimana Jidan dan Inda akan segera berangkat menemui ibunda Naya.Jam dinding menunjukkan pukul delapan pagi, seperti jadwal yang sudah ditentukan, Inda akan pergi untuk memeriksakan kehamilannya terlebih dahulu Bersama Jidan.Setelah mengantri menunggu giliran, akhirnya Inda dan Jidan sudah berada di ruangan dan akan segera dilakukan USG yang ditangani langsung oleh bidan Laila.“Sepertinya Ustadzah terlalu banyak fikiran ya?” tebak Laila.“Tidak juga sih Dok, biasa saja, tidak ada yang saya fikirkan berlebihan,” tanggapan Inda mencoba mengelak.“Harus badrest dulu ya Ustadzah. Jangan terlalu melakukan yang berat-berat dulu,”“Apa melakukan perjalanan jauh akan berpengaruh pada bayi kami Dok?”“Kemana?”“Bandung misalnya,”“Emmm. Sepertinya tidak bisa Ustadzah, khawatir terjadi sesuatu pada bayinya nanti,”Inda hanya melirik pada sang suami. Mengisyaratkan hari ini ia tidak akan bisa menemani sang suami.“Baik kalau begitu Dok, terimakasih ya Dok,” ucap Jida