Di rumah umi, di meja makan, beberapa menu makan malam sudah lengkap tersaji. Hanya ada Jiddan, umi dan adik bungsunya di rumah megah itu. Ia kini tinggal bersama ibundanya, jika sebelumnya ia mengontrak bersama Inda di kawasan tak jauh dari pesantren.
“Ayo makan dulu Nang, Sofia,” seru umi Rukoyyah pada Jiddan yang duduk di sofa ruang tamu sedang membaca buku, dan adiknya yang sedang bersantai dengan ponselnya.
Mereka bergegas ke meja makan. Suasana terasa amat ganjil karena tidak adanya kyai Nur juga Inda yang sudah menjadi keluarga ini, kedua adik laki-lakinya pun tengah merantau di Jogja sejak 2 tahun lalu.
“Pondok putri bagaimana Nang? Semua baik-baik saja?” tanya umi di sela-sela makan.
“Aman Mi, Jiddan mendapat bimbingan penuh dari Pakde Khairul,” jawabnya diiringi suapan nasi ke mulutnya.
“Besok pagi mereka mengadakan acara pentas seni, dihadiri oleh beberapa guru,” jelasnya.
“Inda bagaimana? sudah menghubunginya belum?” tanya umi ingin mengetahui kabar menantunya.
“Belum ada balasan mi, tidak tau kenapa, terakhir mengabari saat transit di Dubai,” jawabnya kebingungan.
“Loh ko kamu diam saja Nang, hubungi temanmu yang di Mesir Nang, Istrimu sudah sampai rumahnya belum,” protes uminya.
“Mungkin HPnya lowbet Mi atau mereka memperbaharui nomor Mesirnya dulu,” ia mencoba berfikir positif, mendengar kekhawatiran uminya, ia pun ikut khawatir, namun ditepisnya perasaan itu.
***
Pentas seni.
Panggung acara yang telah didesain dengan beground lukisan abstrak berwarna-warni karya santriwati sudah terpampang di halaman sekolah. Begitu juga dengan bangku-bangku untuk para tamu undangan, telah tertata rapi beberapa meter dari depan panggung.
Di sela-sela acara yang sudah berlangsung setengah jam sejak pukul 08:00, terhenti sejenak menyambut kedatangan sang kyai muda.
Ternyata Jiddan terlambat setengah jam dalam acara ini. Semua santriwati berbaris hendak menyalami Jiddan yang merupakan kyai baru mereka.
Dadanya berdegup kencang, ini adalah pertama kalinya ia menghadiri acara santri, bukan hanya ikut-ikutan dengan abinya seperti dulu. Namun, sekarang ia yang menjadi pusat perhatian, menggantikan posisi abinya, disalami oleh ratusan santri.
“Assalamu’alaikum pak Yai,” ucap beberapa santri saat bersalaman.
“W*’alaikumussalam,” ucapan-ucapan itu ia jawab dengan berwibawa, dengan senyum yang selalu ia tampilkan dihadapan santri-santrinya.
Pandangannya terhenti pada satu santri yang berbeda cara bersalamannya dengan santriwati lain.
Ia memilih bersalaman dengan mengatupkan tangan tanpa bersentuhan sedikitpun dengan sang kyai, ia menundukkan pandangannya dan berlalu dari hadapan Jiddan.
‘Berbeda sekali!’ gumamnya takjub melihat satu santriwati itu, wajahnya bersih, alisnya tebal, manis sekali.
Deg!
Iya sudah berada di sofa panjang nan empuk berwarna cream ditemani oleh dua orang kepercayaan abinya. Sofa kehormatan yang dulu diduduki khusus untuk abinya, kali ini ia yang berada di posisi tersebut.
Tidak menyangka, ternyata bukan hanya duduk, namun membawa segenap tanggung jawab yang amat besar di sana. Membawa nama baik abinya sebagai sang kyai.
“Permisi pak Kyai, Ustadz. Silahkan diminum tehnya,” ujar santriwati yang sedang menyediakan teh di meja mereka.
“Terimakasih,” ucap Jiddan yang terkesima dengan wanita pemilik alis tebal itu. Sekilas pandang mereka bertemu.
“Santriwati itu Naya namanya, dia sudah 2 tahun mengabdi sebagai ketua pondok putri di sini,” celetuk pakde Khairul yang menyadari Jiddan memandangi wanita yang sudah meninggalkan meja mereka itu.
“Oh... itu ketua putrinya, selama ini saya hanya tau nama saja Pakde, belum pernah terjun langsung ke pondok putri,” beber Jiddan sambil menyeruput teh buatan santriwati itu.
“Manis,” celetuknya.
“Dia memang manis, tapi Pakde tidak punya anak laki-laki seumuran dia,” terkekeh memalingkan pernyataan Jiddan yang sebenarnya memuji teh yang ia minum.
“Eh? Maksud saya tehnya Pakde,” Jiddan langsung tertawa mendengar candaan Pakdenya, ustadz Hanan yang berada di sebelah kirinya pun ikut tertawa.
***
Di kamar yang cukup luas, sang kyai muda merebahkan dirinya di bad ranjang, bersantai sambil menunggu balasan dari sang istri. Matanya memandang ke arah jendela yang terletak di sebelah ranjangnya tersebut. Memandangi pepohonan yang menari seiring hembusan angin yang menerpa.
Kamar itu adalah kamar mereka berdua sebelum mereka mengontrak, meja rias yang terletak di sudut kamar mengingatkan ia akan istrinya tercinta.
Menuliskan sebuah prinsip dan tujuan hidupnya di meja serbaguna itu, istrinya memang sangat perfectionis dalam menjalani hidup, bahkan jadwal hariannya pun ia tulis sedemikian rapi. Baginya, tanpa ada buku journal kehidupannya itu, hari-harinya akan terasa berantakan bagai orang yang berjalan tak tau arah.
Bayangan ia tengah memeluk istrinya dari belakang pun muncul seketika, kala istrinya sedang memandangi pepohonan di seberang jendela sana. Dengan rambut ikal panjang sepinggang mengenakan blous pink berbahan ringan nan lembut.
‘aku amat merinduimu Nda, juga harum lembut parfum ana sui dream yang selalu membalut tubuhmu, menebar di setiap pelosok kamar ini hingga aku melayang bersama ke indahan dirimu’ gumamnya membayangkan betapa indahnya kala bersama sang istri di kamar itu.
Di ambillah botol parfum bulat berwarna pink di atas meja rias sang istri dan menyemprotkannya di udara.
‘lembut sekali, seperti dirimu, namun sangat berani’ gumamnya lagi dalam hati
Kling... Kling... Kling...
Pandangannya terarah kepada ponselnya yang berbunyi, tanda panggilan dari sang istri melalui messanger.
“Assalamu’alaikum Mas,” ucap Inda dari balik telpon.
“W*’alaikumussalam Nda, bagaimana keadaannya di sana? kenapa lama sekali mengabari?” pertanyaannya menandakan kekhawatiran pada sang istri tercinta.
“Maaf ya Mas. Setelah tiba di Mesir, banyak sekali masalah yang berdatangan Mas,” keluhnya.
“Masalah? ada apa? kamu baik-baik saja kan?” tanya Jiddan penasaran diiringi dengan rasa khawatir.
“Iya Mas, sejak di bandara...” Inda menceritakan kejadian-kejadian yang menimpanya pada perjalanannya kali ini.
“Astaghfirullahal ‘adzim,” Jiddan tertegun, merasa iba mendengar cerita sang istri di balik telpon tersebut.
‘apa semua itu terjadi karena ke tidak ridhoanku sejak dia berangkat ke sana? bahkan masalah itu bermulai sejak kami terkena macet di jalan menuju bandara?’ ia mulai merasakan bahwa penyebab kesulitan istri tercintanya itu karena perasaan tidak yakinnya pada Inda.
“Maaf kan aku Inda, sejak hari keberangkatanmu, hatiku selalu menolak seakan ingin berkata jangan, namun, di sisi lain, aku tidak ingin mengecewakanmu,” sesalnya karena telah membuat istrinya berada dalam bahaya.
“Mas, aku telah berjanji padamu, aku akan selalu mencintaimu, dan akan kembali padamu, yakinlah itu Mas,” kembali Inda meyakinkan sang suami.
“Bagaimana untuk aku yakin, sedangkan istriku tidak dalam penjagaanku,” ratapnya kembali menyesali perpisahan itu.
“Dalam do’a Mas, tolong jaga aku dalam do’amu, ridhoilah aku, maka segala langkah yang kutuju akan semakin mudah Mas,” pinta Inda yang juga menyadari kesulitannya karena tulah sang suami.
“Baiklah sayang, aku mencintaimu, jaga hatimu dan dirimu selalu,” memejamkan mata dan mengecup kening dalam bayangan. Dilakukan secara bersamaan dibalik benda pipih dalam genggaman tanpa disadari oleh ke duanya.
“Ren... keamanan PPMI!” senggol Inda memberikan ponselnya pada Rena. Suara itu sungguh mengejutkan, hingga ia tak mampu untuk menjawabnya. “J 3251 nomor platnya ka, taxi putih, supirnya memakai rompi hitam. Kami berada di belakang mobil pribadi merah ka,” beber Rena, sambil menoleh ke arah belakang mencari sang penelpon. Beberapa menit kemudian muncul dua lelaki berhelm, dengan tubuh dibalut jaket kulit, memakai motor besar mencoba menyusul taxi mereka. Sadar mobil mereka diikuti, sang supir pun tidak tinggal diam, bereaksi menghalau setir ke kanan, searah dengan pengendara lain yang berada di sisi kanan. Mereka berhenti tepat di halaman toko pizza Abu Ali, berbarengan dengan motor dua pria di belakang. “Ada apa kalian mengikuti saya?” tanya bapak paruh baya itu yang sudah berada di hadapan mereka. Diikuti dengan keluarnya dua wanita dari dalam mobil. “Kami dari ketua keamanan mahasiswa Indonesia, telah dilaporkan bahwa bapak membawa dua mahasiswi kami dan memaksa meminjam paspo
Pria itu hanya terdiam menatap, mencerna apa yang dikatakan Inda.“Maaf, saya dari Singapur, saya hanya bisa berbahasa Inggris dan Arab saja,” pria itu tersenyum ramah pada Inda. Pria tampan, dengan lesung pipit di wajah itu, beberapa detik memamerkan sederet gigi putihnya, melihat perubahan wajah Inda yang mulai merona ke merahan karena malu.“Oh... maaf sekali, Saya kira kamu orang Indonesia,” wajahnya semakin merona.“Tidak apa-apa, Indonesia dan Singapur itu sama-sama Asia,” jawab pria itu mengakrabi dua wanita yang tersipu dihadapannya.“Kalau begitu kami pergi dulu, thank you ya,” izin Inda tidak mau berlama-lama malu di hadapan pria itu.Mereka membalikkan badan dan berlalu menyeberangi jalan. Rena masih terkekeh melihat tingkah Inda yang salah orang barusan. Sudah faham sahabatnya itu memang sembrono dalam memilih tindakan.“Hahaha... makannya Inda, tanya dulu, orang asing di kota ini kan bukan hanya Indonesia saja,” Rena menggoda dan tertawa lepas.“Ya mana ku tahu, lagian d
Bus merah melaju dengan kecepatan rata-rata, membawa Inda dan Rena ke suatu perkumpulan komunitas musik anak rantau yang berada jauh dari tempat tinggal mereka. Lagi-lagi hembusan angin menerpa wajah cantik di balik jendela, memandangi hiruk pikuk aktifitas penduduk di tepi jalan. Ada yang membawa sebongkah barang di atas punggungnya, yang sedang memilih-milih barang rumahtangga, hingga pejalan kaki yang hendak kembali ke rumahnya masing-masing. Rasa rindu tiba-tiba menyerbu kalbu, tembus mendobrak dinding kokoh hingga ambruk seluruh pertahanan rindu yang kian terjaga sempurna. [Mas... aku merinduimu] pesan chat sukses terkirim. [Bertahanlah, maksimalkan waktumu untuk menjemput keinginanmu] balas Jiddan menguatkan, namun sama rapuhnya dengan sang istri. Butiran bening tak sengaja terjatuh meninggalkan garis halus di pipi. Perjalanan malam kota ini selalu mengisahkan ke syahduan, samping jendela memang menjadi tempat favorit Inda saat menaiki bus, bukan hanya pemandangan dan angin
Waktu seakan berjalan melambat, memberi kesempatan untuk dua netra bertemu pada titik tengah pandangan. Ada desiran hebat dalam dada pria gagah itu. Bergemuruh meluncurkan kerinduan di setiap pori-pori tubuh. “Kakinya terkilir saat diinjak dari belakang oleh penjahat di bus tadi,” sahut Rena. “Naik motor saja bersama saya kalau begitu,” ajak Zein. “Eh? tidak-tidak, kami naik taxi saja Zein,” menolak tawaran Zein karena ia tidak bisa bebas seperti dulu, ada kepercayaan Jiddan yang harus ia jaga. Namun sepertinya Zein tidak tahu kalau dirinya sudah menikah dengan pria lain. “Oke saya akan mendampingi kalian di taxi, dan Firhan tolong kamu yang pakai motor ya,” pinta Zein menengahi. *** “Sepertinya aku tidak bisa tanpamu Mas,” air mata yang kian menggenang kini tumpah tak terbendung. “Istriku... apa yang menjadi kekhawatiranku kini telah terjadi. Bukankah aku telah memperingatimu?” lagi-lagi Jiddan berhasil meledakkan tangis seorang wanita meski dengan suara lembutnya. “Jika tida
“Mas, siapa yang duduk di kursi belakang Mas?” tanya Inda mengernyitkan dahi, karena tahu wanita itu bukanlah ibu mertuanya.“Ketua pondok putri, dia ikut rekaman siang tadi,” katanya mengenalkan Naya.“Ohh...,” jawabnya singkat tak peduli.“Tadi mau bicara apa?” lanjutnya.“Nanti saja kalau begitu, kalau sudah sampai rumah,” kilahnya.Mentari senja mulai terbenam, menyisakan segaris jingga di langit kelam. Mengiringi Fortuner yang memasuki gerbang pesantren.“Silahkan Pak Yai, saya sudah menyiapkan teh anget untuk Pak Yai,” sambut wanita ayu kala sang kyai telah memasuki rumah.“Terimakasih Kana,” ucap Jiddan sambil berlalu.‘Hah? beliau memanggil namaku tanpa sebutan Mbak? artinya Pak Yai sudah menganggapku seorang wanita yang berharga’ gumamnya bahagia.***“Festival music Nusantara dimajukan acaranya bulan September Mas,” ujarnya lirih.“Lalu bagaimana kepulanganmu?” selidik Jiddan“Aku bingung Mas, kalau pulang pasti tidak bisa lama di sana, awal November sudah harus balik ke sin
Seisi ruangan hanya saling melirik dan merasakan memang ada kejanggalan dalam penerimaan beasiswa tersebut, Dani merasa kikuk, jika alasannya masuk akal, ia akan lolos dari mata-mata buas di hadapannya, jika tidak, semua akan berpihak pada Jiddan, dan tanggung jawabnya akan diambil alih oleh Jiddan.“Setelah saya tinjau kembali nilai 200 anak ini sedikit mendekati nilai rata-rata, tidak ada salahnya kita masukkan mereka dalam daftar penerima beasiswa,” jawabnya santai, namun ada kebohongan di balik wajah santainya.“Namun Pak, target kita adalah 1500 anak, kita memilih kualitas bukan hanya kuantitas Pak, kalaupun jumlah melebihi batas, dipastikan nilai mereka memang memadai,” tegas Jiddan kembali.“Ya saya kira gelombang ke dua ini akan kurang dari 500 anak pada beasiswa Mesir, maka saya tarik 200 anak tadi karena kesungguhan mereka ingin belajar di sana,” balas Pak Dani mempertahankan argumennya.“Sebaiknya tunda dulu ya Pak, karena kita memakai penyeleksian bersih, karena dari perta
Sementara itu di balik kedok seorang Dani.“Mereka ini berani membayar dua kali lipat Pak, asalkan anak-anak mereka terjamin kuliah di sana,” ujarnya melalui saluran ponsel.“Akan saya pertimbangkan dulu, tidak semudah itu menerima sogokan seperti ini,” balas seorang mentri.“Ayolah Pak, 10% dari biaya mereka untuk pengurus keberangkatan mereka Pak, termasuk bapak pastinya, jika bapak bersedia menanda tangani ini, sisanya biar saya yang urus,” rayu Dani.“Oke besok berikan saya berkas-berkasnya, akan saya cek dulu sistemnya,” pinta mentri tersebut.Keesokan harinya, map cokelat yang berisikan berkas nama-nama penerima beasiswa sudah berada di atas meja sang mentri.Di keluarkan secara perlahan, diperhatikan nama dan nomor urut calon mahasiswa luar negeri. Seperti yang direncanakan, beasiswa Mesir akan diberikan lebih dari jumlah seharusnya, yaitu 1200 anak, sedangkan 500 yang lain, diberangkatkan ke Maroko dan Sudan, sesuai dengan kapasitasnya.“Apa bisa dipastikan semua ini aman ke d
Menangkap gelagat wajah sang adik ipar, ia langsung memahami bahwa adik iparnya mulai terpesona pada Zein.Mungkin bukan hanya adik iparnya yang bertanya-tanya siapa Zein, wajar saja, sejauh ia mengenal Zein, banyak sekali akhwat yang tertarik padanya. Dia memang memiliki pesona yang menawan, wajar saja mereka mengaguminya.“Kalian pulang naik taxi kan?” tanya Zein kala breafing telah selesai.“Iya,” jawab Rena.“Aku akan mengantar kalian ya,” tawar Zein.“Tidak usah Zein, nanti merepotkan, kami pulang bertiga juga tidak masalah,” tolak Inda.“Tidak Inda, ini Mesir. Meskipun kalian bertiga kalau tidak ada laki-laki yang mendampingi itu bahaya. Banyak kejadian yang menimpa mahasiswa kita, terutama perempuan, meski mereka berlima, tetap saja pelecehan dan pencopetan terjadi karena tidak ada yang mendampingi mereka,” jelas Zein yang ingin melindungi mereka.“Hah? seperti itukah ka di Mesir?” Sofia menoleh ke arah Zein yang berjalan mengiringi mereka di belakang.“Iya, bermacam-macam kasu
Jum’at, 13 maret 2023. Acara akad dan walimatul ‘ursy akan dilaksanakan. Semua persiapan selama tiga minggu lalu telah berbuah pada hari ini.Koordinasi pengurus yang sangat solit hingga terlihat begitu memuaskan. Mulai dari pengaturan para santri, tata letak dekorasi, serta sususan acara telah siap dimulai pada detik ini.Acara sakral, yaitu pengucapan janji suci, akan segera dimulai. Para tamu agung mulai berbondong menuju masjid dengan pelataran yang sangan indah. Dikhiasi bunga-bunga cantik bernuansa putih hijau, kursi-kursi yang berjejer rapi berselimutkan putih, karpet merah yang terbentang Panjang hingga tangga masjid yang sudah di dekor lengkungan bunga di depannya sebagai tempat penjemputan mempelai wanita saat ijab qabul telah dilantunkan. Semua tersusun rapi dan sangat khidmat.“Jidan sudah siap?” tanya penghulu.“Insyallah siap,” jawabnya mantap.“Ankahtuka wazawwajtuka Inayatu Shalihah binti H. Hasan Asy-Syadzuli bi mahril madzkur haaaalan,”“Qobiltu nikahaha wa tazwijaha
“Sofi,” panggil Inda yang sangat mengerti apa yang sedang terjadi pada Sofia.“Ya Ka,” Sofia menoleh masih dengan wajah lesunya.“Dengarlah apa yang dikatakan oleh hatimu,” titah Inda tiba-tiba.Sofia hanya mengangguk lalu kembali berlalu.“Banyak yang menderita hatinya di rumah ini karena aku,” ucap Inda menyesal.“Kalau saja Ustadzah Inda saat itu tidak berterus terang memberitahu perasaan Kana pada Pak Kyai. Mungkin sampai kapanpun Kana akan terjerat oleh rasa yang membingungkan itu, dan menjadi benalu di rumah tangga Ustadzah. Karena untuk pergi dari pesantren ini pun Kana tidak mampu. Ternyata, cinta Kana pada pesantren ini, ketulusan Kana pada Umi dan Abi lebih besar dari apapun,”Inda terdiam, tertegun mendengar ucapan Kana.“Hingga akhirnya, Kana menemukan hikmah saat Kana berada di kampung. Seorang pria yang selama ini hanya sibuk dalam mempertaruhkan nyawa seseorang datang untuk menyatakan perasaannya dan telah berhasil membuka fikiran Kana dan memberi ruang padanya,”“Janga
“Tapi…”“Kenapa?”“Naya malu Pak Kyai,”“Malu pada siapa?”“Anak santri. Mereka belum mengetahui acara ini. Dengan pergi berdua seperti ini, Naya khawatir ini akan menjadi fitnah,”Jidan menghela napas memperbaiki posisi duduknya berhadapan dengan Naya.“Kana,” panggil Jidan.“Baik Pak Kyai,” sahut Kana yang muncul dari ruang keluarga.“Tolong kumpulkan semua pengurus disini sekarang,”“Sekarang Pak Kyai?” tanya Kana memastikan.“Ya,”“Nggeh Pak Kyai,” angguk Kana lalu bergegas keluar mengerjakan perintah Jidan.Naya terbelalak mendengar ucapan Jidan yang tiba-tiba memanggil semua pengurus untuk berkumpul disini. Keputusan itu, pasti karena ucapannya barusan yang merasa malu karena para santri belum ada yang tahu.“Pak Kyai?” suaranya lirih tak percaya.“Kita cukup memberitahu pengurus saja kan?”“Kenapa tiba-tiba begini Pak Kyai? Pak Kyai semakin membuat Naya malu,” ujarnya mengerucutkan bibir manisnya.“Siap-siap saja dengan tanggapan mereka nanti,”Mendengar kalimat itu, wajah Naya
Dua hari kemudian, kondisi bayi dalam kandungan Inda dinyatakan normal, dan sudah diperbolehkan pulang.Sore hari, Inda dan Jidan sudah sampai di halaman pesantren. Suasana yang tenang, beberapa kegiatan masih berlangsung. Ada yang sedang menghafal di gazebo, ada yang sedang gotong royong membersihkan kamar masing-masing, dan ada juga yang sedang mengikuti ekstrakulikuler karena hari ini adalah hari minggu, dimana kegiatan kesenian dijadwalkan pada hari itu sebagai waktu refreshing bagi para santri.Juga, di area lahan kosong yang terletak di samping rumah pengasuh terlihat Pak Maman sedang mengkordinasi para pegawai yang mulai merancang Pembangunan sebuah rumah yang akan dihadiahkan untuk Naya nanti.“Apa Naya sudah memilih desain interiornya Mas?” tanya Inda yang melihat-lihat area tersebut.“Dia masih melihat-lihat katalog yang diberikan arsitek kemarin Sayang,” jawab Jidan santai.“Assalamu’alaikum Ustadzah?” sapa para santri yang berlalu didekatnya dan tak lupa mereka menyalami J
Sungguh ingin ia mempertahankan sang mantan agar dapat kembali padanya. Sudah sejauh ini ia memperjuangkan sang kekasih, berharap masih ada ruang baginya untuk mendapat cinta yang selama ini telah ia pupuk hanya untuk wanita pemilik wajah anggun nan cantik, yang matanya mampu meluluh lantakkan hati yang memandangnya, yang senyumnya mampu meruntuhkan benteng pertahanan.‘In, siapa yang akan menutup luka yang tergores dalam di hati ini In? Aku masih menyayangimu bahkan entah sampai kapan. Bisakah kamu melihat itu In? aku akan selalu menunggumu’ Pemandangan di balik jendela bus menuju kota Jakarta terasa sedang mengiba ikut merasakan pilunya cinta seorang pria yang baru saja menerobos masuk dalam kehidupan sang mantan. Dengan penuh resiko dan bahaya.KLING KLINGPonsel Zein berbunyi. Panggilan dari Firhan sang wakil keamanan.“Halo assalamu’alaikum Han,”“wa’alaikumussalam Zein,” jawab Firhan tergesa. “Zein gawat Zein. Ada pengeroyokan antar kekeluargaan di distrik 10 Zein,”Zein terteg
TAK TAK TAKLangkah kaki terdengar gagah mendekat memasuki ruang tunggu.“Sofi. Bagaimana keadaan Kakak?” panik Jidan.“Kak Inda masih harus istirahat Kak,” jawab Sofia.Zein hanya melirik sinis pada Jidan dan Naya yang baru saja sampai di ruangan itu. Jidan melangkah sampai di depan Zein yang hanya duduk tak menghiraukan kedatangan Jidan.“Silahkan tinggalkan ruangan ini,” perintah Jidan pada Zein.Zein beranjak dari kursinya dan memandang tajam pada lawan bicaranya.“Jika kamu tidak bisa membahagiakannya. Lepaskan dia dari jerat hidupmu yang rumit itu!” ucapannya penuh penekanan dan mengintimidasi.“Apa hak kamu berbicara seperti itu hah?” cecar Jidan.“Aku. Tidak akan pernah menyerah untuk ini! Ingat itu!”“CUKUP!” teriak Sofia menghentikan perdebatan keduanya. “Jika masih ada yang belum selesai antara kalian, kenapa kamu meminta aku untuk memulai suatu hubungan Kak Zein? Kenapa?” derai air mata tak sanggup untuk dibendung. Kenyataan itu cukup menyakitkan bagi Sofia yang hanya menj
Pagi yang segar di hari sabtu, Inda memutuskan untuk memulai harinya dengan menyirami tanaman bunga di halaman depan rumah. Para santri pun yang hendak masuk ke kelas berlalu Lalang menyapanya dengan santun, beberapa mereka menyalami Inda dengan takzim.“Kamu tau gak Ser? Kemarin Pak Kyai pergi sama Ka Naya loh!”“Kemana ya kira-kita?”“Kalo akau perhatiin ya, akhir-akhir ini Ka Naya selalu dipanggil ke rumah pengasuh tau,”Tak sengaja Inda mendengar percakapan segerombol santriwati sedang membicarakan suaminya dengan ketua putri. Rasanya tidak etis sekali ada pembicaraan seperti itu di pesantren ini, terlebih itu menjurus kepada fitnah nantinya.Larut dalam fikiran, seketika perut Inda terasa nyeri seperti ada yang meremasnya dengan kuat. Inda merintih kesakitan, wajahnya memucat, tubuhnya membungkuk menahan sakit. Selang air yang semula di tangan, ia jatuhkan seketika.Dua oran santriwati yang melihat Inda hampir terjatuh di tanah, segera berlari untuk menopang tubuh Inda. Seluruh s
“Kyai?” panggil Naya.“Ya?” sahut Jidan.“Apa Ustadzah Inda telah menyiapkan semua isi tas Pak Kyai?” tanya Naya yang masih terkesima dengan ketelatenan Inda dalam menyiapkan perjalanan Jidan.“Iya. Kenapa?”“Masyaallah sekali Pak Kyai, sangat lengkap dan rapi,” puji Naya.“Kamu sudah membuka semua bagian?” tanya Jidan memastikan. Naya menggeleng.“Di bagian paling besar, itu berisi pakaian, termasuk handuk kecil dan sapu tangan, di bagian ke tiga, ada perlengkapan untuk perawatan mulut. Dan yang paling kecil ini, Inda berpesan,”kalau ada receh kembalian, taruh disini ya Mas, biar dompet Mas tidak gembung” Begitu katanya,”Naya tersenyum mendengar penjelasan Jidan, kemudian menunduk merasa insecure denga napa yang dilakukan Inda untuk Jidan. Dia tidak yakin bahwa dirinya akan seperfeksionis Inda atau malah menyusahkan mereka.“Kamu, tetaplah jadi dirimu sendiri. Aku akan mencintaimu dengan apa adanya dirimu,” kata Jidan melihat perubahan sikap Naya.“Terimakasih Pak Kyai,” ucap Naya
Waktu itu telah tiba. Hari dimana Jidan dan Inda akan segera berangkat menemui ibunda Naya.Jam dinding menunjukkan pukul delapan pagi, seperti jadwal yang sudah ditentukan, Inda akan pergi untuk memeriksakan kehamilannya terlebih dahulu Bersama Jidan.Setelah mengantri menunggu giliran, akhirnya Inda dan Jidan sudah berada di ruangan dan akan segera dilakukan USG yang ditangani langsung oleh bidan Laila.“Sepertinya Ustadzah terlalu banyak fikiran ya?” tebak Laila.“Tidak juga sih Dok, biasa saja, tidak ada yang saya fikirkan berlebihan,” tanggapan Inda mencoba mengelak.“Harus badrest dulu ya Ustadzah. Jangan terlalu melakukan yang berat-berat dulu,”“Apa melakukan perjalanan jauh akan berpengaruh pada bayi kami Dok?”“Kemana?”“Bandung misalnya,”“Emmm. Sepertinya tidak bisa Ustadzah, khawatir terjadi sesuatu pada bayinya nanti,”Inda hanya melirik pada sang suami. Mengisyaratkan hari ini ia tidak akan bisa menemani sang suami.“Baik kalau begitu Dok, terimakasih ya Dok,” ucap Jida