“Zein... mengapa kamu meninggalkan aku? apa kamu tahu aku membutuhkanmu Zein,” ratap Inda pada pria tampan yang telah menghilang selama 2 tahun silam.
Hari itu begitu indah, cerah nan sejuk yang terlihat hanya pemandangan alam dengan kabut putih yang tersorot cahaya matahari. Inda berjalan menyusuri taman bunga yang terhampar sejauh mata memandang. Ia duduk di kursi kayu tepat di bawah pohon yang daunnya berwarna kemerahan, entah apa namanya, yang jelas pohon itu adalah pohon satu-satunya yang berada di taman bunga tersebut.
Pria tampan dengan rambut sedikit panjang, bagian depan terbelah dua ala Angga Yunanda, kulitnya putih tubuhnya berisi, semakin terlihat perfect dengan outfit kaos dan celana jeansnya. Ia menghampiri wanita yang tengah duduk menatapi bunga, lalu duduk di sampingnya dan menggenggam tangannya. Sambil menatap pria itu dalam-dalam ia balas genggamannya erat, lalu memeluknya sambil terisak.
“Inda, aku tidak akan pernah membiarkanmu tersakiti, aku tetap bersamamu disini. Tapi maaf saat itu aku harus pergi, karena cita-citaku belum tercapai. Aku selalu menyayangimu, aku ingin terus bersamamu,” jelasnya sambil memegang tangan Inda dan tatapan yang penuh kasih.
“Tapi, sekarang aku sudah menikah Zein! Tidak ada gunanya kamu menyatakan cinta lagi,” ujarnya, matanya menatap sendu pada Zein.
“Aku akan tetap menyayangimu!” kekeh Zein meyakinkan.
Air mata Inda terus berderai, mengingat Zein adalah pria impian yang selalu membuatnya bahagia. Namun sayang, ia sirna, tenggelam di ujung lautan.
“Astaghfirullahal adzim!” kumandang subuh menyadarkan Inda dari mimpinya.
“Huff... memang pria impian,” lirihnya sambil menghela nafas.
Di sampingnya terlihat pria lain yang masih tertidur pulas.
Benar, dia adalah suamiku, lebih tampan dan menawan dari Zein. Gumamnya dalam hati sambil tersenyum.
***
Rutinitas harian mereka sangat padat, hingga membuat mereka sulit untuk saling bercerita meski di sela-sela kesibukan. Menjelang tidurlah kesempatan keduanya untuk berbagi cerita tentang hari ini, hingga hal yang tidak penting sekalipun.
“Mas... mas sudah mulai bicara dengan Umi dan Abi soal kita ingin melanjutkan S2 kita di Mesir Mas?” tanya Inda yang sedang duduk di meja rias sambil menyisir rambutnya, memulai percakapan.
“Pernah, tapi belum serius banget ngobrolnya. Besok coba Mas bicarakan lagi dengan Abi,” jawabnya sambil merebahkan diri di bad ranjang.
“Oke Mas, tapi... tolong yakinkan mereka ya Mas,” pinta Inda mulai bermanja.
“Iya sayang... mas usahakan. Sini tidur, jangan bersolek terus,” goda Jiddan sambil menepuk bad ranjang sebelahnya yang masih kosong.
Esoknya, sepulang mengajar di pesantren milik abinya, Jiddan mampir terlebih dahulu ke rumah orangtuanya itu, hanya untuk menyampaikan pembicaraannya semalam.
“Assalamu’alaikum Umi,” ucapnya sambil mendekatkan wajah ke sela-sela pintu kayu.
Tanpa mengetuk pintu, beberapa detik ia menunggu jawaban, lalu mengulanginya sekali lagi, hingga terdengar suara yang mendekat dari balik pintu tersebut.
“W*’alaikumussalam Nak, masuk Nak, kebetulan kami lagi mempersiapkan makan siang nih,” jawab wanita paruh baya yang tengah membukakan pintu untuk putranya.
Kemudian Jiddan mencium tangan wanita paruh baya yang terlihat masih cantik itu. Harum tangannya masih tetap sama, parfum Sabaya dari Mekkah yang membuatnya terngiang-ngiang saat di Mesir lalu.
Jiddan berjalan menuju ruang keluarga, mendekati abinya yang sedang duduk di sofa, dengan pakaian sederhananya, dikhiasi tasbih yang selalu berputar di tangan kanannya, membuat aura wibawanya begitu terpancar.
Jiddan mulai menyampaikan niatnya pada kyai yang berwibawa di depannya tersebut. Setelah semua tersampaikan, tidak menunggu lama dan basa-basi, kyai Nur langsung menanggapinya.
“Umi sudah bercerita pada Abi soal kalian ingin ke Mesir, Umi setuju, tapi menurut Abi, tetaplah di sini Jiddan, pesantren ini kamu yang kembangkan, kalau kamu berkenan lanjutlah s2 di dekat sini saja, agar kalian masih bisa membantu Abi, kalian tahu sendiri, Umi khususnya Abi ini kan sudah mulai tua Nak, cobalah pikir-pikir lagi,” tutur kyai Nur santai penuh harap.
Mendengar jawaban abinya, Jiddan tidak bisa berkutik, mau tidak mau dia harus mematuhi orang yang amat ia hormati itu,di sisi lain ia tidak ingin mematahkan impian Inda yang ingin terus belajar.
“Baik Abi, akan Jiddan pikirkan lagi , terimakasih Bi, izin pamit pulang dulu Bi,” Jawab Jiddan kemudian mencium tangan abinya.
***
Hari-hari terlewati seperti biasa, sudah seminggu, Jiddan baru bisa membahas tentang keberangkatan mereka ke Mesir, karena segala Kemungkinan masih ia pertimbangkan sebelumnya.
“Tentang S2 kita, Abi menyarankan kita untuk melanjutkan S2 di sini, sambil membantu Abi dan Umi. Lalu sedikit-sedikit kita bisa membangun rumah di dekat pesantren,” jiddan mulai menjelaskan maksudnya pada Inda.
“Kita kan sudah membuat komitmen Mas,” pintanya itu dijawab ketus oleh Inda.
“Kamu sudah janji Mas, bahwa pernikahan kita tidak akan mengganggu cita-cita kita! Di sanalah cita-cita aku Mas, masih banyak yang harus aku cari di negeri Kinanah sana, Mas pasti tau itu,” emosinya meluap, mengungkit semua komitmen mereka sebelum menikah.
“Iya, kita cari solusinya bersama, kita pertimbangkan, mana yang terbaik untuk kita,” jawab sang suami dengan tenang.
DING !
Ponsel Inda berbunyi, Rena sahabatnya mengabarkan bahwa Jiddan dan Inda diterima masuk S2 dan mendapatkan beasiswa majistir.
“Tuh kan Mas, kita diterima!” ujarnya bersemangat.
“Serius?” tanya Jiddan memastikan
“Iya Mas serius, ini coba lihat,” Inda menyodorkan ponselnya.
“Alhamdulillah, kita bisa bicarakan lagi dengan Abi. Semoga dengan berita ini, Abi bisa mengizinkan kita untuk berangkat ke sana lagi,” lanjut Inda masih dengan wajah berserinya.
“Iya sayang, insyallah bisa,” hanya sedikit meyakinkan. Jiddan amat tahu bagaimana abinya jika sudah membuat keputusan.
***
Di balik kebahagiaan itu esoknya.
Langit pagi terlihat mendung, angin menghembus syahdu, tidak dingin tidak juga panas, semuanya terasa tentram, tidak seperti biasanya. Mereka sudah bersiap akan menuju pesantren, bertemu abi dan umi, membantu aktifitas rumah sang ibu mertua.
Namun tiba-tiba, seorang santri datang menaiki motor milik pesantren, penampilannya compang-camping, sangat tergesa-gesa, wajahnya merah, bukan karena mabuk atau ditampar, tapi terlihat juga air matanya berderai. Ia mengucapkan salam dengan suara bergetar, dan mengabarkan bahwa.
“Ustadz... A-abi Ustadz,” kata santri itu terbata, tak kuat menahan tangis, santri yang masih berdiri di samping motor itu tiba-tiba berlari menuju Jiddan yang berdiri di pelataran rumah bersama Inda, lalu memeluk Jiddan layaknya seorang adik yang tidak bertemu kakaknya selama sepuluh tahun.
“A-abi meninggal Ustadz,” tangis santri itu pecah kembali. Perkataannya melesat seperti tombak, tepat mengenai jantung Jiddan dan Inda.
Keduanya bergetar mendengar kabar yang bak petir menyambar, air matapun berderai cepat.
Sesampainya mereka di rumah sang abi, di sepanjang jalan menuju gerbang pesantren, terparkir mobil-mobil pengunjung untuk Menyelawat.
Lapangan pesantren penuh dengan para santri dan penyelawat, mereka semua menangis, tak menyangka kyai yang paling mereka sayangi dan hormati pergi begitu cepat.
Ketika mereka masuk, terlihat segujur tubuh diselimuti kain batik panjang dan kain putih menutupi kepala sang pemimpin itu.
Dengan sigap Jiddan memeluk tubuh tak bernyawa itu dengan kuat, menangis meraung-raung, dadanya sesak, terhimpit, sakit karena perpisahan tak terduga ini.
Ia peluk tubuh ibunya yang lemas, mereka menangis, suasana semakin kelam. Tidak ada lagi abi, tidak ada lagi Kyai yang sangat disegani dan terhormat di tengah-tengah mereka. Abi yang selalu bijaksana dalam mengambil tindakan, yang selalu berbaur pada santri, yang banyak sekali mengajarkan segala hal untuk anak-anaknya.
“Abi... semua telah usai Bi, aku tidak akan bisa sesempurna dirimu dalam memimpin. Kenapa engkau pergi begitu cepat di saat aku masih membutuhkan bimbinganmu untuk mengemban amanah besar ini,” hatinya berdesir, tak kuasa menahan perih.
Beberapa hari setelah kepergian kyai Nur, langit pesantren masih kelam dan haru, suasana terasa sunyi. Kini mereka hanya menunggu dan bertanya-tanya, siapakah yang akan menggantikan kyai Nur, akankah seperti abi yang bagi mereka kyai Nur adalah abi terbaik tak tergantikan.
Hati mereka tertuju pada satu nama. Bukan karena hanya ia salah satu dari 3 anak laki-laki kyai Nur yang berhasil menyelesaikan S1nya di luar negeri, tapi juga kepribadiannya yang sungguh mirip dengan abinya, membuat santri selalu nyaman berada dalam bimbingannya selama ia mengajar.
Sementara itu...
Bencana yang tidak disadariSetelah shalat maghrib di Masjid, Jiddan langsung kembali pulang, ingin mengatakan sesuatu pada istrinya, yang sedari sore tadi ia mencoba melatih dan memilih kata dalam fikirannya yang akan ia sampaikan..Kini keduanya berada di ruang keluarga, lampu kuning menjadi latar suasana obrolan mereka, tidak ada televisi yang menyala atau HP yang sedang dimainkan. Keduanya santai saling menatap.“Inda... maaf aku harus mengatakan ini,” Jiddan memulai pembicaraan. Diambillah tangan putih halus di hadapannya itu, dan menggenggamnya dari punggung tangan. Insting Inda sudah melayang menerka perkataan yang akan diucapkan sang suami.“Menurut saya, alangkah baiknya kita menuruti perintah Abi, sekarang beliau sudah tidak ada, kitalah yang menggantikannya,” lanjutnya dengan hati-hati.Jiddan langsung membicarakan inti percakapannya malam ini. Wajah cantik Inda mulai menangkap segala isi dan maksud dari perkataan suaminya yang merupakan keinginan mertuanya.“Apa itu arti
Hari menunjukkan pukul 8:10, itu artinya kurang dari satu jam pesawat akan lepas landas. Tegang sekali, bukan hanya dirinya, tapi seisi mobil pun ikut dalam ketegangannya.“Tenang Nda, waktu masih lama, paling sebentar lagi sudah tidak macet,” suara lirih Jiddan dari kursi depan menenangkan Inda yang gugup setengah mati.“Memang ada apa sih di depan itu, ko sampai tidak bisa jalan sama sekali?” tanya mamah Inda yang duduk di sebelahnya. “Entah” lalu dijawab sama dengan supir dan umi Jiddan.20 menit berada dalam kemacetan, akhirnya mereka terbebas dan melaju dengan cepat seperti anak burung yang di lepas dari sangkarnya.“Oh ternyata truk angkutan barang yang mogok toh!” kata umi Jiddan, serempak sorot mata mereka tertuju pada truk yang di gerek dengan mobil lain di depannya.***Inda harus mempercepat langkahnya, ia hanya membawa 1 koper besar dan kecil untuk di bagasi dan 1 koper kecil lagi untuk di kabin, untuk mempermudah perjalanannya.Lima orang tersisa yang mengantri di sana, s
Mereka sudah sampai pada permukaan pukul 09: 45. Suasana airport selalu ramai, mereka berdiri di area masjid hendak memesan uber. Namun belum berhasil mereka memesan uber, datang laki-laki paruh baya menawarkan tumpangan.“Assalamu’alaikum,” bapak itu mengucapkan salam, dengan logat penduduk Mesir pada umumnya.“Wa'alaikumussalam,” jawab mereka sambil memandangi laki-laki paruh baya itu.“Apa kalian mau naik taxi saya? Hanya 30 pound saja untuk kalian,” lanjut bapak itu menawarkan taxinya dengan bayaran yang kurang masuk akal, karena hanya separuh yang diminta dari harga biasa yang ditarifkan oleh supir taxi lain.Inda dan Rena saling berpandangan, tidak yakin dengan bapak itu, mereka hanya tersenyum dan menolak halus tawaran laki-laki yang bertubuh tegap dan masih segar bugar itu.“tenang, kalian jangan takut, saya Amu Isom, saya biasa memberikan tumpangan pada orang asing seperti kalian ko,” bapak itu meyakinkan mereka karena bukan hanya mereka yang pernah menolaknya, kebanyakan ala
Di rumah umi, di meja makan, beberapa menu makan malam sudah lengkap tersaji. Hanya ada Jiddan, umi dan adik bungsunya di rumah megah itu. Ia kini tinggal bersama ibundanya, jika sebelumnya ia mengontrak bersama Inda di kawasan tak jauh dari pesantren.“Ayo makan dulu Nang, Sofia,” seru umi Rukoyyah pada Jiddan yang duduk di sofa ruang tamu sedang membaca buku, dan adiknya yang sedang bersantai dengan ponselnya.Mereka bergegas ke meja makan. Suasana terasa amat ganjil karena tidak adanya kyai Nur juga Inda yang sudah menjadi keluarga ini, kedua adik laki-lakinya pun tengah merantau di Jogja sejak 2 tahun lalu.“Pondok putri bagaimana Nang? Semua baik-baik saja?” tanya umi di sela-sela makan.“Aman Mi, Jiddan mendapat bimbingan penuh dari Pakde Khairul,” jawabnya diiringi suapan nasi ke mulutnya.“Besok pagi mereka mengadakan acara pentas seni, dihadiri oleh beberapa guru,” jelasnya.“Inda bagaimana? sudah menghubunginya belum?” tanya umi ingin mengetahui kabar menantunya.“Belum ada
“Ren... keamanan PPMI!” senggol Inda memberikan ponselnya pada Rena. Suara itu sungguh mengejutkan, hingga ia tak mampu untuk menjawabnya. “J 3251 nomor platnya ka, taxi putih, supirnya memakai rompi hitam. Kami berada di belakang mobil pribadi merah ka,” beber Rena, sambil menoleh ke arah belakang mencari sang penelpon. Beberapa menit kemudian muncul dua lelaki berhelm, dengan tubuh dibalut jaket kulit, memakai motor besar mencoba menyusul taxi mereka. Sadar mobil mereka diikuti, sang supir pun tidak tinggal diam, bereaksi menghalau setir ke kanan, searah dengan pengendara lain yang berada di sisi kanan. Mereka berhenti tepat di halaman toko pizza Abu Ali, berbarengan dengan motor dua pria di belakang. “Ada apa kalian mengikuti saya?” tanya bapak paruh baya itu yang sudah berada di hadapan mereka. Diikuti dengan keluarnya dua wanita dari dalam mobil. “Kami dari ketua keamanan mahasiswa Indonesia, telah dilaporkan bahwa bapak membawa dua mahasiswi kami dan memaksa meminjam paspo
Pria itu hanya terdiam menatap, mencerna apa yang dikatakan Inda.“Maaf, saya dari Singapur, saya hanya bisa berbahasa Inggris dan Arab saja,” pria itu tersenyum ramah pada Inda. Pria tampan, dengan lesung pipit di wajah itu, beberapa detik memamerkan sederet gigi putihnya, melihat perubahan wajah Inda yang mulai merona ke merahan karena malu.“Oh... maaf sekali, Saya kira kamu orang Indonesia,” wajahnya semakin merona.“Tidak apa-apa, Indonesia dan Singapur itu sama-sama Asia,” jawab pria itu mengakrabi dua wanita yang tersipu dihadapannya.“Kalau begitu kami pergi dulu, thank you ya,” izin Inda tidak mau berlama-lama malu di hadapan pria itu.Mereka membalikkan badan dan berlalu menyeberangi jalan. Rena masih terkekeh melihat tingkah Inda yang salah orang barusan. Sudah faham sahabatnya itu memang sembrono dalam memilih tindakan.“Hahaha... makannya Inda, tanya dulu, orang asing di kota ini kan bukan hanya Indonesia saja,” Rena menggoda dan tertawa lepas.“Ya mana ku tahu, lagian d
Bus merah melaju dengan kecepatan rata-rata, membawa Inda dan Rena ke suatu perkumpulan komunitas musik anak rantau yang berada jauh dari tempat tinggal mereka. Lagi-lagi hembusan angin menerpa wajah cantik di balik jendela, memandangi hiruk pikuk aktifitas penduduk di tepi jalan. Ada yang membawa sebongkah barang di atas punggungnya, yang sedang memilih-milih barang rumahtangga, hingga pejalan kaki yang hendak kembali ke rumahnya masing-masing. Rasa rindu tiba-tiba menyerbu kalbu, tembus mendobrak dinding kokoh hingga ambruk seluruh pertahanan rindu yang kian terjaga sempurna. [Mas... aku merinduimu] pesan chat sukses terkirim. [Bertahanlah, maksimalkan waktumu untuk menjemput keinginanmu] balas Jiddan menguatkan, namun sama rapuhnya dengan sang istri. Butiran bening tak sengaja terjatuh meninggalkan garis halus di pipi. Perjalanan malam kota ini selalu mengisahkan ke syahduan, samping jendela memang menjadi tempat favorit Inda saat menaiki bus, bukan hanya pemandangan dan angin
Waktu seakan berjalan melambat, memberi kesempatan untuk dua netra bertemu pada titik tengah pandangan. Ada desiran hebat dalam dada pria gagah itu. Bergemuruh meluncurkan kerinduan di setiap pori-pori tubuh. “Kakinya terkilir saat diinjak dari belakang oleh penjahat di bus tadi,” sahut Rena. “Naik motor saja bersama saya kalau begitu,” ajak Zein. “Eh? tidak-tidak, kami naik taxi saja Zein,” menolak tawaran Zein karena ia tidak bisa bebas seperti dulu, ada kepercayaan Jiddan yang harus ia jaga. Namun sepertinya Zein tidak tahu kalau dirinya sudah menikah dengan pria lain. “Oke saya akan mendampingi kalian di taxi, dan Firhan tolong kamu yang pakai motor ya,” pinta Zein menengahi. *** “Sepertinya aku tidak bisa tanpamu Mas,” air mata yang kian menggenang kini tumpah tak terbendung. “Istriku... apa yang menjadi kekhawatiranku kini telah terjadi. Bukankah aku telah memperingatimu?” lagi-lagi Jiddan berhasil meledakkan tangis seorang wanita meski dengan suara lembutnya. “Jika tida
Jum’at, 13 maret 2023. Acara akad dan walimatul ‘ursy akan dilaksanakan. Semua persiapan selama tiga minggu lalu telah berbuah pada hari ini.Koordinasi pengurus yang sangat solit hingga terlihat begitu memuaskan. Mulai dari pengaturan para santri, tata letak dekorasi, serta sususan acara telah siap dimulai pada detik ini.Acara sakral, yaitu pengucapan janji suci, akan segera dimulai. Para tamu agung mulai berbondong menuju masjid dengan pelataran yang sangan indah. Dikhiasi bunga-bunga cantik bernuansa putih hijau, kursi-kursi yang berjejer rapi berselimutkan putih, karpet merah yang terbentang Panjang hingga tangga masjid yang sudah di dekor lengkungan bunga di depannya sebagai tempat penjemputan mempelai wanita saat ijab qabul telah dilantunkan. Semua tersusun rapi dan sangat khidmat.“Jidan sudah siap?” tanya penghulu.“Insyallah siap,” jawabnya mantap.“Ankahtuka wazawwajtuka Inayatu Shalihah binti H. Hasan Asy-Syadzuli bi mahril madzkur haaaalan,”“Qobiltu nikahaha wa tazwijaha
“Sofi,” panggil Inda yang sangat mengerti apa yang sedang terjadi pada Sofia.“Ya Ka,” Sofia menoleh masih dengan wajah lesunya.“Dengarlah apa yang dikatakan oleh hatimu,” titah Inda tiba-tiba.Sofia hanya mengangguk lalu kembali berlalu.“Banyak yang menderita hatinya di rumah ini karena aku,” ucap Inda menyesal.“Kalau saja Ustadzah Inda saat itu tidak berterus terang memberitahu perasaan Kana pada Pak Kyai. Mungkin sampai kapanpun Kana akan terjerat oleh rasa yang membingungkan itu, dan menjadi benalu di rumah tangga Ustadzah. Karena untuk pergi dari pesantren ini pun Kana tidak mampu. Ternyata, cinta Kana pada pesantren ini, ketulusan Kana pada Umi dan Abi lebih besar dari apapun,”Inda terdiam, tertegun mendengar ucapan Kana.“Hingga akhirnya, Kana menemukan hikmah saat Kana berada di kampung. Seorang pria yang selama ini hanya sibuk dalam mempertaruhkan nyawa seseorang datang untuk menyatakan perasaannya dan telah berhasil membuka fikiran Kana dan memberi ruang padanya,”“Janga
“Tapi…”“Kenapa?”“Naya malu Pak Kyai,”“Malu pada siapa?”“Anak santri. Mereka belum mengetahui acara ini. Dengan pergi berdua seperti ini, Naya khawatir ini akan menjadi fitnah,”Jidan menghela napas memperbaiki posisi duduknya berhadapan dengan Naya.“Kana,” panggil Jidan.“Baik Pak Kyai,” sahut Kana yang muncul dari ruang keluarga.“Tolong kumpulkan semua pengurus disini sekarang,”“Sekarang Pak Kyai?” tanya Kana memastikan.“Ya,”“Nggeh Pak Kyai,” angguk Kana lalu bergegas keluar mengerjakan perintah Jidan.Naya terbelalak mendengar ucapan Jidan yang tiba-tiba memanggil semua pengurus untuk berkumpul disini. Keputusan itu, pasti karena ucapannya barusan yang merasa malu karena para santri belum ada yang tahu.“Pak Kyai?” suaranya lirih tak percaya.“Kita cukup memberitahu pengurus saja kan?”“Kenapa tiba-tiba begini Pak Kyai? Pak Kyai semakin membuat Naya malu,” ujarnya mengerucutkan bibir manisnya.“Siap-siap saja dengan tanggapan mereka nanti,”Mendengar kalimat itu, wajah Naya
Dua hari kemudian, kondisi bayi dalam kandungan Inda dinyatakan normal, dan sudah diperbolehkan pulang.Sore hari, Inda dan Jidan sudah sampai di halaman pesantren. Suasana yang tenang, beberapa kegiatan masih berlangsung. Ada yang sedang menghafal di gazebo, ada yang sedang gotong royong membersihkan kamar masing-masing, dan ada juga yang sedang mengikuti ekstrakulikuler karena hari ini adalah hari minggu, dimana kegiatan kesenian dijadwalkan pada hari itu sebagai waktu refreshing bagi para santri.Juga, di area lahan kosong yang terletak di samping rumah pengasuh terlihat Pak Maman sedang mengkordinasi para pegawai yang mulai merancang Pembangunan sebuah rumah yang akan dihadiahkan untuk Naya nanti.“Apa Naya sudah memilih desain interiornya Mas?” tanya Inda yang melihat-lihat area tersebut.“Dia masih melihat-lihat katalog yang diberikan arsitek kemarin Sayang,” jawab Jidan santai.“Assalamu’alaikum Ustadzah?” sapa para santri yang berlalu didekatnya dan tak lupa mereka menyalami J
Sungguh ingin ia mempertahankan sang mantan agar dapat kembali padanya. Sudah sejauh ini ia memperjuangkan sang kekasih, berharap masih ada ruang baginya untuk mendapat cinta yang selama ini telah ia pupuk hanya untuk wanita pemilik wajah anggun nan cantik, yang matanya mampu meluluh lantakkan hati yang memandangnya, yang senyumnya mampu meruntuhkan benteng pertahanan.‘In, siapa yang akan menutup luka yang tergores dalam di hati ini In? Aku masih menyayangimu bahkan entah sampai kapan. Bisakah kamu melihat itu In? aku akan selalu menunggumu’ Pemandangan di balik jendela bus menuju kota Jakarta terasa sedang mengiba ikut merasakan pilunya cinta seorang pria yang baru saja menerobos masuk dalam kehidupan sang mantan. Dengan penuh resiko dan bahaya.KLING KLINGPonsel Zein berbunyi. Panggilan dari Firhan sang wakil keamanan.“Halo assalamu’alaikum Han,”“wa’alaikumussalam Zein,” jawab Firhan tergesa. “Zein gawat Zein. Ada pengeroyokan antar kekeluargaan di distrik 10 Zein,”Zein terteg
TAK TAK TAKLangkah kaki terdengar gagah mendekat memasuki ruang tunggu.“Sofi. Bagaimana keadaan Kakak?” panik Jidan.“Kak Inda masih harus istirahat Kak,” jawab Sofia.Zein hanya melirik sinis pada Jidan dan Naya yang baru saja sampai di ruangan itu. Jidan melangkah sampai di depan Zein yang hanya duduk tak menghiraukan kedatangan Jidan.“Silahkan tinggalkan ruangan ini,” perintah Jidan pada Zein.Zein beranjak dari kursinya dan memandang tajam pada lawan bicaranya.“Jika kamu tidak bisa membahagiakannya. Lepaskan dia dari jerat hidupmu yang rumit itu!” ucapannya penuh penekanan dan mengintimidasi.“Apa hak kamu berbicara seperti itu hah?” cecar Jidan.“Aku. Tidak akan pernah menyerah untuk ini! Ingat itu!”“CUKUP!” teriak Sofia menghentikan perdebatan keduanya. “Jika masih ada yang belum selesai antara kalian, kenapa kamu meminta aku untuk memulai suatu hubungan Kak Zein? Kenapa?” derai air mata tak sanggup untuk dibendung. Kenyataan itu cukup menyakitkan bagi Sofia yang hanya menj
Pagi yang segar di hari sabtu, Inda memutuskan untuk memulai harinya dengan menyirami tanaman bunga di halaman depan rumah. Para santri pun yang hendak masuk ke kelas berlalu Lalang menyapanya dengan santun, beberapa mereka menyalami Inda dengan takzim.“Kamu tau gak Ser? Kemarin Pak Kyai pergi sama Ka Naya loh!”“Kemana ya kira-kita?”“Kalo akau perhatiin ya, akhir-akhir ini Ka Naya selalu dipanggil ke rumah pengasuh tau,”Tak sengaja Inda mendengar percakapan segerombol santriwati sedang membicarakan suaminya dengan ketua putri. Rasanya tidak etis sekali ada pembicaraan seperti itu di pesantren ini, terlebih itu menjurus kepada fitnah nantinya.Larut dalam fikiran, seketika perut Inda terasa nyeri seperti ada yang meremasnya dengan kuat. Inda merintih kesakitan, wajahnya memucat, tubuhnya membungkuk menahan sakit. Selang air yang semula di tangan, ia jatuhkan seketika.Dua oran santriwati yang melihat Inda hampir terjatuh di tanah, segera berlari untuk menopang tubuh Inda. Seluruh s
“Kyai?” panggil Naya.“Ya?” sahut Jidan.“Apa Ustadzah Inda telah menyiapkan semua isi tas Pak Kyai?” tanya Naya yang masih terkesima dengan ketelatenan Inda dalam menyiapkan perjalanan Jidan.“Iya. Kenapa?”“Masyaallah sekali Pak Kyai, sangat lengkap dan rapi,” puji Naya.“Kamu sudah membuka semua bagian?” tanya Jidan memastikan. Naya menggeleng.“Di bagian paling besar, itu berisi pakaian, termasuk handuk kecil dan sapu tangan, di bagian ke tiga, ada perlengkapan untuk perawatan mulut. Dan yang paling kecil ini, Inda berpesan,”kalau ada receh kembalian, taruh disini ya Mas, biar dompet Mas tidak gembung” Begitu katanya,”Naya tersenyum mendengar penjelasan Jidan, kemudian menunduk merasa insecure denga napa yang dilakukan Inda untuk Jidan. Dia tidak yakin bahwa dirinya akan seperfeksionis Inda atau malah menyusahkan mereka.“Kamu, tetaplah jadi dirimu sendiri. Aku akan mencintaimu dengan apa adanya dirimu,” kata Jidan melihat perubahan sikap Naya.“Terimakasih Pak Kyai,” ucap Naya
Waktu itu telah tiba. Hari dimana Jidan dan Inda akan segera berangkat menemui ibunda Naya.Jam dinding menunjukkan pukul delapan pagi, seperti jadwal yang sudah ditentukan, Inda akan pergi untuk memeriksakan kehamilannya terlebih dahulu Bersama Jidan.Setelah mengantri menunggu giliran, akhirnya Inda dan Jidan sudah berada di ruangan dan akan segera dilakukan USG yang ditangani langsung oleh bidan Laila.“Sepertinya Ustadzah terlalu banyak fikiran ya?” tebak Laila.“Tidak juga sih Dok, biasa saja, tidak ada yang saya fikirkan berlebihan,” tanggapan Inda mencoba mengelak.“Harus badrest dulu ya Ustadzah. Jangan terlalu melakukan yang berat-berat dulu,”“Apa melakukan perjalanan jauh akan berpengaruh pada bayi kami Dok?”“Kemana?”“Bandung misalnya,”“Emmm. Sepertinya tidak bisa Ustadzah, khawatir terjadi sesuatu pada bayinya nanti,”Inda hanya melirik pada sang suami. Mengisyaratkan hari ini ia tidak akan bisa menemani sang suami.“Baik kalau begitu Dok, terimakasih ya Dok,” ucap Jida